Sepasang mata penuh amarah menyorot tajam terus memperhatikan kejadian yang ada di depannya. Tangannya terkepal kuat dengan gigi yang menggerutu mempertegas guratan kemarahan di wajahnya.
"Hormat kepada Yang Mulia Permaisuri, kesejahteraan selalu melingkupi."Kedua prajurit yang sedari tadi berdiam di depan pintu berlutut menghormat begitu menyadari sosok agung hadir diambang pintu.Sang permaisuri tak mengidahkan hal tersebut. Ia berlari menerobos peraduan sang pangeran. Dengan secepat kilat ia menahan tangan seorang wanita yang sudah terangkat tinggi.“BELUM PUASKAH KAU MENYAKITI DARAH DAGINGMU SENDIRI, SELIR AGUNG JIREA?!” seru Audreya dengan suara menggeram. Sorot matanya tak lepas menatap sang selir yang juga menatapnya terkejut."Pengawal, pergilah tinggalkan kami disini," perintah Jirea kepada kedua pengawalnya yang masih setia berjaga di depan pintu.Tak butuh waktu lama kedua prajurit itu pergi menuruti perintah sang selir agung."Setelah apa yang kau lakukan dengan darah dagingmu, kau masih memiliki hati untuk mengunjunginya, Selir Agung Jirea?" lanjut Audreya dengan amarah yang sudah menggebu-gebu hingga tanpa sadar ia semakin mencengkeram kuat pergelangan tangan sang selir.Jirea merintih kesakitan sembari berusaha melepaskan tangannya. Meskipun harus bersusah payah akhirnya dapat terlepas. Ia membuang muka sejenak kemudian menatap sang permaisuri dengan wajah memerah. "Aku tak mengerti maksud anda, Yang Mulia Permaisuri."Audreya berjalan mendekat menyusup di tengah-tengah posisi Jirea dan Adrian."Tak usah berlagak bodoh! Bukankah kau tahu betul kabar burung apa yang kini sedang ramai di perbincangkan?" gertak Audreya dengan aura mengintimidasi. Ia sudah tak mampu menyembunyikan amarahnya lagi.Jirea tak terpengaruh dengan aura mengintimidasi dari Audreya, ia justru terkekeh pelan. "Tak kusangka sosok terpandang sepertimu juga gemar bergosip, Yang Mulia."Tatapan Audreya semakin tak ramah. Sedangkan lawan bicara masih saja menyeletuk sebuah gurauan tak penting."Oh maaf aku hanya bercanda, Yang Mulia, semoga engkau tidak tersinggung dengan mulut sampahku ini," lanjut Jirea seolah olah terkejut dan menyesali ucapannya."Itu benar ulahmu kan?" tanya Audreya kembali mengintimidasi.Mendengar pertanyaan itu Adrian hanya mengernyitkan kening terheran.Sedangkan raut wajah Jirea yang semula masih memancarkan keramahan berubah 180°. Matanya memicing menatap Audreya jengah."Kedudukan saya di istana ini hanyalah seorang selir sedangkan anda adalah ratu kekaisaran, bukankah seharusnya anda lebih paham mengenai tata krama kerajaan, Yang Mulia? Dan maaf jika saya lancang, bukankah menuduh tanpa bukti termasuk tindakan penghasutan dan hal itu menyalahi tata krama?" jawab Jirea dengan memaparkan fakta yang tak bisa terbantahkan.Memang benar tindakan gegabah yang Audreya pada Jirea sama saja seperti melakukan tindakan bunuh diri. Sosok Jirea yang lihai dalam bersilat lidah akan dengan mudah membantah tuduhan tanpa bukti.Audrea bergeming mendengar bantahan yang Jirea ucapkan. Ia tak menampik jika tindakannya yang mengedepankan amarah adalah tindakan bodoh."Yang Mulia, apakah anda baik-baik saja?" tanya Jirea kembali menyadarkan Audeya yang masih terdiam tanpa kata.Audreya mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia lantas berdeham dengan raut wajah menahan kekesalan."Ahh mungkin iya sepertinya itu hanya sebuah gosip sampah dari orang dengan kasta yang lebih rendah daripada sampah, benarkan selir agung?" tanggap Audreya dengan senyum terkesan mengejek seolah permaisuri ingin menegaskan posisi jirea yang sebenarnya."Ya sudah kalau begitu beristirahatlah, Adrian, pastikan kau tumbuh dengan sehat agar bisa menjadi seorang ksatria yang menjunjung tinggi keadilan dan kebijaksanaan," ungkap Audreya mengusap pundak Adrian dengan sayang."Kalau begitu aku pergi sekarang. Maaf telah mengganggumu dengan tuduhan sampah. Semoga saja penghasut sampah itu akan mendapatkan balasan yang setimpal akibat menyebarkan gosip sampah keluarga kerajaan. Iya kan, Selir Agung?" ucap Audreya kini beralih menatap Jirea yang masih menatap dengan congkak.Nampak tercetak raut kepuasan di wajah Audreya begitu melihat wajah Jirea berubah pias. Ia bahkan tak mampu menjawab apa yang Audreya ucapkan kepadanya."Sial," umpat Jirea dengan suara pelan. Wajahnya nampak begitu kesal melihat kepergian Audreya yang sepertinya dengan sengaja berusaha mengoyak harga dirinya di depan sang putra.Adrian yang masih berada dihadapan sang ibunda hanya mengangkat alisnya heran. Ia nampaknya masih tidak bisa membaca arah pembicaraan kedua wanita itu.Kini atensi Jirea sepenuhnya menyorot kepada Adrian. "Jika kau berulah lagi aku tak akan segan meminta kaisar mengusirmu dari sini. Camkan itu!"Usai mengelurkan sumpah serapah, Jirea pergi begitu saja meninggalkan sang anak seorang diri."Kita lihat saja sebilah besi tak akan mampu menggantikan sebongkah emas."***"Tunggu! Diam di sana, Audreya."Sebuah suara menginstrupsi langkah kaki wanita bersurai karamel.Tak perlu waktu lama Audreya segera mengetahui siapa sosok yang mengintrupsinya.Dan benar saja begitu Audreya berbalik, sosok Jirealah yang muncul dari kegelapan."Dengarkanlah, ada sedikit pesan yang ingin kusampaikan," seru Jirea ketika berhadapan dengan sang permaisuri."Hemmm apa sekarang kau akan mengakuinya, Jirea?"Pertanyaan Audreya membuat Jirea terdiam sejenak."Kau pasti tahu untuk mempertahankan pohon yang sehat, kita perlu memotong bagian yang busuk kan?"Audreya menatap penuh tanda tanya sembari menyilangkan kedua tangannya bersedekap dada menanti perkataan sang selir selanjutnya."Begitupun keadaan kekaisaran sekarang. Aku perlu menyingkirkan bagian yang busuk sebelum bagian yang lain ikut hancur," lanjut Jirea tersenyum miring.Audreya yang menjadi lawan bicara sedari tadi hanya terdiam tanpa ekspresi."Memang benar, tapi apakah kau lupa daun busuk tak sepantasnya membuang batang yang sedang tumbuh?""Apa kau yakin setelah apa yang kau lakukan akan bisa membuatnya tumbuh sehat? Atau justru akan ... mati konyol?" tanggap sang permaisuri mempertanyakan lagi tindakan Jirea yang membuatnya terlihat lebih bijaksana.Sang selir nampak terkesiap, ia lantas buru-buru mengubah mimik wajah santai. "Ya, pilihanku tak akan pernah salah. Lagi pula punya hak apa kau menilai pilihan yang aku pilih?" sungut Jirea tak mau kalah. Bahkan ia kini dengan kurang ajarnya memandang remeh sang permaisuri."Entahlah. Yang lebih mengherankan, mengapa engkau harus memiliki hak untuk membuat pilihan?"Sindiran sang permaisuri sukses membuat sang selir naik pitam. Giginya mulai bergemertuk menahan kekesalan."Orang bodoh cenderung akan mencari-cari alasan untuk mendukung pernyataannya. Ia akan mencari sebanyak mungkin pembenaran atas ucapannya, padahal sebuah pembenaran sampai kapanpun tak akan bisa memvalidasi sebuah kesalahan.""Kau?!" ucap Jirea menggeram marah.Ia secepat kilat menatap nyalang Audreya hanya dalam jarak 5 cm. Bahkan deru napas sang selir terdengar keras dipendengaran Audreya."Dengar, jangan merasa paling benar dan merasa sudah menang hanya karena kini kau sudah menjadi seorang ratu. Ingatlah itu hanyalah formalitas!! Bagaimanapun juga kaisar tak akan pernah menganggapmu sebagai permaisurinya, camkan itu!" teriak Jirea dengan amarah menguasai dirinya.Audreya tak merasa takut dengan acaman intimidasi yang Jirea lontarkan. Ia justru nampak terkekeh pelan melihat Jirea yang berteriak kesetanan."Maaf jika membuatmu kecewa, Jirea, nampaknya ekspektasimu akan cinta sang Kaisar harus kandas karena dia sendiri sudah terperangkap dalam pesonaku.""OMONG KOSONG?!" teriak Jirea masih denial dengan perasaannya.Kisah cintanya dan Vernon masih bersemi hangat di hatinya, tentu saja ia tak terima dengan ucapan Audreya yang sangat berbanding terbalik."Kau ini memang tak tahu atau pura-pura bodoh? Bukankah kau sendiri juga menyadarinya, Jirea? Oke jika kau belum sadar juga, coba kau ingat-ingat kembali kapan terakhir kali Kaisar Vernon mengunjungi peraduanmu?" timpal Audreya dengan senyuman remeh yang semakin memancing kemarahan Jirea."Bukankah sudah terlalu lama hingga kau tidak mengingatnya?""KAU?! KURANG AJAR!!"Amarah Jirea meluap, aura kegelapan menguasai kesadarannya. Ia sungguh telah dibutakan oleh cinta sang kaisar. Sebenarnya ia menyadari adanya jarak yang semakin merenggang dalam hubungannya dengan sang kaisar, namun hatinya masih menolak untuk percaya. Nalurinya sebagai sosok yang berharga bagi sang kaisar membuatnya memaksa buta akan semua yang telah terjadi.Kini tangan kirinya diam-diam mengambil benda yang terselip pada gaunnya. Benda panjang, tajam nan berkilau itu dengan amarah tak terbendung tanpa ragu segera ia ayunkan ke arah samping tubuh Audreya."Arghhh..."Ringisan kesakitan seketika menggema di kegelapan lorong. Tak lama kemudian terlihat seseorang jatuh tersungkur."APA-APAAN INI?!"Kembali sebuah teriakan kemarahan menggema menyadarkan ketiga insan yang tadinya bercakap-cakap di tengah kegelapan.Audreya meringis kesakitan sembari memegangi pinggang yang kini telah mengelurkan banyak darah. Sebelum kesadarannya terenggut, netra zamrud itu bertubrukan dengan manik Jirea yang menatapnya dingin. Seketika itu juga ia tersadar jika lawan bicaranya telah berhasil menusuknya dengan sebilah pisau yang tak pernah terlepas dari baju kekaisaran suaminya."YANG MULIA PERMAISURI?!"TbcDerap langkah bergemuruh memenuhi lorong istana. Terjadi kepanikan sepanjang lorong istana ketika sosok kaisar dengan wajah dingin bercampur khawatir berlari sepanjang lorong dengan membopong tubuh lemas seorang wanita."MINGGIR SEMUA?! CEPAT PANGGILKAN TABIB! PASTIKAN TIBA SEGERA!" teriak Duke Fernand menggema keseluruh istana. Ia yang tadinya sedang bertemu dengan kaisar, ikut andil melihat apa yang terjadi pada Audreya. Ia dengan sigap mendampingi sang kaisar berlari menuju peraduannya.Setiap prajurit dan pelayan kelimpungan berlari kesana kemari memberikan jalan sang kaisar."Apa yang terjadi dengan Yang Mulia Permaisuri?""Aku dengar karena selir agung.""Sepertinya sebentar lagi akan terjadi kegegeran besar.""Tapi aku ragu selir agung akan dihukum secara selir agung adalah orang ya—""Sttt kecilkan suaramu, Mira, kau mau kita bertiga berakhir dipancung?!" Para pelayan yang berbaris di sepanjang lorong menunduk sembari saling berbisik-bisik membicarakan kemungkinan yang terja
EnghhLenguhan terdengar dari sosok wanita anggun yang terbaring lemah di ranjang besar. Kelopak matanya perlahan bergerak hingga matanya terbuka sempurna."Ibunda?"Netranya menangkap wajah pemuda bernetra biru. Dengan perlahan ia mengangkat tangannya dan mengusap wajah sang anak."Kau baik-baik saja, Adrian?" tanya sang permaisuri dengan suara selembut sutra.Namun sebuah suara protes membuat kesadarannya berkumpul seketika."Ibunda, ini aku George bukan Adrian!" sentak George merasa kesal. Ia menepis tangan sang ibunda yang masih bertengger pada pipinya.Audreya yang menyadari kesalahannya segera tersadar."Oh maafkan aku, Sayang."George memasang raut wajah kesal bercampur iri. Sebenarnya ini bukan kali pertama Audreya membuat kesalahan seperti ini. Entah mengapa sang permaisuri kerap salah sebut nama ketika bersama anak kandungnya sehingga tak heran jika George begitu membenci sosok Adrian.***Situasi istana kala itu memanas usai kabar sang selir yang menganiaya sang permaisuri
"Panglima, di mana Putri Rhiannon? Bukankah tadi dia menaiki kuda bersamamu?" Seorang pria paruh baya bermahkota mewah merotasi matanya menyisir sekeliling mencari seseorang.Prajurit yang ikut mendampingi sang raja pun nampak kebingungan menyadari sang putri tidak ada pada tempatnya. Mereka memasang raut khawatir menyadari rajanya pasti sebentar lagi akan murka."Mohon ampun, Baginda, Putri tadi memberitahukan bahwa ia akan pergi mendahului ke istana utama," jawab seorang prajurit yang berada tepat di samping kereta kencana yang dikendarai sang raja."Kenapa kau baru memberitahukanku sekarang?!" bentak sang raja tak habis pikir dengan panglimanya.Pria bermahkota itu memijit pelipisnya lelah. "Cari dia sekarang. Kita akan segera kembali ke Deoreva, pastikan ia ditemukan sebelum aku selesai menemui kaisar dan permaisuri!""Ayah, izinkan aku untuk ikut mencari," sahut seseorang yang duduk berhadapan dengan sang raja.Sang raja memandang wanita di depannya penuh arti. "Ya, temukan adik
"Apa? Bagaimana? Ibundamu sudah sadar?" Kaisar yang baru tiba segera memberondong sang anak dengan banyak pertanyaan. Sedangkan George yang sedang berdiri mengamati sang ibu yang tengah diperiksa kondisinya oleh tabib masih memasang wajah kesal. "Ya. Tapi ibunda malah mencari anak pembawa sial itu," tanggap George bertambah masam. Vernon menghela napas pasrah. Isi kepalanya terasa penuh akibat semua insiden terjadi bersamaan. "Hukuman apa yang ayahanada berikan kepada selir itu?" celetuk George kembali membahas persoalan sosok yang beberapa saat lalu hampir ia amuk. "Kau tak perlu ikut campur, George, biarkan bagian kedisiplinan istana yang mengatur hukuman yang pantas untuknya," jawab Vernon dengan suara lemah. Ia duduk di pinggiran ranjang sang isteri kemudian menatap tubuh pasangannya itu dengan sayu. "Sungguh? Ayah benar-benar menghukumnya dan tidak berniat meloloskannya kan?" jawab George nampak kecewa mendengar jawaban sang ayah. "Jaga sikapmu, Putra Mahkota?!" seru san
Prakkk "Arghhh!" Jeritan kesakitan menggema ke seluruh ruangan. Seorang pria seketika terkapar begitu besi panjang itu menyabet tubuhnya. "KATAKAN YANG SEBENARNYA, DARI MANA SAJA KAU?!" Jirea, sang pelaku pemukulan itu tanpa belas kasih membuat babak belur puteranya. Beberapa saat lalu Adrian memang berhasil sampai di peraduannya sebelum Jirea datang, namun malangnya Jirea menyadari sosok Adrian yang telah kembali berkat bercak tapakan kaki yang tertinggal di depan pintu. Saat itu juga Jirea mengobrak-abrik perabotan kamar sang pangeran. "Apa kau mendadak bisu usai berjalan-jalan keluar?!" Adrian entah mengapa sedari ia dipergoki sang ibu tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia menolak menjawab hingga menyebabkan Jirea menyiksanya secara brutal. "Masih tidak menurut rupanya, baiklah bagaimana kalau kuhilangkan salah satu kakimu agar kau tak bisa kabur lagi?" ujar Jirea mengeluarkan senyuman iblis. Tangan Jirea bergerak menodongkan moncong besi itu pada kaki kanan pangeran. Seda
George keluar dari Pavilium Waterist usai menyelesaikan pembelajarannya dan langsung dikejutkan dengan lorong istana yang mendadak riuh. "Apa yang terjadi?" tanyanya kepada pengawal yang membuntutinya di belakang. "Izin menjawab, Yang Mulia, baru saja terjadi penangkapan Selir Agung Jirea dan sekarang telah dimasukkan ke penjara para bangsawan," jawab pengawal putera mahkota yang sedari tadi berjaga di depan pavilium. George menghentikan langkahnya. "Jadi ayah benar-benar mampu menunaikan apa yang menjadi hukuman selir itu ya?" gumamnya tersenyum sinis. "Tapi sepertinya jika hanya selir itu saja yang masuk penjara, ia akan merasa kesepian. Baiklah, karena suasana hatiku sedang baik, sepertinya ia akan senang jika kukirimkan anaknya untuk menemaninya," lanjutnya yang tiba-tiba saja terpikirkan sebuah ide yang brilian. Pandangannya segera berseri begitu menatap buku tipis yang ia bawa. Sepertinya ide picik untuk menjebloskan sang pangeran mengikuti jejak sang ibu telah ia temukan
"ADRIAN HENTIKAN JIKA KAU MASIH MEMILIKI RASA MALU!" Kedua pemuda kakak beradik itu menghentikan aksinya. Pandangn mereka terpatri pada sosok yang baru saja hadir. Dewi fortuna tak berpihak kepada Adrian begitu Vernon hadir dengan wajah murkanya. "Lepaskan tanganmu sebelum kutebas lehermu!" Cengkeraman tangan pangeran pada leher George mengendur. Hal itu dimanfaatkan George untuk mendorong agar ia tak lagi dipojokkan. Dorongan kuat George membuat Adrian terdorong kebelakang beberapa meter namun untung saja ia masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. "Sebenarnya ini ada apa? Mengapa kalian semua berapi-api menyerangku?" tanya Adrian sudah lelah beberapa hari ini terus diganggu dan diciderai baik fisik maupun mentalnya. Baru kemarin ia sempat disiksa oleh ibu kandungnya hingga babak belur. Belum kering luka pada fisik Adrian, kini sang ayah dan saudara kandungnya ikut menyerangnya secara verbal. Kaisar berjalan mendekat, aura dingin dan kemarahan tentu menguar dari sosoknya.
Seorang gadis terlihat duduk tertunduk di sebuah ruangan putih dengan aroma obat yang menyeruak. Di depannya terdapat seseorang yang tengah berbaring tak sadarkan diri dengan beberapa alat medis yang menempel pada tubuhnya. "Kak, kapan kau akan terbangun? Mengapa kau sangat betah tertidur? Apa kau tidak ingin menjahiliku lagi?" gumam gadis tersebut menggenggam tangan sang kakak yang tertempel selang infus. Pertanyaan demi pertanyaan gadis itu lontarkan, namun tak kunjung juga ada sahutan. Sudut matanya tiba-tiba berair memandang wajah pucat sosok yang selalu menampilkan raut kejahilan. "Andai saja Kim lebih berani membela kakak di depan papa. Pasti semua ini tidak akan terjadi." Penyesalan yang ia lontarkan membuatnya tergugu dalam tangis. Di sela tangis, gadis itu terkejut bukan main melihat jari tangan yang tengah ia genggam bergerak. "Kak Adrian?" "Kak Adrian, bangun?!!" Gadis kecil itu spontan beranjak dari duduknya. Ia bersorak gembira melihat ada respon tubuh dari sang
Di dalam ruangan yang begitu gelap, Adrian berdiam diri. Ia masih terhenyak dengan kejadian hari ini. Dimulai dengan sosok Kimberly yang tiba-tiba muncul di sini sampai kematian permaisuri yang begitu mendadak. Pangeran itu mengacak rambutnya frustasi. Ia telah buntu memikirkan apa yang selanjutnya akan terjadi. Kematian permaisuri menjadi alarm bahaya untuknya. "Aku harus menemui Jirea karena seharusnya dialah dalang dibalik kematian permaisuri," ucap Adrian dengan suara parau. Dengan sisa-sisa harapan, ia keluar dari peraduannya untuk menemui sosok tersangka yang ia yakini. Ketika ia sampai di istana utama, banyak prajurit yang korban dari penyerangan yang telah tiba di istana. Adrian menarik lengan seorang prajurit yang sedang berjalan cepat. "Katakan, apa permaisuri telah tiba?" tanya Adrian menodong keras. Prajurit itu nampak takut melihat sosok Adrian yang berbeda. Penampilan Adrian memang terbilang kacau, namun tatapan tajam itu membuat siapapun tak mampu berkutik.
"Nyonya, apakah nyonya sudah dengar mengenai kabar permaisuri?" Jirea yang tengah sibuk menyulam tiba-tiba menghentikan kegiatannya begitu mendengar satu nama yang menarik perhatiannya akhir-akhir ini. Alisnya terangkat satu memandang penuh tanya. Ia lantas meletakkan sulamanya kemudian mengode Roger untuk mendekat Roger dengan segera menghampiri Jirea lebih dekat lantas membisikan sesuatu. "Rombongan permaisuri telah diserang." Sebaris kalimat itu membuat wajah Jirea seketika sumringah. Senyuman miring segera terbit dari bibir ranumnya. "Muez menangkap umpannya?" responnya dengan sebuah pertanyaam ambigu. Menangkap apa yang Jirea maksud Roger lantas mengangguk. "Kudengar seluruh prajurit terbantai dan itu artinya permaisuri telah tewas," balas pria tersebut berbinar senang. Wajah puas dan angkuh seketika terbit. Jirea bangkit dari duduknya lantas berjalan menuju nakas di samping tempat tidurnya. "Kau memang bisa diandalkan," ucapnya lantas melemparkan sebuah kantung berwarn
