next part ditunggu ya!
“Kakak, apa tidak mau mengganti pakaian dulu?” Prisya berkata sambil memberikan paper bag yang ada di tangannya pada Diva. “Sudah, gantilah dulu! Aku ada urusan sedikit dengan kakak iparku ini.” Prisya berkata dengan lantang membuat Diva membelalakkan matanya! “Kamu …!” “Jangan banyak protes, pertanyaannya simpan dulu, ini sangat mendesak!” Prisya lalu mendorong Diva untuk pergi ke kamar kecil yang ada di sana. Diva mau tidak mau harus mengikuti kemauan Prisya, tidak mungkin dia bertengkar dengan adiknya sekarang ini, yang ada bisa malu, masa sesama saudara malah ribut? Gengsi dong! Setelah Diva berada di toilet, Prisya langsung melihat ke arah Elvan yang saat ini sedang duduk bersandar sangat santai di tempat tidur pasien. “Pak Elvan … apa sudah mendingan?” tanya Prisya dengan sedikit cengengesan. “Pak Elvan?” Elvan mengerutkan keningnya lalu kembali berkata, “Bukannya tadi kamu sudah memberiku label kakak ipar?” “Ah, itu … biar kakakku itu lebih cepat bergerak.” Prisya
Tidak begitu lama, Andi datang ke ruangan ini membawakan barang yang diperintahkan oleh Elvan. Pria itu berjalan mendekati Elvan dan Prisya yang nampak sedikit serius, sedangkan Diva sudah duduk bersandar di sofa dengan tangan terlipat di depan dada dan kaki menyilang. Dia masih memperhatikan mereka dari kejauhan. Prisya dengan cekatan mengambil barang yang dibawa oleh Andi untuk Elvan, lalu dia mengeluarkan satu per satu dan memberikannya pada Elvan. “Pantas saja anak ini terus digunakan jasanya oleh Elvan,” gumam Diva saat melihat cara kerja adiknya yang menurutnya sangat cepat tanggap. “Lumayan sat-set-sat-set juga ternyata!” tambah Diva lagi, suara itu hanya dia sendiri yang bisa mendengarnya karena jaraknya dan ketiga orang itu lumayan jauh. Diva lalu melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tanganya, sudah nyaris pukul sepuluh pagi, lalu dia berjalan mendekati arah ketiganya yang sedang sibuk berdiskusi tanpa menghiraukan kehadirannya dan mengambil ponselnya yang ad
Diva terdiam karena tiba-tiba aura ruangan ini terasa sedikit berbeda, lalu dia melihat ke arah Elvan, akhirnya dia menyadari kalau baru saja tindakannya memancing atensi dari mereka.“Diva … apa kamu merasa bosan?” Elvan bertanya pada Diva dengan suara yang lembut, membuat Prisya sedikit mengerutkan keningnya.‘Ternyata benar, Kak Diva membuat bos galak ini berubah menjadi manusia!’ gumam Prisya dalam hati.Diva merespon ucapan Elvan, “Ah?! Aku? Aku tidak apa-apa, jangan salah sangka, lanjutkan saja pekerjaan kalian. Aku hanya melihat pesan yang masuk di ponselku saja.” Elvan menatap Diva dengan tatapan tanya dan meyakinkan sekali lagi kalau dia memang tidak ada masalah.“Beneran, aku tidak apa-apa. Apa aku perlu memperlihatkan pesan ini padamu juga?” tanya Diva membalas tatapan Elvan dengan tajam.“Baiklah kalau begitu, kalau kamu merasa bosan bilang saja.” Elvan kembali berkata dengan santai, membuat Prisya tersenyum singkat melihat interaksi keduanya.“Ya tentu saja.” Diva menjaw
Tepat sepuluh menit berlalu, Prisya dan juga Andi keluar dari ruang perawatan itu, setelahnya Elvan melihat ke arah Diva dengan tatapan sendu dan menarik napas panjang.“Kenapa liatin aku gitu?” tanya Diva dengan nada protes dan mengerutkan keningnya.Elvan hanya menggelengkan kepalanya dan menjawab, “Tidak apa-apa, tapi kamu ….” kalimatnya terputus dan Elvan menyuruh Diva mendekatinya.“Apa? Aku kenapa?” Diva menyipitkan sebelah matanya.“Kamu benar-benar menggemaskan!” Elvan tidak tahan untuk tidak mencubit pipi Diva.“Apaan sih kamu, Van!” Diva meraba pipinya dan sekarang pipi wanita itu mulai merona merah.“Kamu benar-benar sudah seperti Nyonya Elvan! Aku menyukainya.” Elvan berkata santai membuat Diva makin salah tingkah.“Kamu ngomong apaan sih!” “Aku menyukainya, terima kasih, sayang.” Elvan menarik Diva dan menenggelamkan kepalanya di dada wanita itu.Diva terkejut mendapatkan perlakuan Elvan barusan, jantungnya bergetar hebat dan dia yakin Elvan bisa merasakan degup jantungn
Di Tekno In Tower, lantai 20.“Deska kirimkan semua file yang kamu punya, saya mau menggabungkannya dan ingin melihat tingkat keberhasilannya.” Miko memberikan perintah pada Deska.Suasana di tempat ini walau sibuk tetapi cukup santai, yang mereka tahu kalau Miko sedang cuti, tetapi hari ini dia sengaja masuk di saat cuti yang dia ambil agar proyek mereka ini bisa tetap ada yang mengawasi saat Elvan tidak ada.“Pak Miko, untuk bagian Diva–”“Biar saya yang kerjakan.” Miko memotong cepat ucapan Deska tanpa melihat ke arah wanita itu. Deska hanya mengangguk mengerti.“Baik, Pak," jawab Deska tanpa bantahan sedikitpun.Namun, Reni yang ada di sana malah mengerutkan keningnya, heran. Kebetulan, saat itu Reni berada di meja Deska untuk meminta tanda tangan di dokumen miliknya. Wanita itu lalu mengalihkan pandangnya ke arah Miko yang masih terlihat serius di depan layar komputer, seolah pekerjaan Diva bukan masalah.Saat kembali ke meja kerjanya, Reni kembali berpikir. ‘Sebenarnya … Diva ke
Diva yang baru keluar dari kamar kecil ini mengernyitkan keningnya melihat ke arah Elvan yang saat ini sedang bersedekap melihat ke arahnya. “Kenapa liatin begitu?” tanya Diva “Kamu penasaran sama Miko?” Elvan menyipitkan sebelah matanya memberikan tekanan pada kata-kata Miko. Hal ini membuat Diva makin memperdalam kerutan yang ada di keningnya. “Maksudmu apa?” “Ini,” Elvan berkata dengan menunjukkan ponsel milik wanita itu. Diva segera meraihnya, melihat isinya. “Aku tidak sengaja melihatnya saat pop up notifnya muncul.” Elvan berkata dengan melihat tajam ke arah Diva. “Apa itu yang bikin kamu kesel tadi? Karena kamu gak tahu Miko itu orangnya seperti apa?” Elvan kembali melihat ke arah Diva dengan tatapan penuh menyelidik. Diva lalu melihat ke arah pria itu dan tersenyum. “Kamu cemburu?” “Menurutmu saja?” Elvan mengalihkan pandangnya, wajahnya ditekuk kesal. “Wow, ternyata ekspresimu ini sangat menarik kalau sedang cemburu.” Diva lalu tersenyum dan menangkupkan kedua tanga
Diva mengikuti Marissa dari belakang, dia sengaja menyuruh wanita itu berjalan lebih dulu, sesampainya di taman belakang yang ada di rumah sakit ini, Marissa menghentikan langkahnya dan berbalik badan melihat ke arah Diva dengan tatapan tajam “Katakan saja apa yang ingin kamu sampaikan padaku,” Diva berkata datar dan jelas dia juga membalas tatapan tajam yang diberikan oleh wanita itu padanya. “Aku tidak tahu apa kamu mendengarkan percakapanku dengan Elvan tadi atau tidak, tapi yang jelas aku akan mengatakan padamu kalau lebih baik kamu menjauhi Elvan sekarang juga.” Marissa berkata dengan intonasi yang penuh penekanan. “Kenapa harus aku menjauhkan diri dari Elvan? Ini sangat tidak beralasan.” Diva menjawab dengan tenang, walaupun dalam hati rasanya ingin sekali dia berteriak di depan Marissa. “Kenapa kamu bilang?” Marissa membesarkan matanya dan mendekati Diva dengan tatapan kesal, tetapi Diva masih diam saja, dia belum akan melakukan tindakan apapun sekarang ini. “Apa kamu tidak
Diva masuk ke ruang perawatan Elvan, di sana dia melihat Elvan menonton televisi dengan berita ekonomi. ‘Benar-benar seorang pekerja keras,’ batin Diva. “Van, kamu gak istirahat tidur misalnya? Bukannya tadi dokter bilang setidaknya kamu harus istirahat yang banyak agar cepat pulih dan–” “Tadi Marissa datang ke sini,” potong Elvan cepat membuat Diva langsung terdiam. “Dia datang ke sini saat kamu keluar.” Elvan kembali berkata pada Diva. “Lalu?” Diva bertanya dengan tenang. “Dia mengatakan kalau dia akan membantu menyelidiki kasus penyerangan terhadapku dan dia sangat yakin kalau semua bukti yang dia bawa itu merujuk pada Anggala.” Diva hanya mendengarkan saja. Dia juga tahu tentang hal itu, tadi dia turut mendengarkan, walaupun ada beberapa bagian yang tidak terdengar jelas dari luar tetap saja intinya pasti sama. “Dan dia ….” Elvan menggantung kalimatnya. “Dia kenapa?” tanya Diva lagi. “Aku tidak tahu apa aku harus mengatakan hal ini padamu atau tidak, tapi sepertinya kalau
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk