Hehm .... Kira-kira di dalam Diva itu ngomongin apaan ya sama emak bapaknya? Ditunggu kelanjutannya ya!
Sesaat sebelumnya.Setelah keluar dari mobil Elvan, Diva gegas melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Dia jelas tidak bisa melihat Elvan merasa kesakitan.“Mau menyembunyikan rasa sakit dariku? Yang benar saja?! Memangnya aku ini buta atau tidak punya mata?!” desis Diva pada dirinya sendiri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya sesaat sebelum mengetuk pintu rumahnya,Walaupun dia gugup dengan pertanyaan orang tuanya nanti, entah kenapa hatinya lebih tidak nyaman saat melihat Elvan yang menyimpan rasa sakit di hadapannya dengan berpura-pura tidak terjadi apapun..“Aku harus izin sama ayah!” tekad Diva dalam hati.“Kak Diva, akhirnya kakak pulang juga! Ditungguin ayah tuh daritadi.” Prisya berkata setengah berbisik saat membukakan pintu untuk Diva.“Sama Kakak ipar ya pulangnya?” tanya Prisya lagi, namun Diva tidak menjawab dia hanya memberikan bungkusan makanan yang dia bawa tadi dengan Prisya lalu melenggang masuk begitu saja, membuat Prisya memanyunkan bibirnya.“Awas saja ya kalo
Diva memang selalu membuat kejutan untuknya, sampai dirinya kehabisan stok kalimat untuk mengungkapkannya. Elvan lalu melihat ke arah kediaman Diva, dia melihat sosok ayahnya yang sedang memandangnya dengan tatapan tajam dari kejauhan.Untuk kali pertama Elvan merasa bahwa dia kalah telak hanya dengan tatapan saja. Dia langsung menundukkan pandangnya saat mata mereka bertemu. Kemudian, pria itu langsung membalikkan badan dan menutup pintu rumah dari dalam. Entah kenapa ada kegentaran dalam hati Elvan tatkala melihat ayah Diva ini.“Van!” Diva memanggil Elvan, membuyarkan pikirannya sendiri.“Aku sudah baik-baik saja kok.” Elvan berkata pada Diva dengan lembut.“Kata siapa?” tanya Diva dengan tatapan tajam, Elvan hanya bisa terdiam saat Diva bertanya dengan nada menghakimi.“Aduh, kalian berdua ini. Sudah mending temani saja kakak iparku duduk di belakang biar adikmu ini jadi sopir dadakan!” Prisya memisahkan keduanya yang terlihat masih ingin berdebat dan mendorong keduanya ke arah kur
Sesaat sebelum kedua kakak beradik ini keluar dari rumah. Diva yang mendapat izin ini dengan cepat mencari ibunya di kamar untuk berpamitan kembali. Baginya masalah rentetan pertanyaan ayahnya biarlah menjadi urusan besok saja. Di sela waktu itu, Lukman memanggil Prisya. “Kamu, awasi kakakmu.” Lukman berkata dengan suara yang cukup berat, ini seperti perintah yang tidak bisa dibantah. “Tentu Prisya akan mengawasinya sesuai dengan perintah ayah,” ucap Prisya dengan hati-hati. "Nanti Prisya akan share lokasi terkini dengan ayah, jadi ayah bisa melihat keberadaan kami secara real time." Prisya menambahkan lagi. Mendengar hal itu Lukman diam sejenak, lalu tersenyum penuh makna. Membuat Prisya curiga dengan arti senyuman itu. Biasanya akan ada hal yang membuatnya terkejut! “Tidak perlu share lokasi kamu." Lukman berkata dengan tenang. "... Kita akan melakukan panggilan video selama kamu pergi dengan kakakmu itu,” sambung Lukman lagi dengan intonasi tegas. Benar saja! Ayahnya ini t
Prisya tanpa membantah lagi, akhirnya menambahkan kontak Diva dalam panggilan mereka. Sayangnya, panggilan pertama gagal.Lalu pesan masuk ke ponsel milik Prisya.[Kakak sedang ada di dalam perawatan bersama dokter, nanti kakak hubungi lagi, kamu tunggu saja di lobi.]Setelah membacanya, Prisya langsung memberi tahu pada ayahnya.“Ayah gak dijawab sama Kak Diva, katanya sekarang mereka sedang ada di dalam ruang perawatan ada dokter juga. Mana enak juga Yah, kak Diva melakukan panggilan video, pasti bikin gak nyaman.” Prisya memberikan laporannya sekaligus membujuk ayahnya agar tidak bertindak berlebihan menurut versinya.Lukman hanya diam tidak memberikan respon, membuat Prisya menghela napas berat, dia mengerti arti diam dari ayahnya ini.“Baiklah, Prisya akan terus coba menghubungkannya.” Prisya berkata dengan suara lemah. Dia duduk di bangku ruang tunggu sembari menunggu panggilan videonya pada Diva tersambung.Kebosanan jelas ada, seandainya ayahnya tidak memerintahnya seperti ini,
Selama di dalam perjalan yang mengantarkannya pulang, Diva hanya diam saja. Dalam kepalanya jelas penuh dengan pikiran tentang bagaimana caranya untuk membawa Elvan pada orang tuanya!Jelas ayahnya akan membuat banyak pertanyaan untuknya besok. Membayangkan akan ditanyai banyak hal oleh ayahnya besok benar-benar membuat Diva merasa sedikit frustasi. Ayahnya pasti tidak akan bisa menerima begitu saja semua penjelasannya itu.Otaknya mengingat hal yang sebelumnya pernah terjadi, dimana dia memaksa untuk bersama dengan Nico sampai akhirnya kedua orangtuanya ini menyetujuinya, padahal saat itu, Ratri menjalani masa-masa beratnya dan nyaris putus asa karena hubungannya dengan pria dari kalangan kelas atas. ‘Ah! Saat itu berbeda, Nico bisa dengan mudah mengambil hati ayahnya karena pria itu juga punya kegemaran yang sama, yaitu memancing di laut! Tapi Elvan?’ Entah kenapa dia menjadi sangat khawatir memikirkan hal ini.Seketika, Diva mengingat kalau Elvan ingin pergi memancing dengan Andi.
Elvan duduk di kursi penumpang dengan sedikit lemas, dia merasakan tubuhnya memang sangat kesakitan tadi. Saat ini matanya terpejam karena pengaruh obat yang baru saja dia minum lagi sebelum masuk ke mobil ini.“Pak Elvan, kita sudah sampai di Manor Wongso.” Andi berkata pada tuannya ini saat mereka sudah sampai.Tidak ada sahutan dari belakang, selama menjadi sopir pribadinya dan salah satu orang kepercayaan Elvan, baru kali ini Andi melihat Elvan terlihat lemah seperti ini. Sepanjang hubungan mereka Elvan selalu sukses untuk menyembunyikan segala kelemahannya, pun termasuk di depan Andi.Andi sengaja tidak membangunkannya, dia tahu kalau tuannya butuh istirahat sejenak. Apalagi belakangan ini Elvan terlalu memaksakan dirinya untuk mengurus semua hal, seolah dia bisa mengendalikan segalanya.‘Laut? Kenapa tiba-tiba dia mau ke laut?’ Andi tiba-tiba teringat ucapan Elvan, karena mencari alat pancing itulah membuatnya tidak bisa menemani Elvan selama sisa waktu hari ini.‘Apa Pak Elvan i
Setelah sampai di rumah, Ayahnya tidak langsung bertanya pada Diva tentang apa yang baru saja terjadi. Pria itu hanya menyuruhnya bebersih dan makan malam.“Nanti, kalau selesai semua kamu langsung tidur saja.” Lukman berkata pada Diva, seolah tidak terjadi hal yang besar tadi.“Baik, Yah. Ibu mana?” tanya Diva dengan sedikit takut menatap ayahnya.“Ibu sudah tidur di kamar. Ayah juga akan tidur, kamu malam ini tidurlah. Besok pagi ayah ingin bicara denganmu, jangan coba-coba untuk menghindar lagi.” Setelah mengatakan hal itu, Lukman meninggalkan Diva yang sedang berdiri di depan televisi ruang keluarga. Pria itu masuk ke dalam kamarnya seakan semuanya baik-baik saja, dan yang akan dibicarakan oleh mereka besok bukan hal yang besar.Namun, hal ini tidak lantas membuat Diva tenang, karena dia sudah tahu betul, setiap ada ketenangan yang tiba-tiba seperti sekarang ini, kemungkinan akan ada badai besar melanda. Diva lalu melihat ke arah Prisya yang sedang menatapnya dari depan pintu kamar
Setelah mengirimkan pesan tersebut pada Marissa, Diva melanjutkan aktivitasnya dan tidak terlalu peduli pesan itu. Baginya hal itu sudah wajar kalau ada orang yang tidak suka dan menggertaknya. Pasti banyak yang mengincar Elvan, apalagi pria itu benar-benar sosok pria idaman setiap wanita.Saat kembali merebahkan dirinya ke tempat tidur Diva melihat kembali ponselnya, masih tidak ada pesan satu pun dari Elvan, termasuk pesan yang dikirimkan oleh Diva sebagai balasan pada Marissa.“Ah, aku tidak peduli, Aku tidak takut padamu! Aku lebih takut dengan rentetan pertanyaan yang diberikan ayah padaku besok!” Diva berkata dengan memandang handphonenya.Baru saja akan tertidur Elvan menghubunginya.“Diva maaf, handphoneku dalam mode senyap, termasuk getarnya.” Elvan berkata dengan rasa bersalah.“Tidak apa-apa, aku tahu kamu pasti tertidur, kan?” Diva berkata dengan nada yang senang.“Ya, tadi aku memang tertidur.” Elvan berkata jujur.“Sudah kuduga,” ucap DIva sambil terkekeh.“Div, aku mau t
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk