Diva sangat tidak mengerti dengan jalan pikiran Elvan saat ini, apa maksudnya? “Kenapa ….” Diva tiba-tiba saja kehabisan kata-katanya. “Ya, Tolong jangan tampilkan lehermu itu di depan orang lain, aku tidak suka.” Elvan berkata terus terang dan mempertegasnya sekalilagi. Diva menatap lekat ke arah Elvan ingin mengetahui alasan yang lebih logis lagi. “Ini … membuatku ingin memakanmu.” Elvan membisikkan kalimat itu di belakang telinga Diva membuat bulu halus yang ada di tubuh Diva tiba-tiba berdiri apalagi saat ini wajah Elvan tepat berada di ceruk leher Diva. “Van! Kamu ini apaan sih! Sudah aku naik dulu, aku tidak akan memperlihatkannya dengan orang lain, kecuali tunanganku!” Diva mengerlingkan sebelah matanya. Elvan tersenyum melihat Diva dan menarik tangan wanita itu hingga membuatnya jatuh ke dalam pelukannya. “Van, kamu ….” “Diamlah sejenak aku juga butuh mengisi daya!” Elvan berkata pada Diva membuat gelenyar hebat dalam tubuh wanita itu. Setelah merasa cukup, Elvan meren
Diva tersenyum melihat keduanya dan berkata, “Sudah kalian tenang saja, aku tidak marah, kok.“ Diva tersenyum lalu keluar dari dalam lift, karena pintu lift tersebut sudah terbuka sejak tadi. Baru sampai di depan pintu ruangannya, seperti biasa anggota ruangan ini memang tidak bisa untuk tidak tahu dengan kondisinya. “Diva kamu ….” “Santai saja, bukannya aku sudah terbiasa seperti ini?” Diva langsung menanggapi kekhawatiran mereka dengan santai. “Mbak Des, yang diminta sama Pak Elvan tadi aku perbaiki sedikit ya, minta waktu lima belas sampai tiga puluh menit ya, Mbak?” Diva berkata pada Deska dengan wajah memelas. Deska mengangguk. “Diva, mulai sekarang ke depan, saya harap kamu bisa menjaga sikapmu itu. Pak Elvan mungkin tidak akan berbaik hati lagi kalau kamu terlalu sering seperti itu.” Mendengar ucapan Deska Diva hanya mengangguk dan berjalan ke meja kerjanya. Sebenarnya, sekarang ini Diva sedikit gelisah dengan gosip yang sedang beredar itu. Dia disangka selingkuhan? Yang
Ucapan tersebut sontak membuat Prisya langsung mengikuti arah pandangan Ratri, tetapi sayangnya yang dilihatnya hanya lahan kosong yang ada di seberang jalan. Tak puas dan merasakan ada yang janggal, Prisya mengedarkan pandangnya ke sekitar. Tetap saja, dia tidak menemukan bayangan pria itu.“Kakak, apa kakak melihatnya?” Prisya bertanya pada Ratri, tapi wanita itu sudah kembali seperti sebelumnya, matanya menatap kosong dan wajahnya menjadi sendu kembali.“Apa mungkin kakak hanya berhalusinasi?” tanya Prisya pada dirinya sendiri.Pikiran itu penuh di kepala Prisya sepanjang wanita itu membawa Ratri ke kamarnya. “Apa si brengsek itu tahu ya?” Prisya kembali mengulang tanya pada dirinya sendiri.Walaupun dia sudah membawa Ratri ke kamar perawatannya, tetap saja Prisya merasa gelisah. Dia hanya tidak ingin tiba-tiba kakaknya ini bertemu dengan pria itu.Beberapa kali Prisya menghela napas, tetap saja rasa gelisah dalam hatinya tidak bisa dihilangkan begitu saja. Prisya bertanya tentang
Tanpa banyak berpikir lagi, Prisya langsung memutarkan kendaraannya dan fokus mengejar sosok itu. Akan tetapi, jarak mereka yang lumayan jauh dan juga sedikit ada kemacetan di tempat memutar, membuat Prisya kesulitan untuk mengejar kendaraan Anggala yang sudah melaju dengan kencang.“Ah, sial!” umpat Prisya saat dia tidak bisa lagi melihat kemana arahnya mobil yang dikendarai oleh Anggala.Napas Prisya sedikit memburu karena kesal. Dia mencoba untuk menenangkan dirinya, lalu berikutnya dia mengambil handphone ingin menghubungi Elvan, tetapi saat nama tersebut sudah muncul di screen ponselnya, tiba-tiba otaknya memerintahkan untuk menghentikan jarinya menekan tombol dial. “Menghubungi Pak Elvan, apa ini tidak berlebihan? Gak enak juga tapi ngerepotin terus. Dia juga sepertinya sedang sibuk dengan pekerjaannya juga.” Prisya berkata pada dirinya sendiri.Jari-jari Prisya mengetuk-ngetuk setir mobil yang dikendarainya, dengan tangan kirinya masih memegang ponselnya. Dia diam sejenak, set
Mendapatkan pesan seperti itu, Diva langsung menggelengkan kepalanya lalu tersenyum. “Ada-ada saja,” gumam Diva perlahan.“Div! Ngapain senyum-senyum begitu?” Reni menyenggol lengan Diva, membuatnya tersadar dari pikirannya sendiri terhadap pria itu.“Ah, gak apa-apa,” jawab Diva lalu memasukkan benda pipih itu ke dalam saku blazernya.“Ih, dapet pesen dari Vanvan, ya?” bisik Reni dengan nada menggoda.Diva hanya tersenyum, memasang wajah penuh misteri. “Mau tau aja deh, makanya cari pacar.” setelah mengatakan hal itu Diva terkekeh ringan membuat Reni merotasi malas bola matanya.“Mentang-mentang punya pacar! Nanti kenalin ke kita dong pacarnya, kita jadi penasaran siapa sih Vanvan ini.” Suara Reni yang cukup kuat ini membuat seisi ruangan melihat ke arahnya dan hal itu juga yang membuat Diva secara reflek mencubitnya.“Aw!” teriak Reni sambil cengar-cengir melihat ke arah Diva.“Eh, gosip apa lagi sih?” tanya yang lain.“Sudah, kalian jangan membuat kekacauan. Reni, kamu kalau bicara
Elvan lalu berjalan melewati Farel menuju kursi yang biasa dia tempati, mereka semua saling berpandangan mencoba mengerti suasana hati dari bos mereka, suasana horror menyelimuti tempat ini sekarang, terasa begitu dingin dan menakutkan. “Lanjutkan,” ucap Elvan setelah duduk di kursinya dan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Dengan wajah datarnya, merekat tidak mengerti dengan ucapan Elvan barusan. Demi membuat suasana tidak terlihat menyeramkan seperti sekarang, dengan cepat Deska memulai rapat untuk urusan pekerjaan mereka. “Baik, Pak Elvan. Jadi, di sini sudah kami buat seperti yang Bapak–” “Nanti dulu yang ini, kita lanjutkan ucapan Farel barusan.” potong Elvan saat mendengarkan ucapan Deska yang akan memulai rapat mereka. “Ma-maksudnya, Pak?” Deska terpaksa bertanya dengan memberanikan diri. “Lanjutkan dulu cerita tentang gosip tadi. Apa aku memang sepantas itu bersama dengan Marissa?” tanya Elvan diakhiri dengan melihat ke arah Diva. Diva yang dilihat Elvan seketika
Reni yang mendapat tugas untuk merekam Elvan tadi sangat penasaran dan langsung mematikan rekamannya demi melihat huruf yang dimaksud. “Wow?!” Reni membolakan matanya saat tahu huruf apa yang dimaksud adalah “Y” apa artinya …. “Pak Elvan sudah bertunangan dan tunangan Pak Elvan bukan Bu Marissa?!” Reni berkata dengan mata membesar melihat ke arah Elvan. Elvan tidak menjawab dia hanya diam memasang wajah tanoa ekspresinya itu. “Rekamanmu barusan, perlihatkan padaku.” Elvan meminta ponsel Reni. Wanita itu berjalan cepat memberikan handphonenya pada Elvan. Menyadari sesuatu yang mungkin saja terekam sampai akhir saat dirinya menggoda Diva, Elvan melihatnya dan memastikan sekali lagi apa yang di rekam oleh Reni. Setelah dipastikan tidak ada yang salah dari rekaman itu, Elvan lalu memberikan kembali benda itu pada karyawannya. “Bagus, nanti kamu bisa bantu saya untuk meredam gosip saya dan Marissa,” ujar Elvan. “Lalu … kamu,” tunjuknya pada Diva, “apa aku perlu membuat pernyataan jug
Diva segera menetralisir kegugupannya dengan terkekeh ringan. “Masa sih?” Reni mengangguk. “Suaranya kok gak asing, ya. Kayak pernah denger dimana gitu.” “Udah ah! Yuk naik, liftnya udah kebuka nih.” Diva berusaha mengalihkan pembicaraan mereka. “Tau nih, Reni! Sok-sokan kenal dimana,” sahut Winda menggandeng tangan keduanya dan masuk ke lift. “Eh, Div, pacar kamu orang kaya juga, ya?” Reni kembali bertanya pada Diva. Diva hanya diam dan tersenyum. “Ih, Reni rese banget pake nanya-nanya gitu, lagian kalo Diva cerita entar dikira pamer. haha!” Winda terkekeh santai. “Iya, soalnya dia siapin sopir segala lagi buat jemput si Diva. Pasti dia bukan orang sembarangan, ya.” Reni kembali berusaha mengulik informasi tentang Diva. Diva berusaha tenang dan tidak terpancing dengan pertanyaan menjebak dari rekannya ini. Dia tersenyum penuh misteri dan berkata, “Ada deh! Nanti aku bakalan kasih tahu kalo waktunya udah pas.” Winda makin terkekeh mendengar pernyataan yang keluar dari mulut D
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk