Brak
Ceklek ... ceklekPintu coklat yang nampak gagah itu dibanting dengan kerasnya usai seorang pria bermahkota keluar dari sana. Tangan kekarnya segera mengunci pintu itu."Dasar anak tidak tau diuntung!" umpat Vernon menggeram pelan.Sang kaisar lantas berdiam sejenak memejamkan mata di lorong gelap. Kemudian helaan napas terdengar berhembus perlahan."Aku tau kau di sana. Keluar!!"Vernon tiba-tiba berteriak ke area gelap yang berada jauh di belakangnya. Indera perasanya terlampau tajam hingga ia mampu menyadari kehadiran seseorang yang bersembunyi di balik kegelapan.Tak lama kemudian terdengar sepatu yang bergesekan dengan lantai. Langkah itu terdengar berat terkesan ragu untuk melangkah.Kaisar itu berbalik menantang sosok yang berada di balik kegelapan. Matanya menyorot tajam dan terkesan bersiap mencincang siapa saja yang tersorot pandangannya."Bukankah aku sudah memintamu untuk pergi dari sini, Reya? Apa kau memang berniat melanggar perintahku untuk tinggal bersama anak kesayanganmu di sini?"Meskipun pencahayaan remang-remang, Vernon tahu betul perawakan sosok yang baru saja muncul adalah permaisurinya."Apa yang kau lakukan terhadap Adrian? Kau tidak menyakitinya kan?"Bukannya mencemaskan apa yang baru saja suaminya ucapkan, Audreya justru mempertanyakan keadaan sang pangeran."APA SEKARANG KAU JUGA BERANI MEMBANTAHKU?!" bentak Vernon marah.Permaisuri nampak tersentak, apalagi ketika tangan besar sang kaisar menyeret tubuhnya menjauh dari peraduan sang pangeran membuatnya kontan memberontak."Tunggu... kumohon lepaskan!" seru Audreya memohon dan berusaha melepaskan cengkeraman suaminya pada lengan kecilnya.Pandangan Vernon terlihat menyorot jauh ke depan tak menghiraukan isterinya yang terus memberontak. Bahkan ketika sang permaisuri merintih kesakitan akibat kencangnya cengkeraman yang ia layangkan, sang kaisar tak memberi kelonggaran sedikitpun."Sebenarnya ada apa denganmu ini?!! HEY! Mengapa kau begitu membencinya? Apa kau lupa jika dia adalah anak dari seseorang yang kau—""CUKUP! JIKA KAU BERANI MELANJUTKAN PERKATAAN ITU, AKU TAK AKAN SEGAN MEROBEK MULUTMU!" sentak Vernon menghempaskan tangan Audreya kasar. Bahkan saking kuatnya ia menyentak, tubuh ramping Audreya hampir limbung membentur tembok.Audreya terdiam seribu bahasa, bentakan suaminya membuatnya takut setengah mati. Ia tertunduk menyesali perbuatannya yang membuat Vernon marah."Maaf, aku tidak bermaksud mengungkitnya," cicit Audreya dengan suara bergetar menahan tangis."Argh! Sudahlah aku muak di tempat ini," sergah Vernon melengang pergi meninggalkan Audreya yang hanya bisa menghela napas berat.***"Sial! Apakah dia hanya diam saja ketika diinjak seperti ini? Apakah dia benar-benar sudah kehilangan akal?" teriak Adrian frustasi.Adrian terduduk di ranjang empuknya. Ia manatap langit-langit kamar yang nampak kosong. Tatapannya berotasi liar.Tes.Satu tetes air terjatuh dari pelupuk matanya."Argh! Mengapa aku harus seemosional ini?"Nampaknya perlakuan yang baru saja ia terima membuatnya teringat kehidupannya dahulu. Bagaimana sosok yang harusnya memberi pengarahan justru mengguncang mentalnya hingga tak berbentuk. Sosok yang seharusnya dijadikan figure seorang pria justru menjatuhkan harga dirinya. Tak dapat dipungkiri sosok ayah yang ia miliki justru membuatnya buntu untuk melangkah."OH SHIT!!"Tok ... tok ....Adrian bergegas mengusap pipinya yang basah. Ia kembali memasang wajah datar dan tatapan tajam."Pangeran? Bolehkah aku masuk? Aku diutus Yang Mulia Permaisuri untuk mengantarkan obat dan makanan.""Ya, masuk."Usai Adrian mempersilakan si pengetuk untuk masuk, terdengar kunci pintu diputar dan kemudian terbuka. Ia sempat melirik sejenak sosok yang berada di ambang pintu sebelum kemudian menengadahkan kepalanya kembali.Ternyata sosok yang baru saja masuk adalah Rhiannon dengan nampan dikedua tangannya. Ia nampak tergesa begitu menatap keadaan sang pangeran yang berantakan."Apa kau baik baik saja?" tanya Rhiannon cemas begitu sampai di depan Adrian.Ia meletakkan nampan berisi makanan beserta beberapa obat pada nakas samping tempat tidur.Adrian tak lantas menjawab, ia menghela napas kemudian menurunkan pandangannya menatap lurus ke depan mengangguk malas.Rhiannon mengambil sebuah kain yang telah dibalur tumbukan dedaunan herbal. "Bolehkah kuobati sekarang?"Adrian berdeham pelan terkesan dingin dan tak peduli. Ia lantas mengulurkan lengan kanannya hingga memperlihatkan luka menganga yang masih mengeluarkan darah.Rhiannon meringis ngeri. "Apa kau tidak merasakan sakit? Lukanya lumayan dalam kau tau."Adrian tak merespon. Ia masih setia dalam diamnya menatap kosong ruangan pribadinya itu.Merasa diabaikan, Rhiannon menghela napas pelan mencoba meredam kekesalan yang menggebu dalam dada."Kau tau, aku sempat tidak percaya mendengar bahwa kau menyakiti dirimu sendiri. Adrian Louise yang kukenal dulu hanyalah sosok cengeng dan tidak dapat diandalkan. Tentu saja aku terkejut apalagi ketika aku tak sengaja mendengar Yang Mulia Kaisar murka dan nampak frustrasi akibat perlawanan darimu. Menurutku hal ini mustahil dilakukan oleh seorang Adrian Louise yang penakut," kata Rhiannon diakhiri dengan kekehan ringan.Dari interaksi yang Rhiannon perlihatkan, nampaknya mereka memang sudah akrab sedari dulu. Rhiannon tahu banyak mengenai kepribadian sang pangeran."Sepertinya seiring berjalannya waktu kau sudah mulai berubah ya, Louise?"Adrian menoleh menatap Rhiannon yang tengah tersenyum kearahnya. "Jika kau hanya ingin mengoceh, lebih baik kuobati sendiri saja," ujar Adrian dengan nada datar.Rhiannon mendadak kaku mendapatkan tatapan dan perkataan tajam. Tanpa ba bi bu lagi, Rhiannon melanjutkan kegiatan mengobati lengan Adrian dengan telaten.'Aku tak mengerti saat di luaran sana beredar rumor tak baik mengenai sosok Pangeran Adrian yang bertingkah kekanak-kanakan dan selalu berbuat ulah, kini mengapa yang ada di depanku ini jauh berbeda dari yang dirumorkan? Menurutku sosok pangeran sekarang lebih berwibawa dan tangguh walaupun terkesan lebih dingin dan kurang peduli, namun ia berubah jauh lebih baik dari Pangeran Adrian 10 tahun lalu. Lantas berawal dari mana dan kenapa bisa rumor jahat tentang Pangeran Adrian yang tak berdasar itu dapat bertebaran ke seluruh penjuru Bavelach?'Rhiannon menghela napas tanpa sadar. Tatapannya masih terfokus kepada luka yang ada di lengan Adrian, namun isi pikirannya telah melalang buana tidak pada tempatnya.'Sungguh sebenarnya aku senang melihat perubahan besar ini. Akhirnya ia bisa lebih berani melawan penindasan, namun mengapa aku justru merasa asing akan sosoknya? Apalagi tatapan mata dingin dan tajam itu sangat jauh diluar karakter Louise yang kukenal.'"Hemmm, sudah selesai?"Pertanyaan itu membuat Rhiannon tersentak dari lamunnya. Ia bahkan tak menyadari ternyata sudah membalut luka pada lengan sang pangeran dengan rapih."Oh–ah iya sudah, Pangeran. Kuharap kau lekas sembuh," sahut Rhiannon melirik Adrian takut-takut.Lama mereka saling terdiam hingga suara bariton itu kembali terdengar."Apa kau tau ibundaku sekarang ada di mana?"Rhiannon mengernyitkan keningnya bingung. "Yang Mulia Permaisuri atau Selir Agung?"Jawaban Rhiannon membuat Adrian kembali terdiam."Keduanya?"Rhiannon menampilkan ekspresi berpikir."Aku kurang tahu pastinya, tapi sepertinya mereka sedang merajut dan minum teh bersama bangsawan lainnya di taman istana.""Antarkan aku ke sana," titah Pangeran Adrian tiba-tiba bangkit dari ranjang hendak pergi dari peraduannya."Tunggu pangeran!" seru Rhiannon menahan langkah sang pangeran.Adrian menoleh cepat dan menatap dingin, hal itu membuat Rhiannon terlihat panik."Emm ma—af, Pangeran, sepertinya aku tidak bisa menemanimu."Salah satu alis sang pangeran terangkat. "Mengapa?"Rhiannon menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Emm apa kau lupa, Pangeran? Kau tidak diizinkan untuk keluar dari istana ini. Bukankah jika kau ingin menemui Yang Mulia Kaisar di istana utama kau harus dikawal beberapa prajurit kan?"Mendengar penuturan sang putri, Adrian terlihat membeku. Helaan napas berat mengalun dari mulutnya."Seperti itu ya?" gumam Adrian dengan sangat lirih penuh tanda tanya. Tentu saja ia baru menyadari fakta tersebut.Ia lantas berbalik menjauhi pintu peraduan yang hendak ia buka tadi."Ta—tapi, Pangeran, aku dengar kau memiliki jalan rahasia?" celetuk Rhiannon membuat Adrian menoleh."Kau tau dari mana?" tanya Adrian dengan mengintimidasi.Rhiannon gugup menyadari celetukannya membuatnya tersudut."A–ku hanya mendapat gosip dari beberapa kenalanku di Deoreva. Maaf karena lancang, ta—tapi kau tenang saja aku berjanji akan merahasiakan ini dari Yang Mulia Kaisar," tanggap Rhiannon kemudian memeragakan dengan tangannya mengunci mulutnya rapat-rapat.Adrian manggut-manggut kemudian pandangannya menerawang jauh."Jadi kau memang memiliki jalan rahasia untuk keluar dari istana ini, Pangeran?" bisik Rhiannon tepat di samping telinganyaAdrian tiba-tiba terbatuk akibat tersedak ludahnya sendiri. Ia nampak gelisah namun dengan cekatan ia segera memperlihatkan bahasa tubuh angkuh."Kau harus merahasiakannya," titah Adrian dengan suara yang sengaja ditekan."WOW?! Itu sangat menakjubkan?! Bolehkah kapan-kapan kau berbagi rahasia itu denganku?" pekik Rhiannon tertahan. Manik hazel itu berbinar mengetahui rahasia yang selama ini ia sangka ketidakmungkinan ternyata memang benar adanya.Adrian terdiam sejenak. "Akan kupertimbangkan."Rhiannon tiba-tiba bersorak senang. Hal itu membuat Adrian menatapnya tajam."Oh, maaf aku terlampau senang hehe."Tok ... tok ...."Putri, apakah kau di dalam?"Sebuah panggilan dari balik pintu peraduan membuat kedua orang itu menoleh."Sepertinya itu, Prita, pelayan pribadiku. Maafkan aku pangeran tidak bisa berlama-lama menemanimu, aku harus segera bertemu ayahanda."Adrian tak merespon apa yang baru saja Rhiannon ucapkan. Ia sepertinya masih sibuk berkecambuk dengan pikirannya sendiri."Kau harus menghabiskan makananmu. Dan jika malam telah tiba gantilah perban itu dengan perban yang aku letakkan di kotak itu," lanjut Rhiannon menunjuk sebuah kotak yang ada di atas nakas.Adrian mengangguk samar."Aku pergi dulu pengeran. Aku harap kau bisa mempercayakan rahasiamu kepadaku secepatnya," kata Rhiannon menangkupkan kedua tangannya bergestur memohon.Setelah itu ia berjalan mundur dan hilang dibalik pintu peraduan yang tadinya terkunci.Adrian bersedekap dada kemudian menyipitkan matanya. "Jalan keluar rahasia? Sepertinya jika aku mampu menemukannya, aku bisa leluasa keluar masuk istana," gumamnya mulai menemui titik terang aktivitas apa yang seharusnya ia lakukan di tempat asing itu."Baiklah kalau begitu kurasa sudah waktunya aku berhenti meratapi nasib. Sekarang aku harus mulai mengenal lebih dalam para tokoh di kerajaan ini dan bergegas menyusun rencana mencegah kejadian buruk yang akan menimpaku.""Sudah cukup! Aku muak hidup dalam kesengsaraan, di sini aku harus mendapatkan kejayaan. Tak akan ada lagi yang bisa mengintimidasi, di sini aku akan menjadi sosok paling ditakuti. Lihat saja... aku akan merubah seekor domba lemah menjadi raja hutan yang takkan bisa kalah."TbcSepeninggalan Rhiannon, pikiran Adrian tak berhenti bekerja. Ia masih memikirkan situasi yang kini menimpanya. Adrian perlu memastikan kebenarannya sendiri apa yang kini ia yakini."Jika benar aku sedang bertukar jiwa, apakah pangeran yang asli sedang berada di tubuh asliku?""Lalu bagaimana cara kerja pertukaran jiwa ini? Apakah ada konsekuensi yang akan kami dapat?"Adrian mengacak rambutnya frustasi memikirkan segala risiko yang pasti akan ia dapat. Pangeran itu bangkit berjalan mondar-mandir di depan pintu peraduannya. Apalagi kini pikirannya kian berkecambuk menyadari situasi tak menguntungkan sebagai sosok pangeran buangan. Bagaimana tidak, ketika ia harus mengenali lingkungan barunya, kini ia malah tersandung masalah tidak bisa leluasa keluar dari peraduannya."Huh! Satu-satunya cara aku harus segera menemukan jalan keluar rahasia yang nona tadi dibicarakan. Tapi masalahnya aku harus mulai darimana?" gumam Adrian memikirkan jalan keluar yang bisa menjadi alternatif berharga.T
Sepasang mata penuh amarah menyorot tajam terus memperhatikan kejadian yang ada di depannya. Tangannya terkepal kuat dengan gigi yang menggerutu mempertegas guratan kemarahan di wajahnya."Hormat kepada Yang Mulia Permaisuri, kesejahteraan selalu melingkupi."Kedua prajurit yang sedari tadi berdiam di depan pintu berlutut menghormat begitu menyadari sosok agung hadir diambang pintu.Sang permaisuri tak mengidahkan hal tersebut. Ia berlari menerobos peraduan sang pangeran. Dengan secepat kilat ia menahan tangan seorang wanita yang sudah terangkat tinggi.“BELUM PUASKAH KAU MENYAKITI DARAH DAGINGMU SENDIRI, SELIR AGUNG JIREA?!” seru Audreya dengan suara menggeram. Sorot matanya tak lepas menatap sang selir yang juga menatapnya terkejut."Pengawal, pergilah tinggalkan kami disini," perintah Jirea kepada kedua pengawalnya yang masih setia berjaga di depan pintu.Tak butuh waktu lama kedua prajurit itu pergi menuruti perintah sang selir agung."Setelah apa yang kau lakukan dengan darah dag
