“Arkeologi adalah seni sekaligus sains, di mana kalian akan menemukan sebuah skenario, sebuah cerita ilmiah dari jejak manusia dan makhluk-makhluk yang menyertai kehidupan mereka di masa lalu.”
Seorang profesor muda menjelaskan topik pertama di kelas arkeologi hari ini. Katanya ini baru tahap perkenalan, tapi dua puluh mahasiswa di kelas itu sudah dibuat bingung dengan kalimat-kalimat rumit dan pembawaan tidak nyaman dari sang profesor. Alasannya satu, karena penampilan serba nyentrik profesor pria itu yang sangat jelas telah melanggar kode etik di lingkungan akademik kampus.
Rambut gondrong diikat setengah ke atas, kacamata lensa abu-abu, jaket kulit hitam dengan kaos dalam putih yang sengaja diperlihatkan bersama otot-otot kekarnya, dan tato-tato besar yang berderet rapat di sepanjang tangan kanan dan kirinya.
Seperti itu, dan anehnya tidak ada satu pun dosen senior atau pengawas kedisiplinan yang mempermasalahkan penampilan itu. Apakah dia sangat spesial?
Dia adalah Profesor Christian Chow, arkeolog yang tahun ini memutuskan kembali ke Indonesia setelah berkelana ke lima benua untuk meneliti artefak kuno. Begitulah ia memperkenalkan diri pada mahasiswanya. Ia juga mengklaim bahwa pihak rektorat telah susah payah mengundangnya yang sibuk sepanjang tahun hanya untuk mengisi summer class di YMU, padahal ia bukan alumni jika tujuannya untuk mengabdi pada almamater.
“Jadi, apa kalian mulai tertarik pada ilmu bau tanah ini? Silakan jika ada yang ingin ditanyakan.”
Christian mengakhiri paragraf perkenalan paling awal dengan smirk yang cukup untuk menerbangkan kewarasan para mahasiswi pemuja pria tampan. Wendy salah satunya, mahasiswi ceria itu tidak bisa diam sampai membuat Januar dan Deri yang duduk di kanan kirinya risih sendiri.
“Profesor!”
“Ya, silahkan …Irene Yocelyn Riyanto? Ah, ya, sepertinya benar itu nama kamu.” Christian mempersilakan penanya pertamanya untuk berbicara, tapi seisi kelas lebih dulu dibuat bingung usai Christian menyebut benar nama lengkap Irene tanpa perkenalan sebelumnya.
“Jadi bertanya?”
“Ah, maaf. Ehm!” Irene mengembalikan fokusnya. “Saya hanya ingin bertanya tentang apa yang membuat Anda tertarik mendalami arkeologi, dan bagaimana prospek karir seorang ahli di bidang tersebut sepuluh atau dua puluh tahun ke depan. Terima kasih, Prof.”
Christian tersenyum misterius, menatap Irene penuh apresiasi meski pertanyaan itu belum terlalu menyentuh hal-hal teknis yang ia harapkan. “Oke. Itu saja?”
“Ya, itu dulu.”
“Baik. Saya mengawalinya dengan imajinasi. Semua berawal dari sana.”
Seisi kelas kembali berpikir. Dosen itu sangat berjiwa seni sampai sulit dimengerti.
“Saya membayangkan tentang harta karun, warkat yang terkubur di dalam tanah, dan rupa-rupa mereka para manusia yang hidup sebelum kita. Saya juga bertanya bagaimana jadinya jika mereka berumur panjang hidup berdampingan dengan kita di masa sekarang.”
Christian dengan dramatis memperagakan bagaimana proses menghayalnya dilakukan. Matanya sungguh mendelik ke atas, ke langit-langit yang hanya dihiasi sebuah lampu neon panjang tanpa ornamen.
“Saya membuat keputusan spontan untuk masuk ke bidang ini hanya untuk mendapatkan visualisasi skenario yang ada di kepala saya secara lebih terperinci, sehingga itu akan menjadi sinematik dan dapat dinikmati layaknya sebuah film."
"Kemudian terkait dengan prospek?” Christian sedikit berpikir. “Sayangnya tidak ada yang bisa meramalkan masa depan.”
“Apa itu cukup menjawab ketertarikan kamu?”
Irene refleks mengangguk, tak bisa lanjut bertanya karena ia masih mencerna jawaban apatis nan puitis dari Christian barusan. Jawaban macam apa itu? Di mana letak sisi ilmiahnya? Pikir Irene. “Terima kasih, Profesor.”
“Sama-sama. Kalau begitu, langsung saja kita mempelajari arkeologi ini tanpa banyak bicara. Saya akan mengirim kalian ke proyek penggalian terbaru saya di Indonesia. Namanya Situs Landheyan.”
“Whoaaaa!”
Seisi kelas itu mulai antusias, membuat Christian berdecak. “Saya tahu kalian ini lebih mengincar jalan-jalannya daripada teori di kelas, ‘kan? Sama, sih, saya juga,” canda Christian yang turut mengundang tawa. Ia juga bosan dengan aktivitas kelas yang kurang menantang.
“Oke, kalau begitu saya akan membagi kalian menjadi empat kelompok,” ujarnya. Tak perlu melihat daftar nama, Christian hanya menatap satu per satu mahasiswanya, lalu menunjuk beberapa orang secara acak sesuai kehendak.
“Kamu, dan kamu!” Christian menunjuk Irene dan Yo-han. “Kalian berdua di kelompok empat, kemudian tiga orang lagi kamu, kamu, dan kamu, bergabung dengan mereka,” lanjutnya, menunjuk Wendy, Deri, dan Januar berurutan.
Irene lekas menoleh, pada Januar yang mengangguk setelah ditunjuk. Tidak, ia tidak mau sekelompok dengan Januar. Bagaimana bisa ucapannya di depan mading menjadi kenyataan secepat ini? Ah, orang-orang di kelas bahkan sudah mulai membicarakan mereka.
Irene lantas mengangkat tangannya. “Profesor!”
“Ya? Oh, maaf, tidak ada protes! Sekian kelas hari ini. Silakan bersiap-siap, dan sampai jumpa di Landheyan tiga hari lagi.”
“Yeey! Terima kasih, Prof!”
Kelas pun dibubarkan, dan Christian mengabaikannya. Irene akhirnya hanya bisa pasrah karena tatapan tegas Christian yang membungkam mulut cerewetnya. Namun, Irene tidak tahu jika profesor itu terus memperhatikan gerak-geriknya sesaat setelah ia memalingkan pandangan.
“Menarik. Apa memang dia orangnya?”
Wendy dan Yo-han kembali ke meja dengan membawa dua nampan berisi makanan pesanan mereka di kafetaria. Tiga sekawan itu memutuskan untuk makan siang bersama setelah kelas pertama selesai jam setengah dua belas siang.“Ini namanya apa, Wendy? Aku lupa.”“Oh, ini? Oseng mercon. Pedas loh, Han. Kamu yakin kuat makannya?”“Aku akan mencobanya. Jika tidak habis, ada Irene yang mau menghabiskannya karena dia bermulut pedas.” Yo-han menaik turunkan kedua alisnya menggoda Irene. Sedari tadi ia terus berbicara dengan bahasa Indonesia baku berlogat Korea.“Kamu nggak akan pindah kelompok, ‘kan, Rene? Kita udah klop banget sama Ko Deri juga,” tanya Wendy memastikan.Irene menghela, menarik piring berisi oseng mercon sapi milik Yo-han alih-alih soto lamongan pesanannya sendiri. “Prof. Christian itu kenapa, sih?” tanyanya, mengalihkan topik pembicaraan.“Kenapa gimana?”“Aneh.”Yo-han memetik jarinya keras-keras, heboh sendiri sembari menahan pedasnya sesendok oseng urat sapi dengan puluhan butir
Januar bergeming sesaat setelah ia membuka pintu ruangan Satria. Tadinya ia hanya ingin menumpang istirahat, tidur-tiduran sebentar sebelum pergi ke ruangan Christian untuk berbicara kembali tentang jadwal field trip kelompok tiga yang diubahnya sepihak tanpa persetujuan sang dosen pengampu. Namun, Christian justru ada di sana, sedang berbincang dengan si pemilik ruangan. Oh, sepertinya mereka saling mengenal sebagai sesama dosen.“Siang, Prof.”“Ya, siang. Ada apa kamu ke sini?”“Udah biasa dia ke sini, Bang. Temen gue, sekaligus asisten. Rupanya anak kelas lo juga, toh,” ujar Satria.Christian hanya mengangguk tak acuh, lanjut menghisap rokok elektriknya. Seketika saja aroma blueberry menguar di ruangan Satria. Bau itu menyegarkan sekaligus membuat pusing. Januar heran saja. Dosen merokok di lingkungan kampus YMU adalah sesuatu yang mendekati haram, tapi kenapa Satria yang ketat aturan dan jelas punya hak untuk menegur malah membiarkan? Sosok dosen itu semakin misterius, setidaknya
Hari sudah gelap, tapi semangat iring-iringan mahasiswa dari berbagai universitas yang melakukan unjuk rasa di depan gedung DPRD Yogyakarta masih terus menyala. Ratusan mahasiswa terus bertahan dan menyuarakan tuntutan mereka di depan pusat pemerintahan. Spanduk-spanduk dengan tulisan bernada sarkasme masih bertengger melengkapi orasi para pentolan aksi yang terus digaungkan lewat pengeras suara besar di atas mobil bak terbuka.“Pemerintah kita katanya telah berjanji untuk menumpas kasus pelanggaran HAM! Tekad itu tertuang secara konkret dalam rencana kerja setiap periode kepengurusan, tapi apakah kita sudah melihat perwujudannya?!”“Belum!!”Irene, gadis itu masih melakukan orasi, bergantian dengan para elit BEM universitas lain. Ia adalah satu-satunya perempuan di podium, tapi kalimat-kalimat provokatifnya tak kalah membakar dari aktivis laki-laki lainnya. Ia kembali menjadi simbol keberanian perempuan dalam aktivisme mahasiswa.“Terlalu panjang sejarah pelanggaran HAM di negeri ini
Januar membasahi sapu tangannya dengan air mineral dalam botol yang ia beli dari minimarket terdekat. Irene masih tak sadarkan diri di mobil, dan wajahnya yang terkena gas air mata harus segera dibasuh sebelum efek samping gas air mata itu merusak wajahnya lebih parah. Rasanya Januar terbebani sekali karena harus mengurus Irene yang pingsan, tapi mana mungkin juga ia membiarkannya? Mau tak mau Irene menjadi tanggung jawabnya saat ini.“P—permisi, maaf …” Januar gemetar ketika tangannya harus menyentuh wajah pucat Irene. Sedikit demi sedikit ia menyeka bagian wajah gadis itu yang memerah. Mulai dari dahi, pipi, hidung, dan dagu.“Ck! Memar gini. Ketabrak-tabrak apa gimana? Dasar nggak hati-hati,” lanjut Janua kesal. Ia masuk kembali ke dalam mobil setelah menyeka bagian wajah sampai leher Irene. Itu yang paling penting, tapi luka-luka akibat berdesakan dan jatuh di kerumunan itu juga tidak bisa diabaikannya begitu saja.Januar menghela, memajukan tubuhnya guna melihat luka di bagian pe
Pensil, penghapus, dan marker berwarna-warni. Christian masih terus berkutat dengan perkamen besar berisikan peta situs yang perlu ia pastikan kesesuaiannya dengan pengamatan di lapangan. Ia sudah mengunjungi lebih dari setengah bagian situs itu sebanyak dua kali, tapi itu belum membuatnya mudah mengingat fitur dan jalur rumit di dalamnya. “How the fuck is …” “Profesor?” Christian lekas menoleh ke arah pintu tenda ketika seseorang menginterupsi kepusingannya. Ah, ia bahkan mengumpat, dan sialnya lagi yang memergoki itu adalah mahasiswanya sendiri, Irene. “Oh, kapan kamu datang?” tanya Christian cuek, lekas kembali lagi pada perkamennya. Ah, sejujurnya reaksi itu membuat Irene sedikit kecewa. “Baru tadi, Prof. Saya mau ngasih barang-barang yang Anda minta,” ujarnya seraya menaruh satu kotak kayu berisi perkakas penggalian dasar. “Boleh diperiksa kelengkapannya dulu, Prof.” “Oke. Gak perlu diperiksa, saya yakin kamu bukan orang pelupa. Silakan kembali dan bebas beraktivitas. Terima
Ini adalah hari kedua kelompok tiga berada di Landheyan, dan sudah saatnya mereka melakukan sesuatu. Ah, seharusnya mereka bisa bermain-main sehari lagi, tapi Januar yang semena-mena itu memaksa mereka untuk berpanas-panasan di atas tanah cadas berpasir.“Kenapa jauh sekali lokasinya? Aku kira dekat dari gerbang itu.” Lee Yo-han kembali mengeluh, karena Christian yang belum juga berhenti setelah lima belas menit mereka berjalan dari tenda.“Udah dekat, kok. Landheyan ini komplek, susunannya seperti perumahan. Jadi, hati-hati aja kalau kalian nyasar,” peringat Christian seraya menunjuk area Landheyan yang katanya memiliki luas lebih dari lima hektar.“Kalau nyasar gimana, Prof?” tanya Wendy.“Kalau nyasar Irene yang mau nyari.”Semua perhatian lekas tertuju pada Irene. Selain Januar yang dimusuhi karena memajukan jadwal, gadis itu juga ikut dicibir karena meminta Christian agar mereka bekerja lebih keras dibanding kelompok lain dengan dalih ‘kelompok spesial’. Ayolah, tidak semua anggo
Januar membawa semangkuk nasi instan beserta lauk pauk instan seadanya untuk Irene. Gadis itu berbaring di tenda medis sembari terus memegang pelipisnya. Januar menyimpulkan bahwa sakitnya Irene memang disebabkan oleh kejutan energi dari Landheyan, ditambah ia belum sepenuhnya pulih dari insiden gas air mata semalam.Januar lantas duduk di kursi sebelah tempat tidur, mengipas-ngipas nasi instan agar tidak terlalu panas. Udara di sekitar Landheyan memang menjadi lebih dingin karena hujan yang baru saja mengguyur, tapi itu tak cukup. “Kalau nggak ada saya, lagi-lagi kamu udah celaka. Tadi bisa aja kamu malah terperosok ke jurang dan itu akan lebih merepotkan.”Irene memutar matanya malas, tapi Januar sebenarnya berlebihan. Memang ada jurang di kiri dan belakang mereka tadi, dan Irene pun baru sadar bahwa mereka telah gegabah dengan berdiri di atas tebing curam.“Udah agak dingin. Kamu bisa makan sendiri, atau …”“Nggak usah aneh-aneh.” Irene merebut mangkuk nasi instan yang masih sediki
Irene, Januar, dan tim medis berlarian menuju Landheyan sepuluh menit usai gempa berhenti. Mereka mengambil jeda untuk mengantisipasi gempa susulan, tapi mereka pun tak bisa menunggu lebih lama ketika Christian, Wendy, Yo-han, dan Deri tak kunjung kembali dari situs. Itu sudah cukup menandakan bahwa mereka tidak baik-baik saja, dan kini, pemandangan Landheyan usai gempa pun semakin mengkhawatirkan.Masih di bawah guyuran hujan, situs itu berantakan. Puluhan tiang dan dinding dari bebatuan kuno itu patah, dengan retakannya yang berserakan tak beraturan. Sebagian besar tanah di sisi kiri amblas, dan kemungkinan itulah penyebab timbulnya suara suara gemuruh besar tadi.“Di mana tadi kita berhenti?”“Di sana!”Januar mendekat ke arah tunjuk Irene, ke tumpukan batu yang beberapa waktu lalu disebut Christian sebagai gerbang. Nahas, gerbang tumpukan batu itu kini sudah runtuh tak berbentuk.“Kemungkinan mereka ada di sana, di dalam bunker! Pintu aksesnya sudah dibuka,” seru Irene, mengingat
Januar kembali dari mengurus administrasi rumah sakit dengan membawa beberapa makanan di tangannya. Langkahnya sendiri lesu, bahkan tangannya masih sedikit gemetar setelah membawa Christian, Wendy, Deri, dan Yo-han keluar dari Landheyan. Januar yakin, ada hubungan antara gempa yang terjadi, energi Landheyan, serta Wendy dan Yo-han yang belum sadarkan diri sampai saat ini. Namun, baik Januar, Yoel, dan Rayen belum bisa memastikan apa yang sebenarnya terjadi sebelum dua orang itu setidaknya membuka mata. Januar juga tidak bisa mengatakan hal-hal yang membuat Irene bingung. Gadis itu sudah cukup histeris ketika dua teman dan profesornya hampir kehilangan nyawa di bunker situs itu. Oh, dan mungkin ada sentimen lain untuk sang profesor. Setidaknya itu yang ditangkap Januar ketika melihat Irene yang acak-acakan masih terus berdiri di sisi Christian sembari memandanginya iba. Tatapan itu bukan tatapan seorang mahasiswa pada dosennya, tapi lebih dari itu, lebih terlihat seperti wanita pada s
Irene, Januar, dan tim medis berlarian menuju Landheyan sepuluh menit usai gempa berhenti. Mereka mengambil jeda untuk mengantisipasi gempa susulan, tapi mereka pun tak bisa menunggu lebih lama ketika Christian, Wendy, Yo-han, dan Deri tak kunjung kembali dari situs. Itu sudah cukup menandakan bahwa mereka tidak baik-baik saja, dan kini, pemandangan Landheyan usai gempa pun semakin mengkhawatirkan.Masih di bawah guyuran hujan, situs itu berantakan. Puluhan tiang dan dinding dari bebatuan kuno itu patah, dengan retakannya yang berserakan tak beraturan. Sebagian besar tanah di sisi kiri amblas, dan kemungkinan itulah penyebab timbulnya suara suara gemuruh besar tadi.“Di mana tadi kita berhenti?”“Di sana!”Januar mendekat ke arah tunjuk Irene, ke tumpukan batu yang beberapa waktu lalu disebut Christian sebagai gerbang. Nahas, gerbang tumpukan batu itu kini sudah runtuh tak berbentuk.“Kemungkinan mereka ada di sana, di dalam bunker! Pintu aksesnya sudah dibuka,” seru Irene, mengingat
Januar membawa semangkuk nasi instan beserta lauk pauk instan seadanya untuk Irene. Gadis itu berbaring di tenda medis sembari terus memegang pelipisnya. Januar menyimpulkan bahwa sakitnya Irene memang disebabkan oleh kejutan energi dari Landheyan, ditambah ia belum sepenuhnya pulih dari insiden gas air mata semalam.Januar lantas duduk di kursi sebelah tempat tidur, mengipas-ngipas nasi instan agar tidak terlalu panas. Udara di sekitar Landheyan memang menjadi lebih dingin karena hujan yang baru saja mengguyur, tapi itu tak cukup. “Kalau nggak ada saya, lagi-lagi kamu udah celaka. Tadi bisa aja kamu malah terperosok ke jurang dan itu akan lebih merepotkan.”Irene memutar matanya malas, tapi Januar sebenarnya berlebihan. Memang ada jurang di kiri dan belakang mereka tadi, dan Irene pun baru sadar bahwa mereka telah gegabah dengan berdiri di atas tebing curam.“Udah agak dingin. Kamu bisa makan sendiri, atau …”“Nggak usah aneh-aneh.” Irene merebut mangkuk nasi instan yang masih sediki
Ini adalah hari kedua kelompok tiga berada di Landheyan, dan sudah saatnya mereka melakukan sesuatu. Ah, seharusnya mereka bisa bermain-main sehari lagi, tapi Januar yang semena-mena itu memaksa mereka untuk berpanas-panasan di atas tanah cadas berpasir.“Kenapa jauh sekali lokasinya? Aku kira dekat dari gerbang itu.” Lee Yo-han kembali mengeluh, karena Christian yang belum juga berhenti setelah lima belas menit mereka berjalan dari tenda.“Udah dekat, kok. Landheyan ini komplek, susunannya seperti perumahan. Jadi, hati-hati aja kalau kalian nyasar,” peringat Christian seraya menunjuk area Landheyan yang katanya memiliki luas lebih dari lima hektar.“Kalau nyasar gimana, Prof?” tanya Wendy.“Kalau nyasar Irene yang mau nyari.”Semua perhatian lekas tertuju pada Irene. Selain Januar yang dimusuhi karena memajukan jadwal, gadis itu juga ikut dicibir karena meminta Christian agar mereka bekerja lebih keras dibanding kelompok lain dengan dalih ‘kelompok spesial’. Ayolah, tidak semua anggo
Pensil, penghapus, dan marker berwarna-warni. Christian masih terus berkutat dengan perkamen besar berisikan peta situs yang perlu ia pastikan kesesuaiannya dengan pengamatan di lapangan. Ia sudah mengunjungi lebih dari setengah bagian situs itu sebanyak dua kali, tapi itu belum membuatnya mudah mengingat fitur dan jalur rumit di dalamnya. “How the fuck is …” “Profesor?” Christian lekas menoleh ke arah pintu tenda ketika seseorang menginterupsi kepusingannya. Ah, ia bahkan mengumpat, dan sialnya lagi yang memergoki itu adalah mahasiswanya sendiri, Irene. “Oh, kapan kamu datang?” tanya Christian cuek, lekas kembali lagi pada perkamennya. Ah, sejujurnya reaksi itu membuat Irene sedikit kecewa. “Baru tadi, Prof. Saya mau ngasih barang-barang yang Anda minta,” ujarnya seraya menaruh satu kotak kayu berisi perkakas penggalian dasar. “Boleh diperiksa kelengkapannya dulu, Prof.” “Oke. Gak perlu diperiksa, saya yakin kamu bukan orang pelupa. Silakan kembali dan bebas beraktivitas. Terima
Januar membasahi sapu tangannya dengan air mineral dalam botol yang ia beli dari minimarket terdekat. Irene masih tak sadarkan diri di mobil, dan wajahnya yang terkena gas air mata harus segera dibasuh sebelum efek samping gas air mata itu merusak wajahnya lebih parah. Rasanya Januar terbebani sekali karena harus mengurus Irene yang pingsan, tapi mana mungkin juga ia membiarkannya? Mau tak mau Irene menjadi tanggung jawabnya saat ini.“P—permisi, maaf …” Januar gemetar ketika tangannya harus menyentuh wajah pucat Irene. Sedikit demi sedikit ia menyeka bagian wajah gadis itu yang memerah. Mulai dari dahi, pipi, hidung, dan dagu.“Ck! Memar gini. Ketabrak-tabrak apa gimana? Dasar nggak hati-hati,” lanjut Janua kesal. Ia masuk kembali ke dalam mobil setelah menyeka bagian wajah sampai leher Irene. Itu yang paling penting, tapi luka-luka akibat berdesakan dan jatuh di kerumunan itu juga tidak bisa diabaikannya begitu saja.Januar menghela, memajukan tubuhnya guna melihat luka di bagian pe
Hari sudah gelap, tapi semangat iring-iringan mahasiswa dari berbagai universitas yang melakukan unjuk rasa di depan gedung DPRD Yogyakarta masih terus menyala. Ratusan mahasiswa terus bertahan dan menyuarakan tuntutan mereka di depan pusat pemerintahan. Spanduk-spanduk dengan tulisan bernada sarkasme masih bertengger melengkapi orasi para pentolan aksi yang terus digaungkan lewat pengeras suara besar di atas mobil bak terbuka.“Pemerintah kita katanya telah berjanji untuk menumpas kasus pelanggaran HAM! Tekad itu tertuang secara konkret dalam rencana kerja setiap periode kepengurusan, tapi apakah kita sudah melihat perwujudannya?!”“Belum!!”Irene, gadis itu masih melakukan orasi, bergantian dengan para elit BEM universitas lain. Ia adalah satu-satunya perempuan di podium, tapi kalimat-kalimat provokatifnya tak kalah membakar dari aktivis laki-laki lainnya. Ia kembali menjadi simbol keberanian perempuan dalam aktivisme mahasiswa.“Terlalu panjang sejarah pelanggaran HAM di negeri ini
Januar bergeming sesaat setelah ia membuka pintu ruangan Satria. Tadinya ia hanya ingin menumpang istirahat, tidur-tiduran sebentar sebelum pergi ke ruangan Christian untuk berbicara kembali tentang jadwal field trip kelompok tiga yang diubahnya sepihak tanpa persetujuan sang dosen pengampu. Namun, Christian justru ada di sana, sedang berbincang dengan si pemilik ruangan. Oh, sepertinya mereka saling mengenal sebagai sesama dosen.“Siang, Prof.”“Ya, siang. Ada apa kamu ke sini?”“Udah biasa dia ke sini, Bang. Temen gue, sekaligus asisten. Rupanya anak kelas lo juga, toh,” ujar Satria.Christian hanya mengangguk tak acuh, lanjut menghisap rokok elektriknya. Seketika saja aroma blueberry menguar di ruangan Satria. Bau itu menyegarkan sekaligus membuat pusing. Januar heran saja. Dosen merokok di lingkungan kampus YMU adalah sesuatu yang mendekati haram, tapi kenapa Satria yang ketat aturan dan jelas punya hak untuk menegur malah membiarkan? Sosok dosen itu semakin misterius, setidaknya
Wendy dan Yo-han kembali ke meja dengan membawa dua nampan berisi makanan pesanan mereka di kafetaria. Tiga sekawan itu memutuskan untuk makan siang bersama setelah kelas pertama selesai jam setengah dua belas siang.“Ini namanya apa, Wendy? Aku lupa.”“Oh, ini? Oseng mercon. Pedas loh, Han. Kamu yakin kuat makannya?”“Aku akan mencobanya. Jika tidak habis, ada Irene yang mau menghabiskannya karena dia bermulut pedas.” Yo-han menaik turunkan kedua alisnya menggoda Irene. Sedari tadi ia terus berbicara dengan bahasa Indonesia baku berlogat Korea.“Kamu nggak akan pindah kelompok, ‘kan, Rene? Kita udah klop banget sama Ko Deri juga,” tanya Wendy memastikan.Irene menghela, menarik piring berisi oseng mercon sapi milik Yo-han alih-alih soto lamongan pesanannya sendiri. “Prof. Christian itu kenapa, sih?” tanyanya, mengalihkan topik pembicaraan.“Kenapa gimana?”“Aneh.”Yo-han memetik jarinya keras-keras, heboh sendiri sembari menahan pedasnya sesendok oseng urat sapi dengan puluhan butir