Share

Masa, Gas Air Mata

Penulis: aleyshiawein
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-28 10:58:30

Hari sudah gelap, tapi semangat iring-iringan mahasiswa dari berbagai universitas yang melakukan unjuk rasa di depan gedung DPRD Yogyakarta masih terus menyala. Ratusan mahasiswa terus bertahan dan menyuarakan tuntutan mereka di depan pusat pemerintahan. Spanduk-spanduk dengan tulisan bernada sarkasme masih bertengger melengkapi orasi para pentolan aksi yang terus digaungkan lewat pengeras suara besar di atas mobil bak terbuka.

“Pemerintah kita katanya telah berjanji untuk menumpas kasus pelanggaran HAM! Tekad itu tertuang secara konkret dalam rencana kerja setiap periode kepengurusan, tapi apakah kita sudah melihat perwujudannya?!”

“Belum!!”

Irene, gadis itu masih melakukan orasi, bergantian dengan para elit BEM universitas lain. Ia adalah satu-satunya perempuan di podium, tapi kalimat-kalimat provokatifnya tak kalah membakar dari aktivis laki-laki lainnya. Ia kembali menjadi simbol keberanian perempuan dalam aktivisme mahasiswa.

“Terlalu panjang sejarah pelanggaran HAM di negeri ini, dan tampaknya tak kunjung ada kepedulian! Sebaliknya, reputasi penegakkan HAM pemerintah semakin memburuk!”

“Setuju!”

“Dua belas tahun lalu, kita tidak pernah lupa dengan ratusan mahasiswa yang hilang dalam gelombang demonstrasi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah dan militer! Kasusnya ditutup begitu saja setelah tiga puluh hari, seolah nyawa rekan-rekan kita bukanlah apa-apa!!”

“Ya!!”

Irene melanjutkan, dan kali ini matanya sungguh memanas karena teringat akan Tian, kakaknya. Andai saja Tian ada di sini, ia pasti akan tetap berorasi sepertinya, bahkan jauh lebih hebat.

“Hilangnya mereka masih menyayat hati keluarga, meninggalkan bekas luka mendalam yang entah kapan bisa sembuh! Sementara itu, pihak-pihak yang disinyalir menghilangkan nyawa mereka mungkin sedang duduk bersantai di atas kemewahan! Mereka lolos begitu saja dari pengadilan dunia! Apakah itu adil?”

“Tidak!!”

“Apakah ada upaya pemerintah untuk mengusut kembali kasus itu, dan mengorbankan aturan yang merugikan para korban?!”

“Tidak ada!!”

“Kita tidak mau ada aktivis yang kembali dirampas haknya oleh negara! Dibungkam suaranya oleh negara! Apalagi dibuang nyawanya seperti sampah begitu saja oleh negara!”

"Setuju!!"

“Kita adalah manusia! Kita, mahasiswa, akan terus melawan rezim yang dipimpin manusia tanpa kemanusiaan!!”

“Ya!!”

“Lawan!!”

“Keinginan kami sederhana! Kami ingin pemerintah membuka kembali seluruh kasus pelanggaran HAM terhadap para aktivis mahasiswa tahun 2003!!”

“Tanpa alasan! Tanpa berkilah! Bela rakyat!!”

“Ya!!”

“Kami ingin negara berperan, menggunakan kuasanya untuk melindungi para aktivis yang aktif mengkritik demi kebaikan bangsa! Harga diri mereka tidak pantas diinjak-injak oleh negara!"

“Setuju!!”

Terus seperti itu Irene mengobarkan semangat rekan-rekannya, hingga akhirnya seseorang memberi kode padanya untuk berhenti. Bukan apa-apa, kericuhan mulai terlihat di sayap kiri bersamaan dengan bertambahnya personel polisi yang membentuk barikade. Situasinya mendadak mencekam, padahal belum waktunya mereka membubarkan diri, dan masa pun belum merasa puas sebelum seseorang dari DPRD atau kepolisian keluar untuk menemui mereka.

Tidak heran, karena selalu seperti itu yang terjadi dalam demonstrasi. Antara pemerintah yang mengabaikan, atau mereka yang sekedar enggan keluar dengan alasan keamanan, khawatir masa tak terkendali dan menggeruduk singgasana mereka.

“Setengah jam lagi kita bubar!” seru Reza, Komandan Aksi. Irene tak setuju. “Belum ada yang keluar, Za! Tujuan enggak akan tercapai sebelum direspon!”

“Salah. Udah ada yang keluar dari tadi.” Reza menunjuk ke arah kanan, kiri, dan belakang mereka berdiri saat ini, tepatnya sekitar lima ratus meter dari pusat masa. “Mulai kacau. Lebih baik mundur.”

Bubar!!

Mundur!!

Bubar!! Bubar!!

Para aparat mulai meneriaki peserta aksi yang melawan. Siapa pun masa yang menghadang mereka didesak mundur, tak peduli itu apakah mahasiswa atau bukan.

“Ada yang menunggangi aksi, Za! Kemungkinan dari ormas dan LSM. Provokator juga terlihat, tapi bukan dari kalangan pendemo, mereka pengacau bayaran, seperti biasa,” lapor Adam, wakil koordinator yang sedari tadi tak berbicara tapi mengamati situasi dan keamanan sekitar.

Irene dan seluruh pimpinan aksi kian waspada. Mobil-mobil polisi mulai datang berbondong-bondong dari arah utara, jumlahnya pun tidak sedikit. Kalau sudah begini, mereka tidak punya pilihan lain selain mundur jika tidak mau ada korban jatuh.

Irene lantas mengambil pengeras suara dari tangan Reza. “Semua mundur! Mundur dengan tenang! Aksi ini akan segera kita akhiri! Hati-hati, jangan melawan! Aparat kita selalu represif! Cari jalur aman!” teriaknya, memberi instruksi pada kerumunan masa di depannya tanpa memikirkan keselamatan dirinya sendiri.

“Rene, lo turun sekarang!” seru Adam di tengah jalan, tapi Irene masih enggan, ia terus melihat ke arah gedung DPRD, gedung yang ingin sekali dimasukinya dengan segudang tuntutan atas hilangnya Tian. Orang-orang di dalam gedung itu mungkin bukan pelakunya, tapi kepada siapa lagi Irene melampiaskan kemarahannya selama bertahun-tahun itu selain pada mereka yang berkuasa?

“Rene! Turun! Gas air mata!”

DOR! DOR!

Ricuh sudah, Irene dan seluruh masa berlarian sembari melindungi mata dan pernafasan mereka sebisanya. Rasa perih dan sesak lekas mereka rasakan tak sampai satu menit gas itu bercampur di udara.

“Rene, ke kiri! Gue harus ngamanin ke sana! Jangan ikut!”

“Jangan sendirian, Dam!”

Adam hanya mengangguk, ia berlari menolong teman-temannya yang lain setelah memastikan Irene menemukan jalur pelarian yang aman. Namun, sayangnya sedari dulu Irene memang tidak pernah kuat menahan serangan gas air mata. Ditambah lagi, polisi mengejar masa ke arah yang sama dengannya.

“Haish!”

Irene terjatuh, ia tersandung dan terdorong-dorong masa yang lain. Kerumunan yang berlari bersamanya tak berhenti, melewatinya begitu saja, bahkan beberapa menabrak dan menginjak kakinya.

“Berhenti kamu! Yang di sana! Almamater biru!”

Seorang polisi berteriak, sepertinya ia mengenali Irene sebagai provokator aksi. Irene pun lekas berdiri kembali, ia tidak mau tertangkap, masa bodoh dengan kakinya yang terasa sakit. Namun, sebuah tangan tiba-tiba menariknya, membantunya yang berjalan tertatih-tatih. Entah siapa pria bermasker dan topi hitam itu. Irene mengikuti saja, karena ia memang butuh bantuannya saat ini.

“Ke sini!”

DOR!

“Ah!”

“Menunduk!”

DOR!

Tembakan gas air mata terdengar untuk keempat kalinya. Udara semakin menyesakkan paru dan membuat matanya kabur dan perih. Irene berhenti, tak sanggup berlari lagi ketika ia sudah tak bisa bernafas normal. Kepalanya pusing, dan satu-satunya pertahanan yang tersisa hanyalah pria itu. Irene tetap berpegang pada tangannya, pun sebaliknya pria itu menggenggam erat Irene.

“Masih kuat lari?”

Irene tak menjawab, ia sibuk menormalkan nafas dan detak jantungnya. Namun, sayang ia tak kuat. Pandangannya seketika gelap, ia jatuh pingsan.

“Yocelyn!” seru pria itu seraya menahan Irene agar tak jatuh menyentuh aspal.

“Hey! Kalian!”

Sialnya, polisi yang tadi mengejar masa melihat mereka, membuat pria itu tak punya pilihan lain selain memangku Irene dan membawanya pergi.

Irene dengan kesadarannya yang tersisa rupanya masih dapat melihat siapa pria yang memangkunya itu, tapi ia menganggap pengenalannya mungkin sebatas halusinasi belaka.

“J—Januar …Raka?”

Bab terkait

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Utang Budi

    Januar membasahi sapu tangannya dengan air mineral dalam botol yang ia beli dari minimarket terdekat. Irene masih tak sadarkan diri di mobil, dan wajahnya yang terkena gas air mata harus segera dibasuh sebelum efek samping gas air mata itu merusak wajahnya lebih parah. Rasanya Januar terbebani sekali karena harus mengurus Irene yang pingsan, tapi mana mungkin juga ia membiarkannya? Mau tak mau Irene menjadi tanggung jawabnya saat ini.“P—permisi, maaf …” Januar gemetar ketika tangannya harus menyentuh wajah pucat Irene. Sedikit demi sedikit ia menyeka bagian wajah gadis itu yang memerah. Mulai dari dahi, pipi, hidung, dan dagu.“Ck! Memar gini. Ketabrak-tabrak apa gimana? Dasar nggak hati-hati,” lanjut Janua kesal. Ia masuk kembali ke dalam mobil setelah menyeka bagian wajah sampai leher Irene. Itu yang paling penting, tapi luka-luka akibat berdesakan dan jatuh di kerumunan itu juga tidak bisa diabaikannya begitu saja.Januar menghela, memajukan tubuhnya guna melihat luka di bagian pe

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-28
  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Ikut Menjelajah Bunker

    Pensil, penghapus, dan marker berwarna-warni. Christian masih terus berkutat dengan perkamen besar berisikan peta situs yang perlu ia pastikan kesesuaiannya dengan pengamatan di lapangan. Ia sudah mengunjungi lebih dari setengah bagian situs itu sebanyak dua kali, tapi itu belum membuatnya mudah mengingat fitur dan jalur rumit di dalamnya. “How the fuck is …” “Profesor?” Christian lekas menoleh ke arah pintu tenda ketika seseorang menginterupsi kepusingannya. Ah, ia bahkan mengumpat, dan sialnya lagi yang memergoki itu adalah mahasiswanya sendiri, Irene. “Oh, kapan kamu datang?” tanya Christian cuek, lekas kembali lagi pada perkamennya. Ah, sejujurnya reaksi itu membuat Irene sedikit kecewa. “Baru tadi, Prof. Saya mau ngasih barang-barang yang Anda minta,” ujarnya seraya menaruh satu kotak kayu berisi perkakas penggalian dasar. “Boleh diperiksa kelengkapannya dulu, Prof.” “Oke. Gak perlu diperiksa, saya yakin kamu bukan orang pelupa. Silakan kembali dan bebas beraktivitas. Terima

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-28
  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Serangan Energi Landheyan

    Ini adalah hari kedua kelompok tiga berada di Landheyan, dan sudah saatnya mereka melakukan sesuatu. Ah, seharusnya mereka bisa bermain-main sehari lagi, tapi Januar yang semena-mena itu memaksa mereka untuk berpanas-panasan di atas tanah cadas berpasir.“Kenapa jauh sekali lokasinya? Aku kira dekat dari gerbang itu.” Lee Yo-han kembali mengeluh, karena Christian yang belum juga berhenti setelah lima belas menit mereka berjalan dari tenda.“Udah dekat, kok. Landheyan ini komplek, susunannya seperti perumahan. Jadi, hati-hati aja kalau kalian nyasar,” peringat Christian seraya menunjuk area Landheyan yang katanya memiliki luas lebih dari lima hektar.“Kalau nyasar gimana, Prof?” tanya Wendy.“Kalau nyasar Irene yang mau nyari.”Semua perhatian lekas tertuju pada Irene. Selain Januar yang dimusuhi karena memajukan jadwal, gadis itu juga ikut dicibir karena meminta Christian agar mereka bekerja lebih keras dibanding kelompok lain dengan dalih ‘kelompok spesial’. Ayolah, tidak semua anggo

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-28
  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Inert, Energi Campuran

    Januar membawa semangkuk nasi instan beserta lauk pauk instan seadanya untuk Irene. Gadis itu berbaring di tenda medis sembari terus memegang pelipisnya. Januar menyimpulkan bahwa sakitnya Irene memang disebabkan oleh kejutan energi dari Landheyan, ditambah ia belum sepenuhnya pulih dari insiden gas air mata semalam.Januar lantas duduk di kursi sebelah tempat tidur, mengipas-ngipas nasi instan agar tidak terlalu panas. Udara di sekitar Landheyan memang menjadi lebih dingin karena hujan yang baru saja mengguyur, tapi itu tak cukup. “Kalau nggak ada saya, lagi-lagi kamu udah celaka. Tadi bisa aja kamu malah terperosok ke jurang dan itu akan lebih merepotkan.”Irene memutar matanya malas, tapi Januar sebenarnya berlebihan. Memang ada jurang di kiri dan belakang mereka tadi, dan Irene pun baru sadar bahwa mereka telah gegabah dengan berdiri di atas tebing curam.“Udah agak dingin. Kamu bisa makan sendiri, atau …”“Nggak usah aneh-aneh.” Irene merebut mangkuk nasi instan yang masih sediki

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-28
  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Gempa, Reruntuhan Situs

    Irene, Januar, dan tim medis berlarian menuju Landheyan sepuluh menit usai gempa berhenti. Mereka mengambil jeda untuk mengantisipasi gempa susulan, tapi mereka pun tak bisa menunggu lebih lama ketika Christian, Wendy, Yo-han, dan Deri tak kunjung kembali dari situs. Itu sudah cukup menandakan bahwa mereka tidak baik-baik saja, dan kini, pemandangan Landheyan usai gempa pun semakin mengkhawatirkan.Masih di bawah guyuran hujan, situs itu berantakan. Puluhan tiang dan dinding dari bebatuan kuno itu patah, dengan retakannya yang berserakan tak beraturan. Sebagian besar tanah di sisi kiri amblas, dan kemungkinan itulah penyebab timbulnya suara suara gemuruh besar tadi.“Di mana tadi kita berhenti?”“Di sana!”Januar mendekat ke arah tunjuk Irene, ke tumpukan batu yang beberapa waktu lalu disebut Christian sebagai gerbang. Nahas, gerbang tumpukan batu itu kini sudah runtuh tak berbentuk.“Kemungkinan mereka ada di sana, di dalam bunker! Pintu aksesnya sudah dibuka,” seru Irene, mengingat

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-28
  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Kesadaran Lee Yo-han

    Januar kembali dari mengurus administrasi rumah sakit dengan membawa beberapa makanan di tangannya. Langkahnya sendiri lesu, bahkan tangannya masih sedikit gemetar setelah membawa Christian, Wendy, Deri, dan Yo-han keluar dari Landheyan. Januar yakin, ada hubungan antara gempa yang terjadi, energi Landheyan, serta Wendy dan Yo-han yang belum sadarkan diri sampai saat ini. Namun, baik Januar, Yoel, dan Rayen belum bisa memastikan apa yang sebenarnya terjadi sebelum dua orang itu setidaknya membuka mata. Januar juga tidak bisa mengatakan hal-hal yang membuat Irene bingung. Gadis itu sudah cukup histeris ketika dua teman dan profesornya hampir kehilangan nyawa di bunker situs itu. Oh, dan mungkin ada sentimen lain untuk sang profesor. Setidaknya itu yang ditangkap Januar ketika melihat Irene yang acak-acakan masih terus berdiri di sisi Christian sembari memandanginya iba. Tatapan itu bukan tatapan seorang mahasiswa pada dosennya, tapi lebih dari itu, lebih terlihat seperti wanita pada s

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-01
  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Kelas Musim Panas

    Suara mesin pencetak terdengar sangat bising, mengisi setiap ruang kosong di sebuah paviliun bercorak arsitektur jawa kuno. Waktu baru menunjukkan pukul tiga pagi, tapi Januar sudah mulai beraktivitas, mengawali hari dengan mencetak hasil sketsa gambar digital yang dibuatnya sekitar dua jam lalu. Tidak ada alasan lain mengapa ia begitu sering melakukannya di waktu dini hari selain karena pikirannya yang bekerja tak terduga.Meski paviliun yang ditempatinya sepi, Januar cukup beruntung karena ia tak pernah sendirian di dalam ruangan bercorak mistis itu. Banyak ‘orang’ menemaninya, mengajaknya berinteraksi lewat kata, gerak, dan sentuhan.“Jan, kata gue sih kayaknya lo emang salah jurusan kuliah,” ujar Rayen. Sosok astral dengan hawa panas itu tiba-tiba sudah ada di sebelah kirinya. Ia memperhatikan Januar yang menggantung hasil cetak sketsa tadi di atas benang kasur seperti jemuran“Salah jurusan gimana? Ngak mungkin gue galau jurusan tapi tetap ngelanjutin kuliah di jurusan yang sama

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-08
  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Irene Yocelyn Riyanto

    Yogyakarta Multicultural University alias YMU, kampus internasional elit di Jawa itu memang terkenal dengan mahasiswanya yang penuh prestasi dan ambisi. Lihat saja, seminggu setelah libur ujian semester, kampus itu sudah kembali ramai layaknya hari perkuliahan biasa. Mungkin mereka sudah bosan dengan kegiatan libur kuliah yang begitu-begitu saja. Program baru universitas yang mewajibkan mahasiswa dari berbagai jurusan, jenjang pendidikan, dan asal negara untuk mengikuti semester pendek selama dua bulan itu menuai berbagai respon. Sepertiga menyambut positif, sepertiga biasa-biasa saja, dan sepertiganya lagi menyambut negatif, kesal liburannya terganggu. Namun, tidak peduli setuju atau tidak, ratusan mahasiswa itu akan ditempatkan pada subjek perkuliahan yang dipastikan tidak ada hubungannya dengan bidang keilmuan mereka. Januar contohnya. Mahasiswa S3 komunikasi itu sudah mendapatkan bocoran dari dosennya bahwa ia akan ditempatkan di kelas arkeologi bersama mahasiswa S1 dan S2 dari

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-08

Bab terbaru

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Kesadaran Lee Yo-han

    Januar kembali dari mengurus administrasi rumah sakit dengan membawa beberapa makanan di tangannya. Langkahnya sendiri lesu, bahkan tangannya masih sedikit gemetar setelah membawa Christian, Wendy, Deri, dan Yo-han keluar dari Landheyan. Januar yakin, ada hubungan antara gempa yang terjadi, energi Landheyan, serta Wendy dan Yo-han yang belum sadarkan diri sampai saat ini. Namun, baik Januar, Yoel, dan Rayen belum bisa memastikan apa yang sebenarnya terjadi sebelum dua orang itu setidaknya membuka mata. Januar juga tidak bisa mengatakan hal-hal yang membuat Irene bingung. Gadis itu sudah cukup histeris ketika dua teman dan profesornya hampir kehilangan nyawa di bunker situs itu. Oh, dan mungkin ada sentimen lain untuk sang profesor. Setidaknya itu yang ditangkap Januar ketika melihat Irene yang acak-acakan masih terus berdiri di sisi Christian sembari memandanginya iba. Tatapan itu bukan tatapan seorang mahasiswa pada dosennya, tapi lebih dari itu, lebih terlihat seperti wanita pada s

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Gempa, Reruntuhan Situs

    Irene, Januar, dan tim medis berlarian menuju Landheyan sepuluh menit usai gempa berhenti. Mereka mengambil jeda untuk mengantisipasi gempa susulan, tapi mereka pun tak bisa menunggu lebih lama ketika Christian, Wendy, Yo-han, dan Deri tak kunjung kembali dari situs. Itu sudah cukup menandakan bahwa mereka tidak baik-baik saja, dan kini, pemandangan Landheyan usai gempa pun semakin mengkhawatirkan.Masih di bawah guyuran hujan, situs itu berantakan. Puluhan tiang dan dinding dari bebatuan kuno itu patah, dengan retakannya yang berserakan tak beraturan. Sebagian besar tanah di sisi kiri amblas, dan kemungkinan itulah penyebab timbulnya suara suara gemuruh besar tadi.“Di mana tadi kita berhenti?”“Di sana!”Januar mendekat ke arah tunjuk Irene, ke tumpukan batu yang beberapa waktu lalu disebut Christian sebagai gerbang. Nahas, gerbang tumpukan batu itu kini sudah runtuh tak berbentuk.“Kemungkinan mereka ada di sana, di dalam bunker! Pintu aksesnya sudah dibuka,” seru Irene, mengingat

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Inert, Energi Campuran

    Januar membawa semangkuk nasi instan beserta lauk pauk instan seadanya untuk Irene. Gadis itu berbaring di tenda medis sembari terus memegang pelipisnya. Januar menyimpulkan bahwa sakitnya Irene memang disebabkan oleh kejutan energi dari Landheyan, ditambah ia belum sepenuhnya pulih dari insiden gas air mata semalam.Januar lantas duduk di kursi sebelah tempat tidur, mengipas-ngipas nasi instan agar tidak terlalu panas. Udara di sekitar Landheyan memang menjadi lebih dingin karena hujan yang baru saja mengguyur, tapi itu tak cukup. “Kalau nggak ada saya, lagi-lagi kamu udah celaka. Tadi bisa aja kamu malah terperosok ke jurang dan itu akan lebih merepotkan.”Irene memutar matanya malas, tapi Januar sebenarnya berlebihan. Memang ada jurang di kiri dan belakang mereka tadi, dan Irene pun baru sadar bahwa mereka telah gegabah dengan berdiri di atas tebing curam.“Udah agak dingin. Kamu bisa makan sendiri, atau …”“Nggak usah aneh-aneh.” Irene merebut mangkuk nasi instan yang masih sediki

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Serangan Energi Landheyan

    Ini adalah hari kedua kelompok tiga berada di Landheyan, dan sudah saatnya mereka melakukan sesuatu. Ah, seharusnya mereka bisa bermain-main sehari lagi, tapi Januar yang semena-mena itu memaksa mereka untuk berpanas-panasan di atas tanah cadas berpasir.“Kenapa jauh sekali lokasinya? Aku kira dekat dari gerbang itu.” Lee Yo-han kembali mengeluh, karena Christian yang belum juga berhenti setelah lima belas menit mereka berjalan dari tenda.“Udah dekat, kok. Landheyan ini komplek, susunannya seperti perumahan. Jadi, hati-hati aja kalau kalian nyasar,” peringat Christian seraya menunjuk area Landheyan yang katanya memiliki luas lebih dari lima hektar.“Kalau nyasar gimana, Prof?” tanya Wendy.“Kalau nyasar Irene yang mau nyari.”Semua perhatian lekas tertuju pada Irene. Selain Januar yang dimusuhi karena memajukan jadwal, gadis itu juga ikut dicibir karena meminta Christian agar mereka bekerja lebih keras dibanding kelompok lain dengan dalih ‘kelompok spesial’. Ayolah, tidak semua anggo

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Ikut Menjelajah Bunker

    Pensil, penghapus, dan marker berwarna-warni. Christian masih terus berkutat dengan perkamen besar berisikan peta situs yang perlu ia pastikan kesesuaiannya dengan pengamatan di lapangan. Ia sudah mengunjungi lebih dari setengah bagian situs itu sebanyak dua kali, tapi itu belum membuatnya mudah mengingat fitur dan jalur rumit di dalamnya. “How the fuck is …” “Profesor?” Christian lekas menoleh ke arah pintu tenda ketika seseorang menginterupsi kepusingannya. Ah, ia bahkan mengumpat, dan sialnya lagi yang memergoki itu adalah mahasiswanya sendiri, Irene. “Oh, kapan kamu datang?” tanya Christian cuek, lekas kembali lagi pada perkamennya. Ah, sejujurnya reaksi itu membuat Irene sedikit kecewa. “Baru tadi, Prof. Saya mau ngasih barang-barang yang Anda minta,” ujarnya seraya menaruh satu kotak kayu berisi perkakas penggalian dasar. “Boleh diperiksa kelengkapannya dulu, Prof.” “Oke. Gak perlu diperiksa, saya yakin kamu bukan orang pelupa. Silakan kembali dan bebas beraktivitas. Terima

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Utang Budi

    Januar membasahi sapu tangannya dengan air mineral dalam botol yang ia beli dari minimarket terdekat. Irene masih tak sadarkan diri di mobil, dan wajahnya yang terkena gas air mata harus segera dibasuh sebelum efek samping gas air mata itu merusak wajahnya lebih parah. Rasanya Januar terbebani sekali karena harus mengurus Irene yang pingsan, tapi mana mungkin juga ia membiarkannya? Mau tak mau Irene menjadi tanggung jawabnya saat ini.“P—permisi, maaf …” Januar gemetar ketika tangannya harus menyentuh wajah pucat Irene. Sedikit demi sedikit ia menyeka bagian wajah gadis itu yang memerah. Mulai dari dahi, pipi, hidung, dan dagu.“Ck! Memar gini. Ketabrak-tabrak apa gimana? Dasar nggak hati-hati,” lanjut Janua kesal. Ia masuk kembali ke dalam mobil setelah menyeka bagian wajah sampai leher Irene. Itu yang paling penting, tapi luka-luka akibat berdesakan dan jatuh di kerumunan itu juga tidak bisa diabaikannya begitu saja.Januar menghela, memajukan tubuhnya guna melihat luka di bagian pe

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Masa, Gas Air Mata

    Hari sudah gelap, tapi semangat iring-iringan mahasiswa dari berbagai universitas yang melakukan unjuk rasa di depan gedung DPRD Yogyakarta masih terus menyala. Ratusan mahasiswa terus bertahan dan menyuarakan tuntutan mereka di depan pusat pemerintahan. Spanduk-spanduk dengan tulisan bernada sarkasme masih bertengger melengkapi orasi para pentolan aksi yang terus digaungkan lewat pengeras suara besar di atas mobil bak terbuka.“Pemerintah kita katanya telah berjanji untuk menumpas kasus pelanggaran HAM! Tekad itu tertuang secara konkret dalam rencana kerja setiap periode kepengurusan, tapi apakah kita sudah melihat perwujudannya?!”“Belum!!”Irene, gadis itu masih melakukan orasi, bergantian dengan para elit BEM universitas lain. Ia adalah satu-satunya perempuan di podium, tapi kalimat-kalimat provokatifnya tak kalah membakar dari aktivis laki-laki lainnya. Ia kembali menjadi simbol keberanian perempuan dalam aktivisme mahasiswa.“Terlalu panjang sejarah pelanggaran HAM di negeri ini

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Intervensi dan Intuisi

    Januar bergeming sesaat setelah ia membuka pintu ruangan Satria. Tadinya ia hanya ingin menumpang istirahat, tidur-tiduran sebentar sebelum pergi ke ruangan Christian untuk berbicara kembali tentang jadwal field trip kelompok tiga yang diubahnya sepihak tanpa persetujuan sang dosen pengampu. Namun, Christian justru ada di sana, sedang berbincang dengan si pemilik ruangan. Oh, sepertinya mereka saling mengenal sebagai sesama dosen.“Siang, Prof.”“Ya, siang. Ada apa kamu ke sini?”“Udah biasa dia ke sini, Bang. Temen gue, sekaligus asisten. Rupanya anak kelas lo juga, toh,” ujar Satria.Christian hanya mengangguk tak acuh, lanjut menghisap rokok elektriknya. Seketika saja aroma blueberry menguar di ruangan Satria. Bau itu menyegarkan sekaligus membuat pusing. Januar heran saja. Dosen merokok di lingkungan kampus YMU adalah sesuatu yang mendekati haram, tapi kenapa Satria yang ketat aturan dan jelas punya hak untuk menegur malah membiarkan? Sosok dosen itu semakin misterius, setidaknya

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Maju Lusa, Indisipliner

    Wendy dan Yo-han kembali ke meja dengan membawa dua nampan berisi makanan pesanan mereka di kafetaria. Tiga sekawan itu memutuskan untuk makan siang bersama setelah kelas pertama selesai jam setengah dua belas siang.“Ini namanya apa, Wendy? Aku lupa.”“Oh, ini? Oseng mercon. Pedas loh, Han. Kamu yakin kuat makannya?”“Aku akan mencobanya. Jika tidak habis, ada Irene yang mau menghabiskannya karena dia bermulut pedas.” Yo-han menaik turunkan kedua alisnya menggoda Irene. Sedari tadi ia terus berbicara dengan bahasa Indonesia baku berlogat Korea.“Kamu nggak akan pindah kelompok, ‘kan, Rene? Kita udah klop banget sama Ko Deri juga,” tanya Wendy memastikan.Irene menghela, menarik piring berisi oseng mercon sapi milik Yo-han alih-alih soto lamongan pesanannya sendiri. “Prof. Christian itu kenapa, sih?” tanyanya, mengalihkan topik pembicaraan.“Kenapa gimana?”“Aneh.”Yo-han memetik jarinya keras-keras, heboh sendiri sembari menahan pedasnya sesendok oseng urat sapi dengan puluhan butir

DMCA.com Protection Status