Januar membasahi sapu tangannya dengan air mineral dalam botol yang ia beli dari minimarket terdekat. Irene masih tak sadarkan diri di mobil, dan wajahnya yang terkena gas air mata harus segera dibasuh sebelum efek samping gas air mata itu merusak wajahnya lebih parah. Rasanya Januar terbebani sekali karena harus mengurus Irene yang pingsan, tapi mana mungkin juga ia membiarkannya? Mau tak mau Irene menjadi tanggung jawabnya saat ini.
“P—permisi, maaf …” Januar gemetar ketika tangannya harus menyentuh wajah pucat Irene. Sedikit demi sedikit ia menyeka bagian wajah gadis itu yang memerah. Mulai dari dahi, pipi, hidung, dan dagu.
“Ck! Memar gini. Ketabrak-tabrak apa gimana? Dasar nggak hati-hati,” lanjut Janua kesal. Ia masuk kembali ke dalam mobil setelah menyeka bagian wajah sampai leher Irene. Itu yang paling penting, tapi luka-luka akibat berdesakan dan jatuh di kerumunan itu juga tidak bisa diabaikannya begitu saja.
Januar menghela, memajukan tubuhnya guna melihat luka di bagian pelipis lebih jelas. “Makanya, jangan ngeyel. Disuruh kuliah malah demo,” gumamnya mengomel. Januar tidak sepenuhnya bermaksud demikian, ia hanya butuh emosi pengalih agar tidak terlalu grogi.
Januar tidak pernah menyangka bahwa ia akan sedekat ini dengan Irene, orang yang sangat membencinya empat tahun terakhir. Ia tidak berniat berlama-lama berdekatan dengan Irene, tapi sesuatu di dada gadis itu tak sengaja menarik perhatiannya.
Bekas luka, cukup panjang melintang di sana.
Bekas luka apa itu? Januar mencoba menerka-nerka. Namun, sebelum sempat pertanyaannya terjawab, kesadaran Irene sudah kembali. Reaksinya sudah ditebak ketika mendapati Januar di posisi nyaris tanpa jarak seperti itu.
PLAK!
Satu tamparan keras mendarat di wajah Januar hingga ia tersungkur ke dashboard mobil. “Ngapain kamu?!” amuk Irene, ia menarik kerah kemeja Januar sampai pria itu tercekik. “Selain pengecut ternyata kamu juga melakukan pelecehan? Saya benar-benar nggak habis pikir sama kamu, Raka Januar!”
Januar mencoba tenang, menunjukkan kepasrahan dengan mengangkat kedua tangan. “Saya yakin kamu lihat saya tadi, ‘kan? Saya menolong kamu keluar dari kerumunan dan gas air mata, dan lihat ini …” Januar menunjukkan kapas dengan betadin, serta kotak P3K di dashboard. “Saya cuma ngobatin kamu. Lihat, tuh, pelipis kamu, bocor. Apa tega saya biarkan?”
Irene menyentuh pelipisnya segera. “Aw!” rintihnya, miris melihat darahnya sendiri di sana.
“See? Saya nggak macam-macam. Gas air mata itu bikin kamu pingsan, dan saya harus menghilangkannya.” Januar turut menunjukkan sapu tangan marun yang dibasahinya tadi sebagai bukti tambahan. “Bisa dimengerti? Saya nggak segitunya tertarik sama kamu sampai harus melakukan pelecehan,” sindirnya halus.
Irene akhirnya melepaskan cengkraman tangannya di kerah Januar, menghempas pria itu lebih kasar. “Di mana ini? Kenapa kamu bisa di sana tadi?”
“Ya karena saya datang.”
“Kenapa kamu datang?”
“Karena saya bisa, dan kebetulan mau.”
Irene memutar matanya malas, menyebalkan sekali Januar. Irene sudah tak mau berlama-lama di dekat pria itu. Energi Januar yang aneh, suasana mereka yang canggung, dan tubuhnya yang sakit-sakit. Irene lantas membuka kunci pintu mobil hendak keluar, tapi sayangnya tak bisa, Januar menguncinya. “Buka!”
“Mau ke mana?”
“Bukan urusan kamu. Buka!”
“Buka aja,” ujar Januar, padahal jelas-jelas ia yang menguncinya tadi.
“Ck! Apaan, sih!”
Irene maju, hendak membuka kunci dari pintu mobil pengemudi di sisi Januar, tapi pria itu cepat menahan tangannya. “Saya tanya, kamu mau ke mana? Ini udah malam, hampir jam sepuluh. Aksi sudah dibubarkan polisi, teman-teman kamu udah pulang, dan kamu luka. Bilang sama saya ke mana tujuan kamu, biar saya antar,” titah Januar memaksa.
Demi Tuhan, Irene tak mengerti dengan apa yang baru saja ia saksikan. Raka Januar, apakah itu sungguh dirinya? Sejak kapan ia menjadi orang yang sangat peduli? Rasanya tidak mungkin kepribadian seseorang berubah sedrastis dan secepat itu.
Mengabaikan Irene yang bingung, Januar lantas menyalakan mesin mobil, mengambil haluan parkir. Terlalu lama menunggu Irene menjawab. “Saya antar kamu pulang.”
“Jangan.”
“Kenapa? Takut dimarahi ayah kamu?”
Irene tak menjawab, dan Januar sudah paham apa maksudnya.
“Kalau gitu ke rumah sakit.”
“Jangan juga.”
Januar memejamkan matanya, mencoba bersabar sekali lagi. Gadis di sebelahnya memang tidak tahu malu. Sudah ditolong bukannya berterima kasih malah membuat jengkel dan banyak mau. “Terus kamu mau ke mana, Irene Yocelyn? Jangan buat saya kesal dan bingung karena bawa anak perempuan semalam ini.”
“Ya terus kenapa dibawa kalau nggak mau bingung?”
“Menurut kamu apa lagi alasannya selain saya peduli?” jawab Januar jujur, membuat Irene sempat tersentak beberapa detik. “I—ya, tapi kenapa harus peduli? Saya nggak meminta, butuh apalagi!”
“Karena memang saya aja yang butuh peduli sama kamu. Apa itu cukup menjawab?” Januar spontan, membuat Irene kini menaikkan sebelah bibirnya. “Dih?”
Januar hampir terkekeh geli. Ekspresi Irene yang satu itu adalah favoritnya. “Kita ke Landheyan kalau kamu nggak mau ke rumah atau ke rumah sakit.”
“Jangan dulu. Saya masih punya utang sama Prof. Christian.”
“Utang? Utang apa?”
Irene memalingkan pandangannya ke luar, menurunkan sedikit kaca jendela. Pikirannya kini tertuju pada Christian yang pagi tadi tiba-tiba mengizinkan, bahkan mendukungnya mengikuti aksi mahasiswa. Alih-alih ayahnya, justru profesor itulah yang membuatnya berdiri untuk Tian di podium hari ini.
“Utang …utang budi. Saya harus membayarnya.”
