“Semua akan baik-baik saja.” Sheryl berkali-kali mengucapkan kalimat itu sebagai bentuk penguat kepada dirinya sendiri.
Entah kapan keadaan akan membaik, Sheryl tidak tahu. Sekarang dia hanya perlu menjalani hidup dengan kepala tegak dan berjuang sekuat mungkin. Dia tidak sendiri, ada Anindya yang bergantung padanya sekarang. Oleh karena itu, Sheryl harus kuat demi adiknya.Anindya tetap kuliah seperti biasa dan Sheryl mencoba mencari peruntungan dengan cara mengirim lamaran kesana kemari. Sebagai lulusan dengan nilai yang cukup tinggi, seharusnya mudah bagi Sheryl mendapatkan pekerjaan.Sayangnya hidup tidak selalu berjalan mulus karena ada banyak kerumitan yang menyertai takdirnya. Dari sekian banyak tempat yang Sheryl datangi untuk melamar pekerjaan, tidak ada satu pun yang buka lowongan.Berkali-kali Sheryl di panggil tes tulis di beberapa perusahaan, tapi setelahnya tidak ada lagi kejelasan. Semuanya mengambang begitu saja bersama harapan seorang Fresh Graduate tanpa pengalaman seperti dirinya.“Kalau sampai bulan depan aku belum dapat pekerjaan juga, bisa gawat ini,” gumam Sheryl seorang diri.Dipandanginya gedung-gedung tinggi di kawasan SCBD yang berdiri megah. Beberapa orang berpakaian rapi dengan ID card mengalungi leher berjalan tergesa-gesa. Katanya pegawai yang bekerja di kawasan perkantoran elit ini mendapatkan gaji yang cukup tinggi.Itulah alasan utama Sheryl mengincar perusahaan-perusahaan yang ada di sini. Tapi bukan berarti dia mengabaikan kesempatan di tempat lain.Setelah berkeliling seharian mencari pekerjaan, Sheryl harus pulang dengan perasaan kecewa. Lalu sepanjang malam dia akan berusaha memperbaiki CV dan surat lamarannya.“Uang kita masih cukup nggak, ya, sampai bulan depan,” ujar Anindya dengan cemas.“Entahlah,” jawab Sheryl singkat.“Coba Kakak hubungi Tante Mira atau Om Bagas, siapa tahu mereka bisa membantu kita. Setidaknya untuk bayar kost saja,” ucap Anindya penuh harap.Sheryl menghela napas dalam-dalam demi menyembunyikan kepedihannya. Sebelum adiknya memberi gagasan itu, Sheryl sudah lebih dulu melakukannya.Sama seperti saudara dari pihak ayahnya, keluarga Ibunya juga tidak mau tahu dengan nasib mereka berdua.“Kalian sudah besar, loh. Sudah bisa bekerja dan mencari makan sendiri. Jadi, berhentilah merengek-rengek minta uang seperti anak kecil,” tukas Tante Mira dengan begitu ketus.“Kali ini saja, Tante. Kami butuh uang untuk bayar kost,” ucap Sheryl dengan lemah.“Kamu kerja, dong. Ijazahmu dipakai, bukannya malah dijadikam bantal dan dibawa tidur!” sahut Tante Mira dengan ketus.“Aku sudah mencari pekerjaan kesana kemari, Nte. Tapi belum ada panggilan satu pun yang masuk,” balas Sheryl semakin pelan.Perempuan dengan dandanan menor dan alis tebal itu mendengkus disertai ekspresi meremehkan. “Memangnya kamu sudah melamar kemana saja, heh?”“Ke semua perusahaan yang ada di sini, Nte,” jawab Sheryl dengan canggung. Dia tahu tantenya ini akan melontarkan ejekan.“Dasar anak manja, mentang-mentang kamu kuliah terus maunya kerja di perusahaan besar dengan gaji tinggi. Memangnya kamu nggak sadar kalau perusahaan seperti itu butuh karyawan yang berpengalaman dan kompeten? Sedangkan kamu, apa yang kamu punya?” tanya Tante Mira.Sheryl diam saja tanpa memberikan balasan.“Coba deh, kamu melamar kerja di kafe atau jadi buruh pabrik, pasti diterima. Tapi kamu ‘kan orangnya gengsian, mana mau mengerjakan pekerjaan rendahan begitu,” sahut Tante Mira lagi.“Aku sudah melakukannya, Nte. Banyak kafe yang kutanya apakah mereka butuh karyawan, tapi mereka semua mengatakan tidak. Begitu juga dengan pabrik yang ada di sini, semua sudah kujalani,” jawab Sheryl.“Halah! Nggak percaya aku!” seru Tante Mira.“Ya sudah kalau Tante tidak percaya,” gumam Sheryl mengalah.Tante Mira mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dan melemparkannya ke hadapan keponakannya itu.“Nih, kukasih duit biar kamu bisa makan hari ini. Besok jangan datang lagi, ya. Aku males lihat anak manja yang cengeng sepertimu, bisanya Cuma menyusahkan saja,” ucap Tante Mira.Sheryl mengesampingkan harga dirinya dan memungut uang itu dengan mata sedikit memanas. Dia sedang butuh uang untuk bertahan hidup bersama adiknya.“Terima kasih, Nte,” ucap Sheryl pelan.Hari itu dia meninggalkan kediaman Tante Mira dengan perasaan terluka. Padahal dulu Tante Mira sering datang ke rumahnya untuk meminta bantuan kepada orang tua Sheryl. Sebagai saudara yang baik, orang tua Sheryl selalu mengabulkan permintaan Tante Mira. Tapi sekarang, wanita iru seolaj-olah lupa pada siapa yang pernah berjasa dalam hidupnya.Tante Mira bersikap seolah-olah Sheryl dan Anindya bukanlah keponakannya. Kejam sekali. Selanjutnya Sheryl mendatangi Om Bagas yang selama ini cukup dekat dengan ibunya. Sebenarnya tidak banyak harapan gadis itu saat berkunjung ke rumah saudara ibunya. Dia hanya ingin diterima sebagai keluarga dan dihargai dengan layak. Sheryl tidak mengharapkan uang, cukup perhatian dan kasih sayang saja sebagai pengobat luka setelah kehilangan kedua orang tuanya.Sayangnya, sama seperti Tante Mira, Om Bagas juga menyudutkan Sheryl karena dianggap terlalu gengsian. Bahkan Om Bagas mengucapkan kalimat yang jauh lebih menyakitkan.“Pekerjaan sekarang ini banyak, Sher. Asal kamu mau kerja pasti dapat uang,” ujar Om Bagas.“Sudah kumasukkan lamaran kemana-mana, Om,” ujar Sheryl sambil mengulas senyum pahit.“Kalau lamaranmu tidak tembus berarti sudah saatnya kamu yang menerima lamaran,” tukas Om Bagas dengan iringan senyum misterius.“Maksud Om, bagaimana?” tanya Sheryl dengan perasaan waspada.“Kamu cantik, Sher. Ngapain juga harus capek-capek cari kerjaan kesana-kemari. Manfaatkan wajah cantikmu itu untuk mencari uang yang banyak tanpa harus kena hujan dan panas.”Sheryl menatap adik ibunya itu dengan sorot tidak percaya. Dia bisa menangkap maksud buruk dibalik ucapan yang serampangan itu.“Sekarang ini banyak perempuan-perempuan cantik yang berhasil hidup dalam kemewahan hanya dengan menjadi sugar baby para laki-laki kaya. Kamu juga bisa menjadi salah satunya karena wajahmu cukup menarik.”“Nggak, Om. Aku lebih baik bekerja di bawah terik matahari daripada harus menggadaikan harga diri!”“Halah! Nggak usah munafik kamu, Sher. Memangnya kamu pikir ayahmu masih bisa membiayai uang kuliah adikmu? Lagi pula, adikmu sok-sokan kuliah kedokteran. Cih, belagu banget! Memangnya kalian pikir ayah kalian akan hidup selamanya?”“Jangan bawa-bawa ayah saya, Om!” seru Sheryl marah. “Dan apa pun jurusan yang dipilih Anindya itu bukan urusan Om Bagas!”Laki-laki itu tertawa terbahak-bahak cukup lama. Dia menganggap bahwa Sheryl dan adiknya sebagai sebuah lelucon yang pantas untuk diejek.“Sudahlah, Sher. Kamu terlalu idealis jadi perempuan. Memangnya kamu nggak tahu kalau sebenarnya tugasmu itu hanyalah melayani laki-laki? Jadi nggak usah banyak tingkah dan lakukan sesuai dengan kodratmu.”“Aku datang ke sini bukan untuk mendapatkan hinaan seperti ini, Om!” seru Sheryl mulai marah.“Iya, iya… aku tahu. Kalau maksudmu ingin meminta uang, maaf… aku juga nggak uang saat ini. Tapi kalau kau mencari sugar daddy, aku siap membantumu. Mulai dari warga lokal sampai bule juga bisa kucarikan.” Laki-laki paruh baya itu terkekeh penuh kemenangan.“Lakukan saja itu pada anak perempuanmu!” balas Sheryl dengan ketus dan sengit.“Bilang pada adikmu supaya dia nggak usah kuliah kedokteran lagi, toh, nggak akan jadi dokter beneran!” seru Om Bagas kemudian.“Mulai sekarang urus saja urusanmu, mucikari sialan!” teriak Sheryl teramat kesal.Setelah berkata begitu, Sheryl langsung meninggalkan kediaman Om Bagas. Dia juga berjanji tidak akan pernah datang menemui laki-laki itu lagi.Semua kejadian yang dialaminya dirahasiakan oleh Sheryl seorang diri. Dia tidak ingin membagi kenangan pahit itu dengan adiknya karena takut Anindya akan merasa sakit hati dan menaruh dendam.“Kita tidak perlu mendatangi saudara dari Ayah ataupun Ibu lagi. Kita tidak perlu meminta bantuan mereka. Anggap saja mereka tidak ada. Kita … bisa hidup dan bertahan dengan usaha sendiri,” ucap Sheryl dengan suara gemetar penuh kesedihan.“Percuma kuliah tinggi-tinggi, eh … ujung-ujungnya jadi pelayan kafe,” ujar Renita menyindir Sheryl. Saat ini Sheryl bekerja di sebuah kafe demi menyanbung hidup. Dia tidak mungkin terus menerus berdiam diri menunggu panggilan kerja sementara kebutuhan terus mendesak. “Iya, nih. Nggak ada bedanya sama gue yang lulusan SMA dan kerja ngelap meja,” timpal Yeni. Sheryl yang mendengarkan sindiran itu memilih untuk cuek dan menutup telinga rapat-rapat. Dia bekerja seperti ini bukan karena keinginannya sendiri, tapi karena dipaksa oleh keadaan. Setiap hari Sheryl akan mengecek email dan memeriksa apakah ada panggilan wawancara untuknya. Dia menghela napas setiap kali harapannya tidak terkabul. Sekarang yang perlu dilakukannya adalah bekerja dengan baik lalu menerima gaji. Tidak dipedulikannya sindiran dari orang-orang sirik seperti itu. “Kalian jangan ngerumpi aja, kerja yang benar sana!” seru Nata pada dua orang perempuan yang berdiri di dekat meja kasir. “Lihat Sheryl, tuh. Walaupun
“Kakak bekerja biar kamu tetap kuliah, tapi kamu malah melakukan pekerjaan seperti ini dan melupakan kewajibanmu!” teriak Sheryl lagi. Rasa marah dan kecewa bercampur menjadi satu, lalu yang tersisa hanya tangisan pilu. Untuk pertama kalinya Sheryl merasa gagal sebagai Kakak. Apa yang dilakukannya selama ini menjadi tidak berarti. Anindya tidak mengelak sama sekali. Dia ikut menangis sambil menyesali keadaan. “Aku nggak kuat hidup begini, Kak. Aku ingin seperti dulu saat Ayah dan Ibu masih ada. Aku ingin kita hidup nyaman dan makan sepuasnya!” seru Anindya kemudian. “Kalau kamu ingin mengubah hidup kita, seharusnya kamu tetap kuliah dan belajar dengan rajin! Bukannya malah bekerja jadi caddy di tempat golf begini!” “Aku ingin jadi dokter, Kak. Itu cita-citaku sejak dulu! Tapi sekarang segalanya menjadi terasa begitu sulit. Jangankan untuk membayar uang kuliahku yang jumlahnya jutaan, untuk makan saja kita harus berhemat mati-matian!” Sheryl menangkupkan tangannya ke wajah demi m
Untuk pertama kalinya Sheryl berpisah dengan Anindya setelah kedua orang tuanya meninggal. Mereka berdua tidak lagi menempati kamar kost sempit yang pengap. Sheryl dibawa oleh Haikal ke sebuah rumah mewah yang ada di kawasan elit. Sedangkan Anindya tinggal di kost barunya yang luas dan memiliki fasilitas lengkap. Sheryl mengembuskan napas berat bersamaan dengan rasa sesak di dalam dadanya. Dia merasakan sebuah kesedihan atas perpisahan itu. Tapi ketika mengingat kembali tujuannya, Sheryl langsung menepis segala rasa sendu yang hadir di dalam dadanya. "Bagaimana, kamu suka rumah ini?" tanya Haikal pada Sheryl. "Rumahmu bagus, Mas," puji Sheryl sambil tersenyum. Dia harus memperlihatkan rasa antusiasnya terhadap apa yang diberikan oleh Haikal padanya. "Rumah ini akan menjadi rumahmu juga, Sheryl. Kuharap kamu tidak merasa canggung saat berada di sini. Jika ada yang kurang, katakan saja padaku. Nanti akan kupenuhi semua permintaanmu," ujar Haikal. "Terima kasih, tapi sekarang rasany
"Boleh aku menciummu?" Haikal bertanya sambil menatap Sheryl tanpa kedip. Gadis itu tampak terkejut tapi detik berikutnya dia mengangguk malu. Haikal memegang sisi wajahnya dan memaksanya sedikit menengadah, lalu dikecupnya bibir mungil itu sejenak. Ini adalah ciuman pertama mereka sekaligus sebuah perkenalan. Jadi, Haikal tidak perlu tergesa-gesa dan dia harus melakukannya dengan lembut. Manis, wangi dan lembut. Sebuah kesan pertama yang menyenangkan Haikal dapatkan dari gadis itu. Kemudian dia mengulangi ciumannya sekali lagi. Kali ini lebih dalam dan kuat dibandingkan sebelumnya. Haikal sadar bahwa dia adalah seorang laki-laki picik yang tega menjebak gadis polos ini. Tapi sungguh, dia ingin sekali memiliki Sheryl untuk dirinya sendiri. Dia telah terpesona pada tatap sendu gadis itu. Dia jatuh cinta pada senyumnya yang tulus dan manis. Saat pertama kali melihat Sheryl di rumah sakit pasca kecelakaan tragis itu, Haikal telah bertekad untuk mendapatkan gadis ini. Ada sebuah per
Malam ini adalah malam pertama Sheryl tidur bernagi ranjang dengan laki-laki asing. Awalnya dia gugup sekali tapi saat melihat sikap Haikal yang tenang, perasaan takut itu berangsur hilang. Sheryl pikir laki-laki itu akan memaksakan kehendak dan menyentuhnya sesuka hati. Mengingat sepanjang malam tadi Haikal senang sekali melakukan kontak fisik dengannya. Berkali-kali pula bibir Sheryl menjadi sasaran laki-laki itu. Saat ini Haikal justru sedang membaca buku sambil bersandar pada headboard ranjang. Dia bilang bahwa membaca adalah kebiasaannya sebelum tidur. "Besok kita akan bertemu dengan kedua orang tuaku" ujar Haikal. "Aku akan mengenalkanmu sebagai calon istriku pada mereka.""Apa yang harus kupersiapkan?" tanya Sheryl. "Tidak ada," jawab Haikal. Sheryl mengangguk setuju sembari mengulas senyum manis. Jujur saja, Sheryl tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajahnya saat bertemu dengan kedua orang tua Haikal nanti. Mereka adalah sosok yang menyebabkan kedua orang tuanya me
"Mami tidak setuju dengan rencanamu menikahi gadis itu." Nyonya Marissa menatap putranya dengan sorot angkuh. Seolah ucapannya barusan akan memberi pengaruh begitu besar. "Oh, ya?" Haikal menatap Maminya sekilas. Dia berdecak samar, lalu kembali berkata, "Sayangnya aku tidak butuh persetujuan Mami. Jadi, simpan saja pendapat itu untuk Mami sendiri.""Kal..." Wanita paruh baya itu menatap putranya dengan sorot mata kecewa. Dia tidak menyangka kalimat pedas itu akan meluncur dari putranya. "Kamu nggak mau memikirkan Mami sedikitpun?""Kenapa aku harus memikirkan Mami disaat Mami hanya memikirkan diri sendiri?" Haikal balas bertanya dengan kalimat lebih menohok. "Mami akan menganggapmu sebagai anak durhaka yang membangkang jika tetap menikahi gadis itu," tegas Nyonya Marisa lagi. Haikal menggedikkan bahunya sekilas. "Bukannya sudah lama Mami menyematkan gelar kehormatan seperti itu untukku? Di mata Mami, aku adalah anak durhaka, pembangkang, tidak bisa diatur, pokoknya aku tuh... jaha
"Kalian berdua harus keluar dari rumah ini karena sebentar lagi pembelinya akan datang!” ujar laki-laki berkumis tebal itu. Dua orang gadis yatim piatu itu hanya menatap sedih dan tidak berdaya sama sekali. Paman dari pihak ayah yang seharusnya berperan sebagai wali mereka justru tega mengusir tanpa perasaan. Padahal tanah kuburan kedua orang tua mereka masih basah. “Kenapa harus dijual, Pakde?” tanya Sheryl dengan suara sengau. “Ini adalah rumah yang kami tempati sejak kecil.”“Asal kalian tahu, ya. Rumah ini adalah warisan yang harus kami bagi sama rata,” ujar Pak Slamet kemudian. “Sudah terlalu lama kami bersabar karena Mas Thoriq selalu menolak setiap kali kami hendak menjual rumah ini.”“Lalu bagaimana dengan kami, Paklek? Dimana kami akan tinggal kalau rumah ini dijual?” tanya Sheryl dengan mengiba. Adik ayahnya itu menggeleng tegas. “Itu bukan urusan kami. Lagi pula kalian berdua sudah dewasa dan bisa memikirkan hidup sendiri.”“Apa enggak kasihan sama kami?” tanya Anindya m
"Uang itu hak kami! Kau seharusnya bersimpati pada dua nyawa yang telah kau renggut dan dua anak yang mendadak jadi yatim piatu!” Sheryl berteriak frustrasi di hadapan seorang Haikal Abraham. Sedangkan Haikal hanya tertawa kecil dan menatap gadis si hadapannya dengan remeh. “Jika kasus ini diusut, maka akan terlihat jelas bahwa orang tuamu yang bersalah. Apa perlu aku memperlihatkan rekaman kameranya padamu?”“Apa maksudmu?” tanya Sheryl dengan mata menyorot tidak mengerti. Ditekannya seluruh amarah di dalam dadanya. Haikal menekan remot untuk menyalakan monitor di hadapan mereka. Lalu disana terlihat jelas rekaman kecelakaan dimana Ayah Sheryl terlihat kehilangan fokus lalu mengemudi di jalur yang salah sehingga terjadilah tabrakan maut itu. " Mobil orang tuamu juga melaju dengan kencang!" sergah Sheryl."Tapi mereka ada di jalur yang benar," sanggah Haikal dengan wajah tenang dan angkuh.“Inilah alasan kenapa aku tidak menghubungimu,” ujar Haikal kemudian. “Karena kecelakaan itu
"Mami tidak setuju dengan rencanamu menikahi gadis itu." Nyonya Marissa menatap putranya dengan sorot angkuh. Seolah ucapannya barusan akan memberi pengaruh begitu besar. "Oh, ya?" Haikal menatap Maminya sekilas. Dia berdecak samar, lalu kembali berkata, "Sayangnya aku tidak butuh persetujuan Mami. Jadi, simpan saja pendapat itu untuk Mami sendiri.""Kal..." Wanita paruh baya itu menatap putranya dengan sorot mata kecewa. Dia tidak menyangka kalimat pedas itu akan meluncur dari putranya. "Kamu nggak mau memikirkan Mami sedikitpun?""Kenapa aku harus memikirkan Mami disaat Mami hanya memikirkan diri sendiri?" Haikal balas bertanya dengan kalimat lebih menohok. "Mami akan menganggapmu sebagai anak durhaka yang membangkang jika tetap menikahi gadis itu," tegas Nyonya Marisa lagi. Haikal menggedikkan bahunya sekilas. "Bukannya sudah lama Mami menyematkan gelar kehormatan seperti itu untukku? Di mata Mami, aku adalah anak durhaka, pembangkang, tidak bisa diatur, pokoknya aku tuh... jaha
Malam ini adalah malam pertama Sheryl tidur bernagi ranjang dengan laki-laki asing. Awalnya dia gugup sekali tapi saat melihat sikap Haikal yang tenang, perasaan takut itu berangsur hilang. Sheryl pikir laki-laki itu akan memaksakan kehendak dan menyentuhnya sesuka hati. Mengingat sepanjang malam tadi Haikal senang sekali melakukan kontak fisik dengannya. Berkali-kali pula bibir Sheryl menjadi sasaran laki-laki itu. Saat ini Haikal justru sedang membaca buku sambil bersandar pada headboard ranjang. Dia bilang bahwa membaca adalah kebiasaannya sebelum tidur. "Besok kita akan bertemu dengan kedua orang tuaku" ujar Haikal. "Aku akan mengenalkanmu sebagai calon istriku pada mereka.""Apa yang harus kupersiapkan?" tanya Sheryl. "Tidak ada," jawab Haikal. Sheryl mengangguk setuju sembari mengulas senyum manis. Jujur saja, Sheryl tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajahnya saat bertemu dengan kedua orang tua Haikal nanti. Mereka adalah sosok yang menyebabkan kedua orang tuanya me
"Boleh aku menciummu?" Haikal bertanya sambil menatap Sheryl tanpa kedip. Gadis itu tampak terkejut tapi detik berikutnya dia mengangguk malu. Haikal memegang sisi wajahnya dan memaksanya sedikit menengadah, lalu dikecupnya bibir mungil itu sejenak. Ini adalah ciuman pertama mereka sekaligus sebuah perkenalan. Jadi, Haikal tidak perlu tergesa-gesa dan dia harus melakukannya dengan lembut. Manis, wangi dan lembut. Sebuah kesan pertama yang menyenangkan Haikal dapatkan dari gadis itu. Kemudian dia mengulangi ciumannya sekali lagi. Kali ini lebih dalam dan kuat dibandingkan sebelumnya. Haikal sadar bahwa dia adalah seorang laki-laki picik yang tega menjebak gadis polos ini. Tapi sungguh, dia ingin sekali memiliki Sheryl untuk dirinya sendiri. Dia telah terpesona pada tatap sendu gadis itu. Dia jatuh cinta pada senyumnya yang tulus dan manis. Saat pertama kali melihat Sheryl di rumah sakit pasca kecelakaan tragis itu, Haikal telah bertekad untuk mendapatkan gadis ini. Ada sebuah per
Untuk pertama kalinya Sheryl berpisah dengan Anindya setelah kedua orang tuanya meninggal. Mereka berdua tidak lagi menempati kamar kost sempit yang pengap. Sheryl dibawa oleh Haikal ke sebuah rumah mewah yang ada di kawasan elit. Sedangkan Anindya tinggal di kost barunya yang luas dan memiliki fasilitas lengkap. Sheryl mengembuskan napas berat bersamaan dengan rasa sesak di dalam dadanya. Dia merasakan sebuah kesedihan atas perpisahan itu. Tapi ketika mengingat kembali tujuannya, Sheryl langsung menepis segala rasa sendu yang hadir di dalam dadanya. "Bagaimana, kamu suka rumah ini?" tanya Haikal pada Sheryl. "Rumahmu bagus, Mas," puji Sheryl sambil tersenyum. Dia harus memperlihatkan rasa antusiasnya terhadap apa yang diberikan oleh Haikal padanya. "Rumah ini akan menjadi rumahmu juga, Sheryl. Kuharap kamu tidak merasa canggung saat berada di sini. Jika ada yang kurang, katakan saja padaku. Nanti akan kupenuhi semua permintaanmu," ujar Haikal. "Terima kasih, tapi sekarang rasany
“Kakak bekerja biar kamu tetap kuliah, tapi kamu malah melakukan pekerjaan seperti ini dan melupakan kewajibanmu!” teriak Sheryl lagi. Rasa marah dan kecewa bercampur menjadi satu, lalu yang tersisa hanya tangisan pilu. Untuk pertama kalinya Sheryl merasa gagal sebagai Kakak. Apa yang dilakukannya selama ini menjadi tidak berarti. Anindya tidak mengelak sama sekali. Dia ikut menangis sambil menyesali keadaan. “Aku nggak kuat hidup begini, Kak. Aku ingin seperti dulu saat Ayah dan Ibu masih ada. Aku ingin kita hidup nyaman dan makan sepuasnya!” seru Anindya kemudian. “Kalau kamu ingin mengubah hidup kita, seharusnya kamu tetap kuliah dan belajar dengan rajin! Bukannya malah bekerja jadi caddy di tempat golf begini!” “Aku ingin jadi dokter, Kak. Itu cita-citaku sejak dulu! Tapi sekarang segalanya menjadi terasa begitu sulit. Jangankan untuk membayar uang kuliahku yang jumlahnya jutaan, untuk makan saja kita harus berhemat mati-matian!” Sheryl menangkupkan tangannya ke wajah demi m
“Percuma kuliah tinggi-tinggi, eh … ujung-ujungnya jadi pelayan kafe,” ujar Renita menyindir Sheryl. Saat ini Sheryl bekerja di sebuah kafe demi menyanbung hidup. Dia tidak mungkin terus menerus berdiam diri menunggu panggilan kerja sementara kebutuhan terus mendesak. “Iya, nih. Nggak ada bedanya sama gue yang lulusan SMA dan kerja ngelap meja,” timpal Yeni. Sheryl yang mendengarkan sindiran itu memilih untuk cuek dan menutup telinga rapat-rapat. Dia bekerja seperti ini bukan karena keinginannya sendiri, tapi karena dipaksa oleh keadaan. Setiap hari Sheryl akan mengecek email dan memeriksa apakah ada panggilan wawancara untuknya. Dia menghela napas setiap kali harapannya tidak terkabul. Sekarang yang perlu dilakukannya adalah bekerja dengan baik lalu menerima gaji. Tidak dipedulikannya sindiran dari orang-orang sirik seperti itu. “Kalian jangan ngerumpi aja, kerja yang benar sana!” seru Nata pada dua orang perempuan yang berdiri di dekat meja kasir. “Lihat Sheryl, tuh. Walaupun
“Semua akan baik-baik saja.” Sheryl berkali-kali mengucapkan kalimat itu sebagai bentuk penguat kepada dirinya sendiri. Entah kapan keadaan akan membaik, Sheryl tidak tahu. Sekarang dia hanya perlu menjalani hidup dengan kepala tegak dan berjuang sekuat mungkin. Dia tidak sendiri, ada Anindya yang bergantung padanya sekarang. Oleh karena itu, Sheryl harus kuat demi adiknya. Anindya tetap kuliah seperti biasa dan Sheryl mencoba mencari peruntungan dengan cara mengirim lamaran kesana kemari. Sebagai lulusan dengan nilai yang cukup tinggi, seharusnya mudah bagi Sheryl mendapatkan pekerjaan. Sayangnya hidup tidak selalu berjalan mulus karena ada banyak kerumitan yang menyertai takdirnya. Dari sekian banyak tempat yang Sheryl datangi untuk melamar pekerjaan, tidak ada satu pun yang buka lowongan. Berkali-kali Sheryl di panggil tes tulis di beberapa perusahaan, tapi setelahnya tidak ada lagi kejelasan. Semuanya mengambang begitu saja bersama harapan seorang Fresh Graduate tanpa pengalam
"Uang itu hak kami! Kau seharusnya bersimpati pada dua nyawa yang telah kau renggut dan dua anak yang mendadak jadi yatim piatu!” Sheryl berteriak frustrasi di hadapan seorang Haikal Abraham. Sedangkan Haikal hanya tertawa kecil dan menatap gadis si hadapannya dengan remeh. “Jika kasus ini diusut, maka akan terlihat jelas bahwa orang tuamu yang bersalah. Apa perlu aku memperlihatkan rekaman kameranya padamu?”“Apa maksudmu?” tanya Sheryl dengan mata menyorot tidak mengerti. Ditekannya seluruh amarah di dalam dadanya. Haikal menekan remot untuk menyalakan monitor di hadapan mereka. Lalu disana terlihat jelas rekaman kecelakaan dimana Ayah Sheryl terlihat kehilangan fokus lalu mengemudi di jalur yang salah sehingga terjadilah tabrakan maut itu. " Mobil orang tuamu juga melaju dengan kencang!" sergah Sheryl."Tapi mereka ada di jalur yang benar," sanggah Haikal dengan wajah tenang dan angkuh.“Inilah alasan kenapa aku tidak menghubungimu,” ujar Haikal kemudian. “Karena kecelakaan itu
"Kalian berdua harus keluar dari rumah ini karena sebentar lagi pembelinya akan datang!” ujar laki-laki berkumis tebal itu. Dua orang gadis yatim piatu itu hanya menatap sedih dan tidak berdaya sama sekali. Paman dari pihak ayah yang seharusnya berperan sebagai wali mereka justru tega mengusir tanpa perasaan. Padahal tanah kuburan kedua orang tua mereka masih basah. “Kenapa harus dijual, Pakde?” tanya Sheryl dengan suara sengau. “Ini adalah rumah yang kami tempati sejak kecil.”“Asal kalian tahu, ya. Rumah ini adalah warisan yang harus kami bagi sama rata,” ujar Pak Slamet kemudian. “Sudah terlalu lama kami bersabar karena Mas Thoriq selalu menolak setiap kali kami hendak menjual rumah ini.”“Lalu bagaimana dengan kami, Paklek? Dimana kami akan tinggal kalau rumah ini dijual?” tanya Sheryl dengan mengiba. Adik ayahnya itu menggeleng tegas. “Itu bukan urusan kami. Lagi pula kalian berdua sudah dewasa dan bisa memikirkan hidup sendiri.”“Apa enggak kasihan sama kami?” tanya Anindya m