Share

Bab 4

last update Last Updated: 2022-12-20 12:52:15

Acara kirim doa hari ketujuh sudah selesai digelar. Selama tujuh hari itu Hadi hanya datang sebagai tamu. Bukan tuan rumah yang sedang berkabung, dia juga tak menginap di rumah itu. Hadi lebih memilih pulang bersama istri mudanya. Kesedihan tak nampak di wajahnya. Apalagi dengan kehadiran Alina yang selalu bergelayut manja di lengannya, membuat siapapun yang hadir menatap mengelus dada. Tapi namanya orang sedang jatuh cinta, mereka tak ambil pusing.

"Kenapa harus ngundang dia sih, Mas? Bikin kesel aja!" protes Lilik pada Irwan, kakak pertamanya. Saat melihat mobil Hadi masuk ke pekarangan rumah Marini. Lilik tentu tidak lupa bagaimana sikap kakak iparnya itu, selama tahlilan digelar.

sekarang seluruh keluarga besar Almarhumah Marini berkumpul untuk membahas masa depan Ramon dan segala peninggalan Marini.

"Bagaimanapun juga dia itu suami Marini, ayahnya Ramon. Dia juga harus diajak berembug tentang masa depan Ramon selanjutnya," jelas Irwan.

"Memang dia peduli? Kepala laki-laki itu isinya hanya selangk*ng*n perempuan gatel itu," gerutu Lilik, yang langsung mendapat hadiah cubitan dari suaminya. "Sst .... Nggak sopan!" bisik Heru pelan.

"Emang nyatanya gitu, kok!" sahut Lilik tak terima.

"Mumpung aku di sini, aku ingin semua permasalahan selesai. Tidak ada gugat menggugat dibelakang hari. Hidup Marini sudah cukup menderita, aku tidak mau setelah meninggal pun, dia tak bisa tenang. Hanya karena meninggalkan banyak persoalan," ucap Irwan bijak.

"Assalamu'alaikum ...." Semua orang kompak menoleh ke sumber suara, di mana Hadi dan Alina yang selalu bergelayut manja di lengan Hadi itu, berdiri.

"Waalaikum salam ...." Hanya Irwan dan Heru yang menjawab, Lilik dan Ramon memilih bungkam.

"Duduk, Di!" perintah Irwan yang dibalas anggukan oleh Hadi.

"Maaf, Mas. Kita membahas apa ini?" tanya Hadi setelah mengambil duduk di seberang Irwan.

"Ini mengenai masa depan Ramon, bagaimanapun juga perjalanannya masih panjang. Aku rasa kita perlu membahasnya, sebelum aku kembali ke Kalimantan," Jelas Irwan lugas.

"Lho! Bukannya membahas tentang harta peninggalan Mbak Marini?" celetuk Alina, yang langsung mendapat hadiah pelototan dari Lilik. Dari awal Lilik memang sudah menduga, kalau madu kakaknya itu wanita matrealistis. Kalau tidak, mana mau dia menikahi laki-laki yang umurnya jauh lebih tua. "Iya, kan? Biasanya kalau ada yang meninggal, kan yang dibahas warisannya," kekeh Alina tak mau di salahkan.

"Sayang, tahan dulu. Nggak enak sama mereka," bisik Hadi di telinga sang Istri. "Apaan, sih!" ketus Alina.

"Hal itu juga akan kita bahas nanti," jelas Irwan menengahi. "Begini. Karena Ramon masih anak-anak dia butuh pengawasan dan pendampingan dari orang tua. Sebagai ayahnya, saya harap kamu bersedia mengasuh Ramon. Mendidiknya dengan baik, menyekolahkan dia sampai lulus kuliah. Meskipun kamu sudah punya keluarga sendiri, saya harap kamu tetap menyayangi Ramon."

"Saya tidak masalah, saya akan merawat Ramon dengan baik seperti yang Marini lakukan," jawab Hadi yakin. Padahal dia punya maksud lain.

"Saya nggak mau, Pak De! Lebih baik saya tinggal di rumah ini sendiri." Ramon yang dari tadi membisu dan melamun, tiba-tiba angkat bicara.

"Kamu masih anak-anak Ramon. Siapa yang memenuhi kebutuhanmu, siapa yang mengurus keperluanmu?" tanya Irwan, sedikit bingung dengan jalan pikiran keponakannya itu.

"Saya bisa sendiri, kok." Irwan menggeleng pelan, kenapa Ramon seperti anti pati terhadap ayahnya sendiri?

Irwan belum datang, waktu terjadi kegaduhan di hari pertama Marini meninggal. Dia juga tidak tahu kalau Ramon beranggapan Hadi-lah, penyebab kematian Marini.

"Kamu butuh orang dewasa, Ram." Ramon menggeleng. Baginya lebih baik jadi gembel daripada hidup bersama Hadi. "Atau kamu mau ikut Pak De ke Kalimantan?" Lagi-lagi Ramon menggeleng lagi.

"Biar Ramon ikut saya saja, Mas. Biar Angga ada temennya main, biar saya ada yang bantu kalau Mas Heru ke luar kota," jawab Lilik menengahi.

"Yakin? Kemarin kamu mengeluh gaji suamimu pas-pasan, gimana kalau ditambah Ramon? Apa nggak kurang? Nanti Ramon masuk SMP, SMA, kuliah. Itu butuh duit yang tak sedikit.

"Dicukup-cukupin lah, Mas. Nanti juga ada rejekinya sendiri. Asal Ramon mau diajak hidup seadanya. Kamu mau kan, Ram?" Ramon langsung mengangguk antusias mendengar tawaran dari Lilik. "Saya mau Bu Lek."

"Baiklah, masalah pengasuhan Ramon sudah beres. Aku harap kamu tidak lepas tanggung jawab, Di. Kamu punya kewajiban membiayai hidup Ramon meski dia ikut Lilik." ucap Irwan lugas.

"Akan saya usahakan, Mas," jawab Hadi lesu. Hadi sudah lama mangkir dari tanggung jawabnya, sejak tergila-gila pada Alina.

"Jangan hanya diusahakan! Tapi harus benar-benar dilakukan!" tegas Irwan. "Iya, Mas." Di depan Irwan, Hadi tak berani berkutik. Laki-laki itu galak, dan tak segan mengambil tindakan kalau Hadi melakukan kesalahan. Untung saja Marini tidak mengadu pada Irwan tentang perlakuan Hadi padanya sejak menikah lagi.

Bibir Alina langsung mencebik, mendengar suaminya dituntut membiayai Ramon. "Sial!" maki Alina dalam hati.

"Sekarang kita bahas harta peninggalan Marini." Wajah Alina langsung berbinar cerah mendengar Irwan membahas warisan.

"Karena Ramon ikut Lilik, maka perhiasan Marini aku serahkan semua pada Lilik---"

"Lho! Nggak bisa begitu dong! Mbak Marini itu punya anak, jadi saudaranya tak punya hak waris," protes Alina.

"Eh, ulat bulu! Kamu itu orang luar, nggak berhak ikut campur urusan keluarga kami!" balas Lilik kesal.

"Ya, nggak bisa, dong! Aku kan istrinya Mas Hadi. Segala sesuatu yang berhubungan dengan suamiku, aku berhak dilibatkan!" sahut Alina ketus.

"Perhiasan itu bukan untuk Lilik, tapi untuk Ramon. Dia hanya bertugas untuk menyimpannya," tegas Irwan, yang tak ingin terjadi kegaduhan.

"Lalu rumah ini gimana, Mas?" hanya Hadi tiba-tiba.

"Karena Ramon tinggal bersama Lilik, maka Rumah akan dikontrakan. Biar ada yang merawat, dan hasilnya bisa untuk kebutuhan Ramon. Atau ingin kamu tempati?"

"Enggak gitu, Mas. Maksudku, kenapa nggak dijual aja?" usul Hadi.

"Kenapa harus dijual? Rumah itu bisa ditinggali Ramon jika sudah menikah nanti," sanggah Irwan, yang belum paham arah pembicaraan Hadi.