Kegaduhan di dalam istana tidak terkendali. Banyak para pelayan dan prajurit yang berlarian. Sama halnya dengan sosok jenderal gagah yang melangkahkan kakinya lebar-lebar. Dari raut wajahnya yang tegas tulang rahangnya nampak begitu menonjol seolah tengah memendam amarah. "Panglima Agung!" teriaknya dengan keras begitu memasuki sebuah ruangan.Sang empu yang tadinya tengah memejamkan mata tersentak kaget."APA APAAN KAU INI!" teriak Roger berbalik marah.Terrson menggeram marah. "Disaat kegaduhan yang terjadi bagaimana bisa kau justru tidur?" tanyanya dengan sarkas.Raut lugu ditunjukkan oleh Roger. "Apa maksudmu?" "Rombongan permaisuri di serang—""APA?!" Belum usai Terrson menjelaskan, Roger sudah terlebih dahulu menyela. Nyatanya jabatan tak menjamin pengetahuan seseorang. Panglima tertinggi itu ternyata tak tahu menahu mengenai kejadian yang menimpa permaisuri. "Aku perintahkan kau menghadap kaisar. Aku akan mengurus sisanya," ucap Roger cepat. Ia bergegas menggunakan pakaian
Bughh Begitu melihat lawannya lengah, sosok bertudung hitam itu segera menendang perut mangsa di depannya. Adrian yang mendapat serangan kejutan itu terdorong mundur. Ia lantas terbatuk dan merasakan nyeri yang sangat pada perutnya. "Ahh sial aku lupa masih memiliki cidera," gumam Adrian lantas meludahkan air liur bercampur darah.Mata elang sang pangeran menyorot tajam."Hey, Kimberly! Berhentilah bercanda. Aku tak mengerti sejak kapan kau menguasai bela diri," ucap Adrian masih tidak bisa melihat situasi yang terjadi.Wanita dibalik tudung itu sempat menatap pangeran heran. Namun tak berlangsung lama begitu melihat Adrian mendekat, itu segera mengayunkan bilah pisaunya diarahkan ke tubuh lawan. Namun Adrian tidak lagi membiarkan lawannya menghajarnya, dengan sigap ia membaca gerakan tangan wanita itu kemudian menangkapnya. "Hey! Kim, ini kakak! Apa kau tidak mengenaliku?" seru Adrian bersuara keras tepat di depan telinga begitu berhasil mengunci pergerakan sosok perempuan yang i
"Hah?! Apa yang baru saja terjadi?"Pangeran segera bangkit dari tempat tidurnya. Ia berdiri di depan cermin lantas terpaku menyaksikan bayangannya sendiri. Ia terbelalak menyaksikan pantulan cermin yang memperlihatkan postur tubuhnya yang berusia 25 tahun. Masih dengan kemeja putih yang lusuh dan tatanan rambut berantakan. Sayangnya begitu ia mengerjapkan mata, pantulan cermin berganti menjadi sosok pemuda berpakaian kerajaan dan berusia 18 tahun."Apa aku tadi sedang bermimpi?"Tangannya seketika menyentuh dadanya yang beberapa saat lalu terasa sakit.Matanya menyorot lurus bola matanya yang terpantul dalam cermin."Tidak, itu bukan mimpi. Itu adalah ... prekognisi," bisik Adrian lantas secepat kilat berlari menuju pintu peraduannya. Prekognisi merupakan bagian dari ilmu parapsikologi yang membahas mengenai kemampuan seseorang untuk melihat atau memprediksi gambaran masa depan. Biasanya hal itu datang melalui media mimpi prekognitif.Knop pintu berusaha Adrian putar, namun pintu t
Semburat jingga terlihat di ufuk barat pertanda hari sebentar lagi berganti malam. Angin bertiup lembut menenangkan jiwa. Namun berbeda dengan sosok pria yang sedari tadi berjalan ke sana ke mari di depan sebuah pintu yang dijaga ketat oleh prajurit."Ayolah pangeran keinginanmu sudah ditolak, pasti keputusan permaisuri tak akan berubah.""Kita tidak akan tau sebelum mencobanya hingga detik terakhir," ucap sang pangeran dengan sok bijak padahal dalam hatinya terbesit rasa takut dan putus asa.Ceklek ...Pintu itu terbuka lebar lantas muncul sesosok wanita bergaun tertutup dengan dua dayang di belakangnya."Heira, kau pastikan jangan ada barang yang tertinggal," ucap sang permaisuri lantas kembali berjalan tanpa mengindahkan dua pemuda yang menantinya di depan pintu."Permaisuri ... " panggil Adrian terus mengikuti jalan sang wanita. Beberapa kali ia memanggil namun wanita itu tak menggubris. Adrian tak kehabisan akal, ia mencegat jalan sang permaisuri. Namun tetap sang permaisuri me
Setelah seharian penuh, akhirnya rombongan Putri Laveena tiba di kerajaan. Ketika kereta kuda terhenti, sang putri bergegas bersiap keluar. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan banyak massa yang ada di depan gerbang istana. "Ada apa ini?" tanya Laveena kepada prajurit yang membukakan pintu. "Izin menjawab, Tuan Putri, semenjak dekrit kaisar diumumkan, entah mengapa justru banyak pihak yang tidak puas. Beberap saat lalu para cendikiawan Deoreva mengirimkan banyak petisi," jawab prajurit itu sembari membantu Laveen menuruni kereta kuda. "KAKAK?!" Laveena kenal betul dengan suara itu, ya siapa lagi kalau bukan adik satu-satunya itu. "Akhirnya kakak pulang! Aku menunggumu sedari pagi tau, Kak. Kau membuatku khawatir kupikir kau pulang kemarin," ujar Rhiannon begitu sampai di depan kakaknya langsung memeluknya erat. Melihat raut lelah kakaknya, Rhiannon segera menggandeng kakaknya untuk masuk. "Aku tidak sabar mendengar apa yang kau lakukan di sana, Kak," kata Rhiannon kemudian t
Zilano berjalan menyusuri lorong dengan wajah dingin. Ia terlihat tergesa menuju kesuatu tempat. Meskipun matanya nampak terfokus pada jalanan lorong, nyatanya pikirannya melalang buana kepada ucapan ayahnya benerapa saat lalu. ^^^ "Apa yang terjadi? Katakan cepat!" Zilano yang masih dilanda kepanikan berusaha menghindar. Namun sayangnya tak bisa, ayahnya telah menutup ruang geraknya. Tadi ketika ia menggendong George menuju pavilium tabib, tanpa sengaja bertemu Parveen yang sedang berjalan dari arah berlawanan pada lorong jalan yang menuju pavilium tabib. Sehingga usai keluar dari pavilium tabib dengan buru-buru, Parveen menyeret anaknya untuk diinterogasi. "Mengapa kau hanya diam saja, Zilan!" bentak Parveen kehilangan kesabaran. Pada akhirnya Zilano menyerah. Ia membenturkan tubuhnya pada tembok. "Aku tak tahu ayah! Putra mahkota dan pangeran hampir saja saling membunuh dan aku harus segera mencari keberadaan pangeran. Jadi kumohon menyingkirlah!" Parveen terbelalak
Wewangian tumbuhan herbal seketika menyeruak di indera penciuman Adrian. Matanya yang terasa berat perlahan mulai dapat terbuka. Begitu kesadarannya kembali, tubuhnya terasa kaku dengan rasa nyeri yang berdenyut di mana-mana. "Aishhh," ringisnya mendadak perutnya terasa sakit bukan main. Tangannya sontak meraba dan ia menemukan sebuah kain yang membungkus keseluruhan perutnya. Karena kesulitan mengangkat tubuhnya, ia melirik perutnya yang ternyata terdapat kasa putih membalut lukanya. "Pavilium tabib? Bagaimana aku bisa sampai di sini?" tanyanya dengan suara parau. Tak berapa lama terdengar langkah kaki memasuki ruangannya. Netra birunya terpaku melihat seorang wanita yang tiba-tiba berhenti di ambang pintu. Teringat kejadian beberapa saat lalu, Adrian mengalihkan pandangannya ke arah lain seolah tak ingin berkontak mata lagi dengannya. "Pangeran .... " Adrian tak menggubris, ia berlagak memejamkan mata kembali. Namun ketika sebuah sentuhan hangat terasa pada punggung tangannya