Arina menyeka keringat yang terus bercucuran membasahi badannya dengan handuk kecilnya yang beraroma menyegarkan itu. Sekali lagi ia teguk air mineral dari botol minumannya itu. Rutinitas latihan basket selalu menyenangkan dan menyegarkan jiwa dan raga Arina, apalagi dengan kehadiran Donpas yang juga merupakan pemain basket andalan kampusnya yang sebenarnya telah lama ia kenal.
Berawal dari sebuah sesi latihan basket yang berakhir di Minggu sore ketika hujan sedang lebat-lebatnya. Kala itu Arina dan Donny merupakan dua orang yang tersisa di lapangan basket karena terjebak hujan. Arina dan Donny yang hari itu datang terlambat ke arena latihan terpaksa mendapatkan spot parkir mobil yang cukup jauh dari lapangan. Maka ketika latihan sudah usai dan hujan sedang turun deras-derasnya, Arina dan Donny yang tidak membawa payung itu memilih untuk tinggal sejenak di arena. Dari situlah kedekatan mereka dimulai.
Pada dasarnya Arina cukup mengetahui bahwa Donpas meru
Jelita sedang merevisi tugas kuliahnya di depan laptop dengan seksama ketika sebuah panggilan masuk membuat ponselnya berdering. Jika tidak diangkat, maka ini sudah ketiga kalinya ia menolak panggilan masuk lantaran masih ingin fokus dengan tugas kuliah yang menumpuk di depan matanya. Namun kali ini ia memilih untuk menjawab panggilan tersebut.“Halo, Rin? Kirain siapa nelepon-nelepon melulu. Ngga tahunya kamu, ada apa, nih?”“Ya elah, Ta! Aku udah di depan rumah, nih. Kamu sudah siap belum? Pasti belum, kan? Ya sudah yuk aku bantu kamu siap-siap!”“Hah? Memangnya ada apa sih, Rin?” Jelita menjawab dengan terkejut sembari melihat jam yang bertengger manis di dinding kamarnya. Ia lalu membuka pintu kamar dan menyeruak keluar untuk melihat keberadaan Arina yang katanya sudah berada di depan rumahnya. Waktu telah menunjukan pukul setengah enam sore.“Kamu, sih, dari tadi aku telepon ngga segera diangkat. Aku kan suda
Di saat yang bersamaan, Bunga melangkah pasti untuk menyusul Donny yang sedang digiring oleh Enrico. Tibalah Donny di sebuah ruangan di sudut yang berjauhan dari ruangan-ruangan lain di apartemen Enrico. Ruangan itu cukup luas dan memiliki jendela kaca yang tinggi. Pemandangan gemerlap lampu kota terpampang nyata, pantulan cahaya berjuta lampu itu menembus temaram ke ruangan yang sepi dan dingin itu. Donny memasuki ruangan itu dengan keheranan.“Hhhmmm, kita mau ngapain di sini, Enrico?” tanya Donny mulai sedikit curiga. Belum sempat Enrico menjawab, Bunga dengan langkah anggunnya turut masuk ke dalam ruangan itu. Ia terkekeh melihat Donny yang sudah berada di dalamnya. Seketika Bunga langsung mengunci pintu ruangan itu. Firasat Donny mengatakan ia sedang dalam posisi yang tidak aman.“Wait, wait… Tunggu, tunggu. Apa-apaan ini? Kalian ngapain bawa gue kemari? Heh, jawab!” Donny mulai membentak Enrico dan Bunga. Enrico hanya membisu, ia me
Sudah seharian Jelita mengurung diri di dalam kamarnya sendirian. Lebih dari separuh nyawa dan pikirannya melayang entah kemana. Ia sudah mencoba membuka laptopnya untuk melanjutkan tugas kuliahnya, tetapi ia tidak cukup memiliki energi untuk itu. Namun bayangan akan kejadian tadi malam itu masih menghantuinya.Ditiliknya ponsel jadulnya. Biasanya setiap hari Jelita berkomunikasi intens dengan Arina, sahabatnya yang penuh pengertian itu, mulai dari mengenai tugas kuliah hingga hal-hal yang tidak cukup penting seperti mengirimkan foto makanan atau bergosip. Jelita kembali menatap dress yang ia kenakan semalam, dalam hati dan benaknya ia mencoba merangkai kata-kata pembuka untuk menghubungi Arina kembali. Mungkin pembahasan mengenai pengembalian dress ini dapat menjadi topik pembuka, pikirnya. Belum lama ia memikirkan hal itu, ia kembali mengurungkan niatnya.Tanpa ada yang benar-benar memperhatikannya, tadi malam Jelita memutuskan untuk pulang sendiri meng
Tiga bulan telah berlalu semenjak kejadian di apartemen Enrico yang cukup mencekam itu. Hingga detik ini, tidak ada pembicaraan yang berarti antara Jelita dan Arina. Pernah pada suatu sore di sebuah acara malam keakraban fakultas mereka, Jelita mencoba menegur Arina yang tengah duduk seorang diri menikmati hidangan malam. Ketika Jelita mendekat ke arahnya, Arina nampak sedikit gusar dan tidak nyaman, jelas sekali bahwa Arina berusaha menghindar dari segala bentuk interaksi dengan Jelita. Tetapi saat itu semuanya telah terlambat bagi Arina. Duduk seorang diri jelas menimbulkan celah bagi Jelita untuk mendekat. “Hai, Rin. Kamu sendirian saja?” tanya Jelita menghampiri Arina yang tengah duduk dan sibuk mengunyah makanannya. Disapa secara spontan begitu, Arina hanya mengangguk cepat lalu tersenyum. “Boleh aku duduk di sini?” tanya Jelita lagi. Arina kembali mengangguk. Mendapat persetujuan dari Arina, Jelitapun ikut makan bersamanya di meja yang sama.
Sebelum pukul dua belas siang, Jelita sudah berdandan manis nan rapi. Dipatutnya seluruh penampilannya siang itu di cermin. Ketika sedang mencoba sepatu yang cocok untuk ia kenakan, pesanan ojek onlinenya telah sampai di depan rumah. Dengan berlari kecil penuh suka cita, Jelita keluar dari kamar untuk berpamitan kepada seisi rumah, disalaminya kedua orang tuanya lalu dipeluknya adik satu-satunya itu sambil memohon untuk disemangati dan didoakan. Sebelum Jelita benar-benar keluar rumah, tiba-tiba Ibunya memanggil namanya.“Nak, tunggu dulu, ini barusan Ibu siapkan bekal makan siang untukmu, nasi goreng sosis kesukaanmu dan jeruk peras dingin. Dimakan ya, Nak, tidak usah beli makanan atau jajanan supaya irit,” Ibu tersenyum dan menyerahkan tentengan tas kanvas sederhana. Jelita nampak kegirangan, lalu ia naik ke ojek motor online sambil melambaikan tangan.“Pak, kita ke Stasiun Anggrek, ya,” pinta Jelita yang diikuti oleh anggukan pengemudi ojek.
“Halo, Bunga?” Jelita membuka obrolan telepon siang itu.“Hai, Jelita. Tumben kamu menelepon?” sapa Bunga dari seberang sana. Nadanya tampak seperti agak keheranan.“Iya, aku tidak suka berlama-lama mengetik WhatsApp, karena aku sedang di pinggir jalan dan aku ingin langsung ke pokok permasalahannya saja. Boleh aku tahu kenapa kamu ingin bertemu denganku?” tanya Jelita kepada Bunga.“Sebenarnya aku hanya ingin menyampaikan permintaan maafku kepada kamu. Mungkin kamu masih ingat kejadian malam di apartemen Enrico saat itu dan kamu mendengarkanku pengakuanku? Maaf Jelita, saat itu aku hanya mabuk saja. Tingkahku di luar kendali dan pastinya membuatmu sakit hati. Ijinkan aku untuk meminta maaf secara sungguh-sungguh dengan bertemu langsung denganmu,” pinta Bunga. Seketika Jelita yang semula risih dengan segala perbincangan mengenai Bunga itupun menjadi iba. Sambil mengayunkan kedua kakinya berjalan perlahan di pinggir
“Selamat Jelita atas keberhasilanmu menyelesaikan training orientasi untuk calon pegawai di lembaga kami. Tes kesehatanmu juga sudah keluar hasilnya, kamu sehat secara jasmani dan rohani, tidak ada potensi penyakit serius. Sekarang kamu boleh pulang, tiket dan detil keberangkatanmu ke Desa Jatilima dua hari lagi, akan segera kami kirimkan melalui email. Paling lambat kamu akan menerima email dari kami malam ini, ya. Sekali lagi, selamat bergabung di lembaga Mitra Air Bersih Nasional!” ucap Clara sebelum memeluk erat Jelita, kolega barunya itu. Seminggu ini telah berlalu dan amat memacu semangat Jelita. Bagaimana tidak, setelah menjalankan serangkaian tes kesehatan untuk calon pegawai lembaga yang memakan waktu seharian penuh, Jelita harus dihadapkan pada empat hari penuh menjalani masa orientasi di kantor pusat lembaga itu. Praktis setiap hari Jelita harus bangun lebih pagi dari biasanya dan memakan cukup banyak waktu menuju Gedung Sudirman, tempat kantor lemb
Melihat Jelita yang kurang yakin bahwa dirinya adalah Rama, Rama meninggalkan Jelita begitu saja dan tetap berjalan menuju parkiran mobil. Tetapi kali ini Rama mengalah untuk membawakan satu koper Jelita. Jarak yang tidak jauh antara mobilnya dengan lobi utama bandara itu mengharuskan Jelita tergugah dari ketakjubannya. Ia buru-buru membantu Rama menaikkan semua barang bawaannya ke dalam bagasi mobil Rama. Setelah semuanya beres, Rama mempersilakan Jelita untuk masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang di samping kursi pengemudi. Selama perjalanan, Rama tidak banyak bicara, bahkan hanya beberapa kali saja ia melirik ke arah Jelita. Tidak ada satupun kalimat basa-basi yang Rama lontarkan, baik itu menanyakan kabar, mengenai pekerjaan Jelita kelak, atau bahkan menceritakan tentang dirinyapun tidak ia lakukan. Nama lengkapnya Ramadhan Adiaksa. Pemuda yang terpaut lima tahun lebih tua dari Jelita itu merupakan Community Engagement Ma
Sudah pukul sepuluh pagi waktu setempat di hari Senin nan kelabu, seluruh pegawai lembaga telah memulai pekerjaan dan tugasnya masing-masing, kecuali Bu Novi. Sedari tadi tidak ada tanda-tanda akan kehadirannya, bahkan ponselnya tidak dapat dihubungi oleh seluruh pegawai lembaga. Awalnya semuanya panik dibuatnya, karena tidak satupun dari mereka yang menangkap sebuah gelagat aneh atau janggal dari Bu Novi beberapa hari belakangan ini, tiba-tiba saja di hari Senin yang dirundung mendung itu, Bu Novi tidak hadir ke kantor tanpa kabar.Namun tidak berapa lama, setengah jam kemudian, keresahan itu terjawab. Dengan langkah lunglai dan gontai, Bu Novi masuk ke kantor dengan kedua mata yang terlihat sembab. Tanpa menyapa yang lainnya, ia segera menata beberapa barangnya dan hendak bergegas keluar dari kantor, hingga Rama harus menahannya.“Pagi, Bu Novi. Bagaimana kabarnya, Bu?” sapa Rama yang membuat langkah Bu Novi menuju ke luar kant
Perjalanan pulang dari restoran ke mess pegawai lembaga terasa begitu cepat bagi dua insan yang dimabuk asmara ini. Sepanjang perjalanan, Rama tidak henti-hentinya bercerita betapa ia sangat mengharapkan malam itu untuk terjadi jauh sebelum malam itu benar-benar tiba. “Rama, jujur, kenapa kamu harus memilihku sebagai junior atau asisten kamu?” tanya Jelita denan nada sedikit manja. Rama melirik ke arah Jelita sekilas, ia lalu mengurangi laju kecepatan mobil yang ia setir itu. “Hhhmmmm…. Mau jawaban jujur atau ngga jujur? Hahaha,” tanya Rama sambil menggenggam jemari lentik Jelita yang duduk di sebelahnya. “Jawaban jujur, dong!” “Pertama, foto kamu cantik. Aku suka sekali dengan profil wajah kamu. Kedua, pengalaman kamu di Desa Balarambe yang kamu tulis di riwayat pekerjaanmu itu, benar-benar membuatku penasaran. Aku sampai mencari tahu banyak tentang program sukarelawan itu, ternyata seleksinya cukup ketat, ya!” jelas Rama. Ia menyungging senyum yang
Rama terbangun dari tidur siangnya yang panjang itu. Di hari Sabtu yang cerah setelah kunjungannya ke kedai lontong sayur Tiara telah selesai ia lakukan demi menggenapi janjinya pada Abel dan Tiara, Rama memutuskan untuk mengistirahatkan hati dan pikirannya dari segala kepenatannya, terutama kelelahan akan usahanya menjawab berbagai pertanyaan dan segala kemungkinan yang diajukan oleh Abel dan Tiara. Sesungguhnya Abel dan Tiara hanya ingin Rama bangkit kembali dari keterpurukan patah hati yang begitu mendalam selepas kepergian Clara dari pelukannya. Tidak mudah bagi Rama yang telah mengumpulkan niat, keberanian, usaha, serta tabungan untuk memberi kejutan melamar Clara di hadapan kedua orang tuanya, tetapi harus berakhir sia-sia. Hingga detik inipun Rama dan Clara tidak pernah saling bertukar cerita ataupun kabar. Keduanya mengetahui informasi terbaru dari masing-masing pihak melalui rekan-rekan kerja mereka. Sama sekali mereka berdua tidak berinisiatif untuk membuka hubungan satu s
Sudah satu jam Jelita berkutat dengan laptopnya, menyelesaikan segala tugas dan pekerjaan yang dilimpahkan oleh Rama dan Bu Novi untuknya pada hari itu. Entah kekuatan dari mana, atau mungkin Jelita juga sudah cukup merasa jengah karena merasa hatinya dipermainkan tanpa tahu tujuan, satu bulan ini Jelita justru lebih fokus pada pekerjaannya ketimbang harus terus menelaah perasaannya terhadap Rama. Berbagai pujian dari para koleganya di lembaga sudah cukup membanjiri hari-hari Jelita selama bekerja di Desa Jatilima. Ternyata dengan tekad bulat dan keinginan untuk fokus berkarya dari pada memberatkan isi hatinya, Jelita mampu untuk mengejar mimpinya. “Gaji kamu sudah masuk ke rekening?” tanya Rama kepada Jelita yang masih sibuk dengan laporan evaluasi itu. Jelita mengangguk dan tersenyum. Menurutnya, respon itu sudah lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaan Rama. Ramapun membalasnya dengan anggukan perlahan dan memberikan dua jempol untuknya. Jelita melanjutka
Abel memperhatikan cara Jelita memandang Rama yang melangkah dengan pasti itu. Abel paham sekali makna dari tatapan Jelita itu. Dengan mulut yang tidak terkatup sempurna, sorot mata tajam penuh kekaguman dan minim kedipan, Abel dapat menangkap jelas bahwa kawan barunya itu begitu memuja sosok Rama. Abel melirik ke arah Tante Ririn yang sedari tadi menunggu Rama, rupanya Tante Ririn juga sedang memergoki Jelita yang tidak sedetikpun melepaskan pandangannya dari Rama. Tante Ririn dan Abelpun tertawa perlahan, seolah mereka sama-sama mengetahui isi kepala masing-masing. “Woy, ngeliatin siapa, sih? Hati-hati kalau pandangan kosong nanti bisa kesurupan, lho!” Abel kembali menggoda Jelita yang nyaris tidak berkedip itu. Jelita tergugah dari fokusnya memandangi Rama yang kini telah berdiri di depan kedai. “Eh? Ngga, Kak. Hhhmm.. Hehe. Eh, itu, ada Rama. Rama sudah datang,” kata Jelita berbisik dan tersipu. Tante Ririn yang memandangi Jelita sejak tadi itupun
Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, di mana Jelita pernah datang terlambat ke kantor tanpa menyiapkan suatu apapun darinya, termasuk mental; pernah juga ia datang sangat awal ke kantor dalam kondisi siap sepenuhnya mengarungi hari, kali ini Jelita bersikap lebih netral dan tidak dibuat-buat. Ia datang sebangunnya saja, tidak lebih pagi dari yang lain, dan tidak pula terlambat. Ada perasaan sedikit kecewa atas sikap Rama yang tidak hanya meminta Pak Edward untuk mempekerjakannya, tetapi juga harus menutupi kesalahannya di depan Bu Novi. Pertama, Jelita ingin membuktikan sendiri kinerjanya murni karena kemampuannya yang dapat diandalkan. Kedua, segala penilaian Bu Novi terhadapnya tentu menjadi bias dengan pembelaan Rama. “Pagi, semua!” sapa Jelita kepada seluruh penghuni ruangan kantor yang sudah berdatangan sebagian itu saat ia memasuki kantor. Semua yang ada di situ menoleh dan membalas sapaan Jelita yang tidak seceria biasanya itu. Ta
Bu Novi menggandeng erat lengan Jelita dan menuntun Jelita untuk berjalan sampai di unit kamarnya. “Jelita, sini mampir sebentar ke unit Ibu,” ajak Bu Novi yang kemudian membuka pintu unitnya itu dan mempersilakan Jelita masuk. Jelita tak henti-hentinya berdecak kagum melihat isi dan interior unit Bu Novi yang jauh lebih rapi dan terorganisir ketimbang unitnya sendiri yang menurutnya sudah amat tertata itu. Bu Novi merupakan wanita paruh baya yang memiliki selera bagus dan elegan. Pemilihan beberapa furniture dan warna-warni pernak-pernik serta karpet yang tergelar di dalam unitnya itu didominasi warna krem dan putih tulang. Bu Novi juga dengan sangat telaten mengumpulkan berbagai lukisan-lukisan bertema klasik dengan ukuran mini yang digantung manis membentuk formasi unik. Di sisi samping ruang tamu, terdapat beberapa foto Bu Novi dan keluarganya yang sepertinya sengaja dicetak hitam putih, menambah kesan klasik yang mencerminka
Jelita jatuh cinta. Ia jatuh cinta sekali lagi dengan Desa Jatilima. Dengan segala ketenangan dan kedamaian yang ditawarkan, Jatilima membuka begitu banyak peluang bagi Jelita untuk berkarya dan menyadari potensi dirinya. Perlakuan Rama yang lambat laun mulai melunak dengan kerling matanya yang menunjukkan ketakjuban dan kebanggaan atas ide cemerlang Jelita, membuat Jelita semakin yakin bahwa dirinya memiliki masa depan yang cerah di lembaga itu.Sore itu ketika mentari hendak menenggelamkan dirinya dalam-dalam, Jelita dan Rama baru akan pulang kembali ke kantor lembaga. Saleh, Ratna, Jingga, dan Arief, sekelompok pemuda yang telah banyak berbincang dengan merekapun berpamitan seiring masuknya Rama dan Jelita ke dalam mobil Rama. Mereka berpisah ke rumah mereka masing-masing.“Ta…” panggil Rama sambil menyalakan mesin mobilnya.“Ya?” jawab Jelita menahan kantuk yang tetiba melanda itu.“Wah,
Setelah menyelesaikan makan siang, Jelita dan Rama segera meluncur ke sebuah perbukitan yang tidak jauh dari kantor lembaga, menggunakan mobil Rama. Di sanalah terdapat setidaknya dua puluh rumah tangga yang akan menjadi obyek tugas Jelita selanjutnya. Seperti biasa, Rama tidak mengulang kembali instruksi dari tugas yang ia limpahkan kepada Jelita itu. Beruntung, otak dan daya tangkap Jelita melebihi rata-rata manusia pada umumnya, sehingga ia mudah sekali menangkap sebuah informasi yang langsung dapat ia cerna dengan otaknya. Di perjalanan menuju perbukitan itu, Jelita berinisiatif mengajak Rama untuk terlibat dalam sebuah obrolan seru, lagi-lagi setelah ia merenungkan perkataan Ibunya yang amat memacu semangat serta rasa percaya dirinya. “Rama, cerita dong waktu itu kenapa putus sama Clara?” tanya Jelita setelah satu menit perjalanan. Rama yang sedang menyetir itu membelalakan matanya dan menoleh sekilas ke bangku penumpang di sebelahnya yang diduduk