Chandra tiba di rumah keluarga Kurniawan dengan tergesa-gesa. Begitu masuk ke dalam, ia langsung bertanya dengan cemas, “Chaca di mana? Di mana Chaca?”Ia tahu Chaca telah dibawa pergi, tetapi karena khawatir, ia tetap ingin memastikan. Semua anggota keluarga Kurniawan hanya diam, tak ada yang menjawab.Chandra jatuh terduduk di sofa dengan perasaan hancur. Ia kembali mengeluarkan ponselnya dan mencoba menelepon Sonia lagi.Di salah satu gedung tinggi di Rivera, Sonia berdiri di atap. Dari tempat itu, ia bisa melihat vila keluarga Kurniawan. Di belakangnya berdiri beberapa pria.“Guru, anak itu sudah kami keluarkan dari Rivera,” lapor salah satu dari mereka.“Baik,” Sonia mengangguk pelan. “Pastikan untuk menjaga anak itu dengan baik. Jangan sampai dia terluka sedikit pun.”“Siap.”Di saat yang sama, ponsel Sonia berdering. Ia menerima panggilan itu dengan tenang.Begitu tersambung, suara Chandra yang penuh amarah langsung terdengar dari telepon, begitu keras hingga membuat telinga Son
Chandra terus menunggu kabar dari Paul. Namun, meskipun Paul sudah menggunakan sistem Raja Langit milik Someria, mereka tetap tidak berhasil melacak keberadaan Chaca. Tampaknya Sonia sudah merencanakan segalanya dengan matang. Setelah Chaca dibawa keluar dari Rivera, jejaknya benar-benar hilang.Kini, Chandra hanya bisa menunggu hingga ia bertemu Sonia untuk mendapatkan jawaban.Pagi harinya, sekitar pukul delapan, Sonia menelepon. “Datanglah ke rumah Grace,” katanya singkat sebelum langsung menutup telepon.Tanpa membuang waktu, Chandra segera bergegas menuju rumah Grace di Rivera.Selama beberapa tahun terakhir, Grace hampir selalu tinggal di Rivera dan jarang bepergian. Beberapa tahun lalu, Chandra memberinya darah naga. Dengan tubuhnya yang memiliki sifat dingin alami, darah naga memberinya kemampuan untuk berlatih dengan sangat cepat. Kini, ia telah mencapai Alam Tingkat Delapan, hanya selangkah lagi dari puncak Tingkat Delapan.Di rumah, Grace sedang duduk di vila, menatap keluar
“Jadi, kamu menculik anak Chandra?”Keduanya terpaku mendengar ucapan Sonia. Setelah beberapa detik terdiam, Grace akhirnya tertawa kecil, mencoba meredakan suasana. “Kak Sonia, kamu pasti bercanda. Untuk apa kamu menculik anak Chandra?”Sonia melirik Grace, hanya dengan satu tatapan membuat tubuh Grace merinding. Rasanya seperti jatuh ke dalam jurang yang dalam. Tatapan itu begitu dingin dan mengerikan, sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya.Tubuh Grace tanpa sadar mundur beberapa langkah.“Tidak, aku tidak bercanda,” kata Sonia dengan nada datar. “Aku memang menculik anak Chandra. Aku sudah banyak berkorban untuknya. Aku bahkan mengorbankan nama baikku, menjadi kepala keluarga Atmaja, dan sepenuh hati membantunya. Tapi apa balasannya? Dia malah memilih hidup tenang bersama Nova.”Kata-katanya terdengar ringan, seperti sedang membicarakan sesuatu yang sepele. Namun, dalam nada bicaranya tersirat rasa kecewa dan kemarahan yang dalam.Mendengar itu, Grace dan Amanda terdiam. Tid
Seperti yang diduga, setelah Chandra mengatakan semua itu, ekspresi Sonia mulai melunak. Melihat celah ini, Chandra mencoba mengarahkan pembicaraan untuk mencari tahu tentang Chaca.“Sonia, apa Nova pernah mendatangimu? Apa dia mungkin salah paham tentang hubungan kita? Apa kalian bertengkar, sehingga kamu mengambil anakku?” tanya Chandra hati-hati.“Tidak,” Sonia menggeleng.“Kalau begitu, kenapa?” tanya Chandra dengan raut bingung. “Hubungan kita selama ini baik-baik saja. Kita pernah melewati masa-masa sulit bersama. Kita bahkan bisa disebut teman seperjuangan. Kenapa kamu menculik anakku?”“Kamu pikir kenapa?” Sonia tersenyum kecil, menatap Chandra dengan tatapan penuh teka-teki.Chandra terus mencoba membaca pikiran Sonia. Ia sudah mulai menduga alasan di balik tindakannya, tetapi ia memilih untuk tidak mengatakannya secara langsung.“Sonia, aku benar-benar tidak tahu. Aku selalu menganggapmu seperti adikku. Kenapa kamu melakukan ini?”“Adik?” Sonia tertawa sinis.“Chandra, jangan
Chandra benar-benar tidak menyangka Sonia akan mengajukan permintaan seperti itu.Ketika Sonia sampai di pintu, ia berhenti sejenak, berbalik, dan menatap Chandra yang masih duduk di sofa dengan ekspresi terkejut. Dengan nada datar, ia berkata, “Sebenarnya, aku sama sekali menerima keberadaan Nova.”Setelah mengatakan itu, Sonia berbalik dan pergi, meninggalkan Chandra yang tenggelam dalam pikirannya.Setelah Sonia pergi, Grace akhirnya berbicara. “Kak Chandra, apa sebenarnya yang Sonia inginkan?”Chandra mengeluarkan sebatang rokok, menyalakannya, dan menarik napas dalam-dalam. “Aku juga tidak tahu apa yang ada di pikirannya.”Chandra benar-benar tidak bisa menebak maksud Sonia. Menikahi Sonia mungkin masih masuk akal, tetapi mengapa Sonia melibatkan Grace dan Amanda?Grace kemudian memandang Amanda dengan kesal. “Amanda, apa yang sebenarnya kamu lakukan? Bagaimana kamu bisa setuju dengan ide gila Sonia? Menikah dengan tiga orang sekaligus? Itu tidak masuk akal!”“Aku … aku …” Wajah A
Setengah hari kemudian, Chandra tiba di Gunung Langit.Mengikuti ingatannya, Chandra pergi ke lembah tempat Pustaka Agung berada, masuk ke dalam air, lalu turun ke gua bawah tanah hingga mencapai lokasi Pustaka Agung. Ia mendorong pintu batu menuju lantai pertama menara bawah tanah dan masuk ke dalamnya.Di lantai pertama, ruangan itu kosong.Chandra melihat sekeliling, lalu berteriak, “Penjaga, apa Anda di sini? Saya, Chandra, ada keperluan penting.”Tiba-tiba, cahaya putih muncul. Cahaya itu perlahan turun ke tanah dan berubah menjadi seorang wanita bergaun putih. Tubuhnya tinggi semampai, wajahnya cantik, dan ia memancarkan aura yang tidak terjamah oleh dunia fana.“Ada apa?” tanyanya dengan suara yang merdu.Chandra menjawab, “Di mana Nova? Saya harus bertemu dengannya.”“Nova sedang berada di kedalaman bawah tanah untuk memurnikan energi jahat. Dia tidak dapat bertemu siapa pun.”“Tetapi ini masalah mendesak. Saya harus bertemu dengannya sekarang,” desak Chandra.Wanita itu berpik
Penjaga Pustaka Agung melambaikan tangan dengan santai. Dari lengan bajunya, kekuatan besar tiba-tiba muncul, menyelimuti tubuh Chandra. Pandangan Chandra mendadak buram. Ketika membuka mata, ia sudah berdiri di lantai pertama Pustaka Agung.Chandra menghela napas panjang, penuh rasa putus asa. Menikahi tiga orang? Itu sama sekali tidak masuk akal. Satu-satunya harapannya adalah segera menemukan Chaca. Selama Chaca ada di sisinya, ia yakin Sonia tidak akan bertindak di luar kendali.Tiba-tiba, Chandra teringat pada seseorang: Basita dari Gunung Rinto. Jika ada yang tahu keberadaan Chaca, orang itu pasti Basita. Tanpa membuang waktu, ia segera berangkat menggunakan pesawat pribadinya menuju Gunung Rinto.Setelah perjalanan hampir setengah hari, Chandra tiba di sana. Di belakang gunung, ia menemukan Basita, seperti biasa, mengenakan pakaian serba putih. Basita duduk tenang di atas batu besar, dengan sebatang rumput kecil tergantung di sudut bibirnya.“Kamu datang,” kata Basita tanpa meno
Di antara orang-orang itu, ada Basita, Raja Januar, Jamal, Chandra, dan Nova.Pria berjubah biru kehijauan melihat data tersebut, lalu berkata dengan santai, “Baik, aku akan menanganinya satu per satu. Karena sudah tiba di Bumi, mari kita nikmati perjalanan ini dulu.”Chandra tidak tahu bahwa dari Alam Niskala, kembali hadir seorang tokoh yang jauh lebih mengerikan daripada Santara. Bahkan Santara sendiri harus bersikap penuh hormat dan memanggilnya “Kakak.”Saat ini, Chandra telah kembali ke Rivera. Namun, setibanya di Rivera, dia tidak langsung pergi ke keluarga Kurniawan, melainkan menuju rumah Grace untuk sementara tinggal di sana. Chandra tidak menghubungi Sonia. Dia menunggu. Menunggu kabar dari Paul, menunggu berita dari Basita.Tiga hari berlalu. Akhirnya, Basita muncul di Rivera.“Pak, bagaimana? Ada kabar tentang Chaca?” tanya Chandra dengan tidak sabar.Basita menggelengkan kepala. “Aku sudah mengirim orang untuk menyelidiki, tetapi tidak berhasil menemukan jejak Chaca. Aku
Tugas seorang prajurit adalah melindungi rakyat. Itulah tanggung jawab dan kewajiban yang telah terasah selama lebih dari sepuluh tahun Chandra menjalani kehidupan sebagai seorang pejuang. Jika semua orang hanya memilih mundur dan tidak ada yang berani maju, dunia ini akan hancur. “Ya,” Sang Penjaga mengangguk pelan. Dia setuju dengan apa yang dikatakan Chandra. Sejak zaman purba, berkat keberadaan orang-orang seperti itu lah, Bumi bisa tetap terjaga hingga sekarang. “Penjaga, apakah aku masih punya harapan untuk hidup?” Chandra, yang kini hanya berupa tubuh astral, memandang sang Penjaga dengan penuh harap. Dia tidak ingin mati. Masih banyak hal yang harus dia lakukan, masih banyak hal yang belum selesai. “Masih ada harapan,” ujar Penjaga dengan suara pelan. “Namun, dengan hidupmu yang baru nanti, tanggung jawabmu akan menjadi lebih besar, dan tekanan yang kau rasakan akan jauh lebih berat.” Chandra, tanpa ragu, berkata, “Aku siap menanggung semuanya.” Sang Penjaga melamb
Orang itu adalah Penjaga Pustaka Agung. Dia menyaksikan kondisi Istana Bunga yang kini telah menjadi puing-puing. Pada wajahnya yang samar dan tak nyata, tersirat sebuah ekspresi penuh keikhlasan bercampur pilu. “Demi bangsa dan rakyat, dengan semangat leluhur bumi, dunia ini membutuhkan orang-orang seperti dirimu. Jika semua orang hanya memikirkan keselamatan dirinya, bumi ini tak akan disegel di masa lalu, tetapi benar-benar lenyap,” gumam sang Penjaga dengan suara pelan yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. “Tiga jiwa, tujuh roh, berkumpullah.” Tangannya yang samar mulai bergerak, menciptakan formasi tanda yang misterius. Seketika, sebuah kekuatan tak kasat mata terpancar dari tangannya, menyebar ke seluruh penjuru bumi hingga mencapai area Istana Bunga. Di tengah puing-puing itu, titik-titik cahaya putih perlahan berkumpul di udara, membentuk sebuah bayangan yang tak nyata. Bayangan itu melesat cepat, meninggalkan area tersebut, bergerak menuju arah Gunung Langi
Gunung tempat Istana Bunga berdiri hancur dalam sekejap, lenyap menjadi abu. Puluhan kilometer di sekitarnya berubah menjadi puing-puing tanpa ada tanda-tanda kehidupan yang tersisa. “Apakah Chandra sudah mati?”“Apakah dia menggunakan teknik pamungkas untuk membasmi musuh?” Bisikan penuh kebingungan terdengar di antara orang-orang yang selamat. Setelah keadaan mulai tenang, para pesilat yang sebelumnya melarikan diri kembali ke lokasi, berharap menemukan Chandra di tengah reruntuhan. Di antara puing-puing, terdengar suara batu yang bergerak. Sosok seorang pria yang bersimbah darah perlahan bangkit. Dia duduk di atas batu besar, terengah-engah sambil memegangi luka-lukanya. “Sialan! Hampir saja aku mati karenanya,” gumam Jayhan dengan nada berat. Wajahnya muram. Jayhan tidak pernah menyangka Chandra akan menyerangnya tiba-tiba. Jarak yang terlalu dekat dan kurangnya kewaspadaan membuatnya terkena serangan langsung. Meski kekuatan Jayhan luar biasa, serangan itu hampir mere
"Bagaimana mungkin? Kenapa ada aura yang begitu kuat?" Semua orang merasakan kehadiran aura menakutkan dari puncak gunung. Mereka semua diliputi rasa ngeri yang membuat bulu kuduk merinding. Krak... Krak... Krak. Di bawah tekanan aura tersebut, pegunungan tempat Istana Bunga berdiri mulai menunjukkan tanda-tanda keretakan. Orang- orang di kaki gunung berubah wajah seketika. "Celaka! Cepat lari!" Dengan panik dan wajah pucat pasi, mereka bergegas melarikan diri. Di puncak gunung. Chandra sedang menggabungkan dua aliran energi murni di dalam tubuhnya. Kedua energi tersebut menyatu menjadi kekuatan baru yang sangat luar biasa. Dia berusaha keras mengendalikan kekuatan itu, tetapi kekuatan tersebut terlalu besar, terlalu mengerikan. Begitu besar hingga hampir tidak mampu Chandra kendalikan. "Hahaha!" Jayhan tertawa terbahak-bahak, penuh kegilaan. Kekuatan ini luar biasa. Seseorang yang bahkan belum mencapai tingkat Alam Mahasakti mampu menunjukkan teknik sehebat ini. Ini bu
Jayhan sangat cemas. Dia sangat ingin tahu tentang ilmu yang dipelajari Chandra. Dia tahu, nenek moyang Bumi pernah melahirkan banyak pesilat hebat, dan para pesilat itu meninggalkan ilmu-ilmu luar biasa. Jayhan curiga Chandra telah mendapatkan salah satu ilmu tertinggi itu. Sementara itu, Chandra tampak berpikir serius. Dia belum mengambil keputusan. Melihat Chandra ragu-ragu, Jayhan segera berkata, “Tenang saja, aku selalu menepati janji. Setelah kau memberikan ilmu itu kepadaku, aku akan melindungimu. Bahkan setelah segel Bumi terbuka, aku pastikan kau akan hidup dengan baik.” Namun, kekhawatiran Chandra bukan tentang memberikan ilmu itu, melainkan apakah ia bisa menggunakan ilmu pamungkasnya untuk membunuh Jayhan. Jayhan sangat kuat, bahkan terlalu kuat. Jika Jayhan sedikit saja waspada, rencananya pasti gagal. Untuk membunuh Jayhan, Chandra butuh membuatnya benar-benar lengah. Dia sadar, menggunakan Sangkar Kosmik begitu saja tidak akan berhasil. Jayhan pasti akan bers
"Silakan, katakan."Jayhan benar-benar menginginkan ilmu yang dikuasai oleh Chandra. Bukan hanya satu atau dua pertanyaan—puluhan pun akan ia jawab tanpa ragu.Chandra menatap Jayhan dengan serius, lalu bertanya, “Apakah di Alam Niskala ada celah dalam segel yang memungkinkan makhluk-makhluk dari sana masuk ke Bumi?”Jayhan mengangguk sambil berkata, “Benar. Di Alam Niskala memang ada celah pada segelnya. Siapa pun yang berhasil melewati celah itu, bisa langsung muncul di Bumi.”“Jadi, tidak lama lagi akan ada lebih banyak makhluk dari Alam Niskala yang muncul di Bumi?” Chandra melanjutkan.Jayhan kembali mengangguk. “Ya, benar. Tapi melewati celah itu bukan perkara mudah. Dari seratus orang yang mencoba, mungkin hanya satu yang berhasil. Sisanya akan mati dalam prosesnya.”Mendengar jawaban itu, Chandra menarik napas lega. Namun, ia segera mengajukan pertanyaan lain, “Saat ini, level kekuatanmu ada di tahap apa?”“Mahasakti Sempurna, hanya satu langkah lagi menuju Transenden,” jawab J
Jayhan berdiri di depan Chandra dengan senyum penuh ancaman, matanya menatap tajam ke arah pria yang sedang berjuang untuk tetap hidup.“Chandra, aku sudah membiarkan semua orang pergi. Sekarang, serahkan teknik kultivasi yang kau gunakan,” katanya tegas. “Jangan coba mempermainkanku. Jika aku mau, aku bisa menangkap mereka kembali, dan kali ini, mereka pasti mati.”Chandra perlahan membuka matanya. Wajahnya datar, nyaris tanpa emosi. Dengan suara lemah, dia berkata, “Aku terluka parah dan bisa mati kapan saja. Setidaknya beri aku waktu untuk pulih. Setelah aku sembuh, aku akan memberikannya padamu.”Setelah itu, Chandra kembali terdiam. Ia menutup mulutnya rapat-rapat, tak ingin berbicara lebih banyak. Jayhan hanya mendengus, tidak terlihat tergesa-gesa. Dalam pikirannya, Chandra hanyalah seekor semut—mudah dihancurkan kapan saja.Di Kaki Gunung Istana BungaSejumlah pesilat berkumpul di kaki gunung, wajah mereka penuh kecemasan. Suasana tegang menyelimuti mereka.“Apa yang harus kita
Jayhan berdiri dengan percaya diri, memandang Chandra yang terhuyung-huyung dengan tubuh penuh luka. Meski kekuatannya jauh melampaui Santara, ketahanan Chandra berhasil membuat Jayhan terkejut.“Anak muda, aku sungguh meremehkanmu,” ujar Jayhan, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kabarnya hari ini adalah hari bahagiamu. Kau akan menikahi tiga wanita sekaligus, bukan? Aku penasaran, seberapa lama kau bisa bertahan.”Jayhan melambaikan tangannya, memunculkan kekuatan besar yang menarik tubuh Sonia dari kejauhan. Tubuh Sonia terlempar dan jatuh di samping Chandra yang terkapar lemah. Dengan gerakan tenang, Jayhan mencabut pedang panjangnya, lalu menempatkan ujungnya di leher Sonia.“Chandra,” katanya dengan nada sinis, “apa kau akan merasa sakit hati jika aku membunuhnya sekarang?”Sonia, meski lemah, tidak gentar. Dengan suara serak tetapi penuh keberanian, dia menjawab, “Bunuh saja. Tidak perlu banyak bicara.”Mati di sisi Chandra? Itu sudah cukup bagi Sonia. Dia merangkak pelan mendeka
Jayhan tertegun. Di Bumi, energi spiritual sangatlah tipis. Namun, saat ini, energi itu berkumpul dengan luar biasa kuat di satu titik. Fenomena seperti ini hanya mungkin terjadi jika seseorang menggunakan teknik kultivasi tingkat tinggi. Dengan satu lambaian tangan, Jayhan menciptakan kekuatan besar yang menyapu puing-puing. Chandra, yang tengah menggunakan Sembilan Transformasi Tubuh Emas, tak mampu melawan kekuatan itu. Tubuhnya terangkat dan terlempar ke hadapan Jayhan sebelum jatuh dengan keras ke tanah. “Kau masih hidup?” Santara tampak terkejut. Dia tahu betapa mematikannya serangan yang dilancarkannya tadi. Tidak ada seorang pun di bawah Alam Mahasakti yang seharusnya bisa bertahan. Namun, Chandra ternyata masih bernapas.Chandra terbaring di tanah. Tubuhnya menggigil hebat, dan darah segar kembali keluar dari mulutnya, membasahi tanah di sekitarnya. “Chandra ....” Sonia yang melihat itu segera mencoba mendekatinya. Tetapi, sebelum sempat mencapai Chandra, kekuatan tak