Pensil, penghapus, dan marker berwarna-warni. Christian masih terus berkutat dengan perkamen besar berisikan peta situs yang perlu ia pastikan kesesuaiannya dengan pengamatan di lapangan. Ia sudah mengunjungi lebih dari setengah bagian situs itu sebanyak dua kali, tapi itu belum membuatnya mudah mengingat fitur dan jalur rumit di dalamnya. “How the fuck is …” “Profesor?” Christian lekas menoleh ke arah pintu tenda ketika seseorang menginterupsi kepusingannya. Ah, ia bahkan mengumpat, dan sialnya lagi yang memergoki itu adalah mahasiswanya sendiri, Irene. “Oh, kapan kamu datang?” tanya Christian cuek, lekas kembali lagi pada perkamennya. Ah, sejujurnya reaksi itu membuat Irene sedikit kecewa. “Baru tadi, Prof. Saya mau ngasih barang-barang yang Anda minta,” ujarnya seraya menaruh satu kotak kayu berisi perkakas penggalian dasar. “Boleh diperiksa kelengkapannya dulu, Prof.” “Oke. Gak perlu diperiksa, saya yakin kamu bukan orang pelupa. Silakan kembali dan bebas beraktivitas. Terima
Ini adalah hari kedua kelompok tiga berada di Landheyan, dan sudah saatnya mereka melakukan sesuatu. Ah, seharusnya mereka bisa bermain-main sehari lagi, tapi Januar yang semena-mena itu memaksa mereka untuk berpanas-panasan di atas tanah cadas berpasir.“Kenapa jauh sekali lokasinya? Aku kira dekat dari gerbang itu.” Lee Yo-han kembali mengeluh, karena Christian yang belum juga berhenti setelah lima belas menit mereka berjalan dari tenda.“Udah dekat, kok. Landheyan ini komplek, susunannya seperti perumahan. Jadi, hati-hati aja kalau kalian nyasar,” peringat Christian seraya menunjuk area Landheyan yang katanya memiliki luas lebih dari lima hektar.“Kalau nyasar gimana, Prof?” tanya Wendy.“Kalau nyasar Irene yang mau nyari.”Semua perhatian lekas tertuju pada Irene. Selain Januar yang dimusuhi karena memajukan jadwal, gadis itu juga ikut dicibir karena meminta Christian agar mereka bekerja lebih keras dibanding kelompok lain dengan dalih ‘kelompok spesial’. Ayolah, tidak semua anggo
Januar membawa semangkuk nasi instan beserta lauk pauk instan seadanya untuk Irene. Gadis itu berbaring di tenda medis sembari terus memegang pelipisnya. Januar menyimpulkan bahwa sakitnya Irene memang disebabkan oleh kejutan energi dari Landheyan, ditambah ia belum sepenuhnya pulih dari insiden gas air mata semalam.Januar lantas duduk di kursi sebelah tempat tidur, mengipas-ngipas nasi instan agar tidak terlalu panas. Udara di sekitar Landheyan memang menjadi lebih dingin karena hujan yang baru saja mengguyur, tapi itu tak cukup. “Kalau nggak ada saya, lagi-lagi kamu udah celaka. Tadi bisa aja kamu malah terperosok ke jurang dan itu akan lebih merepotkan.”Irene memutar matanya malas, tapi Januar sebenarnya berlebihan. Memang ada jurang di kiri dan belakang mereka tadi, dan Irene pun baru sadar bahwa mereka telah gegabah dengan berdiri di atas tebing curam.“Udah agak dingin. Kamu bisa makan sendiri, atau …”“Nggak usah aneh-aneh.” Irene merebut mangkuk nasi instan yang masih sediki
Irene, Januar, dan tim medis berlarian menuju Landheyan sepuluh menit usai gempa berhenti. Mereka mengambil jeda untuk mengantisipasi gempa susulan, tapi mereka pun tak bisa menunggu lebih lama ketika Christian, Wendy, Yo-han, dan Deri tak kunjung kembali dari situs. Itu sudah cukup menandakan bahwa mereka tidak baik-baik saja, dan kini, pemandangan Landheyan usai gempa pun semakin mengkhawatirkan.Masih di bawah guyuran hujan, situs itu berantakan. Puluhan tiang dan dinding dari bebatuan kuno itu patah, dengan retakannya yang berserakan tak beraturan. Sebagian besar tanah di sisi kiri amblas, dan kemungkinan itulah penyebab timbulnya suara suara gemuruh besar tadi.“Di mana tadi kita berhenti?”“Di sana!”Januar mendekat ke arah tunjuk Irene, ke tumpukan batu yang beberapa waktu lalu disebut Christian sebagai gerbang. Nahas, gerbang tumpukan batu itu kini sudah runtuh tak berbentuk.“Kemungkinan mereka ada di sana, di dalam bunker! Pintu aksesnya sudah dibuka,” seru Irene, mengingat
Januar kembali dari mengurus administrasi rumah sakit dengan membawa beberapa makanan di tangannya. Langkahnya sendiri lesu, bahkan tangannya masih sedikit gemetar setelah membawa Christian, Wendy, Deri, dan Yo-han keluar dari Landheyan. Januar yakin, ada hubungan antara gempa yang terjadi, energi Landheyan, serta Wendy dan Yo-han yang belum sadarkan diri sampai saat ini. Namun, baik Januar, Yoel, dan Rayen belum bisa memastikan apa yang sebenarnya terjadi sebelum dua orang itu setidaknya membuka mata. Januar juga tidak bisa mengatakan hal-hal yang membuat Irene bingung. Gadis itu sudah cukup histeris ketika dua teman dan profesornya hampir kehilangan nyawa di bunker situs itu. Oh, dan mungkin ada sentimen lain untuk sang profesor. Setidaknya itu yang ditangkap Januar ketika melihat Irene yang acak-acakan masih terus berdiri di sisi Christian sembari memandanginya iba. Tatapan itu bukan tatapan seorang mahasiswa pada dosennya, tapi lebih dari itu, lebih terlihat seperti wanita pada s
Suara mesin pencetak terdengar sangat bising, mengisi setiap ruang kosong di sebuah paviliun bercorak arsitektur jawa kuno. Waktu baru menunjukkan pukul tiga pagi, tapi Januar sudah mulai beraktivitas, mengawali hari dengan mencetak hasil sketsa gambar digital yang dibuatnya sekitar dua jam lalu. Tidak ada alasan lain mengapa ia begitu sering melakukannya di waktu dini hari selain karena pikirannya yang bekerja tak terduga.Meski paviliun yang ditempatinya sepi, Januar cukup beruntung karena ia tak pernah sendirian di dalam ruangan bercorak mistis itu. Banyak ‘orang’ menemaninya, mengajaknya berinteraksi lewat kata, gerak, dan sentuhan.“Jan, kata gue sih kayaknya lo emang salah jurusan kuliah,” ujar Rayen. Sosok astral dengan hawa panas itu tiba-tiba sudah ada di sebelah kirinya. Ia memperhatikan Januar yang menggantung hasil cetak sketsa tadi di atas benang kasur seperti jemuran“Salah jurusan gimana? Ngak mungkin gue galau jurusan tapi tetap ngelanjutin kuliah di jurusan yang sama
Yogyakarta Multicultural University alias YMU, kampus internasional elit di Jawa itu memang terkenal dengan mahasiswanya yang penuh prestasi dan ambisi. Lihat saja, seminggu setelah libur ujian semester, kampus itu sudah kembali ramai layaknya hari perkuliahan biasa. Mungkin mereka sudah bosan dengan kegiatan libur kuliah yang begitu-begitu saja. Program baru universitas yang mewajibkan mahasiswa dari berbagai jurusan, jenjang pendidikan, dan asal negara untuk mengikuti semester pendek selama dua bulan itu menuai berbagai respon. Sepertiga menyambut positif, sepertiga biasa-biasa saja, dan sepertiganya lagi menyambut negatif, kesal liburannya terganggu. Namun, tidak peduli setuju atau tidak, ratusan mahasiswa itu akan ditempatkan pada subjek perkuliahan yang dipastikan tidak ada hubungannya dengan bidang keilmuan mereka. Januar contohnya. Mahasiswa S3 komunikasi itu sudah mendapatkan bocoran dari dosennya bahwa ia akan ditempatkan di kelas arkeologi bersama mahasiswa S1 dan S2 dari
Januar melempar tasnya kasar ke sofa ruang kerja Satria, teman sekaligus dosennya di YMU. Keduanya sudah sangat akrab hingga batasan antara dosen dan mahasiswa hampir tak terlihat di antara mereka. Maklum, perbedaan usia mereka hanya terpaut tiga tahun, dan Januar sudah menjadi tangan kanan Satria sejak ia mengajar mahasiswa jenjang sarjana. Januar lantas mengambil segelas air minum dalam kemasan yang tersedia di meja, hendak membasahi kerongkongannya yang kering usai terlalu banyak bicara. “Sat, lo masih ngajar anak-anak politik 2015?” “Angkatan 2015? Berarti yang sekarang semester tujuh?” “Iya, angkatannya Yoga-Yocelyn.” “Mengajar di kelas enggak, tapi gue membimbing skripsi beberapa dari mereka, salah satunya musuh lo, tuh, si Irene.” Satria tersenyum meledek. Ia tidak pernah ketinggalan gosip panas kampus meski telah menjadi dosen muda sibuk. “Gue bahkan baru mau tanya soal dia, ternyata malah lo pembimbingnya. Skripsi dia ngapain sampai nyebrang ke komunikasi segala?” Januar
Januar kembali dari mengurus administrasi rumah sakit dengan membawa beberapa makanan di tangannya. Langkahnya sendiri lesu, bahkan tangannya masih sedikit gemetar setelah membawa Christian, Wendy, Deri, dan Yo-han keluar dari Landheyan. Januar yakin, ada hubungan antara gempa yang terjadi, energi Landheyan, serta Wendy dan Yo-han yang belum sadarkan diri sampai saat ini. Namun, baik Januar, Yoel, dan Rayen belum bisa memastikan apa yang sebenarnya terjadi sebelum dua orang itu setidaknya membuka mata. Januar juga tidak bisa mengatakan hal-hal yang membuat Irene bingung. Gadis itu sudah cukup histeris ketika dua teman dan profesornya hampir kehilangan nyawa di bunker situs itu. Oh, dan mungkin ada sentimen lain untuk sang profesor. Setidaknya itu yang ditangkap Januar ketika melihat Irene yang acak-acakan masih terus berdiri di sisi Christian sembari memandanginya iba. Tatapan itu bukan tatapan seorang mahasiswa pada dosennya, tapi lebih dari itu, lebih terlihat seperti wanita pada s
Irene, Januar, dan tim medis berlarian menuju Landheyan sepuluh menit usai gempa berhenti. Mereka mengambil jeda untuk mengantisipasi gempa susulan, tapi mereka pun tak bisa menunggu lebih lama ketika Christian, Wendy, Yo-han, dan Deri tak kunjung kembali dari situs. Itu sudah cukup menandakan bahwa mereka tidak baik-baik saja, dan kini, pemandangan Landheyan usai gempa pun semakin mengkhawatirkan.Masih di bawah guyuran hujan, situs itu berantakan. Puluhan tiang dan dinding dari bebatuan kuno itu patah, dengan retakannya yang berserakan tak beraturan. Sebagian besar tanah di sisi kiri amblas, dan kemungkinan itulah penyebab timbulnya suara suara gemuruh besar tadi.“Di mana tadi kita berhenti?”“Di sana!”Januar mendekat ke arah tunjuk Irene, ke tumpukan batu yang beberapa waktu lalu disebut Christian sebagai gerbang. Nahas, gerbang tumpukan batu itu kini sudah runtuh tak berbentuk.“Kemungkinan mereka ada di sana, di dalam bunker! Pintu aksesnya sudah dibuka,” seru Irene, mengingat
Januar membawa semangkuk nasi instan beserta lauk pauk instan seadanya untuk Irene. Gadis itu berbaring di tenda medis sembari terus memegang pelipisnya. Januar menyimpulkan bahwa sakitnya Irene memang disebabkan oleh kejutan energi dari Landheyan, ditambah ia belum sepenuhnya pulih dari insiden gas air mata semalam.Januar lantas duduk di kursi sebelah tempat tidur, mengipas-ngipas nasi instan agar tidak terlalu panas. Udara di sekitar Landheyan memang menjadi lebih dingin karena hujan yang baru saja mengguyur, tapi itu tak cukup. “Kalau nggak ada saya, lagi-lagi kamu udah celaka. Tadi bisa aja kamu malah terperosok ke jurang dan itu akan lebih merepotkan.”Irene memutar matanya malas, tapi Januar sebenarnya berlebihan. Memang ada jurang di kiri dan belakang mereka tadi, dan Irene pun baru sadar bahwa mereka telah gegabah dengan berdiri di atas tebing curam.“Udah agak dingin. Kamu bisa makan sendiri, atau …”“Nggak usah aneh-aneh.” Irene merebut mangkuk nasi instan yang masih sediki
Ini adalah hari kedua kelompok tiga berada di Landheyan, dan sudah saatnya mereka melakukan sesuatu. Ah, seharusnya mereka bisa bermain-main sehari lagi, tapi Januar yang semena-mena itu memaksa mereka untuk berpanas-panasan di atas tanah cadas berpasir.“Kenapa jauh sekali lokasinya? Aku kira dekat dari gerbang itu.” Lee Yo-han kembali mengeluh, karena Christian yang belum juga berhenti setelah lima belas menit mereka berjalan dari tenda.“Udah dekat, kok. Landheyan ini komplek, susunannya seperti perumahan. Jadi, hati-hati aja kalau kalian nyasar,” peringat Christian seraya menunjuk area Landheyan yang katanya memiliki luas lebih dari lima hektar.“Kalau nyasar gimana, Prof?” tanya Wendy.“Kalau nyasar Irene yang mau nyari.”Semua perhatian lekas tertuju pada Irene. Selain Januar yang dimusuhi karena memajukan jadwal, gadis itu juga ikut dicibir karena meminta Christian agar mereka bekerja lebih keras dibanding kelompok lain dengan dalih ‘kelompok spesial’. Ayolah, tidak semua anggo
Pensil, penghapus, dan marker berwarna-warni. Christian masih terus berkutat dengan perkamen besar berisikan peta situs yang perlu ia pastikan kesesuaiannya dengan pengamatan di lapangan. Ia sudah mengunjungi lebih dari setengah bagian situs itu sebanyak dua kali, tapi itu belum membuatnya mudah mengingat fitur dan jalur rumit di dalamnya. “How the fuck is …” “Profesor?” Christian lekas menoleh ke arah pintu tenda ketika seseorang menginterupsi kepusingannya. Ah, ia bahkan mengumpat, dan sialnya lagi yang memergoki itu adalah mahasiswanya sendiri, Irene. “Oh, kapan kamu datang?” tanya Christian cuek, lekas kembali lagi pada perkamennya. Ah, sejujurnya reaksi itu membuat Irene sedikit kecewa. “Baru tadi, Prof. Saya mau ngasih barang-barang yang Anda minta,” ujarnya seraya menaruh satu kotak kayu berisi perkakas penggalian dasar. “Boleh diperiksa kelengkapannya dulu, Prof.” “Oke. Gak perlu diperiksa, saya yakin kamu bukan orang pelupa. Silakan kembali dan bebas beraktivitas. Terima
Januar membasahi sapu tangannya dengan air mineral dalam botol yang ia beli dari minimarket terdekat. Irene masih tak sadarkan diri di mobil, dan wajahnya yang terkena gas air mata harus segera dibasuh sebelum efek samping gas air mata itu merusak wajahnya lebih parah. Rasanya Januar terbebani sekali karena harus mengurus Irene yang pingsan, tapi mana mungkin juga ia membiarkannya? Mau tak mau Irene menjadi tanggung jawabnya saat ini.“P—permisi, maaf …” Januar gemetar ketika tangannya harus menyentuh wajah pucat Irene. Sedikit demi sedikit ia menyeka bagian wajah gadis itu yang memerah. Mulai dari dahi, pipi, hidung, dan dagu.“Ck! Memar gini. Ketabrak-tabrak apa gimana? Dasar nggak hati-hati,” lanjut Janua kesal. Ia masuk kembali ke dalam mobil setelah menyeka bagian wajah sampai leher Irene. Itu yang paling penting, tapi luka-luka akibat berdesakan dan jatuh di kerumunan itu juga tidak bisa diabaikannya begitu saja.Januar menghela, memajukan tubuhnya guna melihat luka di bagian pe
Hari sudah gelap, tapi semangat iring-iringan mahasiswa dari berbagai universitas yang melakukan unjuk rasa di depan gedung DPRD Yogyakarta masih terus menyala. Ratusan mahasiswa terus bertahan dan menyuarakan tuntutan mereka di depan pusat pemerintahan. Spanduk-spanduk dengan tulisan bernada sarkasme masih bertengger melengkapi orasi para pentolan aksi yang terus digaungkan lewat pengeras suara besar di atas mobil bak terbuka.“Pemerintah kita katanya telah berjanji untuk menumpas kasus pelanggaran HAM! Tekad itu tertuang secara konkret dalam rencana kerja setiap periode kepengurusan, tapi apakah kita sudah melihat perwujudannya?!”“Belum!!”Irene, gadis itu masih melakukan orasi, bergantian dengan para elit BEM universitas lain. Ia adalah satu-satunya perempuan di podium, tapi kalimat-kalimat provokatifnya tak kalah membakar dari aktivis laki-laki lainnya. Ia kembali menjadi simbol keberanian perempuan dalam aktivisme mahasiswa.“Terlalu panjang sejarah pelanggaran HAM di negeri ini
Januar bergeming sesaat setelah ia membuka pintu ruangan Satria. Tadinya ia hanya ingin menumpang istirahat, tidur-tiduran sebentar sebelum pergi ke ruangan Christian untuk berbicara kembali tentang jadwal field trip kelompok tiga yang diubahnya sepihak tanpa persetujuan sang dosen pengampu. Namun, Christian justru ada di sana, sedang berbincang dengan si pemilik ruangan. Oh, sepertinya mereka saling mengenal sebagai sesama dosen.“Siang, Prof.”“Ya, siang. Ada apa kamu ke sini?”“Udah biasa dia ke sini, Bang. Temen gue, sekaligus asisten. Rupanya anak kelas lo juga, toh,” ujar Satria.Christian hanya mengangguk tak acuh, lanjut menghisap rokok elektriknya. Seketika saja aroma blueberry menguar di ruangan Satria. Bau itu menyegarkan sekaligus membuat pusing. Januar heran saja. Dosen merokok di lingkungan kampus YMU adalah sesuatu yang mendekati haram, tapi kenapa Satria yang ketat aturan dan jelas punya hak untuk menegur malah membiarkan? Sosok dosen itu semakin misterius, setidaknya
Wendy dan Yo-han kembali ke meja dengan membawa dua nampan berisi makanan pesanan mereka di kafetaria. Tiga sekawan itu memutuskan untuk makan siang bersama setelah kelas pertama selesai jam setengah dua belas siang.“Ini namanya apa, Wendy? Aku lupa.”“Oh, ini? Oseng mercon. Pedas loh, Han. Kamu yakin kuat makannya?”“Aku akan mencobanya. Jika tidak habis, ada Irene yang mau menghabiskannya karena dia bermulut pedas.” Yo-han menaik turunkan kedua alisnya menggoda Irene. Sedari tadi ia terus berbicara dengan bahasa Indonesia baku berlogat Korea.“Kamu nggak akan pindah kelompok, ‘kan, Rene? Kita udah klop banget sama Ko Deri juga,” tanya Wendy memastikan.Irene menghela, menarik piring berisi oseng mercon sapi milik Yo-han alih-alih soto lamongan pesanannya sendiri. “Prof. Christian itu kenapa, sih?” tanyanya, mengalihkan topik pembicaraan.“Kenapa gimana?”“Aneh.”Yo-han memetik jarinya keras-keras, heboh sendiri sembari menahan pedasnya sesendok oseng urat sapi dengan puluhan butir