#Manusia_Durjana
#Jejak_Luka 3Rumah itu dipenuhi tetangga, tenda sudah terpasang, meja kursi sudah tertata rapi. Sebuah mobil jenazah datang merapat, yang disambut tangis sanak saudara dan semua orang yang hadir di sana.Kebaikan-kabaikan Marini, sikap ramah Marini kembali terngiang di benak mereka. Tak ada yang menyangka, wanita cantik itu tak berumur panjang. Apalagi mendengar tragisnya cerita, yang menyebabkan kecelakaan.Hadi turun dari mobil, dengan kaca mata hitam dan bertengger di hidungnya. Sementara Alina memakai baju serba hitam, bergelayut manja di lengan suaminya. Seolah menunjukkan dia sedang berduka, padahal dalam hatinya bersorak gembira, karena berhasil memiliki Hadi sepenuhnya.Semalam dia mendapat kabar dari Pak Nano, teman kerja sekaligus tetangganya. Bahwa Marini mengalami kecelakaan dalam perjalanan menuju rumah sakit, dan nyawanya tak terselamatkan.Bukan sapaan hangat didapat, melainkan tatapan sinis dari mereka yang ada di sana, terutama ibu-ibu. Pihak yang paling anti pada perselingkuhan dan pelakor. Kisah perselingkuhannya sudah menyebar di kompleks ini, sudah bukan rahasia lagi. Bahwa Hadi menelantarkan anak istrinya sejak menikah lagi.Hadi melangkah mendekati sosok yang terbaring kaku terbungkus kain putih. Dia berjongkok, hendak mencium wajah Marini untuk terakhir kalinya. Tiba-tiba sebuah bogem mentah menyapanya, hingga dia terjengkang.Semua orang menjerit melihat keributan itu, sementara Hadi hanya bisa mengusap sudah bibirnya yang berdarah. Dia menatap nanar sosok yang menatapnya penuh kemarahan itu."Pergi!" Tatapan dingin itu seolah hendak membunuh Hadi."Ramon, kamu baik-baik saja, Nak?" Bukannya memeluk tubuh laki-laki menjadi cikal bakal kelahirannya, Ramon justru mencekik leher baju ayahnya."Jangan pernah menampakkan mukamu di depanku!" Sebuah tatapan sadis, bukan tatapan melas seorang anak yang dia berikan."Ram, lepaskan Nang!" Lilik memeluk bahu Ramon dari belakang, mengelusnya lembut berharap emosi Ramon mereda."Biarkan saja Bulek! Laki-laki ini perlu diberi pelajaran!" Lilik sedikit terkejut mendengar ucapan itu keluar dari bibir keponakannya, yang masih belia."Gara-gara dia Ibu sakit! Gara-gara dia ibu kecelakaan!" teriak Ramon dengan dada turun naik."Sudah, Nak. Kasihan ibumu kalau kamu sampai berkelahi dengan ayahmu." Lilik berusaha mengajak Ramon duduk, tapi remaja itu melawan."Dia bukan ayahku! Sampai kapanpun aku tidak akan mengakui dia sebagai ayah!" Teriak Ramon sambil menunjuk wajah Hadi. Dia memasang wajah garang, siap menantang sang ayah untuk duel.Sebenarnya Hadi sudah terpancing emosi, ingin membalas perlakuan kurang ajar darah dagingnya. Tapi demi melihat banyak orang yang hadir di sana, dia mengurungkannya. Dia lebih suka memasang wajah melas, seolah didera penyesalan yang mendalam. Padahal dalam hatinya tak ada yang tahu."Mas Hadi pulang saja, daripada nanti geger-geger. Nggak elok dalam suasana duka terjadi perkelahian," ucap Lilik menengahi."Iya, Mas. Kasihan Mbak Rini," ucap Heru suami Lilik, menimpali."Aku hanya ingin memberikan penghormatan terakhir untuk istriku. Apa itu salah?" ujar Hadi dengan wajah melasnya."Ibuku bukan istrimu! Dia!" Ramon menunjuk wajah Alina. "Pelac*r itu istrimu!" Maki Ramon sambil berusaha melepas pegangan Lilik. Wajah Alina langsung merah padam mendapat tudingan seperti itu. Ingin rasanya meremas mulut remaja tak tahu diri itu."Sudah, Mas. Kita pulang aja! Wong di sini kita ndak dianggap, malah diusir dengan kata-kata kasar, padahal bermaksud baik. Memang bisa apa sih, bocah ingusan itu tanpa kamu? Paling sebentar lagi bakal merengek-rengek minta bantuanmu," cibir Alina dengan wajah juteknya.Kalimat Alina sukses membakar suasana yang sudah panas itu. Ramon merangsek hendak menampar mulut julit ibu tirinya. Untung Heru sigap menarik Ramon dan membawanya masuk ke dalam. Hingga kekacauan bisa terelakkan."Lepas, Om!" Ramon berontak, mencoba melepaskan pegangan Heru yang memegang pundaknya."Jangan, Ram. Bagaimana pun juga dia itu ayahmu, darahnya mengalir dalam tubuhmu. Tak baik kamu berkata seperti itu," ucap Heru menasehati."Andai bisa memilih, aku lebih baik tidak pernah lahir ke dunia. Daripada menjadi keturunan iblis itu!" ungkap Ramon penuh emosi.Masih teringat jelas ketika dia mendapati ibunya sering menangis sendiri, dan ternyata penyebabnya adalah laki-laki yang mengaku sebagai ayahnya itu kawin lagi. Usia Ramon memang masih muda, tapi dia tahu yang dilakukan ayahnya adalah sebuah penghianatan. Apalagi sejak menikah lagi, ayahnya tak lagi peduli pada dirinya dan ibunya. Tapi sibuk mengurus istri mudanya.Ramon juga tidak lupa, bagaimana hari itu ibunya meringis menahan sakit. Tapi laki-laki yang harusnya bertanggung jawab justru abai, dan membiarkan Marini pergi sendiri."Sepertinya ibu itu menyetir sambil melamun. Saya sudah memberi sein, bukan berhenti mendadak. Tahu-tahu ibunya banting setir, hingga terperosok ke sungai." Begitu kesaksian pemilik mobil yang hampir ditabrak Marini.Jelas Ramon tahu, Marini melamun karena kelakuan Hadi, ayahnya."Saya benci dia, Om! Saya benci dia!" Ramon menangis tergugu di pangkuan sang PamanHeru mengelus lembut punggung Ramon. "Iya, Om paham. Tapi jangan meluapkan semuanya di depan jenazah ibumu. Mbak Rini pasti sedih dan menangis kalau melihat kamu seperti ini. Sudah ya, jangan membuat keributan lagi." Heru mengambil menuang air minun ke dalam gelas, dan memberikannya pada Ramon. "Minum dulu! Biar sedikit lega.'* * * * * * * *"Mas Hadi sebaiknya pulang sekarang, biar pemakaman bisa segera dilaksanakan tanpa keributan," ucap Lilik. Sebenarnya Lilik sudah jengkel dengan Hadi, yang tak kunjung pergi walaupun sudah diminta baik-baik. Entah apa tujuan laki-laki itu, mungkin pencitraan agar semua orang yang hadir menganggap dirinya itu gentleman."Aku ini suaminya, Lik. Aku ingin memberi penghormatan terakhir pada istriku."Lilik yang sudah jengkel dengan sikap Hadi, akhirnya tak bisa menahan diri lagi. "Istri? Oh, Mas Hadi masih menganggap Mbak Marini istri? Istri yang selalu kau siksa batinnya? Istri yang kau biarkan menderita sendiri?""Kamu salah mengerti, keadaannya tidak seperti itu," sangkal Hadi dengan wajah meyakinkan, tapi sayangnya Lilik tidak mudah tertipu. Ramon sudah cerita kejadian malam itu, sebelum Marini mengalami kecelakaan."Salah mengerti?""Iya, sebenarnya malam itu ---""Sebenarnya apa? Sebenarnya kamu lebih memilih ngelonin perempuan itu, daripada mengantar Mbak Marini ke rumah sakit. Begitu, kan? Sudah lah, Mas. Nggak usah pura-pura menyesal, Mbak Marini sudah tenang, sudah nggak merasakan sakit hati lagi. Sebaiknya kamu pergi saja! Keberadaanmu tak dibutuhkan."Rahang Hadi mengeras, giginya bergeletukan. Andai yang di depannya bukan perempuan, sudah Hadi pastikan dia bakal babak belur. Seenaknya mengata-ngatai Hadi. Alina yang menyadari suaminya tengah menahan marah, segera menarik tangan laki-laki itu."Kita pergi saja, Mas. Sudah cukup mereka menghina kita," ucap Alina sambil melayangkan tatapan sadis pada adik mendiang madunya itu."Pergi kalian! Dasar manusia durjana!"Bersambung ....Cerbung ini bisa dibaca di KBM App dan Joylada dengan judul yang sama.Acara kirim doa hari ketujuh sudah selesai digelar. Selama tujuh hari itu Hadi hanya datang sebagai tamu. Bukan tuan rumah yang sedang berkabung, dia juga tak menginap di rumah itu. Hadi lebih memilih pulang bersama istri mudanya. Kesedihan tak nampak di wajahnya. Apalagi dengan kehadiran Alina yang selalu bergelayut manja di lengannya, membuat siapapun yang hadir menatap mengelus dada. Tapi namanya orang sedang jatuh cinta, mereka tak ambil pusing."Kenapa harus ngundang dia sih, Mas? Bikin kesel aja!" protes Lilik pada Irwan, kakak pertamanya. Saat melihat mobil Hadi masuk ke pekarangan rumah Marini. Lilik tentu tidak lupa bagaimana sikap kakak iparnya itu, selama tahlilan digelar.sekarang seluruh keluarga besar Almarhumah Marini berkumpul untuk membahas masa depan Ramon dan segala peninggalan Marini. "Bagaimanapun juga dia itu suami Marini, ayahnya Ramon. Dia juga harus diajak berembug tentang masa depan Ramon selanjutnya," jelas Irwan. "Memang dia peduli? Kepala laki-laki itu i
Harta kalau didapatkan dari cara yang curang, maka tidak akan berkah dan justru jadi masalah. Ini juga yang dialami Hadi dan Alina. Setelah melewati debat panjang, akhirnya Irwan bersedia mengganti uang Hadi yang digunakan untuk merenovasi rumah Marini. Uang 50jt yang diberi oleh Irwan, digunakan Alina untuk bersenang-senang. Shoping-shoping, perawatan dan berbagai hal unfaedah. Uang sebanyak itu akhirnya menguap begitu saja, tanpa rupa. "Mas, bagi duit dong! Aku mau luluran ke salon," rengek Alina pada suaminya. "Uang? Kamu yang bener dong, sayang. Baru kemarin gaji Mas sudah kamu ambil semua, hanya menyisakan uang bensin. Kok sekarang minta lagi? Ini baru tanggal 15, lho. Emang kamu pakai buat apa saja uang sebanyak itu?" tanya Hadi jengkel. Meski begitu suaranya tetap lembut, dia sama sekali tak berani membentak Alina. Walaupun istrinya ini melakukan kesalahan. Bibir Alina langsung mengurucut mendengar ucapan suaminya. "Ya buat macem-macem, Mas. Namanya juga orang hidup, masih
Hadi terpaku di tempatnya, demi melihat siapa yang berdiri di depan pintu. Ramon, putra semata wayangnya dari Marini. Dia tumbuh menjadi pemuda tampan berbadan atletis. Sosok yang sudah lama dia rindukan, tapi ego dan istrinya menghalangi untuk bertemu. Sebenarnya Hadi ingin sekali memeluk Ramon, tapi tapi tangannya tiba-tiba kaku dan sulit digerakkan. "Ayah." Susah payah Ramon menyebut nama, yang bertahun-tahun tak pernah terucap dari bibirnya. Atas desakan Lilik, akhirnya Ramon bersedia menemui ayahnya. Mengabari dan memintanya hadir dalam acara wisuda Ramon, yang kurang beberapa hari lagi. "Sebesar apapun kesalahannya, dia tetap ayah kandungmu. Orang yang mengukir jiwa ragamu, darahnya mengalir dalam tubuhmu. Sekuat apapun kamu menolak, kenyataan itu tidak bisa dipungkiri. Mau sampai kapan kamu menyimpan kebencian ini? Sampai ayahmu mati? Kalau sampai itu terjadi, kamu akan menyesal sepanjang umurmu," nasehat Lilik beberapa hari yang lalu. "Percayalah, meski terlihat tidak perd
"Kita periksa ke dokter aja, Ma. Makin hari badanmu makin kurus, takutnya ada penyakit serius," ucap Hadi mengkhawatirkan keadaan istrinya. Beberapa bulan terakhir ini, Alina mengeluh mudah lelah, berat badannya menurun drastis. Tapi tiap diajak periksa ke dokter dia selalu menolak dengan alasan yang tidak jelas. "Nggak pa-pa, Pa. Aku hanya kecapekan aja. Dipakai tidur juga baikan," tolak Alina. "Tapi kamu makin kurus, lho.""Namanya juga banyak kerjaan, banyak pikiran, ya wajar kalau aku makin kurus. Lagipula selera makanku akhir-akhir ini menurun, mungkin itu penyebabnya." Hadi hanya bisa menghela nafas mendengar ucapan istrinya. Rasa bersalah semakin menyesakkan dada. Sebagai suami dia merasa gagal, tak mampu membahagiakan istrinya. Sejak dia pensiun, Alina terpaksa banting tulang buka jasa laundry. Uang pensiun Hadi tak mencukupi kebutuhan mereka, karena masih punya cicilan di bank. Sewaktu Hadi masih menjabat kepala dinas, gaya hidup Alina bisa dibilang hedon. Semua yang mele
Hadi menatap pilu Alina yang tergolek lemah di ranjang perawatan. Tubuhnya nampak kurus dan pucat. Wanita itu tak pernah mengeluh, meski lelah bekerja, meski penyakit menggroti tubuhnya. Alina banyak berubah, sejak kehidupan mereka mengalami penurunan. Rasa bersalah semakin menyiksa Hadi, melihat keadaan Alina yang menyedihkan macam itu. Tak ada lagi wanita modis dengan barang brandednya, tak ada lagi sikap angkuh dan tatapan merendahkan. Semua seolah hilang tak bersisa, bahkan wajah cantik Alina sekarang terlihat seperti tengkorak hidup. Hadi menyeret kursi plastik ke sisi kanan ranjang, lalu mendudukinya. Dipandanginya wajah pucat istrinya yang terlelap itu. Membuat percakapannya dengan dokter tadi kembali terngiang. "Setelah operasi, apa istri saya bisa sembuh, dokter?" tanya Hadi pelan. "Peluangnya fifty-fifty, Pak. Berdoa saja, semoga Tuhan memberikan kesembuhan pada Ibu," ucap Dokter itu bijak. Bayangan tentang rangkaian pengobatan yang akan menguras tenaga dan menghabiskan
"Kamu ingin bertemu Ramon? Untuk apa?" Masih teringat jelas dalam ingatan Hadi, bagaimana ketusnya Alina saat Ramon datang dulu. Kenapa tiba-tiba sekarang ingin bertemu? Memang Ramonnya mau? Mengingat hubungan mereka tak pernah akur sejak dulu. "Aku ingin minta maaf," lirih Alina. Hadi mengangguk pelan, tanpa berani menatap Alina. "Tolong temui Ramon secepatnya, aku takut umurku nggak sampai." Lagi-lagi Hadi hanya bisa mengangguk lemah. Menemui Ramon? Dia juga sebenarnya ingin sekali bertemu dengan anak sulungnya itu, memeluk dan mendekapnya menuntaskan segala rindu yang lama terpendam. Tapi dengan keadaan yang sekarang, jujur dia merasa malu. Apalagi selama dua puluh tahun mereka putus komunikasi, Hadi melalaikan kewajibannya terhadap Ramon. Belum lagi pertemuan terakhir mereka juga tak berakhir baik. Apa Ramon sudi menemuinya? Pikiran-pikiran itu kini memenuhi kepala Hadi. "Pa! Kenapa diam saja?" tanya Alina sambil memegang lengan Hadi. "Hah! Nggak pa-pa. Aku menemui dokter dul
"Mas Hadi? Ini beneran, Mas Hadi?" Lilik menatap tak percaya laki-laki renta yang ada di depannya. Sisa kegagahan dan ketampanannya seolah tak bersisa. Tak ada tatapan angkuh yang dulu selalu dia tunjukkan. Yang ada hanya wajah tua yang nampak lelah, dengan tatapan melasnya."Iya, Lik. Ini aku," lirih Hadi. "Ma, kakek itu siapa?" bisik Sesil penasaran. "Pak De Hadi, ayahnya Kak Ramon." Sesil hanya ber "Oh" ria. Dia memang pernah mendengar cerita tentang Hadi, tapi baru kali bertemu. "Sudah, kamu taruh nampannya di meja! Terus masuk sana!" perintah Lilik dengan suara pelan. Hadi jauh-jauh datang, setelah dua puluh tahun berlalu, pasti ada hal penting yang ingin dibicarakan. Dan Lilik tidak mau Sesil tahu, ini urusan orang dewasa. Sesil segera melakukan perintah ibunya, tanpa banyak bertanya. "Monggo diunjuk minumannya, Mas," ucap Lilik sambil duduk di kursi tepat di seberang Hadi. Lilik tersenyum getir, melihat Hadi menenggak minuman dalam gelas hingga tandas. Tanpa dijelaskan, L
"Maaf ya, Mas. Ramon hanya syok saja, biar saya bicara dengannya," pamit Lilik, lalu beranjak menyusul Ramon.Lilik merasa tidak enak hati dengan Hadi, jauh-jauh datang kesini tapi malah mendapat reaksi yang tidak menyenangkan. Lilik paham betul apa yang dirasakan Ramon, sakit hati dan kecewa terhadap Hadi. Tapi peristiwa itu sudah bertahun-tahun berlalu, alangkah baiknya menutup cerita lama Pelan Lilik membuka pintu kamar Ramon yang tidak tertutup sempurna. Di dalam Lilik mendapati Ramon berdiri di depan jendela menatap ke arah luar. Hal yang sering dilakukan Ramon kalau sedang banyak pikiran. "Bu Lek nggak usah repot-repot membujukku," ujar Ramon tanpa menatap Lilik. Tanpa melihat, Ramon tahu betul kalau yang datang itu Lilik. Ramon hafal irama langkahnya. "Bu Lek mengerti perasaanmu, Ram. Tapi bagaimanapun juga dia orang tuamu," ucap Lilik ketika sudah berada di dekat Ramon. "Orang tua? Orang tua apa yang menelantarkan anaknya? Orang tua apa yang hanya mengejar kesenangannya se