Derap langkah bergemuruh memenuhi lorong istana. Terjadi kepanikan sepanjang lorong istana ketika sosok kaisar dengan wajah dingin bercampur khawatir berlari sepanjang lorong dengan membopong tubuh lemas seorang wanita."MINGGIR SEMUA?! CEPAT PANGGILKAN TABIB! PASTIKAN TIBA SEGERA!" teriak Duke Fernand menggema keseluruh istana. Ia yang tadinya sedang bertemu dengan kaisar, ikut andil melihat apa yang terjadi pada Audreya. Ia dengan sigap mendampingi sang kaisar berlari menuju peraduannya.Setiap prajurit dan pelayan kelimpungan berlari kesana kemari memberikan jalan sang kaisar."Apa yang terjadi dengan Yang Mulia Permaisuri?""Aku dengar karena selir agung.""Sepertinya sebentar lagi akan terjadi kegegeran besar.""Tapi aku ragu selir agung akan dihukum secara selir agung adalah orang ya—""Sttt kecilkan suaramu, Mira, kau mau kita bertiga berakhir dipancung?!" Para pelayan yang berbaris di sepanjang lorong menunduk sembari saling berbisik-bisik membicarakan kemungkinan yang terja
EnghhLenguhan terdengar dari sosok wanita anggun yang terbaring lemah di ranjang besar. Kelopak matanya perlahan bergerak hingga matanya terbuka sempurna."Ibunda?"Netranya menangkap wajah pemuda bernetra biru. Dengan perlahan ia mengangkat tangannya dan mengusap wajah sang anak."Kau baik-baik saja, Adrian?" tanya sang permaisuri dengan suara selembut sutra.Namun sebuah suara protes membuat kesadarannya berkumpul seketika."Ibunda, ini aku George bukan Adrian!" sentak George merasa kesal. Ia menepis tangan sang ibunda yang masih bertengger pada pipinya.Audreya yang menyadari kesalahannya segera tersadar."Oh maafkan aku, Sayang."George memasang raut wajah kesal bercampur iri. Sebenarnya ini bukan kali pertama Audreya membuat kesalahan seperti ini. Entah mengapa sang permaisuri kerap salah sebut nama ketika bersama anak kandungnya sehingga tak heran jika George begitu membenci sosok Adrian.***Situasi istana kala itu memanas usai kabar sang selir yang menganiaya sang permaisuri
"Panglima, di mana Putri Rhiannon? Bukankah tadi dia menaiki kuda bersamamu?" Seorang pria paruh baya bermahkota mewah merotasi matanya menyisir sekeliling mencari seseorang.Prajurit yang ikut mendampingi sang raja pun nampak kebingungan menyadari sang putri tidak ada pada tempatnya. Mereka memasang raut khawatir menyadari rajanya pasti sebentar lagi akan murka."Mohon ampun, Baginda, Putri tadi memberitahukan bahwa ia akan pergi mendahului ke istana utama," jawab seorang prajurit yang berada tepat di samping kereta kencana yang dikendarai sang raja."Kenapa kau baru memberitahukanku sekarang?!" bentak sang raja tak habis pikir dengan panglimanya.Pria bermahkota itu memijit pelipisnya lelah. "Cari dia sekarang. Kita akan segera kembali ke Deoreva, pastikan ia ditemukan sebelum aku selesai menemui kaisar dan permaisuri!""Ayah, izinkan aku untuk ikut mencari," sahut seseorang yang duduk berhadapan dengan sang raja.Sang raja memandang wanita di depannya penuh arti. "Ya, temukan adik
"Apa? Bagaimana? Ibundamu sudah sadar?" Kaisar yang baru tiba segera memberondong sang anak dengan banyak pertanyaan. Sedangkan George yang sedang berdiri mengamati sang ibu yang tengah diperiksa kondisinya oleh tabib masih memasang wajah kesal. "Ya. Tapi ibunda malah mencari anak pembawa sial itu," tanggap George bertambah masam. Vernon menghela napas pasrah. Isi kepalanya terasa penuh akibat semua insiden terjadi bersamaan. "Hukuman apa yang ayahanada berikan kepada selir itu?" celetuk George kembali membahas persoalan sosok yang beberapa saat lalu hampir ia amuk. "Kau tak perlu ikut campur, George, biarkan bagian kedisiplinan istana yang mengatur hukuman yang pantas untuknya," jawab Vernon dengan suara lemah. Ia duduk di pinggiran ranjang sang isteri kemudian menatap tubuh pasangannya itu dengan sayu. "Sungguh? Ayah benar-benar menghukumnya dan tidak berniat meloloskannya kan?" jawab George nampak kecewa mendengar jawaban sang ayah. "Jaga sikapmu, Putra Mahkota?!" seru san
Prakkk "Arghhh!" Jeritan kesakitan menggema ke seluruh ruangan. Seorang pria seketika terkapar begitu besi panjang itu menyabet tubuhnya. "KATAKAN YANG SEBENARNYA, DARI MANA SAJA KAU?!" Jirea, sang pelaku pemukulan itu tanpa belas kasih membuat babak belur puteranya. Beberapa saat lalu Adrian memang berhasil sampai di peraduannya sebelum Jirea datang, namun malangnya Jirea menyadari sosok Adrian yang telah kembali berkat bercak tapakan kaki yang tertinggal di depan pintu. Saat itu juga Jirea mengobrak-abrik perabotan kamar sang pangeran. "Apa kau mendadak bisu usai berjalan-jalan keluar?!" Adrian entah mengapa sedari ia dipergoki sang ibu tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia menolak menjawab hingga menyebabkan Jirea menyiksanya secara brutal. "Masih tidak menurut rupanya, baiklah bagaimana kalau kuhilangkan salah satu kakimu agar kau tak bisa kabur lagi?" ujar Jirea mengeluarkan senyuman iblis. Tangan Jirea bergerak menodongkan moncong besi itu pada kaki kanan pangeran. Seda
George keluar dari Pavilium Waterist usai menyelesaikan pembelajarannya dan langsung dikejutkan dengan lorong istana yang mendadak riuh. "Apa yang terjadi?" tanyanya kepada pengawal yang membuntutinya di belakang. "Izin menjawab, Yang Mulia, baru saja terjadi penangkapan Selir Agung Jirea dan sekarang telah dimasukkan ke penjara para bangsawan," jawab pengawal putera mahkota yang sedari tadi berjaga di depan pavilium. George menghentikan langkahnya. "Jadi ayah benar-benar mampu menunaikan apa yang menjadi hukuman selir itu ya?" gumamnya tersenyum sinis. "Tapi sepertinya jika hanya selir itu saja yang masuk penjara, ia akan merasa kesepian. Baiklah, karena suasana hatiku sedang baik, sepertinya ia akan senang jika kukirimkan anaknya untuk menemaninya," lanjutnya yang tiba-tiba saja terpikirkan sebuah ide yang brilian. Pandangannya segera berseri begitu menatap buku tipis yang ia bawa. Sepertinya ide picik untuk menjebloskan sang pangeran mengikuti jejak sang ibu telah ia temukan
Di dalam ruangan yang begitu gelap, Adrian berdiam diri. Ia masih terhenyak dengan kejadian hari ini. Dimulai dengan sosok Kimberly yang tiba-tiba muncul di sini sampai kematian permaisuri yang begitu mendadak. Pangeran itu mengacak rambutnya frustasi. Ia telah buntu memikirkan apa yang selanjutnya akan terjadi. Kematian permaisuri menjadi alarm bahaya untuknya. "Aku harus menemui Jirea karena seharusnya dialah dalang dibalik kematian permaisuri," ucap Adrian dengan suara parau. Dengan sisa-sisa harapan, ia keluar dari peraduannya untuk menemui sosok tersangka yang ia yakini. Ketika ia sampai di istana utama, banyak prajurit yang korban dari penyerangan yang telah tiba di istana. Adrian menarik lengan seorang prajurit yang sedang berjalan cepat. "Katakan, apa permaisuri telah tiba?" tanya Adrian menodong keras. Prajurit itu nampak takut melihat sosok Adrian yang berbeda. Penampilan Adrian memang terbilang kacau, namun tatapan tajam itu membuat siapapun tak mampu berkutik.