"Kan warisan harus dibagi, Mas. Masa semua untuk Ramon. Saya ini suami Marini, masa nggak dapat apa-apa?" Irwan mengangguk mengerti. "Jadi kamu ingin warisan?"

"Ya kurang lebih begitu, Mas. Dulu saya punya andil waktu renovasi rumah ini," jawab Hadi pongah.

"Oh, kamu mau itung-itungan?" jawab Irwan dingin, membuat keangkuhan Hadi luntur seketika.

"Marini sudah meninggal, Mas. Sudah seharusnya hartanya dibagi kepada ahli warisnya." Hadi berusaha berargumentasi.

"Brak!" Tiba-tiba Irwan bangkit dan menggebrak meja. Membuat semua yang hadir di situ terlonjak kaget.

"Kamu memang nggak punya otak, ya? Kamu lupa ada Ramon, yang harus dipikirkan masa depannya? Jangan kamu pikir saya tidak tahu kelakuan kamu sebelum Marini meninggal!" Hadi dan Alina hanya bisa saling pandang, lalu menundukkan kepala. "Kamu itu kepala keluarga, harusnya kamu mikir anak istrimu, sebelum kesenanganmu sendiri. Bukan sebaliknya! Apa kamu lupa? Rumah itu dibangun di atas tanah pemberian orang tua kami, dan diserahkan kepada Marini sudah 80%. Kamu bantu renovasi aja main itung-itungan? Bagaimana kalau selama tinggal di rumah ini kamu saya hitung ngontrak?!" Hadi tak berkutik, tak berani bersuara.

"Silahkan gugat sampai ujung dunia! Kamu tidak akan dapat apa-apa. Karena sertifikat rumah ini atas nama Ramon, sejak diberikan pada Marini!"

Bersambung ....

Related chapters

  • Jejak Luka   Bab 5

    Harta kalau didapatkan dari cara yang curang, maka tidak akan berkah dan justru jadi masalah. Ini juga yang dialami Hadi dan Alina. Setelah melewati debat panjang, akhirnya Irwan bersedia mengganti uang Hadi yang digunakan untuk merenovasi rumah Marini. Uang 50jt yang diberi oleh Irwan, digunakan Alina untuk bersenang-senang. Shoping-shoping, perawatan dan berbagai hal unfaedah. Uang sebanyak itu akhirnya menguap begitu saja, tanpa rupa. "Mas, bagi duit dong! Aku mau luluran ke salon," rengek Alina pada suaminya. "Uang? Kamu yang bener dong, sayang. Baru kemarin gaji Mas sudah kamu ambil semua, hanya menyisakan uang bensin. Kok sekarang minta lagi? Ini baru tanggal 15, lho. Emang kamu pakai buat apa saja uang sebanyak itu?" tanya Hadi jengkel. Meski begitu suaranya tetap lembut, dia sama sekali tak berani membentak Alina. Walaupun istrinya ini melakukan kesalahan. Bibir Alina langsung mengurucut mendengar ucapan suaminya. "Ya buat macem-macem, Mas. Namanya juga orang hidup, masih

    Last Updated : 2022-12-20
  • Jejak Luka   Bab 6

    Hadi terpaku di tempatnya, demi melihat siapa yang berdiri di depan pintu. Ramon, putra semata wayangnya dari Marini. Dia tumbuh menjadi pemuda tampan berbadan atletis. Sosok yang sudah lama dia rindukan, tapi ego dan istrinya menghalangi untuk bertemu. Sebenarnya Hadi ingin sekali memeluk Ramon, tapi tapi tangannya tiba-tiba kaku dan sulit digerakkan. "Ayah." Susah payah Ramon menyebut nama, yang bertahun-tahun tak pernah terucap dari bibirnya. Atas desakan Lilik, akhirnya Ramon bersedia menemui ayahnya. Mengabari dan memintanya hadir dalam acara wisuda Ramon, yang kurang beberapa hari lagi. "Sebesar apapun kesalahannya, dia tetap ayah kandungmu. Orang yang mengukir jiwa ragamu, darahnya mengalir dalam tubuhmu. Sekuat apapun kamu menolak, kenyataan itu tidak bisa dipungkiri. Mau sampai kapan kamu menyimpan kebencian ini? Sampai ayahmu mati? Kalau sampai itu terjadi, kamu akan menyesal sepanjang umurmu," nasehat Lilik beberapa hari yang lalu. "Percayalah, meski terlihat tidak perd

    Last Updated : 2023-01-08
  • Jejak Luka   Bab 7

    "Kita periksa ke dokter aja, Ma. Makin hari badanmu makin kurus, takutnya ada penyakit serius," ucap Hadi mengkhawatirkan keadaan istrinya. Beberapa bulan terakhir ini, Alina mengeluh mudah lelah, berat badannya menurun drastis. Tapi tiap diajak periksa ke dokter dia selalu menolak dengan alasan yang tidak jelas. "Nggak pa-pa, Pa. Aku hanya kecapekan aja. Dipakai tidur juga baikan," tolak Alina. "Tapi kamu makin kurus, lho.""Namanya juga banyak kerjaan, banyak pikiran, ya wajar kalau aku makin kurus. Lagipula selera makanku akhir-akhir ini menurun, mungkin itu penyebabnya." Hadi hanya bisa menghela nafas mendengar ucapan istrinya. Rasa bersalah semakin menyesakkan dada. Sebagai suami dia merasa gagal, tak mampu membahagiakan istrinya. Sejak dia pensiun, Alina terpaksa banting tulang buka jasa laundry. Uang pensiun Hadi tak mencukupi kebutuhan mereka, karena masih punya cicilan di bank. Sewaktu Hadi masih menjabat kepala dinas, gaya hidup Alina bisa dibilang hedon. Semua yang mele

    Last Updated : 2023-01-08
  • Jejak Luka   Bab 8

    Hadi menatap pilu Alina yang tergolek lemah di ranjang perawatan. Tubuhnya nampak kurus dan pucat. Wanita itu tak pernah mengeluh, meski lelah bekerja, meski penyakit menggroti tubuhnya. Alina banyak berubah, sejak kehidupan mereka mengalami penurunan. Rasa bersalah semakin menyiksa Hadi, melihat keadaan Alina yang menyedihkan macam itu. Tak ada lagi wanita modis dengan barang brandednya, tak ada lagi sikap angkuh dan tatapan merendahkan. Semua seolah hilang tak bersisa, bahkan wajah cantik Alina sekarang terlihat seperti tengkorak hidup. Hadi menyeret kursi plastik ke sisi kanan ranjang, lalu mendudukinya. Dipandanginya wajah pucat istrinya yang terlelap itu. Membuat percakapannya dengan dokter tadi kembali terngiang. "Setelah operasi, apa istri saya bisa sembuh, dokter?" tanya Hadi pelan. "Peluangnya fifty-fifty, Pak. Berdoa saja, semoga Tuhan memberikan kesembuhan pada Ibu," ucap Dokter itu bijak. Bayangan tentang rangkaian pengobatan yang akan menguras tenaga dan menghabiskan

    Last Updated : 2023-01-08
  • Jejak Luka   Bab 9

    "Kamu ingin bertemu Ramon? Untuk apa?" Masih teringat jelas dalam ingatan Hadi, bagaimana ketusnya Alina saat Ramon datang dulu. Kenapa tiba-tiba sekarang ingin bertemu? Memang Ramonnya mau? Mengingat hubungan mereka tak pernah akur sejak dulu. "Aku ingin minta maaf," lirih Alina. Hadi mengangguk pelan, tanpa berani menatap Alina. "Tolong temui Ramon secepatnya, aku takut umurku nggak sampai." Lagi-lagi Hadi hanya bisa mengangguk lemah. Menemui Ramon? Dia juga sebenarnya ingin sekali bertemu dengan anak sulungnya itu, memeluk dan mendekapnya menuntaskan segala rindu yang lama terpendam. Tapi dengan keadaan yang sekarang, jujur dia merasa malu. Apalagi selama dua puluh tahun mereka putus komunikasi, Hadi melalaikan kewajibannya terhadap Ramon. Belum lagi pertemuan terakhir mereka juga tak berakhir baik. Apa Ramon sudi menemuinya? Pikiran-pikiran itu kini memenuhi kepala Hadi. "Pa! Kenapa diam saja?" tanya Alina sambil memegang lengan Hadi. "Hah! Nggak pa-pa. Aku menemui dokter dul

    Last Updated : 2023-01-08
  • Jejak Luka   Bab 10

    "Mas Hadi? Ini beneran, Mas Hadi?" Lilik menatap tak percaya laki-laki renta yang ada di depannya. Sisa kegagahan dan ketampanannya seolah tak bersisa. Tak ada tatapan angkuh yang dulu selalu dia tunjukkan. Yang ada hanya wajah tua yang nampak lelah, dengan tatapan melasnya."Iya, Lik. Ini aku," lirih Hadi. "Ma, kakek itu siapa?" bisik Sesil penasaran. "Pak De Hadi, ayahnya Kak Ramon." Sesil hanya ber "Oh" ria. Dia memang pernah mendengar cerita tentang Hadi, tapi baru kali bertemu. "Sudah, kamu taruh nampannya di meja! Terus masuk sana!" perintah Lilik dengan suara pelan. Hadi jauh-jauh datang, setelah dua puluh tahun berlalu, pasti ada hal penting yang ingin dibicarakan. Dan Lilik tidak mau Sesil tahu, ini urusan orang dewasa. Sesil segera melakukan perintah ibunya, tanpa banyak bertanya. "Monggo diunjuk minumannya, Mas," ucap Lilik sambil duduk di kursi tepat di seberang Hadi. Lilik tersenyum getir, melihat Hadi menenggak minuman dalam gelas hingga tandas. Tanpa dijelaskan, L

    Last Updated : 2023-01-08
  • Jejak Luka   Bab 11

    "Maaf ya, Mas. Ramon hanya syok saja, biar saya bicara dengannya," pamit Lilik, lalu beranjak menyusul Ramon.Lilik merasa tidak enak hati dengan Hadi, jauh-jauh datang kesini tapi malah mendapat reaksi yang tidak menyenangkan. Lilik paham betul apa yang dirasakan Ramon, sakit hati dan kecewa terhadap Hadi. Tapi peristiwa itu sudah bertahun-tahun berlalu, alangkah baiknya menutup cerita lama Pelan Lilik membuka pintu kamar Ramon yang tidak tertutup sempurna. Di dalam Lilik mendapati Ramon berdiri di depan jendela menatap ke arah luar. Hal yang sering dilakukan Ramon kalau sedang banyak pikiran. "Bu Lek nggak usah repot-repot membujukku," ujar Ramon tanpa menatap Lilik. Tanpa melihat, Ramon tahu betul kalau yang datang itu Lilik. Ramon hafal irama langkahnya. "Bu Lek mengerti perasaanmu, Ram. Tapi bagaimanapun juga dia orang tuamu," ucap Lilik ketika sudah berada di dekat Ramon. "Orang tua? Orang tua apa yang menelantarkan anaknya? Orang tua apa yang hanya mengejar kesenangannya se

    Last Updated : 2023-01-09
  • Jejak Luka   Bab 12

    "Mas, ini ada sedikit makanan untuk di jalan," ucap Lilik sambil menyerahkan plastik berisi beberapa bungkus roti dan air mineral pada kaka iparnya. Dia tahu kakak iparnya itu lapar, tapi malu ketika ditawari makan. Terbukti Hadi begitu lahap menghabiskan kue kering dan teh yang disuguhkan Sesil. Mungkin Hadi merasa tak enak hati pada Lilik. Bisa dibilang hubungannya dengan Lilik juga memburuk, sejak dia menikah lagi."Terimakasih, Lik. Bukannya membawa oleh-oleh, aku malah merepotkan kamu," ucap Hadi basa-basi, sambil meraih plastik yang ulurkan Lilik. Sebenarnya tubuh rentanya ingin beristirahat sejenak, tapi penolakan Ramon membuat dia bertekad untuk pulang hari ini juga. Padahal sebelumnya dia membayangkan, Ramon memeluk dan mau mengantarnya pulang. Tapi harapan tak seindah bayangan, Ramon bahkan tak mau menatap wajahnya. Sebenci itu Ramon pada dirinya. "Nggak pa-pa, Mas. Kebetulan ada lebihan pesanan, bisa buat cemilan di bis nanti." Sejak anak-anaknya beranjak besar, Lilik me

    Last Updated : 2023-01-10

Latest chapter

  • Jejak Luka   Bab 57

    "Duh, kamu cantik banget. Memang ya, kecantikan pengantin nggak ada yang menandingi." Ardia mencium pipi kanan kiri pengantin wanita. "Mbak Ardia bisa, aja." Attaya tersipu malu, mendapat pujian dari kakak ipar suaminya. "Padahal Mbak Ardi juga cantik, lho. Apalagi Kamaya ini, ih gemes. Duh, jadi pengen punya sendiri," balas Attaya.Meski dulu sempat kecewa, karena Ramon lebih memilih Ardia. Sekarang Attaya bisa menerima mereka sebagai saudara. Mungkin memang Ramon bukan jodohnya, nyatanya Tuhan menggantinya dengan sosok yang tak kalah baik dan gantengnya. Meski tak semapan Ramon, tapi Angga lebih muda. Attaya siap, kok, diajak berjuang dari bawah. Kalau semua dijalani dengan cinta, akan terasa lebih indah. Tanpa pernah ada yang menyangka, Angga menjalin hubungan dengan Attaya hingga naik pelaminan. Wanita yang dulu pernah ditolak Ramon, kini jadi adik iparnya. Ramon bahkan harus memastikan beberapa kali, kalau Angga tak salah orang. Nyatanya memang Attaya yang dulu pernah dijodohk

  • Jejak Luka   Bab 56

    "Paak, Ardia, Paaak .... !" Lastri menjerit, bersamaan dengan ambruknya Ardia dan menangisnya Baby Kamaya. Dua laki-laki itu gesit menangkap tubuh Ardia, sebelum jatuh ke lantai. Hargo yang sudah berumur itu nampak ngos-ngosan, sementara Ramon terlihat bernafas lega, karena berhasil menyelamatkan Ardia. "Duh, piye, to? Kok sampai pingsan begini?" Lastri menggoyang-goyang tubuhnya sendiri, berusaha menenangkan Baby Kamaya. "Cup, cup, Sayang. Jangan nangis lagi, ya. Mama nggak pa-pa, kok." Lastri mengajak bicara Kamaya, meski bayi itu tak mengerti maksudnya. Bermaksud menenangkan, karena bayi itu masih saja menangis. "Jadi Ardia beneran belum tahu Renita meninggal, Ram?" Tanya Hargo, sambil menata nafasnya yang kepayahan, setelah mereka selesai meletakkan tubuh Ardia di atas Ranjang. Tubuh Ardia makin berisi sejak hamil dan melahirkan. Jangankan Hargo, Ramon saja yang masih muda, ngos-ngosan ngangkat istrinya. "Keadaan nggak memungkinkan, Pa. Saya nggak berani mengatakan yang sebena

  • Jejak Luka   Bab 55

    "Wah, gantengnya cucu Eyang ...," ucap Hargo, ayah sambung Ardia yang baru saja berkunjung itu. Reflek tangan Lastri, istri Hargo mencubit laki-laki paruh baya itu. "Cantik, Pa. Dia kan cewek? Masak lupa, sih? Kemarin sudah dibilangin, juga." Hargo nyengir lebar, menyadari kekeliruannya. "Lupa, Ma. Maklum sudah tua," jawab Hargo membela diri. "Biarin aja, Cayang. Yangkungmu memang sudah pikun sekarang, ikut Yangti aja, yuk!" Lastri mengangangkat tubuh mungil itu, dan membawanya dalam gendongan. "Namanya siapa, Ar?" Tanya Lastri tanpa menatap Ardia, dia justru asik mengagumi wajah imut Kamaya, yang memang plek ketiplek Ramon. Nggak ada mirip-miripnya sama sekali dengan mamanya, Ardia hanya kebagian gendernya saja. "Pantes yangkungnya bilang ganteng, wong mirip banget bapaknya gini." Lastri membatin. "Kamaya Aymar, Ma. Panggilannya Kamaya," jawab Ardia sambil meletakkan minuman di meja dekat ranjang. "Wes, to. Nggak usah repot-repot! Nanti kalau aku habis bisa ambil sendiri, kamu

  • Jejak Luka   Bab 54

    Ramon menatap getir gundukan tanah merah, yang ada di depannya. Di dalam tanah itu, tergolek wanita yang sudah memporak-porandakan kehidupan istrinya. Renita, ibu Ardia sekaligus mertua Ramon itu kini sudah terbaring di bawah sana. Tempat peristirahatan terakhir, sekaligus tempat mempertanggung jawabkan segala perbuatannya di dunia. Ya, Ramon mendapat kabar dari Rutan, saat hendak mengantar ASIP ke Perina tadi. Bahwa Renita menghembuskan nafas terakhir, sehari setelah alat bantu nafasnya dicabut. Kini mertuanya itu dimakamkan di pemakaman umum dekat Rutan. Ramon sudah tanda tangan, menyerahkan semua pengurusan jenazah Renita pada pihak Rutan. Bukan mau lepas tanggung jawab, Tapi kondisi Ardia secara fisik dan psikis tak memungkinkan untuk itu. Lagi pula tak ada keluarga yang bisa diajak berembug, dan dimintai pertimbangan, mau dimakamkan di mana Renita nanti. Daripada bingung, Ramon memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada pihak Rutan. Sebenarnya Ramon sudah mengabari keluarga be

  • Jejak Luka   Bab 53

    "Mas, kalau aku sudah pulih, sudah boleh pulang. Antar aku menemui Mama, ya?" "Apa, kamu menemui Mama? Buat apa?" Ramon setengah kaget mendengar ucapan Ardia. Ardia baru sehari menjalankan operasi sesar, gerak aja belum bisa. Tiba-tiba ingin bertemu Renita? Yang bener aja? Kemungkinan besar umur Renita hanya tinggal beberapa hari, memang masih ada kesempatan? Bisa jadi Renita sudah terlanjur berpulang, sebelum sempat bertemu Ardia. Menurut keterangan perawat yang menemui Ramon, alat bantu yang menopang hidup Renita akan segera dicabut, begitu mendapat persetujuan dari pihak keluarga. Sedangkan Ramon yang mewakili Ardia, sebagai satu-satunya keluarga yang dimiliki Renita. Sudah menyatakan pasrah dan menyerahkan semua keputusan pada pihak rumah sakit. Mungkinkah kesempatan itu masih ada? "Aku ingin seperti kamu, Mas. Yang bisa memaafkan Ayah, meskipun sudah menyakiti Ibu dan menelantarkan Mas Ramon. Aku ingin memaafkan, Mama. " ucap Ardia pelan. Ramon menggenggam jemari istrinya,

  • Jejak Luka   Bab 52

    Ramon menatap miris tubuh kurus pucat, dengan selang di beberapa bagian tubuhnya itu. Ya, Ramon akhirnya datang memenuhi panggilan dari pihak Rutan, agar menemui Renita di sisa hidupnya. Meski yang diinginkan wanita itu adalah anak kandungnya, bukan menantunya. Kesahatan dan kondisi mental Ardia tak memungkinkan, untuk bertemu nenek dari Kamaya ini. Meski tak pernah bertemu langsung, Ramon pernah melihat Renita dari jauh ketika sidang putusan dulu. Dia masih terlihat cantik, meski tak lagi segar saat iti. Tapi sekarang, keadaannya benar-benar memprihatinkan. Renita tak ubahnya tengkorak yang bernafas. Mungkin ini karma untuk seorang wanita yang hanya mengejar kesenangan dunia, dan tega menzolimi anaknya sendiri. Ramon membatin. "Tante, ini Ramon, suami Ardia." Pelan Ramon berkata. Meski lirih, di ruangan senyap itu suara Ramon terdengar begitu jelas. "Saya datang mewakili Ardia. Maaf, dia tidak bisa datang. Tante tahu kenapa? Dia tidak sanggup bertemu Tante. Jangankan untuk berte

  • Jejak Luka   Bab 51

    Ramon duduk gelisah, matanya terus menatap ruangan yang sejak beberapa jam lalu tertutup rapat. Di ruangan yang konon suhunya bisa membuat orang menggigil itu, Ardia tengah terbaring. Menjadi obyek bedah para dokter di sana. Ardia mengalami antepartum, yang disebabkan oleh solusio plasenta. Dan entah apalagi penjelasan dokter, Ramon tidak paham. Dia bukan orang medis, mana tahu dia dengan segala istilah yang mereka gunakan. Kalau bicara soal Gross Profit Margin atau Net Profit Margin, Ramon jagonya. Karena kondisi ini membahayakan ibu dan janin, Ardia terpaksa menjalani operasi seksio sesarea. Tak ada jalan lagi, untuk menyelamatkan Ardia dan bayinya. Ramon hanya bisa berdoa dalam hati, semoga anak istrinya bisa diselamatkan. Bukannya Ramon tak ingin menemani, tapi dia ngeri kalau harus melihat tubuh istrinya di sayat dan berdarah-darah. Ya, meskipun terlihat gagah, nyatanya Ramon takut darah, dan takut melihat orang terluka. Tadi saja, Ramon berusaha tetap kuat, agar tidak pings

  • Jejak Luka   Bab 50

    Tubuh Ardia gemetar hebat, keringat dingin membasahi tubuhnya. Ponsel Ardia lepas dari genggaman, hingga jatuh ke lantai. Untung lantainya beralaskan karpet, kalau tidak, sudah bisa dipastikan ponsel itu hancur berkeping-keping. Menyadari itu, Ramon segera mendekati istrinya. Diraihnya tubuh Ardia ke dalam dekapan. "Sayang, ada apa? Siapa yang nelfon?" tanya Ramon pelan. Tangannya mengusap lembut punggung Ardia. Bukannya menjawab, Ardia justru menangis hebat. Ramon tersenyum getir, melihat Ardia bercucuran air mata, tanpa menjelaskan apa sebabnya. Setahun ini hidup mereka baik-baik saja, Ardia bahkan sudah lepas dari obat-obatan anti depresan yang selama ini dia konsumsi sebagai salah satu terapi pemulihan mentalnya. Tiba-tiba Ardia mendapat telfon, dan reaksi Ardia seperti ini. Persis seperti ketika Ardia usai mendapat pelecehan dulu. Siapa yang menelfon? Tubuh Ardia melorot ke lantai, kini wanita berperut buncit itu duduk sambil memeluk lutut, tatap matanya kosong. Seolah tanpa j

  • Jejak Luka   Bab 49

    Setahun kemudian. "Kamu jadi ke Magelang?" tanya Ramon, ketika melihat Ardia nampak memasukkan beberapa bajunya ke dalam koper. "Jadi, Mas. Kan, sudah janji sama Papa." Ardia menutup rapat kopernya, kini dia duduk di tepi ranjang. Matanya menatap lekat-lekat suaminya yang sedang bermuram durja tersebut. "Kok, Mas kayak nggak ikhlas gitu aku pergi ke Magelang, sih?"Ramon mendekat, kemudian duduk di samping Ardia. "Gimana mau ihlas, ini pertama kalinya sejak kita menikah, kamu ninggalin aku. Aku kesepian, tahu!" Bibir Ramon mengerucut, laki-laki dewasa seperti Ramon terlihat lucu kalau sedang merajuk begitu.Ardia terkekeh, di peluknya lengan suaminya dengan begitu manja. "Apa perlu aku titipin kamu ke Bulek Lilik, aja? Biar nggak kesepian, biar kamu nggak macem-macem selama kutinggal sendiri." Bibir Ramon makin mengerucut mendengar gurauan istrinya. "Ck, kamu pikir aku bocah Tk? Dah lah, perginya ditunda nunggu week end aja! Biar aku bisa ngantar kamu, nanti kita nginep di hotel se

DMCA.com Protection Status