//TW⚠️// Bab ini mengandung perilaku menyakiti diri sendiri
****"Ini gila! Bagaimana bisa?!"Sudah lima belas menit lamanya pemuda berpakaian kerajaan itu mengayunkan tungkainya ke sana kemari sambil sesekali memperhatikan penampilan di cermin yang ia lewati. Ia masih berusaha menerima kondisi tubuhnya yang terasa asing, namun tetap saja ia masih merasa terkejut dan terheran."Tunggu... "Ia memaku berdiri di depan cermin mematut seorang pangeran yang tampak menawan."Sebenarnya apa yang terjadi? Apa aku kembali ke kehidupanku dimasa lampau? Renkarnasi? Emmm tidak-tidak... ini terasa mustahil, tapi yang ada di depanku ini membuatku tak bisa mengelak fakta itu. ARGHHH apa aku ini sudah gila?" gumamnya menggeram kesal.Kembali ia berjalan kesana-kemari memikirkan hal logis apa yang bisa menjelaskan fenomena yang ia hadapi sekarang.Pluk....Jari telunjuk dan jempolnya beradu."Mungkin aku sedang bermimpi?" pikirnya sumringah.Sejurus kemudian sang pangeran mencubit beberapa bagian tubuhnya dan ia meringis kesakitan. Ia lantas berjalan menuju pecahan cermin yang masih berserakan di samping ranjang. Tangannya terulur mengambil cermin dengan ujung runcing."Baiklah mungkin dengan ini aku bisa terbangun. Semoga," mohonnya dengan sangat.Ia lantas mengarahkan ujung runcing pecahan cermin pada pergelangan tangannya. Tanpa ragu sedikitpun ia mulai membentuk empat garis panjang melintang pada lengannya.SretttSretttCairan merah kental sontak merembes keluar. Begitu banyak dan begitu mengerikan. Lengan seputih susu itu berubah berlumuran cairan merah.Seiring goresan langen yang semakin banyak, ia pun mulai kembali meringis kesakitan. Namun nyatanya hal itu tak menghentikan perbuatan tercela itu."Arghhh! Kenapa aku masih bisa merasakan sakit?!"Pangeran itu terus saja menggoreskan ujung runcing itu hingga membuat lengannya dipenuhi pola abstrak. Ia masih merasa tak puas menyadari dirinya yang terus saja merintih kesakitan. Bahkan kini cairan berbau anyir itu semakin menyeruak mengucur dari lengannya."SIAL, KENAPA INI TIDAK BEKERJA!!!"Brakkk...Pintu peraduan terbuka lebar begitu sebuah energi besar mendobrak pintu kayu tersebut."Ya Tuhan! APA YANG TERJADI?!!"Seorang wanita dewasa dengan gaun bangsawan terbelalak mendapati sosok pemuda dalam kondisi yang memprihatinkan. Ia lantas berlari kencang menuju sang pangeran yang masih membeku ditempat."Apa yang kamu lakukan?! Astaga, kebodohan apa yang sekarang kau lakukan?!" pekiknya terkejut mendapati banyak darah yang bercecer di lantai berbahan marmer itu."Aku hanya me—" "PENGAWAL, CEPAT PANGGILKAN TABIB!!" teriak wanita itu penuh kepanikan.Obsidian hijau zamrud itu menyorot khawatir, ia bergerak panik memeriksa tiap inci lengan yang terluka parah.Sang pangeran terdiam sejenak menatap orang di depannya."Ini jelas-jelas mimpi. Aku harus bangun sekarang juga!!" seru Adrian tiba-tiba kembali menancapkan pecahan cermin yang masih ada di tangannya."HEY HENTIKAN!!!"Audreya menahan kedua tangan anaknya dengan sekuat tenaga.Namun sang pangeran terkesan tak memedulikan sosok wanita di depannya yang bahkan sudah berteriak penuh kecemasan."Kumohon hentikan, Nak," pinta Audreya dengan suara parau. Cucuran air mata mulai berjatuhan dari pelupuk zamrudnya.Di sisi lain sorot mata adrian nampak kelam, ia sudah kepalang kalap untuk melukai dirinya. Ambisi semunya membuatnya mengambil tindakan berbahaya dan tak masuk akal."INI BUKAN TEMPATKU, KUMOHON AKU HANYA INGIN KEMBALI KE TEMPAT ASALKU!!" bentak Adrian masih memberontak untuk kembali berusaha 'menyadarkan' dirinya.PlakAdrian membeku usai sebuah tamparan keras mendarat pada pipinya."CUKUP!!"Obsidian zamrud yang biasanya memancarkan keteduhan, kini berubah merah menyorot penuh amarah kepada sosok yang sangat ia sayangi. Perasaan tak bisa dibohongi, meskipun amarah masih mengumpul pada dirinya, terbentuk sungai kecil pada pipi menawan sang permaisuri kala menyadari tindakan yang baru saja ia lakukan."Apa kamu sudah tidak waras, Adrian!! Apa kau benar-benar bodoh seperti yang mereka katakan?!!""Di istana ini semua orang memang membencimu, mengabaikanmu bahkan ada yang terang-terangan ingin mengusirmu. Apa sekarang kau juga ikut membenci dirimu sendiri? Bunda sudah berjuang keras membesarkan dan menjagamu, lantas sekarang siapa yang akan menjaga ragamu? HAH?!" sentak Audreya memarahi habis-habisan sosok Adrian yang masih termagu.Adrian tertohok mendengar kalimat kemarahan yang Audreya ucapkan. Jantungnya mendadak berhenti berdegup begitu mendengar pertanyaan yang terlontar.Audreya mencengkeram erat kedua bahu anaknya."Bunda paham tidak mudah bertahan hidup di sekitar orang yang membencimu, harga diri yang terinjak-injak ketika tidak ada orang yang menghargai dan menghormati status pangeranmu. Tapi kamu perlu ingat, Nak, dari sekian banyak orang, masih ada segelintir orang yang mengakui dan membutuhkan atensimu. Kamu di sini masih punya bunda, Nak, kamu tidak sendiri," lirih Audreya membisikkan kata demi kata dengan penuh kelembutan.Tubuh Adrian melemas, tatapannya mendadak sayu kemudian tertunduk dalam. Tercetak jelas ada beban besar yang kini tertumpuk di kepala pemuda itu.Menyadari mendapat kesempatan berharga, Adreya segera merebut pecahan cermin yang masih digenggam sang pangeran dan segera membuangnya jauh-jauh.Lama Adrian terdiam dalam posisinya, sedangkan Audreya bergerak merobek bagian gaunnya untuk digunakan mengusap darah yang masih mengalir pada lengan sang putera."Kau adalah Yang Mulia Permaisuri Audreya ya?" pertanyaan konyol itu terlontar tiba-tiba dari mulut Adrian.Wanita dewasa itu mengalihkan perhatiannya menatap sang pangeran masih dengan pandangan sedih bercampur cemas."Iya ini aku ibundamu, Nak."Audreya memutar posisi tubuh Adrian untuk menghadap ke arahnya. "Cukup sampai di sini tindakan bodoh ini kau lakukan. Berjanjilah jangan menyakiti dirimu lagi ya?" mohon Audreya sembari tersenyum sendu.Tubuh pemuda itu tertariknya memasuki dekapan hangat Permaisuri Audreya. Adrian menurut, ia tak memberontak tak juga membalas. Nampaknya ia masih mencerna kejadian yang baru saja menimpanya.Tak lama kemudian terdengar isakan samar dari sosok yang memelukknya. Dapat dipastikan permaisuri tengah berusaha meredam suara tangisnya yang semakin kuat.Permaisuri Audreya masih setia mengusap lembut surai coklat milik Adrian kemudian mengecupnya.Kedua tangan penuh luka goresan itu terangkat hendak membalas pelukan hangat Permaisuri Audreya, namun segera tertahan oleh sebuah suara yang berasal dari arah pintu."AUDREYA! LEPASKAN ANAK ITU!"Titah tak terbantah itu membuat anak dan ibu itu membeku kaku. Pria paruh baya dengan penuh wibawa melangkah masuk dan bergegas menarik wanita yang tengah mendekap anaknya penuh kasih sayang."Yang Mulia Kaisar?" kejut sang permaisuri menyadari suaminya kini telah ada di sampingnya. Tak bisa disembunyikan raut khawatir bercampur takut dari obsidian zamrud itu."Sudah kukatakan, Reya, jaga batasan dengan anak itu," geramnya begitu tubuh wanita itu dipaksa menjauh dari Adrian yang berubah menatap datar.Wanita bergaun peach yang kini sudah dipenuhi noda kemerahan itu tiba-tiba menggenggam kedua tangan suaminya. "Mohon ampun, Yang Mulia, izinkan saya merawat Adrian kali ini saja. Saya mohon," mohonnya menatap sang suami penuh harap.Dari arah belakang sang kaisar, muncul sosok pemuda sebaya dengan sang pangeran."Ibunda jangan termakan drama yang sedang Adrian mainkan. Dia hanya ingin mencari perhatian untuk merebut tahtaku."Ialah sang Putra Mahkota sekaligus anak kandung dari Permaisuri Audreya, George Willam Bavelach. Ia memiliki postur tubuh lebih tinggi dari Pangeran Adrian. Berbeda dengan garis wajah Pangeran Adrian yang menawan dan terkesan manis, George memiliki wajah terkesan dingin dan kaku dengan tatapan tajam. Selain itu ia bersurai sedikit panjang dengan warna hitam legam.“Sayang, kamu tidak boleh berbicara seperti itu. Dia saudaramu,” tegur Audreya merasa apa yang anak kandungnya ucapkan telah kelewatan.Tatapan bengis tersorot kepada Pangeran Adrian yang sedari tadi hanya terdiam dengan wajah datar. “Memang benar dia saudaraku, tapi jangan lupa juga dia adalah aib istana,” lanjut George dengan menyeringai remeh.“GEORGE, BUNDA TIDAK PERNAH MENGAJARKANMU KURANG AJAR SEPERTI ITU!”Sebuah bentakan keluar dari sosok anggun Audreya. Ia sudah tak tahan mendengar perkataan sarkas yang anaknya lontarkan."CUKUP! Bawa Putra Mahkota keluar, Reya, aku akan mengurus anak ini," titah sang kaisar yang tentu saja tak mampu ditentang oleh permaisuri. Ia hanya mampu menatap nanar Adrian yang menatapnya dengan ekspresi tak terbaca."Meskipun aku bukan sosok yang melahirkanmu, tapi rasa sayangku terhadapmu tidak kalah besar dari rasa sayangku terhadap anak kandungku sendiri, Adrian. Jaga dirimu dan obati lukamu," bisik Audreya lantas mengembangkan senyum ketulusan seorang ibu.Permaisuri Audreya menggandeng tangan Geroge dan membawanya pergi keluar peraduan.Sebelum pergi, Geroge sempat berjalan melewati sosok Adrian kemudian ia membisikkan sesuatu tepat di telinga sang pangeran.“Ingat, kau hanyalah seekor domba yang tak akan pernah bisa menjadi sosok singa!”Usai Permaisuri Audreya dan Pangeran George pergi, sang kaisar menatap dingin salah satu anak kandungnya itu.Vernon menghela napas berat kemudian melirik Adrian sekilas.“Sudah kubilang, Ad, jangan membuat ulah jika kau masih ingin bertahan di sini. Cukup diam di tempatmu jika kau tak ingin terusir dari istana."Adrian tak merespon, ia sedikit menundukkan pandangannya memperhatikan setiap gerak-gerik ayahnya dalam diam.Tungkai sang kaisar bergerak memutari tubuh adrian seolah tengah menilai."Kau tahu, sejujurnya jika kau terbunuh pun aku tak akan peduli. Jadi berhentilah membuat dirimu mencolok, kau hanya akan membuat semua orang diistana ini terganggu akan kehadiranmu.”Pangeran Adrian tiba-tiba mendongak menatap tepat pada mata elang sang kaisar tanpa rasa takut sedikitpun. Raut wajahnya datar dengan emosi yang tak terbaca. Vernon yang menyadari tatapan tak biasa dari Adrian mengerutkan dahinya heran.