Enjoy reading 😘
Sakti dan Satyo sedang berbincang di taman samping rumahnya setelah makan malam bersama Gendis, Hanna dan Tari. Obrolan malam itu mengenai undangan Satyo untuk mendatangkan keluarga Gendis ke Jakarta. "Kabari keluarganya, minta datang kemari. Papa nggak mau terlalu lama kalian berpacaran. Nanti malah yang pengennya kamu," ujar Satyo melirik sinis pada Sakti. "Jus nya, Pa." Gendis datang membawa dua gelas berisi jus strawberry yang di minta oleh Satyo tadi. "Makasih," jawab Satyo. "Sayang, kita harus kabari ibu sama bapak untuk datang ke Jakarta. Papa minta kita segera menikah," ujar Sakti tersenyum bahagia. "Secepatnya?" "Iya, kenapa? jangan bilang kalian mau memundurkan jadwalnya." Satyo meletakkan gelas jus ke atas meja di sampingnya. "Oh nggak, Pa. Bukan begitu," kata Gendis kelabakan. "Maksudnya, nanti Gendis minta bapak sama ibu datang." Tangan gadis itu begitu dingin, berbicara dengan Satyo di rumah dengan di kantor menurutnya lebih membuat jantung berdebar jika berbicara
Gendis menarik koper besar milik Wati dari teras hingga masuk ke dalam kamar tamu. Kamar itu sudah dirapikan Bik Sumi dari jauh-jauh hari. "Ibu sama bapak nanti tidurnya di sini, Gendis di atas." Gendis meletakkan koper dekat dengan lerai pakaian. "Kamar mandinya ada di sini," ujar Gendis lagi membuka pintu kamar mandi. "Jadi kamu tinggal di rumahnya Nak Sakti, Dis?" Wati duduk di sisi tempat tidur. "Enggak seperti yang ibu pikirkan. Sakti tinggal di apartemen, kadang kita lebih sering di rumah keluarga Anggara. Jangan mikir yang macem-macem ah." Gendis tersenyum. "Bapakmu itu kalo sudah ketemu Sakti ada aja yang di bahas." Wati memperhatikan Gendis dengan seksama, matanya turun pada lingkaran leher Gendis dengan seuntai kalung yang menghias lehernya. "Oh iya, ini dari Mama Hanna. Dia kasih ke Gendis, Bu. Katanya dengan kalung ini, itu artinya Gendis sudah di terima di keluarga mereka." "Cantik sekali, Dis. Ibu malah nggak ada kasih apa-apa ke kamu," ujar Wati dengan ekspresi waj
Gendis mematut dirinya di depan kaca besar di dalam kamarnya. Tubuhnya kini berbalut kain berwarna hijau dipadukan dengan roncean melati sebagai slayer penutup bagian bahu. Gadis itu sudah menunggu kurang lebih setengah jam dan akhirnya di jemput oleh sang Ibu untuk turun ke bawah melakukan prosesi siraman adat Jawa. Acara adat itu begitu khidmat, padahal dalam bayangan Gendis pernikahannya akan berlangsung sederhana namun Satyo menolak permintaan calon menantunya itu. "Relasi Papa ini banyak, belum lagi relasi Sakti dan keluarga besar Anggara, enggak mungkin kalo kita rayakan hanya secara sederhana," ujar Satyo pada Gendis kala itu dan diiyakan oleh Hendro. "Lagi pula Dis, keluarga di kampung juga pengen liat kamu nikah. Pakde itu kan saudara Bapak satu-satunya, walau bagaimanapun kita tetap harus mengundang dia dan keluarganya kemari apalagi keluarga ibumu itu," ujar Hendro. "Mama juga sudah ada pembicaraan dengan pihak wedding organizer nya, Dis. Untuk semua acara dilakukan di d
Mbok Sari muncul dari balik pintu, sosok gagah itu tersenyum padanya. Bukannya bertanya dimana orang yang dia cari, namun mata Arya mengamati Mbok Sari yang terdiam terpaku. Ini sudah kesekian kalinya seperti ini semenjak tiga minggu belakangan Arya sering menampakkan diri kediaman Hartono, rumah Ami. "Mbok, Ami ne wonten?" (Mbok, Ami nya ada?) tanya Arya pada wanita tua itu. "Eh, mbak Ami dereng kondur, siweg nganter bapak teng rumah sakit," (Eh, Mbak Ami belum pulang, dia mengantar bapak ke rumah sakit.) jawab Mbok Sari. "Nopo mbak Ami mboten maringi kabar kalian mas Arya?" (Memangnya Mbak Ami tidak memberi kabar pada Mas Arya?) Arya menggeleng. "Sakit? Ayah sakit?" Sakit apa?" "Mboten sakit, namung cek up mawon. Monggo mas Arya, mbok damelke teh, rumiyin kalian ngentosi Mbak Ami." (Tidak sakit, hanya cek up saja. Silahkan masuk Mas Arya, Mbok bikinin teh dulu, sambil menunggu Mbak Ami.) Arya masuk ke dalam rumah, duduk di sofa ruang tamu itu sambil menggulir layar gawainya. Be
Sakti menunggu kedatangan Gendis di ujung karpet bertabur bunga-bunga indah yang berhadapan dengan meja altar pernikahan mereka. Dengan memakai setelan jas berwarna hitam, Sakti berdiri dengan gagahnya menanti pujaan hati. Semua mata menatap Gendis saat masuk ke dalam ruangan itu, menggunakan gaun pengantin berwarna putih yang begitu sederhana namun tampak elegan Gendis melemparkan senyuman pada para tamu yang hadir. Semakin langkahnya mendekat kepada Sakti, semakin tak beraturan detak jantungnya. Sakti mengulurkan tangannya menyambut kedatangan Gendis. Gendis menarik sudut bibirnya, tersenyum tipis pada calon suaminya itu. "You're so beautiful," bisik Sakti saat tubuh Gendis mendekat. "Makasih," jawab Gendis nyaris tak bersuara namun wajahnya merah merona. Suara Sakti menggema di udara kala mengucapkan janji suci pernikahannya. Suasana haru mewarnai sore itu, tetesan air mata Hanna yang tak kuasa melihat anak lelaki satu-satunya itu akhirnya mengakhiri masa lajang yang dulu sempa
Alunan musik mengalun syahdu, para tamu undangan semakin malam semakin berkurang. Keluarga besar Anggara dan Hendro Warsito duduk bersama menikmati malam panjang pernikahan anak mereka. Gendis pun ikut bersenda gurau di sana, tidak terkecuali Arya, Ami, dan Andi yang sudah di anggap sebagai keluarga. Sakti duduk di kejauhan, memandangi orang-orang yang di cintai sedang berkumpul. Kehidupan seperti ini tadinya tidak pernah dia sangka-sangka. Takdir memang selalu menyimpan misteri, entah berakhir bahagia atau sebaliknya. Gendis melangkahkan kakinya menuju lelaki yang sudah menanggalkan jas-nya di kursi sebelah. Gendis tersenyum, wanita itu begitu anggun malam ini. "Mau dansa?" tanya Gendis mengulurkan tangannya pada Sakti. "Dengan senang hati," ujar Sakti lalu berdiri merengkuh pinggang mungil istrinya. Denting piano lagu A Thousand Year, Christina Perri mengalun lembut mengiringi langkah mereka. Gendis meletakkan kepalanya di dada Sakti, degub jantung Sakti begitu tenang, begitu ny
Gendis buru-buru membuka pintu rumahnya saat mobil Sakti memasuki pekarangan rumah mereka. Hari ini tepat satu minggu pernikahan mereka, dan hari ini Sakti pulang dari Bandung menemani Satyo melakukan perjalanan bisnis. Gendis berdiri di ambang pintu dengan senyuman, menunggu suaminya yang tiga hari tidak pulang setelah hari pernikahan mereka. "Kok belum tidur?" Sakti membelai lembut kepala Gendis dan menciumnya. "Nunggu kamu," ujar Gendis. "Aku bawain kamu sesuatu, tapi biar nanti Bik Sumi aja yang ambilin." "Bik Sumi udah tidur, biar besok pagi aja." Gendis bergelayutan manja di lengan Sakti, rindunya sudah menggebu. "Kamu mau mandi sekarang apa nanti? Apa mau makan dulu?" tanya Gendis sebelum mereka menaiki anak tangga menuju kamar. "Aku udah kenyang, tadi sebelum ke rumah ... Papa ngajakin makan," ujar Sakti. Nampak wajah lelah tersirat di sana. "Capek ya?" "Banget, Papa pake nggak mau di supirin supir segala jadi kemana-mana aku jadi supirnya." Sakti membuka pintu kamar,
Sakti dan Gendis bergandengan tangan berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Baru beberapa jam yang lalu Sakti tiba dari Bandung dan melepaskan rindunya pada sang istri yang tiga hari dia tinggal untuk keperluan bisnis. Dan tiba-tiba saja mendapatkan telepon dari Tari menjelang fajar tadi mengatakan Hanna kolaps dan terjatuh saat menuruni tangga untuk mengambil minum. "Mas," lirih Tari. Satyo menoleh saat Tari menyebutkan nama Sakti. "Sakti," ujar Satyo. "Mama kenapa, Pa?" Gendis memeluk Tari yang masih terisak, karena saat itu dia yang menemukan Hanna sudah tergeletak di anak tangga terakhir. "Tari menemukan mama pingsan subuh tadi. Papa sendiri nggak tau kenapa mama bangun sepagi itu." "Beberapa hari ini mama memang kurang fit, Mas. Aku ajakin ke dokter, mama nggak pernah mau. Aku takut mama kenapa-kenapa," ujar Tari. "Apa kata dokter?" tanya Sakti khawatir. "Belum keluar dari ruangan, Papa harap mama baik-baik saja," ujar lelaki itu dengan wajah sedih. "Mama pasti ba