Enjoy reading 😘
Mbok Sari muncul dari balik pintu, sosok gagah itu tersenyum padanya. Bukannya bertanya dimana orang yang dia cari, namun mata Arya mengamati Mbok Sari yang terdiam terpaku. Ini sudah kesekian kalinya seperti ini semenjak tiga minggu belakangan Arya sering menampakkan diri kediaman Hartono, rumah Ami. "Mbok, Ami ne wonten?" (Mbok, Ami nya ada?) tanya Arya pada wanita tua itu. "Eh, mbak Ami dereng kondur, siweg nganter bapak teng rumah sakit," (Eh, Mbak Ami belum pulang, dia mengantar bapak ke rumah sakit.) jawab Mbok Sari. "Nopo mbak Ami mboten maringi kabar kalian mas Arya?" (Memangnya Mbak Ami tidak memberi kabar pada Mas Arya?) Arya menggeleng. "Sakit? Ayah sakit?" Sakit apa?" "Mboten sakit, namung cek up mawon. Monggo mas Arya, mbok damelke teh, rumiyin kalian ngentosi Mbak Ami." (Tidak sakit, hanya cek up saja. Silahkan masuk Mas Arya, Mbok bikinin teh dulu, sambil menunggu Mbak Ami.) Arya masuk ke dalam rumah, duduk di sofa ruang tamu itu sambil menggulir layar gawainya. Be
Sakti menunggu kedatangan Gendis di ujung karpet bertabur bunga-bunga indah yang berhadapan dengan meja altar pernikahan mereka. Dengan memakai setelan jas berwarna hitam, Sakti berdiri dengan gagahnya menanti pujaan hati. Semua mata menatap Gendis saat masuk ke dalam ruangan itu, menggunakan gaun pengantin berwarna putih yang begitu sederhana namun tampak elegan Gendis melemparkan senyuman pada para tamu yang hadir. Semakin langkahnya mendekat kepada Sakti, semakin tak beraturan detak jantungnya. Sakti mengulurkan tangannya menyambut kedatangan Gendis. Gendis menarik sudut bibirnya, tersenyum tipis pada calon suaminya itu. "You're so beautiful," bisik Sakti saat tubuh Gendis mendekat. "Makasih," jawab Gendis nyaris tak bersuara namun wajahnya merah merona. Suara Sakti menggema di udara kala mengucapkan janji suci pernikahannya. Suasana haru mewarnai sore itu, tetesan air mata Hanna yang tak kuasa melihat anak lelaki satu-satunya itu akhirnya mengakhiri masa lajang yang dulu sempa
Alunan musik mengalun syahdu, para tamu undangan semakin malam semakin berkurang. Keluarga besar Anggara dan Hendro Warsito duduk bersama menikmati malam panjang pernikahan anak mereka. Gendis pun ikut bersenda gurau di sana, tidak terkecuali Arya, Ami, dan Andi yang sudah di anggap sebagai keluarga. Sakti duduk di kejauhan, memandangi orang-orang yang di cintai sedang berkumpul. Kehidupan seperti ini tadinya tidak pernah dia sangka-sangka. Takdir memang selalu menyimpan misteri, entah berakhir bahagia atau sebaliknya. Gendis melangkahkan kakinya menuju lelaki yang sudah menanggalkan jas-nya di kursi sebelah. Gendis tersenyum, wanita itu begitu anggun malam ini. "Mau dansa?" tanya Gendis mengulurkan tangannya pada Sakti. "Dengan senang hati," ujar Sakti lalu berdiri merengkuh pinggang mungil istrinya. Denting piano lagu A Thousand Year, Christina Perri mengalun lembut mengiringi langkah mereka. Gendis meletakkan kepalanya di dada Sakti, degub jantung Sakti begitu tenang, begitu ny
Gendis buru-buru membuka pintu rumahnya saat mobil Sakti memasuki pekarangan rumah mereka. Hari ini tepat satu minggu pernikahan mereka, dan hari ini Sakti pulang dari Bandung menemani Satyo melakukan perjalanan bisnis. Gendis berdiri di ambang pintu dengan senyuman, menunggu suaminya yang tiga hari tidak pulang setelah hari pernikahan mereka. "Kok belum tidur?" Sakti membelai lembut kepala Gendis dan menciumnya. "Nunggu kamu," ujar Gendis. "Aku bawain kamu sesuatu, tapi biar nanti Bik Sumi aja yang ambilin." "Bik Sumi udah tidur, biar besok pagi aja." Gendis bergelayutan manja di lengan Sakti, rindunya sudah menggebu. "Kamu mau mandi sekarang apa nanti? Apa mau makan dulu?" tanya Gendis sebelum mereka menaiki anak tangga menuju kamar. "Aku udah kenyang, tadi sebelum ke rumah ... Papa ngajakin makan," ujar Sakti. Nampak wajah lelah tersirat di sana. "Capek ya?" "Banget, Papa pake nggak mau di supirin supir segala jadi kemana-mana aku jadi supirnya." Sakti membuka pintu kamar,
Sakti dan Gendis bergandengan tangan berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Baru beberapa jam yang lalu Sakti tiba dari Bandung dan melepaskan rindunya pada sang istri yang tiga hari dia tinggal untuk keperluan bisnis. Dan tiba-tiba saja mendapatkan telepon dari Tari menjelang fajar tadi mengatakan Hanna kolaps dan terjatuh saat menuruni tangga untuk mengambil minum. "Mas," lirih Tari. Satyo menoleh saat Tari menyebutkan nama Sakti. "Sakti," ujar Satyo. "Mama kenapa, Pa?" Gendis memeluk Tari yang masih terisak, karena saat itu dia yang menemukan Hanna sudah tergeletak di anak tangga terakhir. "Tari menemukan mama pingsan subuh tadi. Papa sendiri nggak tau kenapa mama bangun sepagi itu." "Beberapa hari ini mama memang kurang fit, Mas. Aku ajakin ke dokter, mama nggak pernah mau. Aku takut mama kenapa-kenapa," ujar Tari. "Apa kata dokter?" tanya Sakti khawatir. "Belum keluar dari ruangan, Papa harap mama baik-baik saja," ujar lelaki itu dengan wajah sedih. "Mama pasti ba
Satyo menggenggam tangan dingin itu erat, sesekali dia tersenyum sedangkan wanita paruh baya itu masih terkulai lemas di ranjang pesakitan. "Mau minum lagi?" tanya Satyo pada Hanna. "Enggak, cukup ...," ujar Hanna lalu terbatuk lagi. "Makan yang banyak, Han. Kamu harus cepat sehat, setelah recovery kita ke Singapura. Sakti sudah menemukan rumah sakit terbaik di sana." Sakti memberikan segelas air putih untuk Hanna minum. "Memangnya rumah sakit di sini kenapa? di sini juga bagus kok, Mas ... dan aku pasti sembuh kok. Tari mana?" tanya Hanna saat dia membuka mata tadi, dia tidak menemui satu anaknya pun berada di sisinya. "Sakti? Gendis?" "Sakti dan Gendis baru saja pulang setelah kamu di pindahkan ke ruang perawatan, aku suruh mereka pulang." Satyo berdiri mengambilkan buah jeruk untuk dia kupas dan diberikan pada Hanna. "Tempat tidurnya mau aku naikkan?" tanya Satyo dan Hanna mengangguk. "Lalu Tari?" Hanna kembali bertanya dimana anak gadisnya itu. "Tari belum datang, mungkin m
Napas mereka terengah-engah, Sakti bahkan masih mengerang saat buncahan rasa itu terasa ingin menyeruak masuk. Gendis melenguh, tubuhya meremang, tangannya mencengkram erat lengan kokoh milik Sakti. Kedua lututnya menekuk, bokongnya sedikit terangkat, Sakti mendorong lebih dalam hingga rahang lelaki itu mengeras saat cairan itu memenuhi rahim Gendis. Sakti mengayunkan tubuhnya perlahan, ritme gerakan cepat itu pun berkurang. Peluhnya jatuh di atas dada Gendis, desiran darah mengalir begitu cepat, Sakti menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh Gendis. Napas mereka tersengal, bahkan lutut Gendis yang tertekuk itu pun seakan enggan untuk kembali di luruskan. Sakti memeluk Gendis erat, wajahnya terpaut masuk ke ceruk tulang selangka Gendis. Ini adalah kali kedua mereka melakukan selama malam ini. Saat pulang bekerja malam tadi, baru saja Gendis meletakkan tasnya, Sakti sudah memeluknya dari belakang hingga mereka berakhir di atas ranjang. Dan saat ini menjelang fajar, Sakti terbangun memeluk
Jogja siang itu sedang di guyur hujan lebat, angin pun bertiup kencang, Arya masih asyik mengotak-atik sepeda motornya. Entah mengapa lelaki itu tidak berniat menjual motor itu, sayang katanya jika semua orang menyuruhnya untuk menjual motor itu. Sedangkan Bayu, anak remaja itu sudah di belikan motor baru oleh Sakti, Bayu sendiri masih tinggal di rumah Arya. Hendro belum berani melepas Bayu hidup seorang diri tanpa ada yang memantaunya. Mobil sedan berwarna hitam berhenti di depan rumah Arya yang memang tak berpagar. Arya tersenyum ketika dia tahu siapa yang datang mengunjunginya. Cepat-cepat lelaki itu mengambil payung yang tergeletak tak jauh dari tempat duduk. "Hujannya kenapa jadi lebat banget sampe sini," ujar Ami berlindung di bawah payung serta di rangkul oleh Arya agar tak terkena air hujan. "Masuk." Arya masuk lebih dulu mengambilkan handuk bersih untuk Ami. "Keringkan pakai ini." "Bayu dimana?" tanya Ami melihat rumah itu sepi. "Pergi nonton sama teman-temannya. Kamu uda
Taman samping rumah Sakti di sulap sedemikian rupa menjadi sebuah taman yang penuh dengan pernak pernik ulang tahun anak pertamanya yang sudah berusia lima tahun. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari sebelum acara di mulai. Sakti sedang berbincang dengan Andi sambil menggendong anak ketiga mereka yang berusia enam bulan, tertidur di dalam pelukannya setelah menangis karena menginginkan ibunya yang sibuk mengurusi snack yang akan dibagikan setelah acara selesai. "Kalo menurut lo klien kemarin sudah oke sama pengajuan proposal lo, ya gue pasti tanda tangan, tapi sebelumnya lo tanya Gendis dulu, gue takutnya masalah keuangan klien kita itu memang sedang nggak baik-baik aja." "Iya, hal ini memang Gendis lebih peka." Andi menggerakkan dagunya menunjuk Gendis yang melangkah ke arah mereka. "Rara mana?" tanya Gendis pada Sakti. Anak keduanya itu memang lebih suka bersembunyi, jarang sekali menampakkan dirinya hingga sering sekali membuat Gendis panik. "Kamu jalannya pelan-pelan aja, S
Baru saja Gendis ingin memejamkan matanya, Abi kembali merengek ingin di gendong. Padahal baru 15 menit yang lalu bayi itu dia letakkan tidur di sampingnya. Dengan mata yang setengah mengantuk, Gendis kembali mengangkat putranya. Tepat pukul setengah 11 malam, Sakti masuk ke kamar mereka. Lelaki itu baru saja pulang dari kantor, sore tadi dia dan Satyo menghadiri perjamuan acara makan malam perusahaan klien mereka. "Hei," ucap Sakti pelan sambil mengusap-usap lengan Gendis yang sedang menimang Abi. "Kok belum tidur," ujar Sakti lagi kali ini dia memberikan kecupan di pipi Gendis. "Aku udah ngantuk banget, Abi juga tadi sudah tidur. Tapi, waktu aku rebahkan dia di tempat tidur baru aja mau tidur, Abi bangun lagi." Wajah lelah Gendis begitu kentara. "Aku mandi dulu ya, biar nanti aku yang jagain Abi, kamu tidur nggak apa-apa." Sebelum melangkah ke kamar mandi, lelaki yang masih mengenakan setelan jas itu tersenyum pada bayi yang baru saja berusia satu bulan itu. "Papa mandi dulu, n
Ketukan di pintu pagi itu membuat Gendis dan Sakti menoleh ke arah suara. Sahabat yang hampir satu tahun ini tidak menampakkan dirinya itu kembali datang bersama istri yg sedang hamil dan juga seorang anak di dalam pelukannya. "Wuih, selamat Sak ... akhirnya beneran insaf," ujar Teddy melangkah masuk ke dalam kamar rawat inap Gendis. "Astaga, memang sahabat nggak ada akhlak lo, ya. Udah macem jelangkung aja tiba-tiba dateng tiba-tiba hilang." Sakti merangkul erat lelaki bermata sipit itu. Gimana kabar?" "Baik lah ...." Mata Teddy mendelik melirik istrinya yang sedang hamil 4 bulan. "Kemana aja lo?" tanya Sakti. "Gue mau kasih selamat dulu dong sama istri lo. Selamat ya, Dis ... maaf nggak dateng saat kalian nikah, biasalah panggilan kerja, orang lapangan harus standby." "Selamat ya Gendis," ucap Siti wanita yang semakin terlihat cantik dengan perut yang sedikit membuncit. "Makasih Mbak, enggak apa-apa Mas Teddy ... kita ngerti kok kalo Mas Teddy sibuk." "Ini buat baby boy," uja
Tangis bayi mungil itu pecah memenuhi seisi ruangan, tangisan kencang yang terdengar itu nyaris membuat Sakti tak sanggup berdiri lama. Mengingat perjuangan Gendis mempertaruhkan nyawanya demi seorang bayi mungil, buah cinta mereka. Sakti mengusap air matanya, tak henti-hentinya dia mengecupi kening Gendis yang bahkan masih penuh dengan peluh. Wajah wanita yang sekarang berubah menjadi seorang ibu itu pun terlihat lelah namun sudut bibirnya berusaha mengembang saat bayi mungil mereka di serahkan padanya. "Coba belajar biar dia mencari puting ibunya ya," ujar dokter anak yang menangani bayi Gendis. Lagi-lagi Sakti meneteskan air matanya, rasanya jika kembali lagi ke masa lalunya dia bersumpah tidak akan segampang itu mempermainkan wanita. Melihat perjuangan Gendis mengejan hingga bisa melahirkan bayi sehat, Sakti merasa sangat-sangat bersalah sudah menyia-nyiakan masa mudanya dengan hal yang tak berguna. "Dia pintar," lirih Gendis melihat bayi kecilnya mendapat puting susunya. "Kaya
Pagi itu Gendis sudah menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya, sore nanti rencananya mereka akan menjemput Wati dan Hendro dari Jogja. Perkiraan dokter dua minggu lagi Gendis sudah bisa melahirkan, oleh karena itu Wati memutuskan untuk menemani putrinya melewati hari yang di nantikan itu. "Bikin apa?" Sakti datang sambil memeluk istrinya dari belakang. "Nasi goreng buat kamu, kopi kamu udah di meja makan. Sebentar lagi nasi gorengnya selesai," ujar Gendis menoleh sedikit pada Sakti yang meletakkan dagunya di pundak sang istri. "Kita jemput bapak sama ibu jam berapa?" "Jam lima mereka sampai di stasiun, kita jangan terjebak macet ... kasian mereka kalo menunggu lama," ujar Gendis lalu memindahkan hasil masakannya ke sebuah mangkuk ukuran besar. "Ayo makan." Sakti membawakan masakan istrinya ke atas meja makan, Buk Sumi yang berada di sana menyelesaikan potongan buah lalu menyusul meletakkannya di meja makan. "Bik, ayo makan," ajak Gendis. Gendis tidak pernah membedakan wanita tua
Wajah Sakti masih nampak cemas, dia dan Gendis baru saja keluar dari ruangan praktek dokter kandungan yang menangani Gendis selama hamil. "Aku minta maaf, ya." Lagi wajah Gendis mengiba, dia benar-benar merasa bersalah. Harusnya dia lebih berhati-hati lagi jika hendak melakukan sesuatu, apalagi ini pekerjaan di kantor. Sakti masih terdiam, ekspresi wajahnya begitu menyeramkan jika sedang marah. Tatapannya tajam ke depan sambil mendorong kursi roda yang membawa Gendis hingga ke lobby rumah sakit. "Sayang." Gendis menahan tangan Sakti. "Aku minta maaf," ujarnya sungguh-sungguh. "Aku nggak bakal ulangi lagi, aku pasti jaga anak kamu." "Taruh tangan kamu melingkar di sini." Sakti menepuk pundaknya memberi titah agar Gendis melingkarkan tangannya. Dengan satu kali gerakan, Sakti mengangkat Gendis dengan perut besarnya berjalan ke arah mobil yang sudah menunggu mereka. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya Pak Supri. "Langsung pulang saja," jawab Sakti dingin. Benar-benar Sakti marah a
Ami mematut dirinya di depan cermin, satu per satu dia lepaskan aksesoris rambut yang berada di pucuk kepalanya. Setelah selesai Ami mulai membersihkan wajahnya, menghabiskan banyak kapas untuk membersihkan ukiran-ukiran Paes di dahinya. Arya membuka pintu kamar perlahan saat Ami akan melepaskan lilitan kain di tubuhnya. "Perlu bantuan aku?" tanya Arya dari balik tubuh Ami. Hembusan hangat menerpa pundak polosnya, tubuh wanita itu menegang. Sentuhan tangan Arya di lengannya membuat desiran darah itu seakan mengalir lebih cepat dari biasanya, bahkan denyut jantung itu berdebar kencang. Bukan kali pertama dua sejoli ini berada di satu kamar, namun baru kali ini mereka berada di satu kamar tapi untuk bersiap melakukan sesuatu yang lebih intim lagi. "Kainnya melilit hingga berlapis, Mas," ujar Ami. "Kamu diam aja, biar aku yang memutar kainnya," kata Arya, sebelumnya Arya melepaskan aksesoris yang melekat di tubuhnya dan meletakkannya di atas nakas. Lelaki yang akhirnya melabuhkan cin
Gendis melangkah memasuki ballroom hotel malam itu berjalan bersisian dengan Sakti. Dia mengenakan gaun panjang dengan belahan samping hingga ke paha. Model dress dengan lengan balon dan leher berbentuk V hingga belahan dada yang sedikit terbuka itu membuat Gendis terlihat cantik, seksi dan elegan. Wanita berbadan dua itu melingkarkan tangannya pada lengan sang suami, perutnya yang sudah terlihat buncit membuat auranya semakin berbeda. "Aku nggak salah pilih punya istri kamu," bisik Sakti. "Kenapa?""Semua mata menatap kamu, Sayang. Cantik, elegan dan ...." Mata Sakti mengarah pada dada Gendis. "Seksi ... rasa ingin aku bawa naik lagi ke lantai tujuh, diem di kamar aja nggak usah kemana-mana." Sakti tertawa kecil. "Kebiasaan." Gendis menempelkan bibirnya pada pundak Sakti, tubuh lelaki itu berbalut setelan jas berwarna hitam. Acara pernikahan Ami dan Arya kental dengan budaya Jawa. Kedua mempelai berdiri di pelaminan dengan baju adat bak Raja dan Ratu Keraton. Senyum mengembang di w
Usia kandungan Gendis berjalan empat bulan, selama empat bulan pula Gendis meminta Satyo menjemputnya bekerja yang herannya lelaki yang sebentar lagi menjadi kakek ini pun menyanggupinya. Entah, mungkin ini cara Satyo memperbaiki kesalahannya dulu pada Gendis dan Sakti. Belum lagi seringnya Satyo mengajak Hendro menikmati sore hari meski hanya sekedar menikmati secangkir kopi di teras depan rumah Sakti. "Papa sekarang banyak berubah," ujar Sakti pada Hanna sore itu kala Hanna dan Satyo berkunjung ke rumah mereka. "Biarkan saja, mungkin papa merasa bersalah dulu sudah menyakiti perasaan keluarga istri kamu," jawab Hanna memberikan potongan semangka pada Sakti. "Gendis dimana?" "Di kamar, Ma. Dari siang tadi lagi bad mood karena aku bilang dia semakin berisi." "Gendis itu semakin hari semakin ada aja tingkahnya, Mbak." Wati datang dari arah dapur membawa pisang goreng untuk para kakek di teras. "Mungkin bawaan bayi, Mbak. Selagi normal-normal aja, biarin lah ... saya dulu juga gitu