otw 159! ditunggu ya, Chinta lagi di jalan.. baru mau jalan pulang! semoga hari ini menyenangkan untuk kita semua! 🥰🥰🥰
Respon Diva ini membuat Elvan ingin protes, tetapi Diva menatapnya dengan pandangan kalau dia akan baik-baik saja. Komunikasi yang dilakukan lewat tatapan mata keduanya ini diperhatikan oleh Hartono secara sekilas. “Ayo kita ke depan,” ajak Hartono. Kemudian, dia melihat ke arah Elvan dan berkata, “Kakek tidak akan membuat tunanganmu ini menangis, tenang saja.” lalu dia menepuk perlahan pundak Elvan dan berjalan keluar bersama dengan Diva. Sesampainya di luar, Hartono melihat tajam ke arah Diva dan wanita itu mau tidak mau harus menunduk untuk menghindari tatapan itu. Bukan dia tidak berani, tetapi kali ini Diva mencoba untuk memberikan rasa hormat pada pria itu. “Maafkan aku, Kek.” Kalimat itu meluncur dari bibir Diva begitu saja. “Katakan kenapa kamu harus minta maaf?” tanya Hartono dengan dingin. Diva menarik napas dalam, detik berikutnya dia membalas tatapan Hartono dengan tajam, bukan maksud untuk melawan, dia hanya ingin memberanikan diri saja. Lagipula, Elvan tidak akan sam
Diva masuk ke ruangan perawatan kembali setelah menenangkan diri dari ucapan Hartono, yang jelas sangat membuatnya merasa bahagia dan bersyukur sekali. Dia berpikiran kalau akan ada dari keluarga Elvan yang bakalan memaki dirinya karena sudah membuat pria itu dalam bahaya, tetapi kenyataannya sungguh sangat berbalik.‘Diva, kali ini kamu tidak boleh mudah menyerah!’ teriak Diva dalam hati.“Div, kakek bilang apa sama kamu?” tanya Elvan dengan wajah yang terlihat khawatir.Diva diam, dia tidak menjawab dia sedikit ingin menggoda pria itu.“Kenapa? Kakek berkata kasar padamu? Dia bilang tentang si Marissa juga?” Elvan mencecar Diva dengan pertanyaan.Diva hanya Diam.“Div, apa kamu baik-baik saja, hehm?” tanya Elvan lalu meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya dengan erat.“Kakek bilang begini, kalau kakek katakan kamu harus meninggalkan Elvan sekarang, apa kamu bersedia?” Ucapan Diva membuat wajah Elvan cukup menegang.“Apa? Pria tua itu bilang seperti itu sama kamu?!”Diva mengangg
Diva segera melepaskan tautan bibir mereka saat terdengar suara nada dering yang cukup nyaring dari ponsel milik Diva. Wanita itu segera mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menghubunginya.Sebenarnya ada kelegaan tersendiri untuk Diva karena ponselnya berdering, karena dengan begitu dia pasti tidak akan bersikap canggung setelah mereka selesai melakukannya!“P-pak Miko?” gumam Diva lalu mengerutkan keningnya. Seolah tersadar kalau ini adalah hari kerja, Diva terlihat panik.“Kenapa Miko menghubungimu?” Elvan berkata dengan nada tidak suka.“Ssst! Diamlah sebentar.” Diva berkata pada Elvan lalu, segera menggeser tombol di layar ponsel itu.“Selamat pagi, Pak Miko.” Diva menyambut panggilan telepon itu, lalu berjalan menjauh dari Elvan.“Pagi, Diva.” Suara berat terdengar dari seberang sana.“Pak maaf, saya belum sempat kasih kabar, kalau sepertinya saya tidak bisa masuk kerja hari ini karena–”“Saya tahu alasanmu, tapi ada hal yang perlu Saya bicarakan dengan Pak Elvan dan ini m
“Thank you Pris, kerja samanya. Selebihnya nanti kamu bisa datang ke kantor kuasa hukum Elvan, Andi mungkin bisa menemanimu, tadi aku juga sudah bicara padanya.” Suara Miko terdengar dari sambungan internal yang mereka miliki saat sedang bekerja jarak jauh seperti sekarang ini. “Sama-sama Pak Miko. Aku akan melaksanakan sisanya. Secara pribadi saya juga mengucapkan terima kasih banyak atas bantuannya, karena video kakak saya ….” Prisya terdengar menghela napas dalam. “Tidak perlu, santai saja.” Terdengar jawaban santai di seberang sana. “Eh, tapi Pak Miko beneran gak liat dan–” “Eits! Kamu pikir aku orang yang berotak mesum? Tenang aku bisa menahannya untuk tidak melihat hal itu, walaupun sebenarnya aku sedikit penasaran.” Miko berkata diakhiri dengan kekehan ringan. “Dasar pria sama aja,” gumam Prisya. “Santai dong! Eh, artinya hari ini Diva tidak ke kantor, kan?” Miko bertanya pada Prisya. “Sepertinya begitu, tidak mungkin dia meninggalkan bos kita. Apalagi kalau Pak El
“Apa Nyonya Elvan akan marah besar?” Elvan melihat ke arah Diva dengan menyipitkan sebelah matanya, lalu suaranya juga dikeluarkan dengan sangat mendayu, membuat Diva yang awalnya menatap tajam menjadi heran melihat tingkah pria itu. “Kamu … jangan coba-coba mengeluarkan ekspresi semacam itu di depanku,” tunjuk Diva pada Elvan dengan mata yang melotot. Hal itu seketika membuat Elvan mengeluarkan ekspresi sedih yang dibuat-buat. “Padahal kamu sendiri yang mengatakan wajahku sedikit monoton, sekarang aku sedang mengekspresikan perasaanku, kenapa malah jadi kena marah lagi? Bukankah ini agar terlihat lebih variatif?” Elvan berkata dengan nada merajuk! Kali ini pria itu benar-benar seperti bukan Elvan yang dikenal Diva. Dia bahkan mengeluarkan ekspresi kanak-kanak yang membuat Diva makin gemas. “Elvannnnnnn! Jangan menye-menye kayak anak cewek! Lemes banget dan gak sesuai sama kamu yang punya badan besar gini!” Diva sedikit geram melihat tingkah Elvan yang menjadi manja tiba-tiba.
“Kakak, apa tidak mau mengganti pakaian dulu?” Prisya berkata sambil memberikan paper bag yang ada di tangannya pada Diva. “Sudah, gantilah dulu! Aku ada urusan sedikit dengan kakak iparku ini.” Prisya berkata dengan lantang membuat Diva membelalakkan matanya! “Kamu …!” “Jangan banyak protes, pertanyaannya simpan dulu, ini sangat mendesak!” Prisya lalu mendorong Diva untuk pergi ke kamar kecil yang ada di sana. Diva mau tidak mau harus mengikuti kemauan Prisya, tidak mungkin dia bertengkar dengan adiknya sekarang ini, yang ada bisa malu, masa sesama saudara malah ribut? Gengsi dong! Setelah Diva berada di toilet, Prisya langsung melihat ke arah Elvan yang saat ini sedang duduk bersandar sangat santai di tempat tidur pasien. “Pak Elvan … apa sudah mendingan?” tanya Prisya dengan sedikit cengengesan. “Pak Elvan?” Elvan mengerutkan keningnya lalu kembali berkata, “Bukannya tadi kamu sudah memberiku label kakak ipar?” “Ah, itu … biar kakakku itu lebih cepat bergerak.” Prisya
Tidak begitu lama, Andi datang ke ruangan ini membawakan barang yang diperintahkan oleh Elvan. Pria itu berjalan mendekati Elvan dan Prisya yang nampak sedikit serius, sedangkan Diva sudah duduk bersandar di sofa dengan tangan terlipat di depan dada dan kaki menyilang. Dia masih memperhatikan mereka dari kejauhan. Prisya dengan cekatan mengambil barang yang dibawa oleh Andi untuk Elvan, lalu dia mengeluarkan satu per satu dan memberikannya pada Elvan. “Pantas saja anak ini terus digunakan jasanya oleh Elvan,” gumam Diva saat melihat cara kerja adiknya yang menurutnya sangat cepat tanggap. “Lumayan sat-set-sat-set juga ternyata!” tambah Diva lagi, suara itu hanya dia sendiri yang bisa mendengarnya karena jaraknya dan ketiga orang itu lumayan jauh. Diva lalu melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tanganya, sudah nyaris pukul sepuluh pagi, lalu dia berjalan mendekati arah ketiganya yang sedang sibuk berdiskusi tanpa menghiraukan kehadirannya dan mengambil ponselnya yang ad
Diva terdiam karena tiba-tiba aura ruangan ini terasa sedikit berbeda, lalu dia melihat ke arah Elvan, akhirnya dia menyadari kalau baru saja tindakannya memancing atensi dari mereka.“Diva … apa kamu merasa bosan?” Elvan bertanya pada Diva dengan suara yang lembut, membuat Prisya sedikit mengerutkan keningnya.‘Ternyata benar, Kak Diva membuat bos galak ini berubah menjadi manusia!’ gumam Prisya dalam hati.Diva merespon ucapan Elvan, “Ah?! Aku? Aku tidak apa-apa, jangan salah sangka, lanjutkan saja pekerjaan kalian. Aku hanya melihat pesan yang masuk di ponselku saja.” Elvan menatap Diva dengan tatapan tanya dan meyakinkan sekali lagi kalau dia memang tidak ada masalah.“Beneran, aku tidak apa-apa. Apa aku perlu memperlihatkan pesan ini padamu juga?” tanya Diva membalas tatapan Elvan dengan tajam.“Baiklah kalau begitu, kalau kamu merasa bosan bilang saja.” Elvan kembali berkata dengan santai, membuat Prisya tersenyum singkat melihat interaksi keduanya.“Ya tentu saja.” Diva menjaw
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk