Hehm... apa yang akan terjadi selanjutnya? Mulai deg deg-an ini...!
Diva yang baru saja masuk ke dalam lift terkejut mendapat pesan dari Prisya. Dia menghela napas dengan sedikit berat.“Ayah pasti akan bertanya hal ini cepat atau lambat.” Diva bergumam sendiri di dalam lift.“Aku harus bicara dengan Elvan kalau dia setidaknya harus tahan dulu untuk menemui orang tuaku. Bisa bahaya kalau terjadi salah sangka antara ayah dan Elvan.” Diva kembali bicara pada dirinya sendiri.Baru saja Diva ingin membalas pesan Prisya, lift sudah berbunyi dan menandakan dia sudah sampai di lantai ruangan Elvan berada. Diva mengurungkan niatnya untuk bertanya, pada Prisya, setidaknya dia harus meyakinkan Elvan agar dia jangan dulu datang ke rumahnya.“Bu Diva,” sapa salah satu karyawan dengan menundukkan kepalanya sedikit hormat pada Diva saat dia keluar dari lift. Diva sedikit terkejut dengan perlakuan barusan. Dia membalasnya dengan hal yang sama dan tersenyum dengan ramah lalu berjalan cepat ke ruangan Elvan.'Ah, ternyata berita cepat sekali menyebar!' Diva berkata dal
Diva menunduk, dia bingung bagaimana untuk menyampaikannya agar Elvan tidak salah paham dengan sikapnya kali ini. Dia jelas menginginkan Elvan dan ingin hubungan mereka melangkah lebih jauh lagi, tapi jika dia membawa Elvan langsung bertemu kedua orang tuanya malam ini seperti yang dia katakan sebelumnya, maka kemungkinan besar kedua orang tuanya tidak akan memberikan kesempatan dia untuk dekat dengan pria ini lagi.Tangan Diva mencengkram cukup kuat di atas pahanya membuatnya jari-jarinya nyaris kebas. Elvan melihatnya pergerakan itu lalu menarik sebelah bibirnya ke atas penuh misteri.“Apa aku memang tidak bisa masuk kriteria untuk pria yang bisa mendampingimu, Div?” Elvan berkata dengan datar membuat sesuatu terasa memukul hati Diva.Diva sadar Elvan saat ini sudah sangat banyak berkorban untuk dirinya. Tidak hanya materi tetapi juga tentang perasaannya secara pribadi. Elvan yang sejak awal ingin memberitahu semua orang tentang hubungan mereka, Elvan yang selalu ada saat dirinya mem
Mata Diva membola dengan ucapan yang baru saja keluar dari mulut Elvan, padahal dia sudah menebak apa yang akan dilakukan oleh Elvan. Apa tebakannya kali ini meleset? Elvan tidak marah padanya? “Hei, kenapa kamu diam?” Elvan berkata dengan santai sambil tangannya membuka bungkus coklat lalu menyuapkannya ke mulut Diva. “Makan dulu, biar otakmu tidak tegang.” Lagi-lagi Elvan memberikan sebuah jawaban yang menurut Diva sangat tidak disangka-sangka. “A-apa kamu yakin dengan apa yang baru saja kamu katakan itu?” tanya Diva sekali lagi, dia berharap ini bukan khayalannya saja. “Menurutmu?” “Apa ini bukan mimpi?” Diva masih berkata dengan tidak percaya. Elvan lalu menggeleng cepat, detik berikutnya Diva merasakan bibir Elvan yang menempel pada bibirnya, seperti marshmallow yang membuat candu! Barang sesaat Diva terkejut, kemudian Elvan memperdalamnya, membuat Diva akhirnya memejamkan matanya menikmati lumatan itu, semakin lama makin intens dan Diva benar-benar terbuai dan terbawa alur
Diva terkejut dengan ucapan Elvan barusan, ada rasa tidak percaya yang hinggap dalam hatinya membuat sinyal di wajahnya mengerut. “Kamu tidak percaya denganku?” Pertanyaan Elvan ini membuat Diva mengangguk cepat. “Tapi aku benar-benar jujur padamu, Div.” “Baiklah, aku percaya padamu, lalu apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Diva penasaran. Elvan mengangguk. “Kenapa kamu memberikan ciuman pertamamu pada orang asing?” pertanyaan Diva membuat senyum di wajah Elvan. “Demi apapun, lebih baik aku mencium orang asing daripada harus dijodohkan oleh keluargaku.” Elvan menjawab jujur. Diva makin memperdalam kerutan di keningnya. “Kalau saat itu bukan aku yang kamu bawa ke acara keluargamu itu, apa orang itu yang akan mendapatkan ciuman pertama seorang Elvan Sabil?” Elvan diam sejenak lalu menatap ke arah Diva. “Apa aku harus menjawabnya? Aku tidak mau berandai-andai hal yang tidak pernah terjadi di belakang, karena itu akan membuat penyesalan. Kuanggap pertemuan kita adalah takdir. Ta
Elvan mendapatkan pesan dari kuasa hukumnya terkait masalah Anggala. Sekarang pria itu sedang dalam proses pemeriksaan kasus pelecehan yang mereka laporkan, sepertinya kali ini Anggala tidak akan lepas dengan mudah, ditambah lagi kasus sebelumnya terkait pengedaran obat terlarang. Tidak berselang lama setelah menerima laporan itu, nampak di layar ponsel Elvan, Fredy menghubunginya.“El, apa kamu sudah cukup puas dengan permainanmu ini?” tanya Fredy dengan suara yang didengar Elvan seperti menghakimi.Elvan diam, dia sebenarnya malas untuk menanggapinya.“Apa kamu mendengarkanku, El?” Fredy berkata dengan sedikit jengkel.“Sebenarnya aku malas untuk menerima teleponmu ini, tapi … aku masih berusaha untuk menghargaimu.” Elvan menjawab dingin.“El, mari kita bertemu, aku ingin bicara denganmu tentang Anggala.” Fredy berkata dengan sedikit menekan.“Aku masih banyak urusan, Fred.” Elvan mengelak.“Aku sudah ada di lobi bawah.” Fredy berkata dengan nyaris terdengar putus asa, berbanding te
Elvan kembali ke ruangannya dengan tetap tenang tanpa memperlihatkan kekesalannya pada orang-orang yang dia jumpai. Lalu kemudian dia menghubungi Prisya dengan cepat.Tidak menunggu lama, Prisya langsung menerima panggilan itu.“Prisya, apa Dokter Reynand sudah menghubungimu tentang kondisi Ratri?” tanya Elvan langsung.“Ya, tentu saja kakak ipar! Dia juga mengatakan kalau ada cara yang bisa membuat Kak Ratri agar lebih cepat pulih kembali.” Prisya bercerita tanpa beban.“Ya aku juga sudah tahu tentang hal ini, tadi dia datang ke kantorku untuk memberikan laporan itu juga. Menurutmu apa ayah dan ibumu setuju kalau misalnya Anggala bertemu dengan Ratri?” tanya Elvan.“Itu … aku tidak bisa menebaknya untuk saat ini. Tapi, kemungkinan besar ayah dan ibu tidak akan setuju. Kalaupun mereka meminta pendapatku, aku adalah orang pertama yang tidak menyetujuinya …,” “... Menurutku daripada bertemu dengan pria brengsek itu mending pakai pengobatan lain saja. Karena kita tidak tahu apa yang akan
Diva sengaja belum keluar dari ruang kerjanya, padahal jam sudah menunjukkan pukul lima lebih. Tersisa Deska, Farel dan juga Miko. Wanita ini sengaja menunggu Elvan menghubunginya, sekaligus otaknya sedang menerka-nerka apa yang akan ditanyakan oleh kedua orang tuanya nanti.“Div, belum pulang?” tanya Farel dari kejauhan.Diva hanya menggeleng.“Ah, nungguin Pak Bos, ya? Lagian, kenapa gak tunggu di ruangannya aja kalo udah selesai?” Pertanyaan Farel ini hanya membuat Diva tersenyum simpul, tetapi saat mata Diva melihat ke arah Miko, pria itu menatapnya tajam, segera Diva mengalihkan pandangannya.“Duluan ya semuanya!” Farel kemudian kembali berkata sambil menenteng tas punggungnya.Lalu, Diva mengubah pandang ke arah Deska yang sepertinya juga akan beres-beres untuk pulang, dengan cepat Diva ikut membereskan semua barangnya dan mengangkat tasnya.“Pak Miko, Bu Deska, saya duluan ya!” pamit Diva pada kedua atasannya dan segera berjalan ke luar.Sebenarnya tidak enak langsung menuju rua
Di dalam mobil Elvan yang mengantarkan Diva kembali pulang ke rumah, otak Diva penuh dengan bayangan Elvan yang benar-benar serius dengan kata-katanya. Bukan hanya sekali atau dua kali pria itu menegaskan hal ini padanya, tapi sudah sering dan Diva selama itu tidak terlalu menganggapnya nyata.Kali ini Pria itu kembali mengatakannya, dan sebentar lagi dirinya juga jelas akan dipanggil oleh kedua orang tuanya untuk bicara. Setidaknya, dia harus memperjuangkan hubungannya dengan pria itu. Walaupun dalam hati kecilnya dia masih ragu dengan kepercayaan kedua orang tuanya pada dirinya.‘Aku berharap kali ini ayah bisa kembali percaya padaku,’ ucap Diva dalam hatinya.Bukan tanpa alasan dia mengkhawatirkan hal ini, sebelumnya dia juga membawa Nico ke rumah dengan sangat mati-matian mempertahankan pria itu. Sampai dirinya merajuk pada kedua orang tuanya dan berujung tidak keluar dari kamar selama beberapa hari.Diva kembali mengembuskan napas berat. Jika dulu saja dia bisa membuat kedua orang
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk