Harta kalau didapatkan dari cara yang curang, maka tidak akan berkah dan justru jadi masalah. Ini juga yang dialami Hadi dan Alina. Setelah melewati debat panjang, akhirnya Irwan bersedia mengganti uang Hadi yang digunakan untuk merenovasi rumah Marini. Uang 50jt yang diberi oleh Irwan, digunakan Alina untuk bersenang-senang. Shoping-shoping, perawatan dan berbagai hal unfaedah. Uang sebanyak itu akhirnya menguap begitu saja, tanpa rupa. "Mas, bagi duit dong! Aku mau luluran ke salon," rengek Alina pada suaminya. "Uang? Kamu yang bener dong, sayang. Baru kemarin gaji Mas sudah kamu ambil semua, hanya menyisakan uang bensin. Kok sekarang minta lagi? Ini baru tanggal 15, lho. Emang kamu pakai buat apa saja uang sebanyak itu?" tanya Hadi jengkel. Meski begitu suaranya tetap lembut, dia sama sekali tak berani membentak Alina. Walaupun istrinya ini melakukan kesalahan. Bibir Alina langsung mengurucut mendengar ucapan suaminya. "Ya buat macem-macem, Mas. Namanya juga orang hidup, masih
Hadi terpaku di tempatnya, demi melihat siapa yang berdiri di depan pintu. Ramon, putra semata wayangnya dari Marini. Dia tumbuh menjadi pemuda tampan berbadan atletis. Sosok yang sudah lama dia rindukan, tapi ego dan istrinya menghalangi untuk bertemu. Sebenarnya Hadi ingin sekali memeluk Ramon, tapi tapi tangannya tiba-tiba kaku dan sulit digerakkan. "Ayah." Susah payah Ramon menyebut nama, yang bertahun-tahun tak pernah terucap dari bibirnya. Atas desakan Lilik, akhirnya Ramon bersedia menemui ayahnya. Mengabari dan memintanya hadir dalam acara wisuda Ramon, yang kurang beberapa hari lagi. "Sebesar apapun kesalahannya, dia tetap ayah kandungmu. Orang yang mengukir jiwa ragamu, darahnya mengalir dalam tubuhmu. Sekuat apapun kamu menolak, kenyataan itu tidak bisa dipungkiri. Mau sampai kapan kamu menyimpan kebencian ini? Sampai ayahmu mati? Kalau sampai itu terjadi, kamu akan menyesal sepanjang umurmu," nasehat Lilik beberapa hari yang lalu. "Percayalah, meski terlihat tidak perd
"Kita periksa ke dokter aja, Ma. Makin hari badanmu makin kurus, takutnya ada penyakit serius," ucap Hadi mengkhawatirkan keadaan istrinya. Beberapa bulan terakhir ini, Alina mengeluh mudah lelah, berat badannya menurun drastis. Tapi tiap diajak periksa ke dokter dia selalu menolak dengan alasan yang tidak jelas. "Nggak pa-pa, Pa. Aku hanya kecapekan aja. Dipakai tidur juga baikan," tolak Alina. "Tapi kamu makin kurus, lho.""Namanya juga banyak kerjaan, banyak pikiran, ya wajar kalau aku makin kurus. Lagipula selera makanku akhir-akhir ini menurun, mungkin itu penyebabnya." Hadi hanya bisa menghela nafas mendengar ucapan istrinya. Rasa bersalah semakin menyesakkan dada. Sebagai suami dia merasa gagal, tak mampu membahagiakan istrinya. Sejak dia pensiun, Alina terpaksa banting tulang buka jasa laundry. Uang pensiun Hadi tak mencukupi kebutuhan mereka, karena masih punya cicilan di bank. Sewaktu Hadi masih menjabat kepala dinas, gaya hidup Alina bisa dibilang hedon. Semua yang mele
Hadi menatap pilu Alina yang tergolek lemah di ranjang perawatan. Tubuhnya nampak kurus dan pucat. Wanita itu tak pernah mengeluh, meski lelah bekerja, meski penyakit menggroti tubuhnya. Alina banyak berubah, sejak kehidupan mereka mengalami penurunan. Rasa bersalah semakin menyiksa Hadi, melihat keadaan Alina yang menyedihkan macam itu. Tak ada lagi wanita modis dengan barang brandednya, tak ada lagi sikap angkuh dan tatapan merendahkan. Semua seolah hilang tak bersisa, bahkan wajah cantik Alina sekarang terlihat seperti tengkorak hidup. Hadi menyeret kursi plastik ke sisi kanan ranjang, lalu mendudukinya. Dipandanginya wajah pucat istrinya yang terlelap itu. Membuat percakapannya dengan dokter tadi kembali terngiang. "Setelah operasi, apa istri saya bisa sembuh, dokter?" tanya Hadi pelan. "Peluangnya fifty-fifty, Pak. Berdoa saja, semoga Tuhan memberikan kesembuhan pada Ibu," ucap Dokter itu bijak. Bayangan tentang rangkaian pengobatan yang akan menguras tenaga dan menghabiskan
"Kamu ingin bertemu Ramon? Untuk apa?" Masih teringat jelas dalam ingatan Hadi, bagaimana ketusnya Alina saat Ramon datang dulu. Kenapa tiba-tiba sekarang ingin bertemu? Memang Ramonnya mau? Mengingat hubungan mereka tak pernah akur sejak dulu. "Aku ingin minta maaf," lirih Alina. Hadi mengangguk pelan, tanpa berani menatap Alina. "Tolong temui Ramon secepatnya, aku takut umurku nggak sampai." Lagi-lagi Hadi hanya bisa mengangguk lemah. Menemui Ramon? Dia juga sebenarnya ingin sekali bertemu dengan anak sulungnya itu, memeluk dan mendekapnya menuntaskan segala rindu yang lama terpendam. Tapi dengan keadaan yang sekarang, jujur dia merasa malu. Apalagi selama dua puluh tahun mereka putus komunikasi, Hadi melalaikan kewajibannya terhadap Ramon. Belum lagi pertemuan terakhir mereka juga tak berakhir baik. Apa Ramon sudi menemuinya? Pikiran-pikiran itu kini memenuhi kepala Hadi. "Pa! Kenapa diam saja?" tanya Alina sambil memegang lengan Hadi. "Hah! Nggak pa-pa. Aku menemui dokter dul
"Mas Hadi? Ini beneran, Mas Hadi?" Lilik menatap tak percaya laki-laki renta yang ada di depannya. Sisa kegagahan dan ketampanannya seolah tak bersisa. Tak ada tatapan angkuh yang dulu selalu dia tunjukkan. Yang ada hanya wajah tua yang nampak lelah, dengan tatapan melasnya."Iya, Lik. Ini aku," lirih Hadi. "Ma, kakek itu siapa?" bisik Sesil penasaran. "Pak De Hadi, ayahnya Kak Ramon." Sesil hanya ber "Oh" ria. Dia memang pernah mendengar cerita tentang Hadi, tapi baru kali bertemu. "Sudah, kamu taruh nampannya di meja! Terus masuk sana!" perintah Lilik dengan suara pelan. Hadi jauh-jauh datang, setelah dua puluh tahun berlalu, pasti ada hal penting yang ingin dibicarakan. Dan Lilik tidak mau Sesil tahu, ini urusan orang dewasa. Sesil segera melakukan perintah ibunya, tanpa banyak bertanya. "Monggo diunjuk minumannya, Mas," ucap Lilik sambil duduk di kursi tepat di seberang Hadi. Lilik tersenyum getir, melihat Hadi menenggak minuman dalam gelas hingga tandas. Tanpa dijelaskan, L
"Maaf ya, Mas. Ramon hanya syok saja, biar saya bicara dengannya," pamit Lilik, lalu beranjak menyusul Ramon.Lilik merasa tidak enak hati dengan Hadi, jauh-jauh datang kesini tapi malah mendapat reaksi yang tidak menyenangkan. Lilik paham betul apa yang dirasakan Ramon, sakit hati dan kecewa terhadap Hadi. Tapi peristiwa itu sudah bertahun-tahun berlalu, alangkah baiknya menutup cerita lama Pelan Lilik membuka pintu kamar Ramon yang tidak tertutup sempurna. Di dalam Lilik mendapati Ramon berdiri di depan jendela menatap ke arah luar. Hal yang sering dilakukan Ramon kalau sedang banyak pikiran. "Bu Lek nggak usah repot-repot membujukku," ujar Ramon tanpa menatap Lilik. Tanpa melihat, Ramon tahu betul kalau yang datang itu Lilik. Ramon hafal irama langkahnya. "Bu Lek mengerti perasaanmu, Ram. Tapi bagaimanapun juga dia orang tuamu," ucap Lilik ketika sudah berada di dekat Ramon. "Orang tua? Orang tua apa yang menelantarkan anaknya? Orang tua apa yang hanya mengejar kesenangannya se
"Mas, ini ada sedikit makanan untuk di jalan," ucap Lilik sambil menyerahkan plastik berisi beberapa bungkus roti dan air mineral pada kaka iparnya. Dia tahu kakak iparnya itu lapar, tapi malu ketika ditawari makan. Terbukti Hadi begitu lahap menghabiskan kue kering dan teh yang disuguhkan Sesil. Mungkin Hadi merasa tak enak hati pada Lilik. Bisa dibilang hubungannya dengan Lilik juga memburuk, sejak dia menikah lagi."Terimakasih, Lik. Bukannya membawa oleh-oleh, aku malah merepotkan kamu," ucap Hadi basa-basi, sambil meraih plastik yang ulurkan Lilik. Sebenarnya tubuh rentanya ingin beristirahat sejenak, tapi penolakan Ramon membuat dia bertekad untuk pulang hari ini juga. Padahal sebelumnya dia membayangkan, Ramon memeluk dan mau mengantarnya pulang. Tapi harapan tak seindah bayangan, Ramon bahkan tak mau menatap wajahnya. Sebenci itu Ramon pada dirinya. "Nggak pa-pa, Mas. Kebetulan ada lebihan pesanan, bisa buat cemilan di bis nanti." Sejak anak-anaknya beranjak besar, Lilik me