Lanjut lagi nanti, ya! Terima kasih banyak yang sudah bersabarrrrrr menunggu kelanjutannya, hehehe! Sayang kalian banyak2! 😘😘😘
Alisha berjalan mendekati mereka dengan membawa baki yang berisi dua cangkir teh dan makanan ringan, dia tersenyum penuh makna melihat ke arah kakaknya sambil mengerlingkan sebelah mata. Elvan merasa sangat lega karena dukungan Alisha untuknya kali ini. Namun, ekspresi Lukman terkejut dengan ucapan Alisha barusan, dia terlihat mengerutkan keningnya, mencoba menebak maksud Alisha. Mengerti dengan tatapan itu, Alisha berkata dengan senyum lebar kepada Lukman, “Ayah, jangan khawatir, kalau kakakku ini berani macam-macam sama Kak Diva, aku yang akan memukulnya dan menyuruhnya segera sadar kalau dunianya cuma penuh dengan Kak Diva saja.” Alisha berkata dengan tenang dan meletakkan barang bawaannya ke atas meja. Lukman lalu menganggukkan kepalanya dan tersenyum singkat dan melihst ke arah Elvan. “Om, Saya sudah mengenalkan Diva dengan keluarga saya, mereka tidak ada yang menentang hubungan kami, dan ….” Elvan menggantung kalimatnya, lalu senyuman terukir di wajahnya saat ini, kare
Setelah mengantar Lukman dari luar Elvan masih senyum-senyum sendiri dengan apa yang barusan dia alami hal ini membuat Alisha mendatanginya dengan sedikit menggoda kakaknya. “Ciyeeee … gimana rasanya cerita banyak sama camer, Kak?” Mendengar hal itu Elvan tersadar. “Apaan sih kamu?! Sudah sana pulang, kakak mau kerja! Lagian kamu ngomongin kakak sendiri raja iblis dari neraka?!" Elvan berkata dengan pandangan tajam ke arah Alisha, tetapi dia pura-pura tak mendengar dan mengabaikan Elvan. "Tidak ada sopan-sopannya sama sekali!” Elvan berkata dengan menggerutu, tetapi hal itu benar-benar membuat Alisha bahagia. Bagi Alisha tidak masalah dia dimarahi Elvan, yang penting kakaknya itu sudah jauh sedikit lebih normal dengan mengeluarkan banyak kata padanya. Tidak hanya hemat dan sedikit-sedikit saja. "Terserah tapi aku suka dengan Kak Elvan yang sekarang!" Alisha berkata dengan nada riang. “Eh, Kak! Kakak senyum-senyum seperti barusan kayaknya tuh seneng banget, sampe kakak lupa sesuat
Setelah dua hari belakangan sibuk dengan mengatur strategi dan rencana sampai matanya merah karena tidak tidur dan cekungan matanya menghitam, pagi ini Diva sudah siap dengan rencananya untuk mengirim pesan pada Elvan. Karena protes keras Prisya yang tidak mau menjadi kurir bunga dadakan yang menurutnya sangat absurd dan terlalu mengada-ada, akhirnya Diva tahu cara yang lebih akurat. “Diva, pagi ini sudah rapi sekali, mau kemana?” tanya Indah dengan kening mengkerut melihat ke arahnya karena Diva menggunakan setelan blazer warna nude dengan sangat rapi, padahal sebelumnya Diva sudah menunjukkan kebesaran hati untuk menuruti kemauan orang tuanya. “Mau ke Tekno In Tower lah, Bu,” jawabnya dengan santai. Ucapan Diva ini sontak membuat Lukman yang sedang meraih gelasnya untuk minum menghentikan gerakannya. “Ngapain lagi ke sana? Bukannya sudah ayah katakan kalau–” “Diva ini orang yang bertanggung jawab, Yah! Ayah sendiri yang mengajarkannya, jadi Diva harus mengembalikan barang-baran
Ucapan Lukman jelas membuat Diva sangat terkejut dan langsung melihat ke arah Prisya, adiknya pun sama, dia tidak bisa menyamarkan wajah terkejutnya itu. “Pris, sepertinya kamu juga sudah siap pergi, ya?” Lukman berkata pada Prisya yang masih diam menatap Diva. “I-iya, Yah.” Prisya menjawab terbata. “Kalau begitu sarapan saja dulu, habiskan sarapannya. Ayah pergi dulu, sudah ditunggu teman-teman ayah untuk memancing hari ini.” Lukman beranjak dari tempatnya dan berjalan keluar. “Bukannya jadwal memancingnya kemarin?” Prisya bergumam ringan, matanya masih menatap ke arah Diva. “Iya, kemarin ayah masih banyak urusan, makanya ditunda.” Lukman menjawab gumaman Prisya, dan itu membuat Diva melihat ke arah Ayahnya yang jaraknya tidak jauh darinya. “Div, pulang jangan terlalu malam dan hati-hati. Selamat bersenang-senang!” Lukman mengelus pucuk kepala Diva dengan lembut saat melewatinya, membuat sensasi debaran yang cukup kencang pada jantungnya. Setelah Lukman dan Indah tidak a
Diva berusaha menetralkan suasana hatinya, ucapan Winda yang memancing ini, dia pasti sedang melakukan sesuatu, pikir Diva, jadi dia berusaha untuk tetap tenang. Memang, setelah Elvan tidak bisa dihubungi, Diva juga mendapati dirinya ikut dikeluarkan dari obrolan grup kantor, lalu sore harinya, dia juga dikeluarkan dari obrolan grup kantor lainnya yang salah satu adminnya adalah Winda. 'Tenang Diva, wanita ini hanya memancing, lagipula kelihatannya dia adalah temannya Marissa.' Diva berkata dalam hati. “Sudahlah, aku malas berdebat denganmu, lagipula bicara dengan orang yang berpikiran jahat sepertimu bisa-bisa membuat hariku jadi penuh energi negatif.” Diva membalas ucapan Winda dengan santai lalu berbalik badan dan meninggalkan wanita itu sendiri. Setelah keluar dari ruangan itu, Diva mencoba menjaga napasnya agar teratur, di dalam lift menuju lantai HRD, dia menghubungi Miko, sayangnya panggilannya itu juga tidak dijawab oleh Miko. “Orang-orang saat genting begini pada keman
Sebenarnya bisa saja Diva langsung menghampiri mereka, tetapi dia harus tahu dulu situasinya.Dari kejauhan, terlihat Miko menyerahkan ponselnya pada Elvan, Diva mengawasi dengan seksama, awalnya pria itu tidak mau menerimanya, membuat Diva mengepalkan tangannya dan sangat kesal, hal itu membuat suasana di sekitar Diva menjadi dingin. Lalu, dia melihat Miko bicara sesuatu yang tidak terdengar jelas di ponselnya dan akhirnya Elvan menerima panggilan itu.“Ada apa Div?” Ucapan Elvan ini membuat Diva menjadi makin kesal, pria itu berkata seolah tidak ada masalah besar diantara mereka, nadanya terdengar datar dan tanpa beban. Namun, dalam sekejap Diva terdiam, semua kalimat yang dirangkainya untuk dia bicarakan pada Elvan tiba-tiba menguap begitu saja tatkala Elvan melepas kacamata hitamnya dan mengedar pandang ke sekitar.Tindakan Elvan barusan menjadikannya rekaman gerak lambat di kepala Diva yang membuat pria itu terlihat sangat mempesona di mata Diva, pergerakan singkat itu terasa sang
“Sayang, teleponnya aku matikan, aku masih ada urusan yang sedikit mendesak.” Suara Elvan menyadarkan Diva dari perasaan berbunga-bunganya.“I-iya,” jawab Diva sedikit terbata karena gugup.“Ehm, tapi sebelumnya, apa kamu tidak mau membalas ciumanku barusan?” Elvan secara terang-terangan menggoda Diva, membuat wanita itu menjadi salah tingkah.“Kamu … bicara apa sih?” Diva berkata dengan tersenyum malu-malu.“Ah, apa kamu tidak merindukan suamimu dari masa depan ini, hehm?” Elvan kembali berkata dengan suara yang terdengar sangat menghipnotisnya.“Sudah, tadi katanya kamu ada urusan mendesak, ya sudah urus saja itu dulu.” Diva berkata dengan suara manjanya, sebagai bentuk isyarat dia masih belum mau menuntaskan panggilan ini.Terdengar suara Elvan terkekeh di ujung sana. “Kamu ketawain apa sih?” Suasana hati Diva kembali menjadi kesal.“Setelah bicara padamu seperti sekarang, ternyata urusanku bisa dinomor duakan, hanya kamu yang nomor satu!” Kembali wajah Diva merona merah, Elvan bena
Melihat Diva yang tiba-tiba seperti itu, Prisya tidak perlu susah untuk menebak dengan siapa saat ini dia bicara. Gaya bicara yang sedikit menggelikan dan juga kadang menjijikkan, membuat Prisya beberapa kali memperlihatkan wajah mualnya di depan Diva yang tidak peduli kalau saat ini sedang bersama Prisya. Terkadang Diva sengaja menjulurkan lidahnya, mengejek Prisya saat dirinya berkata hal-hal yang romantis, membuat Prisya makin keki melihatnya. Setelah mengucapkan kata I love you itu, Diva tersenyum puas melihat ponselnya, seolah baru menemukan barang pusaka keramat yang tidak boleh disentuh oleh orang lain. “Kak!” tegur Prisya sambil menggoyangkan lengannya, membuatnya tersadar akan lamunannya tentang hubungannya dengan Elvan. Kali ini dia merasakan kelegaan yang luar biasa setelah bicara cukup panjang. “Eh, lupa ada kamu.” Diva berkata tanpa beban. “Ih, pura-pura lupa, tadi juga ngejekin mulu. Dasar menyebalkan!” gerutu Prisya. Diva hanya tersenyum puas melihatnya. “Jadi, s