Enjoy reading đ
Gendis melenguh, suaranya begitu lirih, tubuhnya bergerak lembut bahkan dadanya membusung sambil dia pegangi kedua buah dadanya. Sakti mengerang, matanya terpejam menikmati setiap gerakan sang istri yang berada di atasnya. "Hhmm ... lebih cepat Sayang," lirih Sakti meremat kedua paha Gendis, menggerakkannya lebih cepat. Gendis mendesah, tangannya berada di pundak Sakti, mencengkeram erat saat buncahan itu datang untuk kedua kalinya bersamaan dengan Sakti mengerang dan mengeraskan rahangnya saat rasa itu terasa berdenyut. "Ugh," ucap Sakti. "Ya ampun." Napas Sakti terengah, sementara Gendis membenamkan wajahnya pada ceruk leher suaminya itu, menata debaran jantungnya, menetralisir desiran darah yang mengalir ke seluruh tubuhnya. Wanita itu v lemas terkulai di atas tubuh Sakti, Sakti mengusap-usap punggung istrinya. "Berapa kali?" tanya Sakti sambil tersenyum di balik punggung Gendis yang memeluknya. "Enggak tau," jawab Gendis yang masih menyembunyikan wajahnya di leher Sakti. "Ma
Wati masuk ke kamar Gendis diikuti Hanna dan Tari tak lama setelah Sakti berangkat kerja. Malam tadi Wati memang langsung mengabari besannya itu tentang kecurigaan terhadap Gendis yang baru pulang dari Milan lalu terlihat pucat dan muntah. "Loh, ada Mama," ujar Gendis kaget melihat kedatangan ibu mertuanya itu apalagi dalam keadaan dia masih meringkuk di atas tempat tidur. "Iya, Mama di kabari kalo kamu semalam pulang malah muntah-muntah," ujar Hanna duduk di sisi tempat tidur diikuti Tari yang malah naik ke atas tempat tidur kakak iparnya itu. "Mbak, tes deh kali aja jadi. Sebelum kalian ke Milan jangan-jangan itu dedek bayi udah ada lagi." Tari mengusap-usap kaki Gendis yang masih berbalut selimut. "Ini, semalam bapak belikan ini buat kamu," ujar Wati memberikan tiga tespack dengan bermacam bentuk. "Banyak amat, Bu." Gendis meraih alat itu lalu menyingkap selimutnya. "Biar afdol, biar yakin tambah yakin. Coba dulu sana, jangan lupa berdoa." Wati tersenyum pada anaknya itu. Ras
Mobil Sakti berhenti di pekarangan rumahnya, masih ada mobil Satyo terparkir di sana. Setelah makan siang bersama tadi, Sakti dan Gendis memutuskan untuk memeriksa kandungan, menanyakan dengan pasti keberadaan anak mereka di dalam sana. "Akhirnya kalian pulang," ujar Hanna. "Gimana?" Semua orang berkumpul di ruang keluarga, menunggu hasil pemeriksaan. Maklum saja, ini adalah cucu pertama untuk kedua keluarga ini. Apalagi cucu ini lah nanti yang akan mewarisi sebagian harta Satyo Anggara. "Sini, Sayang." Sakti meraih tangan Gendis untuk duduk di sebelahnya, barulah dia memulai pembicaraan. "Dokter bilang, janinnya berusia tujuh minggu, sehat, berada di kantung rahim." "Syukurlah." Semua orang bernapas lega. "Jadi, memang benar anak Sakti sudah ada di dalam sini sebelum kami berangkat ke Milan." Sakti tersenyum pada Gendis. "Iya, syukurlah dia kuat," celetuk Hanna, Sakti dan Gendis pun tertawa. "Mbak nggak ada niatan buat ngidam yang aneh-aneh, gitu?" Tari melirik pada Sakti iseng
Usia kandungan Gendis berjalan empat bulan, selama empat bulan pula Gendis meminta Satyo menjemputnya bekerja yang herannya lelaki yang sebentar lagi menjadi kakek ini pun menyanggupinya. Entah, mungkin ini cara Satyo memperbaiki kesalahannya dulu pada Gendis dan Sakti. Belum lagi seringnya Satyo mengajak Hendro menikmati sore hari meski hanya sekedar menikmati secangkir kopi di teras depan rumah Sakti. "Papa sekarang banyak berubah," ujar Sakti pada Hanna sore itu kala Hanna dan Satyo berkunjung ke rumah mereka. "Biarkan saja, mungkin papa merasa bersalah dulu sudah menyakiti perasaan keluarga istri kamu," jawab Hanna memberikan potongan semangka pada Sakti. "Gendis dimana?" "Di kamar, Ma. Dari siang tadi lagi bad mood karena aku bilang dia semakin berisi." "Gendis itu semakin hari semakin ada aja tingkahnya, Mbak." Wati datang dari arah dapur membawa pisang goreng untuk para kakek di teras. "Mungkin bawaan bayi, Mbak. Selagi normal-normal aja, biarin lah ... saya dulu juga gitu
Gendis melangkah memasuki ballroom hotel malam itu berjalan bersisian dengan Sakti. Dia mengenakan gaun panjang dengan belahan samping hingga ke paha. Model dress dengan lengan balon dan leher berbentuk V hingga belahan dada yang sedikit terbuka itu membuat Gendis terlihat cantik, seksi dan elegan. Wanita berbadan dua itu melingkarkan tangannya pada lengan sang suami, perutnya yang sudah terlihat buncit membuat auranya semakin berbeda. "Aku nggak salah pilih punya istri kamu," bisik Sakti. "Kenapa?""Semua mata menatap kamu, Sayang. Cantik, elegan dan ...." Mata Sakti mengarah pada dada Gendis. "Seksi ... rasa ingin aku bawa naik lagi ke lantai tujuh, diem di kamar aja nggak usah kemana-mana." Sakti tertawa kecil. "Kebiasaan." Gendis menempelkan bibirnya pada pundak Sakti, tubuh lelaki itu berbalut setelan jas berwarna hitam. Acara pernikahan Ami dan Arya kental dengan budaya Jawa. Kedua mempelai berdiri di pelaminan dengan baju adat bak Raja dan Ratu Keraton. Senyum mengembang di w
Ami mematut dirinya di depan cermin, satu per satu dia lepaskan aksesoris rambut yang berada di pucuk kepalanya. Setelah selesai Ami mulai membersihkan wajahnya, menghabiskan banyak kapas untuk membersihkan ukiran-ukiran Paes di dahinya. Arya membuka pintu kamar perlahan saat Ami akan melepaskan lilitan kain di tubuhnya. "Perlu bantuan aku?" tanya Arya dari balik tubuh Ami. Hembusan hangat menerpa pundak polosnya, tubuh wanita itu menegang. Sentuhan tangan Arya di lengannya membuat desiran darah itu seakan mengalir lebih cepat dari biasanya, bahkan denyut jantung itu berdebar kencang. Bukan kali pertama dua sejoli ini berada di satu kamar, namun baru kali ini mereka berada di satu kamar tapi untuk bersiap melakukan sesuatu yang lebih intim lagi. "Kainnya melilit hingga berlapis, Mas," ujar Ami. "Kamu diam aja, biar aku yang memutar kainnya," kata Arya, sebelumnya Arya melepaskan aksesoris yang melekat di tubuhnya dan meletakkannya di atas nakas. Lelaki yang akhirnya melabuhkan cin
Wajah Sakti masih nampak cemas, dia dan Gendis baru saja keluar dari ruangan praktek dokter kandungan yang menangani Gendis selama hamil. "Aku minta maaf, ya." Lagi wajah Gendis mengiba, dia benar-benar merasa bersalah. Harusnya dia lebih berhati-hati lagi jika hendak melakukan sesuatu, apalagi ini pekerjaan di kantor. Sakti masih terdiam, ekspresi wajahnya begitu menyeramkan jika sedang marah. Tatapannya tajam ke depan sambil mendorong kursi roda yang membawa Gendis hingga ke lobby rumah sakit. "Sayang." Gendis menahan tangan Sakti. "Aku minta maaf," ujarnya sungguh-sungguh. "Aku nggak bakal ulangi lagi, aku pasti jaga anak kamu." "Taruh tangan kamu melingkar di sini." Sakti menepuk pundaknya memberi titah agar Gendis melingkarkan tangannya. Dengan satu kali gerakan, Sakti mengangkat Gendis dengan perut besarnya berjalan ke arah mobil yang sudah menunggu mereka. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya Pak Supri. "Langsung pulang saja," jawab Sakti dingin. Benar-benar Sakti marah a
Pagi itu Gendis sudah menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya, sore nanti rencananya mereka akan menjemput Wati dan Hendro dari Jogja. Perkiraan dokter dua minggu lagi Gendis sudah bisa melahirkan, oleh karena itu Wati memutuskan untuk menemani putrinya melewati hari yang di nantikan itu. "Bikin apa?" Sakti datang sambil memeluk istrinya dari belakang. "Nasi goreng buat kamu, kopi kamu udah di meja makan. Sebentar lagi nasi gorengnya selesai," ujar Gendis menoleh sedikit pada Sakti yang meletakkan dagunya di pundak sang istri. "Kita jemput bapak sama ibu jam berapa?" "Jam lima mereka sampai di stasiun, kita jangan terjebak macet ... kasian mereka kalo menunggu lama," ujar Gendis lalu memindahkan hasil masakannya ke sebuah mangkuk ukuran besar. "Ayo makan." Sakti membawakan masakan istrinya ke atas meja makan, Buk Sumi yang berada di sana menyelesaikan potongan buah lalu menyusul meletakkannya di meja makan. "Bik, ayo makan," ajak Gendis. Gendis tidak pernah membedakan wanita tua