Beranda / Romansa / Jerat Casanova Insaf / 102. Balas Budi Tari

Share

102. Balas Budi Tari

Penulis: Chida
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-29 23:10:32
Satyo menggenggam tangan dingin itu erat, sesekali dia tersenyum sedangkan wanita paruh baya itu masih terkulai lemas di ranjang pesakitan.

"Mau minum lagi?" tanya Satyo pada Hanna.

"Enggak, cukup ...," ujar Hanna lalu terbatuk lagi.

"Makan yang banyak, Han. Kamu harus cepat sehat, setelah recovery kita ke Singapura. Sakti sudah menemukan rumah sakit terbaik di sana." Sakti memberikan segelas air putih untuk Hanna minum.

"Memangnya rumah sakit di sini kenapa? di sini juga bagus kok, Mas ... dan aku pasti sembuh kok. Tari mana?" tanya Hanna saat dia membuka mata tadi, dia tidak menemui satu anaknya pun berada di sisinya. "Sakti? Gendis?"

"Sakti dan Gendis baru saja pulang setelah kamu di pindahkan ke ruang perawatan, aku suruh mereka pulang." Satyo berdiri mengambilkan buah jeruk untuk dia kupas dan diberikan pada Hanna. "Tempat tidurnya mau aku naikkan?" tanya Satyo dan Hanna mengangguk.

"Lalu Tari?" Hanna kembali bertanya dimana anak gadisnya itu.

"Tari belum datang, mungkin m
Chida

Enjoy reading 😘

| 3
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (9)
goodnovel comment avatar
Umie
memang cara mengungkap kan perasaan sayang wanita dan laki laki itu beda, hana selalu memperlihatkan rasa sayang nya kepada dengan bentuk perhatian, beda dengan pak satyo yng memamg agak kaku
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Jangan patah semangat ya Tari ...
goodnovel comment avatar
Anggiria Dewi
menunggu part dimana satyo bisa menerima tarj dengan legowo
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Jerat Casanova Insaf   103. Sampai Jadi

    Napas mereka terengah-engah, Sakti bahkan masih mengerang saat buncahan rasa itu terasa ingin menyeruak masuk. Gendis melenguh, tubuhya meremang, tangannya mencengkram erat lengan kokoh milik Sakti. Kedua lututnya menekuk, bokongnya sedikit terangkat, Sakti mendorong lebih dalam hingga rahang lelaki itu mengeras saat cairan itu memenuhi rahim Gendis. Sakti mengayunkan tubuhnya perlahan, ritme gerakan cepat itu pun berkurang. Peluhnya jatuh di atas dada Gendis, desiran darah mengalir begitu cepat, Sakti menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh Gendis. Napas mereka tersengal, bahkan lutut Gendis yang tertekuk itu pun seakan enggan untuk kembali di luruskan. Sakti memeluk Gendis erat, wajahnya terpaut masuk ke ceruk tulang selangka Gendis. Ini adalah kali kedua mereka melakukan selama malam ini. Saat pulang bekerja malam tadi, baru saja Gendis meletakkan tasnya, Sakti sudah memeluknya dari belakang hingga mereka berakhir di atas ranjang. Dan saat ini menjelang fajar, Sakti terbangun memeluk

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-30
  • Jerat Casanova Insaf   104. Cinta Pertama Ami

    Jogja siang itu sedang di guyur hujan lebat, angin pun bertiup kencang, Arya masih asyik mengotak-atik sepeda motornya. Entah mengapa lelaki itu tidak berniat menjual motor itu, sayang katanya jika semua orang menyuruhnya untuk menjual motor itu. Sedangkan Bayu, anak remaja itu sudah di belikan motor baru oleh Sakti, Bayu sendiri masih tinggal di rumah Arya. Hendro belum berani melepas Bayu hidup seorang diri tanpa ada yang memantaunya. Mobil sedan berwarna hitam berhenti di depan rumah Arya yang memang tak berpagar. Arya tersenyum ketika dia tahu siapa yang datang mengunjunginya. Cepat-cepat lelaki itu mengambil payung yang tergeletak tak jauh dari tempat duduk. "Hujannya kenapa jadi lebat banget sampe sini," ujar Ami berlindung di bawah payung serta di rangkul oleh Arya agar tak terkena air hujan. "Masuk." Arya masuk lebih dulu mengambilkan handuk bersih untuk Ami. "Keringkan pakai ini." "Bayu dimana?" tanya Ami melihat rumah itu sepi. "Pergi nonton sama teman-temannya. Kamu uda

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-30
  • Jerat Casanova Insaf   105. Penantian Yang Manis

    Ami turun dari mobil, matanya memandangi pemandangan yang terpampang di depan sana. Sebuah lahan dengan rumput hijau yang terhampar, cuaca yang tak terlalu panas serta hawa dinginnya menjadi satu ciri khas daerah ini kata Arya. "Dingin?" Arya memeluk Ami dari belakang. "Sweater kamu kurang tebal, sebentar kayaknya ada syal di mobil." Tak lama Arya kembali membawa syal tebal dan melingkarkannya di leher Ami. "Dingin banget, tapi orang-orang di sini seperti biasa aja, ya." Ami memasukkan tangannya ke saku celana. "Kan mereka hidup dari kecil di sini jadi terbiasa. Ayo, kita turun ke bawah ... kamu pasti suka," ujar Arya mengulurkan tangannya meminta Ami menggenggamnya. Menyusuri hamparan rumput hijau dan di kelilingi perbukitan, sejauh mata memandang tempat ini begitu alami, asri. "Sepertinya belum terlalu banyak yang tau tempat ini ya?" tanya Ami dan Arya mengangguk. "Kalo sudah banyak yang tau sudah pasti tidak akan seindah ini," ujar Arya lalu merengkuh pinggang Ami mendekat pad

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-31
  • Jerat Casanova Insaf   106. Berbagi Kabar

    Sayup terdengar gemericik air dari dalam kamar mandi, tak berapa lama pintu itu pun terbuka. Sakti mengenakan balutan handuk putih sambil mengeringkan rambutnya berjalan perlahan menuju tempat tidur. Istrinya masih tergolek dalam balutan selimut di ranjang besar kamar hotel mereka, perjalanan panjang lebih dari 16 jam yang membawa mereka sampai di Milan Italia membuat Gendis mengalami jetlag, maklum saja ini adalah kali pertama Gendis berpergian keluar negeri apalagi Samapi benua Eropa. Wanita dengan paras ayu itu pun bergerak, baju tidur berbahan satin halus rasanya hanya sebagai pembungkus tubuh itu tidak berguna di mata Sakti. Bagaimana tidak, buah dada Gendis tak berpelindung bra itu menonjol seakan menantang Sakti untuk melakukan pergulatan di siang hari. "Sayang, bangun," ucap Sakti lembut sambil membelai pipi Gendis. "Hhmm ...." Gendis membuka matanya perlahan, meregangkan otot-otot tubuhnya. Sakti yang duduk di sisi tempat tidur dengan berbalut handuk itu tersenyum padanya.

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-01
  • Jerat Casanova Insaf   107. Jangan-jangan ....

    Gendis melenguh, suaranya begitu lirih, tubuhnya bergerak lembut bahkan dadanya membusung sambil dia pegangi kedua buah dadanya. Sakti mengerang, matanya terpejam menikmati setiap gerakan sang istri yang berada di atasnya. "Hhmm ... lebih cepat Sayang," lirih Sakti meremat kedua paha Gendis, menggerakkannya lebih cepat. Gendis mendesah, tangannya berada di pundak Sakti, mencengkeram erat saat buncahan itu datang untuk kedua kalinya bersamaan dengan Sakti mengerang dan mengeraskan rahangnya saat rasa itu terasa berdenyut. "Ugh," ucap Sakti. "Ya ampun." Napas Sakti terengah, sementara Gendis membenamkan wajahnya pada ceruk leher suaminya itu, menata debaran jantungnya, menetralisir desiran darah yang mengalir ke seluruh tubuhnya. Wanita itu v lemas terkulai di atas tubuh Sakti, Sakti mengusap-usap punggung istrinya. "Berapa kali?" tanya Sakti sambil tersenyum di balik punggung Gendis yang memeluknya. "Enggak tau," jawab Gendis yang masih menyembunyikan wajahnya di leher Sakti. "Ma

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-05
  • Jerat Casanova Insaf   108. Dia Nggak Sombong

    Wati masuk ke kamar Gendis diikuti Hanna dan Tari tak lama setelah Sakti berangkat kerja. Malam tadi Wati memang langsung mengabari besannya itu tentang kecurigaan terhadap Gendis yang baru pulang dari Milan lalu terlihat pucat dan muntah. "Loh, ada Mama," ujar Gendis kaget melihat kedatangan ibu mertuanya itu apalagi dalam keadaan dia masih meringkuk di atas tempat tidur. "Iya, Mama di kabari kalo kamu semalam pulang malah muntah-muntah," ujar Hanna duduk di sisi tempat tidur diikuti Tari yang malah naik ke atas tempat tidur kakak iparnya itu. "Mbak, tes deh kali aja jadi. Sebelum kalian ke Milan jangan-jangan itu dedek bayi udah ada lagi." Tari mengusap-usap kaki Gendis yang masih berbalut selimut. "Ini, semalam bapak belikan ini buat kamu," ujar Wati memberikan tiga tespack dengan bermacam bentuk. "Banyak amat, Bu." Gendis meraih alat itu lalu menyingkap selimutnya. "Biar afdol, biar yakin tambah yakin. Coba dulu sana, jangan lupa berdoa." Wati tersenyum pada anaknya itu. Ras

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-06
  • Jerat Casanova Insaf   109. Ngidam Yang Aneh

    Mobil Sakti berhenti di pekarangan rumahnya, masih ada mobil Satyo terparkir di sana. Setelah makan siang bersama tadi, Sakti dan Gendis memutuskan untuk memeriksa kandungan, menanyakan dengan pasti keberadaan anak mereka di dalam sana. "Akhirnya kalian pulang," ujar Hanna. "Gimana?" Semua orang berkumpul di ruang keluarga, menunggu hasil pemeriksaan. Maklum saja, ini adalah cucu pertama untuk kedua keluarga ini. Apalagi cucu ini lah nanti yang akan mewarisi sebagian harta Satyo Anggara. "Sini, Sayang." Sakti meraih tangan Gendis untuk duduk di sebelahnya, barulah dia memulai pembicaraan. "Dokter bilang, janinnya berusia tujuh minggu, sehat, berada di kantung rahim." "Syukurlah." Semua orang bernapas lega. "Jadi, memang benar anak Sakti sudah ada di dalam sini sebelum kami berangkat ke Milan." Sakti tersenyum pada Gendis. "Iya, syukurlah dia kuat," celetuk Hanna, Sakti dan Gendis pun tertawa. "Mbak nggak ada niatan buat ngidam yang aneh-aneh, gitu?" Tari melirik pada Sakti iseng

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-09
  • Jerat Casanova Insaf   110. Rujak Serut

    Usia kandungan Gendis berjalan empat bulan, selama empat bulan pula Gendis meminta Satyo menjemputnya bekerja yang herannya lelaki yang sebentar lagi menjadi kakek ini pun menyanggupinya. Entah, mungkin ini cara Satyo memperbaiki kesalahannya dulu pada Gendis dan Sakti. Belum lagi seringnya Satyo mengajak Hendro menikmati sore hari meski hanya sekedar menikmati secangkir kopi di teras depan rumah Sakti. "Papa sekarang banyak berubah," ujar Sakti pada Hanna sore itu kala Hanna dan Satyo berkunjung ke rumah mereka. "Biarkan saja, mungkin papa merasa bersalah dulu sudah menyakiti perasaan keluarga istri kamu," jawab Hanna memberikan potongan semangka pada Sakti. "Gendis dimana?" "Di kamar, Ma. Dari siang tadi lagi bad mood karena aku bilang dia semakin berisi." "Gendis itu semakin hari semakin ada aja tingkahnya, Mbak." Wati datang dari arah dapur membawa pisang goreng untuk para kakek di teras. "Mungkin bawaan bayi, Mbak. Selagi normal-normal aja, biarin lah ... saya dulu juga gitu

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-09

Bab terbaru

  • Jerat Casanova Insaf   Extra Part

    Taman samping rumah Sakti di sulap sedemikian rupa menjadi sebuah taman yang penuh dengan pernak pernik ulang tahun anak pertamanya yang sudah berusia lima tahun. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari sebelum acara di mulai. Sakti sedang berbincang dengan Andi sambil menggendong anak ketiga mereka yang berusia enam bulan, tertidur di dalam pelukannya setelah menangis karena menginginkan ibunya yang sibuk mengurusi snack yang akan dibagikan setelah acara selesai. "Kalo menurut lo klien kemarin sudah oke sama pengajuan proposal lo, ya gue pasti tanda tangan, tapi sebelumnya lo tanya Gendis dulu, gue takutnya masalah keuangan klien kita itu memang sedang nggak baik-baik aja." "Iya, hal ini memang Gendis lebih peka." Andi menggerakkan dagunya menunjuk Gendis yang melangkah ke arah mereka. "Rara mana?" tanya Gendis pada Sakti. Anak keduanya itu memang lebih suka bersembunyi, jarang sekali menampakkan dirinya hingga sering sekali membuat Gendis panik. "Kamu jalannya pelan-pelan aja, S

  • Jerat Casanova Insaf   117. Anugerah Itu Datang Kembali (TAMAT)

    Baru saja Gendis ingin memejamkan matanya, Abi kembali merengek ingin di gendong. Padahal baru 15 menit yang lalu bayi itu dia letakkan tidur di sampingnya. Dengan mata yang setengah mengantuk, Gendis kembali mengangkat putranya. Tepat pukul setengah 11 malam, Sakti masuk ke kamar mereka. Lelaki itu baru saja pulang dari kantor, sore tadi dia dan Satyo menghadiri perjamuan acara makan malam perusahaan klien mereka. "Hei," ucap Sakti pelan sambil mengusap-usap lengan Gendis yang sedang menimang Abi. "Kok belum tidur," ujar Sakti lagi kali ini dia memberikan kecupan di pipi Gendis. "Aku udah ngantuk banget, Abi juga tadi sudah tidur. Tapi, waktu aku rebahkan dia di tempat tidur baru aja mau tidur, Abi bangun lagi." Wajah lelah Gendis begitu kentara. "Aku mandi dulu ya, biar nanti aku yang jagain Abi, kamu tidur nggak apa-apa." Sebelum melangkah ke kamar mandi, lelaki yang masih mengenakan setelan jas itu tersenyum pada bayi yang baru saja berusia satu bulan itu. "Papa mandi dulu, n

  • Jerat Casanova Insaf   116. Porsi Bahagia

    Ketukan di pintu pagi itu membuat Gendis dan Sakti menoleh ke arah suara. Sahabat yang hampir satu tahun ini tidak menampakkan dirinya itu kembali datang bersama istri yg sedang hamil dan juga seorang anak di dalam pelukannya. "Wuih, selamat Sak ... akhirnya beneran insaf," ujar Teddy melangkah masuk ke dalam kamar rawat inap Gendis. "Astaga, memang sahabat nggak ada akhlak lo, ya. Udah macem jelangkung aja tiba-tiba dateng tiba-tiba hilang." Sakti merangkul erat lelaki bermata sipit itu. Gimana kabar?" "Baik lah ...." Mata Teddy mendelik melirik istrinya yang sedang hamil 4 bulan. "Kemana aja lo?" tanya Sakti. "Gue mau kasih selamat dulu dong sama istri lo. Selamat ya, Dis ... maaf nggak dateng saat kalian nikah, biasalah panggilan kerja, orang lapangan harus standby." "Selamat ya Gendis," ucap Siti wanita yang semakin terlihat cantik dengan perut yang sedikit membuncit. "Makasih Mbak, enggak apa-apa Mas Teddy ... kita ngerti kok kalo Mas Teddy sibuk." "Ini buat baby boy," uja

  • Jerat Casanova Insaf   115. Mahendra Abimanyu

    Tangis bayi mungil itu pecah memenuhi seisi ruangan, tangisan kencang yang terdengar itu nyaris membuat Sakti tak sanggup berdiri lama. Mengingat perjuangan Gendis mempertaruhkan nyawanya demi seorang bayi mungil, buah cinta mereka. Sakti mengusap air matanya, tak henti-hentinya dia mengecupi kening Gendis yang bahkan masih penuh dengan peluh. Wajah wanita yang sekarang berubah menjadi seorang ibu itu pun terlihat lelah namun sudut bibirnya berusaha mengembang saat bayi mungil mereka di serahkan padanya. "Coba belajar biar dia mencari puting ibunya ya," ujar dokter anak yang menangani bayi Gendis. Lagi-lagi Sakti meneteskan air matanya, rasanya jika kembali lagi ke masa lalunya dia bersumpah tidak akan segampang itu mempermainkan wanita. Melihat perjuangan Gendis mengejan hingga bisa melahirkan bayi sehat, Sakti merasa sangat-sangat bersalah sudah menyia-nyiakan masa mudanya dengan hal yang tak berguna. "Dia pintar," lirih Gendis melihat bayi kecilnya mendapat puting susunya. "Kaya

  • Jerat Casanova Insaf   114. Semua Panik

    Pagi itu Gendis sudah menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya, sore nanti rencananya mereka akan menjemput Wati dan Hendro dari Jogja. Perkiraan dokter dua minggu lagi Gendis sudah bisa melahirkan, oleh karena itu Wati memutuskan untuk menemani putrinya melewati hari yang di nantikan itu. "Bikin apa?" Sakti datang sambil memeluk istrinya dari belakang. "Nasi goreng buat kamu, kopi kamu udah di meja makan. Sebentar lagi nasi gorengnya selesai," ujar Gendis menoleh sedikit pada Sakti yang meletakkan dagunya di pundak sang istri. "Kita jemput bapak sama ibu jam berapa?" "Jam lima mereka sampai di stasiun, kita jangan terjebak macet ... kasian mereka kalo menunggu lama," ujar Gendis lalu memindahkan hasil masakannya ke sebuah mangkuk ukuran besar. "Ayo makan." Sakti membawakan masakan istrinya ke atas meja makan, Buk Sumi yang berada di sana menyelesaikan potongan buah lalu menyusul meletakkannya di meja makan. "Bik, ayo makan," ajak Gendis. Gendis tidak pernah membedakan wanita tua

  • Jerat Casanova Insaf   113. Kecemasan Sakti

    Wajah Sakti masih nampak cemas, dia dan Gendis baru saja keluar dari ruangan praktek dokter kandungan yang menangani Gendis selama hamil. "Aku minta maaf, ya." Lagi wajah Gendis mengiba, dia benar-benar merasa bersalah. Harusnya dia lebih berhati-hati lagi jika hendak melakukan sesuatu, apalagi ini pekerjaan di kantor. Sakti masih terdiam, ekspresi wajahnya begitu menyeramkan jika sedang marah. Tatapannya tajam ke depan sambil mendorong kursi roda yang membawa Gendis hingga ke lobby rumah sakit. "Sayang." Gendis menahan tangan Sakti. "Aku minta maaf," ujarnya sungguh-sungguh. "Aku nggak bakal ulangi lagi, aku pasti jaga anak kamu." "Taruh tangan kamu melingkar di sini." Sakti menepuk pundaknya memberi titah agar Gendis melingkarkan tangannya. Dengan satu kali gerakan, Sakti mengangkat Gendis dengan perut besarnya berjalan ke arah mobil yang sudah menunggu mereka. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya Pak Supri. "Langsung pulang saja," jawab Sakti dingin. Benar-benar Sakti marah a

  • Jerat Casanova Insaf   112. Arya dan Ami

    Ami mematut dirinya di depan cermin, satu per satu dia lepaskan aksesoris rambut yang berada di pucuk kepalanya. Setelah selesai Ami mulai membersihkan wajahnya, menghabiskan banyak kapas untuk membersihkan ukiran-ukiran Paes di dahinya. Arya membuka pintu kamar perlahan saat Ami akan melepaskan lilitan kain di tubuhnya. "Perlu bantuan aku?" tanya Arya dari balik tubuh Ami. Hembusan hangat menerpa pundak polosnya, tubuh wanita itu menegang. Sentuhan tangan Arya di lengannya membuat desiran darah itu seakan mengalir lebih cepat dari biasanya, bahkan denyut jantung itu berdebar kencang. Bukan kali pertama dua sejoli ini berada di satu kamar, namun baru kali ini mereka berada di satu kamar tapi untuk bersiap melakukan sesuatu yang lebih intim lagi. "Kainnya melilit hingga berlapis, Mas," ujar Ami. "Kamu diam aja, biar aku yang memutar kainnya," kata Arya, sebelumnya Arya melepaskan aksesoris yang melekat di tubuhnya dan meletakkannya di atas nakas. Lelaki yang akhirnya melabuhkan cin

  • Jerat Casanova Insaf   111. Nengokin Anak

    Gendis melangkah memasuki ballroom hotel malam itu berjalan bersisian dengan Sakti. Dia mengenakan gaun panjang dengan belahan samping hingga ke paha. Model dress dengan lengan balon dan leher berbentuk V hingga belahan dada yang sedikit terbuka itu membuat Gendis terlihat cantik, seksi dan elegan. Wanita berbadan dua itu melingkarkan tangannya pada lengan sang suami, perutnya yang sudah terlihat buncit membuat auranya semakin berbeda. "Aku nggak salah pilih punya istri kamu," bisik Sakti. "Kenapa?""Semua mata menatap kamu, Sayang. Cantik, elegan dan ...." Mata Sakti mengarah pada dada Gendis. "Seksi ... rasa ingin aku bawa naik lagi ke lantai tujuh, diem di kamar aja nggak usah kemana-mana." Sakti tertawa kecil. "Kebiasaan." Gendis menempelkan bibirnya pada pundak Sakti, tubuh lelaki itu berbalut setelan jas berwarna hitam. Acara pernikahan Ami dan Arya kental dengan budaya Jawa. Kedua mempelai berdiri di pelaminan dengan baju adat bak Raja dan Ratu Keraton. Senyum mengembang di w

  • Jerat Casanova Insaf   110. Rujak Serut

    Usia kandungan Gendis berjalan empat bulan, selama empat bulan pula Gendis meminta Satyo menjemputnya bekerja yang herannya lelaki yang sebentar lagi menjadi kakek ini pun menyanggupinya. Entah, mungkin ini cara Satyo memperbaiki kesalahannya dulu pada Gendis dan Sakti. Belum lagi seringnya Satyo mengajak Hendro menikmati sore hari meski hanya sekedar menikmati secangkir kopi di teras depan rumah Sakti. "Papa sekarang banyak berubah," ujar Sakti pada Hanna sore itu kala Hanna dan Satyo berkunjung ke rumah mereka. "Biarkan saja, mungkin papa merasa bersalah dulu sudah menyakiti perasaan keluarga istri kamu," jawab Hanna memberikan potongan semangka pada Sakti. "Gendis dimana?" "Di kamar, Ma. Dari siang tadi lagi bad mood karena aku bilang dia semakin berisi." "Gendis itu semakin hari semakin ada aja tingkahnya, Mbak." Wati datang dari arah dapur membawa pisang goreng untuk para kakek di teras. "Mungkin bawaan bayi, Mbak. Selagi normal-normal aja, biarin lah ... saya dulu juga gitu

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status