"Nyonya, apakah nyonya sudah dengar mengenai kabar permaisuri?" Jirea yang tengah sibuk menyulam tiba-tiba menghentikan kegiatannya begitu mendengar satu nama yang menarik perhatiannya akhir-akhir ini. Alisnya terangkat satu memandang penuh tanya. Ia lantas meletakkan sulamanya kemudian mengode Roger untuk mendekat Roger dengan segera menghampiri Jirea lebih dekat lantas membisikan sesuatu. "Rombongan permaisuri telah diserang." Sebaris kalimat itu membuat wajah Jirea seketika sumringah. Senyuman miring segera terbit dari bibir ranumnya. "Muez menangkap umpannya?" responnya dengan sebuah pertanyaam ambigu. Menangkap apa yang Jirea maksud Roger lantas mengangguk. "Kudengar seluruh prajurit terbantai dan itu artinya permaisuri telah tewas," balas pria tersebut berbinar senang. Wajah puas dan angkuh seketika terbit. Jirea bangkit dari duduknya lantas berjalan menuju nakas di samping tempat tidurnya. "Kau memang bisa diandalkan," ucapnya lantas melemparkan sebuah kantung berwarn
Kegaduhan di dalam istana tidak terkendali. Banyak para pelayan dan prajurit yang berlarian. Sama halnya dengan sosok jenderal gagah yang melangkahkan kakinya lebar-lebar. Dari raut wajahnya yang tegas tulang rahangnya nampak begitu menonjol seolah tengah memendam amarah. "Panglima Agung!" teriaknya dengan keras begitu memasuki sebuah ruangan.Sang empu yang tadinya tengah memejamkan mata tersentak kaget."APA APAAN KAU INI!" teriak Roger berbalik marah.Terrson menggeram marah. "Disaat kegaduhan yang terjadi bagaimana bisa kau justru tidur?" tanyanya dengan sarkas.Raut lugu ditunjukkan oleh Roger. "Apa maksudmu?" "Rombongan permaisuri di serang—""APA?!" Belum usai Terrson menjelaskan, Roger sudah terlebih dahulu menyela. Nyatanya jabatan tak menjamin pengetahuan seseorang. Panglima tertinggi itu ternyata tak tahu menahu mengenai kejadian yang menimpa permaisuri. "Aku perintahkan kau menghadap kaisar. Aku akan mengurus sisanya," ucap Roger cepat. Ia bergegas menggunakan pakaian
Bughh Begitu melihat lawannya lengah, sosok bertudung hitam itu segera menendang perut mangsa di depannya. Adrian yang mendapat serangan kejutan itu terdorong mundur. Ia lantas terbatuk dan merasakan nyeri yang sangat pada perutnya. "Ahh sial aku lupa masih memiliki cidera," gumam Adrian lantas meludahkan air liur bercampur darah.Mata elang sang pangeran menyorot tajam."Hey, Kimberly! Berhentilah bercanda. Aku tak mengerti sejak kapan kau menguasai bela diri," ucap Adrian masih tidak bisa melihat situasi yang terjadi.Wanita dibalik tudung itu sempat menatap pangeran heran. Namun tak berlangsung lama begitu melihat Adrian mendekat, itu segera mengayunkan bilah pisaunya diarahkan ke tubuh lawan. Namun Adrian tidak lagi membiarkan lawannya menghajarnya, dengan sigap ia membaca gerakan tangan wanita itu kemudian menangkapnya. "Hey! Kim, ini kakak! Apa kau tidak mengenaliku?" seru Adrian bersuara keras tepat di depan telinga begitu berhasil mengunci pergerakan sosok perempuan yang i
"Hah?! Apa yang baru saja terjadi?"Pangeran segera bangkit dari tempat tidurnya. Ia berdiri di depan cermin lantas terpaku menyaksikan bayangannya sendiri. Ia terbelalak menyaksikan pantulan cermin yang memperlihatkan postur tubuhnya yang berusia 25 tahun. Masih dengan kemeja putih yang lusuh dan tatanan rambut berantakan. Sayangnya begitu ia mengerjapkan mata, pantulan cermin berganti menjadi sosok pemuda berpakaian kerajaan dan berusia 18 tahun."Apa aku tadi sedang bermimpi?"Tangannya seketika menyentuh dadanya yang beberapa saat lalu terasa sakit.Matanya menyorot lurus bola matanya yang terpantul dalam cermin."Tidak, itu bukan mimpi. Itu adalah ... prekognisi," bisik Adrian lantas secepat kilat berlari menuju pintu peraduannya. Prekognisi merupakan bagian dari ilmu parapsikologi yang membahas mengenai kemampuan seseorang untuk melihat atau memprediksi gambaran masa depan. Biasanya hal itu datang melalui media mimpi prekognitif.Knop pintu berusaha Adrian putar, namun pintu t
Semburat jingga terlihat di ufuk barat pertanda hari sebentar lagi berganti malam. Angin bertiup lembut menenangkan jiwa. Namun berbeda dengan sosok pria yang sedari tadi berjalan ke sana ke mari di depan sebuah pintu yang dijaga ketat oleh prajurit."Ayolah pangeran keinginanmu sudah ditolak, pasti keputusan permaisuri tak akan berubah.""Kita tidak akan tau sebelum mencobanya hingga detik terakhir," ucap sang pangeran dengan sok bijak padahal dalam hatinya terbesit rasa takut dan putus asa.Ceklek ...Pintu itu terbuka lebar lantas muncul sesosok wanita bergaun tertutup dengan dua dayang di belakangnya."Heira, kau pastikan jangan ada barang yang tertinggal," ucap sang permaisuri lantas kembali berjalan tanpa mengindahkan dua pemuda yang menantinya di depan pintu."Permaisuri ... " panggil Adrian terus mengikuti jalan sang wanita. Beberapa kali ia memanggil namun wanita itu tak menggubris. Adrian tak kehabisan akal, ia mencegat jalan sang permaisuri. Namun tetap sang permaisuri me
Setelah seharian penuh, akhirnya rombongan Putri Laveena tiba di kerajaan. Ketika kereta kuda terhenti, sang putri bergegas bersiap keluar. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan banyak massa yang ada di depan gerbang istana. "Ada apa ini?" tanya Laveena kepada prajurit yang membukakan pintu. "Izin menjawab, Tuan Putri, semenjak dekrit kaisar diumumkan, entah mengapa justru banyak pihak yang tidak puas. Beberap saat lalu para cendikiawan Deoreva mengirimkan banyak petisi," jawab prajurit itu sembari membantu Laveen menuruni kereta kuda. "KAKAK?!" Laveena kenal betul dengan suara itu, ya siapa lagi kalau bukan adik satu-satunya itu. "Akhirnya kakak pulang! Aku menunggumu sedari pagi tau, Kak. Kau membuatku khawatir kupikir kau pulang kemarin," ujar Rhiannon begitu sampai di depan kakaknya langsung memeluknya erat. Melihat raut lelah kakaknya, Rhiannon segera menggandeng kakaknya untuk masuk. "Aku tidak sabar mendengar apa yang kau lakukan di sana, Kak," kata Rhiannon kemudian t
Zilano berjalan menyusuri lorong dengan wajah dingin. Ia terlihat tergesa menuju kesuatu tempat. Meskipun matanya nampak terfokus pada jalanan lorong, nyatanya pikirannya melalang buana kepada ucapan ayahnya benerapa saat lalu. ^^^ "Apa yang terjadi? Katakan cepat!" Zilano yang masih dilanda kepanikan berusaha menghindar. Namun sayangnya tak bisa, ayahnya telah menutup ruang geraknya. Tadi ketika ia menggendong George menuju pavilium tabib, tanpa sengaja bertemu Parveen yang sedang berjalan dari arah berlawanan pada lorong jalan yang menuju pavilium tabib. Sehingga usai keluar dari pavilium tabib dengan buru-buru, Parveen menyeret anaknya untuk diinterogasi. "Mengapa kau hanya diam saja, Zilan!" bentak Parveen kehilangan kesabaran. Pada akhirnya Zilano menyerah. Ia membenturkan tubuhnya pada tembok. "Aku tak tahu ayah! Putra mahkota dan pangeran hampir saja saling membunuh dan aku harus segera mencari keberadaan pangeran. Jadi kumohon menyingkirlah!" Parveen terbelalak
Wewangian tumbuhan herbal seketika menyeruak di indera penciuman Adrian. Matanya yang terasa berat perlahan mulai dapat terbuka. Begitu kesadarannya kembali, tubuhnya terasa kaku dengan rasa nyeri yang berdenyut di mana-mana. "Aishhh," ringisnya mendadak perutnya terasa sakit bukan main. Tangannya sontak meraba dan ia menemukan sebuah kain yang membungkus keseluruhan perutnya. Karena kesulitan mengangkat tubuhnya, ia melirik perutnya yang ternyata terdapat kasa putih membalut lukanya. "Pavilium tabib? Bagaimana aku bisa sampai di sini?" tanyanya dengan suara parau. Tak berapa lama terdengar langkah kaki memasuki ruangannya. Netra birunya terpaku melihat seorang wanita yang tiba-tiba berhenti di ambang pintu. Teringat kejadian beberapa saat lalu, Adrian mengalihkan pandangannya ke arah lain seolah tak ingin berkontak mata lagi dengannya. "Pangeran .... " Adrian tak menggubris, ia berlagak memejamkan mata kembali. Namun ketika sebuah sentuhan hangat terasa pada punggung tangannya