“Ada apa dengan matamu? Berani-beraninya kau menatapku seperti itu?!” gertak Vernon menunjuk kedua mata Adrian marah.Adrian masih tak berkutik sedikitpun, ia tak mengucapkan sepatah katapun justru ia malah berbalik menatap Vernon semakin menantang.“Kenapa? Apa aku tidak diperbolehkan menatap ayahku sendiri?”Suara bariton penuh ketegasan terdengar. Adrian yang sedari tadi terdiam kini mulai bersuara. Yang lebih mengejutkan bukan ucapan permintaan maaf yang terdengar, melainkan sebuah pertanyaan yang mungkin saja dapat membahayakan diri.“KAU?!”Adrian bergerak menjauhi sosok Vernon. Ia berjalan mundur lantas berhenti mengambil selembar kain yang kemudian digunakan untuk mengusap lengannya yang terluka. Hal itu tentu saja tak luput dari tatapan tajam sang kaisar.“Awalnya aku tak mengerti mengapa terbangun di tubuh pangeran lemah dan tertindas ini, tapi sepertinya sekarang aku paham, tujuanku ada di sini adalah untuk meruntuhkan kekaisaran gila ini," ujar Adrian enteng kemudian menoleh kepada Vernon dengan wajah angkuh.“KURANG AJAR! DARI MANA KEBERANIAN SIALAN ITU KAU DAPATKAN?!!"TBCBrakCeklek ... ceklekPintu coklat yang nampak gagah itu dibanting dengan kerasnya usai seorang pria bermahkota keluar dari sana. Tangan kekarnya segera mengunci pintu itu."Dasar anak tidak tau diuntung!" umpat Vernon menggeram pelan.Sang kaisar lantas berdiam sejenak memejamkan mata di lorong gelap. Kemudian helaan napas terdengar berhembus perlahan."Aku tau kau di sana. Keluar!!"Vernon tiba-tiba berteriak ke area gelap yang berada jauh di belakangnya. Indera perasanya terlampau tajam hingga ia mampu menyadari kehadiran seseorang yang bersembunyi di balik kegelapan.Tak lama kemudian terdengar sepatu yang bergesekan dengan lantai. Langkah itu terdengar berat terkesan ragu untuk melangkah.Kaisar itu berbalik menantang sosok yang berada di balik kegelapan. Matanya menyorot tajam dan terkesan bersiap mencincang siapa saja yang tersorot pandangannya."Bukankah aku sudah memintamu untuk pergi dari sini, Reya? Apa kau memang berniat melanggar perintahku untuk tinggal bersama anak kes
Sepeninggalan Rhiannon, pikiran Adrian tak berhenti bekerja. Ia masih memikirkan situasi yang kini menimpanya. Adrian perlu memastikan kebenarannya sendiri apa yang kini ia yakini."Jika benar aku sedang bertukar jiwa, apakah pangeran yang asli sedang berada di tubuh asliku?""Lalu bagaimana cara kerja pertukaran jiwa ini? Apakah ada konsekuensi yang akan kami dapat?"Adrian mengacak rambutnya frustasi memikirkan segala risiko yang pasti akan ia dapat. Pangeran itu bangkit berjalan mondar-mandir di depan pintu peraduannya. Apalagi kini pikirannya kian berkecambuk menyadari situasi tak menguntungkan sebagai sosok pangeran buangan. Bagaimana tidak, ketika ia harus mengenali lingkungan barunya, kini ia malah tersandung masalah tidak bisa leluasa keluar dari peraduannya."Huh! Satu-satunya cara aku harus segera menemukan jalan keluar rahasia yang nona tadi dibicarakan. Tapi masalahnya aku harus mulai darimana?" gumam Adrian memikirkan jalan keluar yang bisa menjadi alternatif berharga.T
Sepasang mata penuh amarah menyorot tajam terus memperhatikan kejadian yang ada di depannya. Tangannya terkepal kuat dengan gigi yang menggerutu mempertegas guratan kemarahan di wajahnya."Hormat kepada Yang Mulia Permaisuri, kesejahteraan selalu melingkupi."Kedua prajurit yang sedari tadi berdiam di depan pintu berlutut menghormat begitu menyadari sosok agung hadir diambang pintu.Sang permaisuri tak mengidahkan hal tersebut. Ia berlari menerobos peraduan sang pangeran. Dengan secepat kilat ia menahan tangan seorang wanita yang sudah terangkat tinggi.“BELUM PUASKAH KAU MENYAKITI DARAH DAGINGMU SENDIRI, SELIR AGUNG JIREA?!” seru Audreya dengan suara menggeram. Sorot matanya tak lepas menatap sang selir yang juga menatapnya terkejut."Pengawal, pergilah tinggalkan kami disini," perintah Jirea kepada kedua pengawalnya yang masih setia berjaga di depan pintu.Tak butuh waktu lama kedua prajurit itu pergi menuruti perintah sang selir agung."Setelah apa yang kau lakukan dengan darah dag
Derap langkah bergemuruh memenuhi lorong istana. Terjadi kepanikan sepanjang lorong istana ketika sosok kaisar dengan wajah dingin bercampur khawatir berlari sepanjang lorong dengan membopong tubuh lemas seorang wanita."MINGGIR SEMUA?! CEPAT PANGGILKAN TABIB! PASTIKAN TIBA SEGERA!" teriak Duke Fernand menggema keseluruh istana. Ia yang tadinya sedang bertemu dengan kaisar, ikut andil melihat apa yang terjadi pada Audreya. Ia dengan sigap mendampingi sang kaisar berlari menuju peraduannya.Setiap prajurit dan pelayan kelimpungan berlari kesana kemari memberikan jalan sang kaisar."Apa yang terjadi dengan Yang Mulia Permaisuri?""Aku dengar karena selir agung.""Sepertinya sebentar lagi akan terjadi kegegeran besar.""Tapi aku ragu selir agung akan dihukum secara selir agung adalah orang ya—""Sttt kecilkan suaramu, Mira, kau mau kita bertiga berakhir dipancung?!" Para pelayan yang berbaris di sepanjang lorong menunduk sembari saling berbisik-bisik membicarakan kemungkinan yang terja
EnghhLenguhan terdengar dari sosok wanita anggun yang terbaring lemah di ranjang besar. Kelopak matanya perlahan bergerak hingga matanya terbuka sempurna."Ibunda?"Netranya menangkap wajah pemuda bernetra biru. Dengan perlahan ia mengangkat tangannya dan mengusap wajah sang anak."Kau baik-baik saja, Adrian?" tanya sang permaisuri dengan suara selembut sutra.Namun sebuah suara protes membuat kesadarannya berkumpul seketika."Ibunda, ini aku George bukan Adrian!" sentak George merasa kesal. Ia menepis tangan sang ibunda yang masih bertengger pada pipinya.Audreya yang menyadari kesalahannya segera tersadar."Oh maafkan aku, Sayang."George memasang raut wajah kesal bercampur iri. Sebenarnya ini bukan kali pertama Audreya membuat kesalahan seperti ini. Entah mengapa sang permaisuri kerap salah sebut nama ketika bersama anak kandungnya sehingga tak heran jika George begitu membenci sosok Adrian.***Situasi istana kala itu memanas usai kabar sang selir yang menganiaya sang permaisuri
"Panglima, di mana Putri Rhiannon? Bukankah tadi dia menaiki kuda bersamamu?" Seorang pria paruh baya bermahkota mewah merotasi matanya menyisir sekeliling mencari seseorang.Prajurit yang ikut mendampingi sang raja pun nampak kebingungan menyadari sang putri tidak ada pada tempatnya. Mereka memasang raut khawatir menyadari rajanya pasti sebentar lagi akan murka."Mohon ampun, Baginda, Putri tadi memberitahukan bahwa ia akan pergi mendahului ke istana utama," jawab seorang prajurit yang berada tepat di samping kereta kencana yang dikendarai sang raja."Kenapa kau baru memberitahukanku sekarang?!" bentak sang raja tak habis pikir dengan panglimanya.Pria bermahkota itu memijit pelipisnya lelah. "Cari dia sekarang. Kita akan segera kembali ke Deoreva, pastikan ia ditemukan sebelum aku selesai menemui kaisar dan permaisuri!""Ayah, izinkan aku untuk ikut mencari," sahut seseorang yang duduk berhadapan dengan sang raja.Sang raja memandang wanita di depannya penuh arti. "Ya, temukan adik
"Apa? Bagaimana? Ibundamu sudah sadar?" Kaisar yang baru tiba segera memberondong sang anak dengan banyak pertanyaan. Sedangkan George yang sedang berdiri mengamati sang ibu yang tengah diperiksa kondisinya oleh tabib masih memasang wajah kesal. "Ya. Tapi ibunda malah mencari anak pembawa sial itu," tanggap George bertambah masam. Vernon menghela napas pasrah. Isi kepalanya terasa penuh akibat semua insiden terjadi bersamaan. "Hukuman apa yang ayahanada berikan kepada selir itu?" celetuk George kembali membahas persoalan sosok yang beberapa saat lalu hampir ia amuk. "Kau tak perlu ikut campur, George, biarkan bagian kedisiplinan istana yang mengatur hukuman yang pantas untuknya," jawab Vernon dengan suara lemah. Ia duduk di pinggiran ranjang sang isteri kemudian menatap tubuh pasangannya itu dengan sayu. "Sungguh? Ayah benar-benar menghukumnya dan tidak berniat meloloskannya kan?" jawab George nampak kecewa mendengar jawaban sang ayah. "Jaga sikapmu, Putra Mahkota?!" seru san
Prakkk "Arghhh!" Jeritan kesakitan menggema ke seluruh ruangan. Seorang pria seketika terkapar begitu besi panjang itu menyabet tubuhnya. "KATAKAN YANG SEBENARNYA, DARI MANA SAJA KAU?!" Jirea, sang pelaku pemukulan itu tanpa belas kasih membuat babak belur puteranya. Beberapa saat lalu Adrian memang berhasil sampai di peraduannya sebelum Jirea datang, namun malangnya Jirea menyadari sosok Adrian yang telah kembali berkat bercak tapakan kaki yang tertinggal di depan pintu. Saat itu juga Jirea mengobrak-abrik perabotan kamar sang pangeran. "Apa kau mendadak bisu usai berjalan-jalan keluar?!" Adrian entah mengapa sedari ia dipergoki sang ibu tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia menolak menjawab hingga menyebabkan Jirea menyiksanya secara brutal. "Masih tidak menurut rupanya, baiklah bagaimana kalau kuhilangkan salah satu kakimu agar kau tak bisa kabur lagi?" ujar Jirea mengeluarkan senyuman iblis. Tangan Jirea bergerak menodongkan moncong besi itu pada kaki kanan pangeran. Seda
Di dalam ruangan yang begitu gelap, Adrian berdiam diri. Ia masih terhenyak dengan kejadian hari ini. Dimulai dengan sosok Kimberly yang tiba-tiba muncul di sini sampai kematian permaisuri yang begitu mendadak. Pangeran itu mengacak rambutnya frustasi. Ia telah buntu memikirkan apa yang selanjutnya akan terjadi. Kematian permaisuri menjadi alarm bahaya untuknya. "Aku harus menemui Jirea karena seharusnya dialah dalang dibalik kematian permaisuri," ucap Adrian dengan suara parau. Dengan sisa-sisa harapan, ia keluar dari peraduannya untuk menemui sosok tersangka yang ia yakini. Ketika ia sampai di istana utama, banyak prajurit yang korban dari penyerangan yang telah tiba di istana. Adrian menarik lengan seorang prajurit yang sedang berjalan cepat. "Katakan, apa permaisuri telah tiba?" tanya Adrian menodong keras. Prajurit itu nampak takut melihat sosok Adrian yang berbeda. Penampilan Adrian memang terbilang kacau, namun tatapan tajam itu membuat siapapun tak mampu berkutik.
"Nyonya, apakah nyonya sudah dengar mengenai kabar permaisuri?" Jirea yang tengah sibuk menyulam tiba-tiba menghentikan kegiatannya begitu mendengar satu nama yang menarik perhatiannya akhir-akhir ini. Alisnya terangkat satu memandang penuh tanya. Ia lantas meletakkan sulamanya kemudian mengode Roger untuk mendekat Roger dengan segera menghampiri Jirea lebih dekat lantas membisikan sesuatu. "Rombongan permaisuri telah diserang." Sebaris kalimat itu membuat wajah Jirea seketika sumringah. Senyuman miring segera terbit dari bibir ranumnya. "Muez menangkap umpannya?" responnya dengan sebuah pertanyaam ambigu. Menangkap apa yang Jirea maksud Roger lantas mengangguk. "Kudengar seluruh prajurit terbantai dan itu artinya permaisuri telah tewas," balas pria tersebut berbinar senang. Wajah puas dan angkuh seketika terbit. Jirea bangkit dari duduknya lantas berjalan menuju nakas di samping tempat tidurnya. "Kau memang bisa diandalkan," ucapnya lantas melemparkan sebuah kantung berwarn
Kegaduhan di dalam istana tidak terkendali. Banyak para pelayan dan prajurit yang berlarian. Sama halnya dengan sosok jenderal gagah yang melangkahkan kakinya lebar-lebar. Dari raut wajahnya yang tegas tulang rahangnya nampak begitu menonjol seolah tengah memendam amarah. "Panglima Agung!" teriaknya dengan keras begitu memasuki sebuah ruangan.Sang empu yang tadinya tengah memejamkan mata tersentak kaget."APA APAAN KAU INI!" teriak Roger berbalik marah.Terrson menggeram marah. "Disaat kegaduhan yang terjadi bagaimana bisa kau justru tidur?" tanyanya dengan sarkas.Raut lugu ditunjukkan oleh Roger. "Apa maksudmu?" "Rombongan permaisuri di serang—""APA?!" Belum usai Terrson menjelaskan, Roger sudah terlebih dahulu menyela. Nyatanya jabatan tak menjamin pengetahuan seseorang. Panglima tertinggi itu ternyata tak tahu menahu mengenai kejadian yang menimpa permaisuri. "Aku perintahkan kau menghadap kaisar. Aku akan mengurus sisanya," ucap Roger cepat. Ia bergegas menggunakan pakaian
Bughh Begitu melihat lawannya lengah, sosok bertudung hitam itu segera menendang perut mangsa di depannya. Adrian yang mendapat serangan kejutan itu terdorong mundur. Ia lantas terbatuk dan merasakan nyeri yang sangat pada perutnya. "Ahh sial aku lupa masih memiliki cidera," gumam Adrian lantas meludahkan air liur bercampur darah.Mata elang sang pangeran menyorot tajam."Hey, Kimberly! Berhentilah bercanda. Aku tak mengerti sejak kapan kau menguasai bela diri," ucap Adrian masih tidak bisa melihat situasi yang terjadi.Wanita dibalik tudung itu sempat menatap pangeran heran. Namun tak berlangsung lama begitu melihat Adrian mendekat, itu segera mengayunkan bilah pisaunya diarahkan ke tubuh lawan. Namun Adrian tidak lagi membiarkan lawannya menghajarnya, dengan sigap ia membaca gerakan tangan wanita itu kemudian menangkapnya. "Hey! Kim, ini kakak! Apa kau tidak mengenaliku?" seru Adrian bersuara keras tepat di depan telinga begitu berhasil mengunci pergerakan sosok perempuan yang i
"Hah?! Apa yang baru saja terjadi?"Pangeran segera bangkit dari tempat tidurnya. Ia berdiri di depan cermin lantas terpaku menyaksikan bayangannya sendiri. Ia terbelalak menyaksikan pantulan cermin yang memperlihatkan postur tubuhnya yang berusia 25 tahun. Masih dengan kemeja putih yang lusuh dan tatanan rambut berantakan. Sayangnya begitu ia mengerjapkan mata, pantulan cermin berganti menjadi sosok pemuda berpakaian kerajaan dan berusia 18 tahun."Apa aku tadi sedang bermimpi?"Tangannya seketika menyentuh dadanya yang beberapa saat lalu terasa sakit.Matanya menyorot lurus bola matanya yang terpantul dalam cermin."Tidak, itu bukan mimpi. Itu adalah ... prekognisi," bisik Adrian lantas secepat kilat berlari menuju pintu peraduannya. Prekognisi merupakan bagian dari ilmu parapsikologi yang membahas mengenai kemampuan seseorang untuk melihat atau memprediksi gambaran masa depan. Biasanya hal itu datang melalui media mimpi prekognitif.Knop pintu berusaha Adrian putar, namun pintu t
Semburat jingga terlihat di ufuk barat pertanda hari sebentar lagi berganti malam. Angin bertiup lembut menenangkan jiwa. Namun berbeda dengan sosok pria yang sedari tadi berjalan ke sana ke mari di depan sebuah pintu yang dijaga ketat oleh prajurit."Ayolah pangeran keinginanmu sudah ditolak, pasti keputusan permaisuri tak akan berubah.""Kita tidak akan tau sebelum mencobanya hingga detik terakhir," ucap sang pangeran dengan sok bijak padahal dalam hatinya terbesit rasa takut dan putus asa.Ceklek ...Pintu itu terbuka lebar lantas muncul sesosok wanita bergaun tertutup dengan dua dayang di belakangnya."Heira, kau pastikan jangan ada barang yang tertinggal," ucap sang permaisuri lantas kembali berjalan tanpa mengindahkan dua pemuda yang menantinya di depan pintu."Permaisuri ... " panggil Adrian terus mengikuti jalan sang wanita. Beberapa kali ia memanggil namun wanita itu tak menggubris. Adrian tak kehabisan akal, ia mencegat jalan sang permaisuri. Namun tetap sang permaisuri me
Setelah seharian penuh, akhirnya rombongan Putri Laveena tiba di kerajaan. Ketika kereta kuda terhenti, sang putri bergegas bersiap keluar. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan banyak massa yang ada di depan gerbang istana. "Ada apa ini?" tanya Laveena kepada prajurit yang membukakan pintu. "Izin menjawab, Tuan Putri, semenjak dekrit kaisar diumumkan, entah mengapa justru banyak pihak yang tidak puas. Beberap saat lalu para cendikiawan Deoreva mengirimkan banyak petisi," jawab prajurit itu sembari membantu Laveen menuruni kereta kuda. "KAKAK?!" Laveena kenal betul dengan suara itu, ya siapa lagi kalau bukan adik satu-satunya itu. "Akhirnya kakak pulang! Aku menunggumu sedari pagi tau, Kak. Kau membuatku khawatir kupikir kau pulang kemarin," ujar Rhiannon begitu sampai di depan kakaknya langsung memeluknya erat. Melihat raut lelah kakaknya, Rhiannon segera menggandeng kakaknya untuk masuk. "Aku tidak sabar mendengar apa yang kau lakukan di sana, Kak," kata Rhiannon kemudian t
Zilano berjalan menyusuri lorong dengan wajah dingin. Ia terlihat tergesa menuju kesuatu tempat. Meskipun matanya nampak terfokus pada jalanan lorong, nyatanya pikirannya melalang buana kepada ucapan ayahnya benerapa saat lalu. ^^^ "Apa yang terjadi? Katakan cepat!" Zilano yang masih dilanda kepanikan berusaha menghindar. Namun sayangnya tak bisa, ayahnya telah menutup ruang geraknya. Tadi ketika ia menggendong George menuju pavilium tabib, tanpa sengaja bertemu Parveen yang sedang berjalan dari arah berlawanan pada lorong jalan yang menuju pavilium tabib. Sehingga usai keluar dari pavilium tabib dengan buru-buru, Parveen menyeret anaknya untuk diinterogasi. "Mengapa kau hanya diam saja, Zilan!" bentak Parveen kehilangan kesabaran. Pada akhirnya Zilano menyerah. Ia membenturkan tubuhnya pada tembok. "Aku tak tahu ayah! Putra mahkota dan pangeran hampir saja saling membunuh dan aku harus segera mencari keberadaan pangeran. Jadi kumohon menyingkirlah!" Parveen terbelalak
Wewangian tumbuhan herbal seketika menyeruak di indera penciuman Adrian. Matanya yang terasa berat perlahan mulai dapat terbuka. Begitu kesadarannya kembali, tubuhnya terasa kaku dengan rasa nyeri yang berdenyut di mana-mana. "Aishhh," ringisnya mendadak perutnya terasa sakit bukan main. Tangannya sontak meraba dan ia menemukan sebuah kain yang membungkus keseluruhan perutnya. Karena kesulitan mengangkat tubuhnya, ia melirik perutnya yang ternyata terdapat kasa putih membalut lukanya. "Pavilium tabib? Bagaimana aku bisa sampai di sini?" tanyanya dengan suara parau. Tak berapa lama terdengar langkah kaki memasuki ruangannya. Netra birunya terpaku melihat seorang wanita yang tiba-tiba berhenti di ambang pintu. Teringat kejadian beberapa saat lalu, Adrian mengalihkan pandangannya ke arah lain seolah tak ingin berkontak mata lagi dengannya. "Pangeran .... " Adrian tak menggubris, ia berlagak memejamkan mata kembali. Namun ketika sebuah sentuhan hangat terasa pada punggung tangannya