Hehm ... Bola panasnya ada di Diva dong ya! Ayo dong, kasih semangat sama si Diva biar bisa ngomong sama ortunya nih! 😂😂😂
Mata Diva membola dengan ucapan yang baru saja keluar dari mulut Elvan, padahal dia sudah menebak apa yang akan dilakukan oleh Elvan. Apa tebakannya kali ini meleset? Elvan tidak marah padanya? “Hei, kenapa kamu diam?” Elvan berkata dengan santai sambil tangannya membuka bungkus coklat lalu menyuapkannya ke mulut Diva. “Makan dulu, biar otakmu tidak tegang.” Lagi-lagi Elvan memberikan sebuah jawaban yang menurut Diva sangat tidak disangka-sangka. “A-apa kamu yakin dengan apa yang baru saja kamu katakan itu?” tanya Diva sekali lagi, dia berharap ini bukan khayalannya saja. “Menurutmu?” “Apa ini bukan mimpi?” Diva masih berkata dengan tidak percaya. Elvan lalu menggeleng cepat, detik berikutnya Diva merasakan bibir Elvan yang menempel pada bibirnya, seperti marshmallow yang membuat candu! Barang sesaat Diva terkejut, kemudian Elvan memperdalamnya, membuat Diva akhirnya memejamkan matanya menikmati lumatan itu, semakin lama makin intens dan Diva benar-benar terbuai dan terbawa alur
Diva terkejut dengan ucapan Elvan barusan, ada rasa tidak percaya yang hinggap dalam hatinya membuat sinyal di wajahnya mengerut. “Kamu tidak percaya denganku?” Pertanyaan Elvan ini membuat Diva mengangguk cepat. “Tapi aku benar-benar jujur padamu, Div.” “Baiklah, aku percaya padamu, lalu apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Diva penasaran. Elvan mengangguk. “Kenapa kamu memberikan ciuman pertamamu pada orang asing?” pertanyaan Diva membuat senyum di wajah Elvan. “Demi apapun, lebih baik aku mencium orang asing daripada harus dijodohkan oleh keluargaku.” Elvan menjawab jujur. Diva makin memperdalam kerutan di keningnya. “Kalau saat itu bukan aku yang kamu bawa ke acara keluargamu itu, apa orang itu yang akan mendapatkan ciuman pertama seorang Elvan Sabil?” Elvan diam sejenak lalu menatap ke arah Diva. “Apa aku harus menjawabnya? Aku tidak mau berandai-andai hal yang tidak pernah terjadi di belakang, karena itu akan membuat penyesalan. Kuanggap pertemuan kita adalah takdir. Ta
Elvan mendapatkan pesan dari kuasa hukumnya terkait masalah Anggala. Sekarang pria itu sedang dalam proses pemeriksaan kasus pelecehan yang mereka laporkan, sepertinya kali ini Anggala tidak akan lepas dengan mudah, ditambah lagi kasus sebelumnya terkait pengedaran obat terlarang. Tidak berselang lama setelah menerima laporan itu, nampak di layar ponsel Elvan, Fredy menghubunginya.“El, apa kamu sudah cukup puas dengan permainanmu ini?” tanya Fredy dengan suara yang didengar Elvan seperti menghakimi.Elvan diam, dia sebenarnya malas untuk menanggapinya.“Apa kamu mendengarkanku, El?” Fredy berkata dengan sedikit jengkel.“Sebenarnya aku malas untuk menerima teleponmu ini, tapi … aku masih berusaha untuk menghargaimu.” Elvan menjawab dingin.“El, mari kita bertemu, aku ingin bicara denganmu tentang Anggala.” Fredy berkata dengan sedikit menekan.“Aku masih banyak urusan, Fred.” Elvan mengelak.“Aku sudah ada di lobi bawah.” Fredy berkata dengan nyaris terdengar putus asa, berbanding te
Elvan kembali ke ruangannya dengan tetap tenang tanpa memperlihatkan kekesalannya pada orang-orang yang dia jumpai. Lalu kemudian dia menghubungi Prisya dengan cepat.Tidak menunggu lama, Prisya langsung menerima panggilan itu.“Prisya, apa Dokter Reynand sudah menghubungimu tentang kondisi Ratri?” tanya Elvan langsung.“Ya, tentu saja kakak ipar! Dia juga mengatakan kalau ada cara yang bisa membuat Kak Ratri agar lebih cepat pulih kembali.” Prisya bercerita tanpa beban.“Ya aku juga sudah tahu tentang hal ini, tadi dia datang ke kantorku untuk memberikan laporan itu juga. Menurutmu apa ayah dan ibumu setuju kalau misalnya Anggala bertemu dengan Ratri?” tanya Elvan.“Itu … aku tidak bisa menebaknya untuk saat ini. Tapi, kemungkinan besar ayah dan ibu tidak akan setuju. Kalaupun mereka meminta pendapatku, aku adalah orang pertama yang tidak menyetujuinya …,” “... Menurutku daripada bertemu dengan pria brengsek itu mending pakai pengobatan lain saja. Karena kita tidak tahu apa yang akan
Diva sengaja belum keluar dari ruang kerjanya, padahal jam sudah menunjukkan pukul lima lebih. Tersisa Deska, Farel dan juga Miko. Wanita ini sengaja menunggu Elvan menghubunginya, sekaligus otaknya sedang menerka-nerka apa yang akan ditanyakan oleh kedua orang tuanya nanti.“Div, belum pulang?” tanya Farel dari kejauhan.Diva hanya menggeleng.“Ah, nungguin Pak Bos, ya? Lagian, kenapa gak tunggu di ruangannya aja kalo udah selesai?” Pertanyaan Farel ini hanya membuat Diva tersenyum simpul, tetapi saat mata Diva melihat ke arah Miko, pria itu menatapnya tajam, segera Diva mengalihkan pandangannya.“Duluan ya semuanya!” Farel kemudian kembali berkata sambil menenteng tas punggungnya.Lalu, Diva mengubah pandang ke arah Deska yang sepertinya juga akan beres-beres untuk pulang, dengan cepat Diva ikut membereskan semua barangnya dan mengangkat tasnya.“Pak Miko, Bu Deska, saya duluan ya!” pamit Diva pada kedua atasannya dan segera berjalan ke luar.Sebenarnya tidak enak langsung menuju rua
Di dalam mobil Elvan yang mengantarkan Diva kembali pulang ke rumah, otak Diva penuh dengan bayangan Elvan yang benar-benar serius dengan kata-katanya. Bukan hanya sekali atau dua kali pria itu menegaskan hal ini padanya, tapi sudah sering dan Diva selama itu tidak terlalu menganggapnya nyata.Kali ini Pria itu kembali mengatakannya, dan sebentar lagi dirinya juga jelas akan dipanggil oleh kedua orang tuanya untuk bicara. Setidaknya, dia harus memperjuangkan hubungannya dengan pria itu. Walaupun dalam hati kecilnya dia masih ragu dengan kepercayaan kedua orang tuanya pada dirinya.‘Aku berharap kali ini ayah bisa kembali percaya padaku,’ ucap Diva dalam hatinya.Bukan tanpa alasan dia mengkhawatirkan hal ini, sebelumnya dia juga membawa Nico ke rumah dengan sangat mati-matian mempertahankan pria itu. Sampai dirinya merajuk pada kedua orang tuanya dan berujung tidak keluar dari kamar selama beberapa hari.Diva kembali mengembuskan napas berat. Jika dulu saja dia bisa membuat kedua orang
Mendapatkan perlakuan barusan membuat seulas senyum di wajah Elvan. Diva dengan cepat menarik tuas pintu dan keluar dari dalam mobil.Namun, Elvan memanggilnya segera saat menyadari satu bungkusan masih tertinggal di mobilnya. “Diva, makananmu tertinggal!” serunya pada Diva dengan membuka penuh kaca mobilnya.Diva melihat ke arahnya dan tersenyum lalu menjawab, “Ya aku tahu, simpan dulu di sana, tunggulah aku sebentar dan jangan pergi kemana-mana!” Setelah mengatakan hal itu, Diva kembali membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan cepat melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.Hal ini membuat Elvan sedikit keheranan, dia ingin bertanya kembali tetapi wanita itu sudah jauh melangkah meninggalkannya. Kalau saja dia nekat untuk terus memanggil Diva, jelas hal itu akan memancing suara kegaduhan yang jelas akan membuat ... mungkin Ayah Diva akan keluar dari rumahnya.Elvan menghela napas dalam, dia masih sedikit bertanya-tanya apa gerangan yang sebenarnya akan Diva lakukan, kenapa dia meny
Sesaat sebelumnya.Setelah keluar dari mobil Elvan, Diva gegas melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Dia jelas tidak bisa melihat Elvan merasa kesakitan.“Mau menyembunyikan rasa sakit dariku? Yang benar saja?! Memangnya aku ini buta atau tidak punya mata?!” desis Diva pada dirinya sendiri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya sesaat sebelum mengetuk pintu rumahnya,Walaupun dia gugup dengan pertanyaan orang tuanya nanti, entah kenapa hatinya lebih tidak nyaman saat melihat Elvan yang menyimpan rasa sakit di hadapannya dengan berpura-pura tidak terjadi apapun..“Aku harus izin sama ayah!” tekad Diva dalam hati.“Kak Diva, akhirnya kakak pulang juga! Ditungguin ayah tuh daritadi.” Prisya berkata setengah berbisik saat membukakan pintu untuk Diva.“Sama Kakak ipar ya pulangnya?” tanya Prisya lagi, namun Diva tidak menjawab dia hanya memberikan bungkusan makanan yang dia bawa tadi dengan Prisya lalu melenggang masuk begitu saja, membuat Prisya memanyunkan bibirnya.“Awas saja ya kalo