"Kalian berdua harus keluar dari rumah ini karena sebentar lagi pembelinya akan datang!” ujar laki-laki berkumis tebal itu.
Dua orang gadis yatim piatu itu hanya menatap sedih dan tidak berdaya sama sekali. Paman dari pihak ayah yang seharusnya berperan sebagai wali mereka justru tega mengusir tanpa perasaan. Padahal tanah kuburan kedua orang tua mereka masih basah.“Kenapa harus dijual, Pakde?” tanya Sheryl dengan suara sengau. “Ini adalah rumah yang kami tempati sejak kecil.”“Asal kalian tahu, ya. Rumah ini adalah warisan yang harus kami bagi sama rata,” ujar Pak Slamet kemudian. “Sudah terlalu lama kami bersabar karena Mas Thoriq selalu menolak setiap kali kami hendak menjual rumah ini.”“Lalu bagaimana dengan kami, Paklek? Dimana kami akan tinggal kalau rumah ini dijual?” tanya Sheryl dengan mengiba.Adik ayahnya itu menggeleng tegas. “Itu bukan urusan kami. Lagi pula kalian berdua sudah dewasa dan bisa memikirkan hidup sendiri.”“Apa enggak kasihan sama kami?” tanya Anindya menatap keluarga ayahnya itu.“Kami sedang butuh uang, jadi kalian enggak usah banyak drama, deh!” sergah Bu Minah dengan wajah ketus.“Besok keluar dari rumah ini tapi jangan bawa satu pun barang-barangnya karena rumah ini kujual beserta isinya,” ujar Pak Slamet memperingatkan mereka.Sheryl dan Anindya hanya bisa menangis dalam kebisuan. Lengkap sudah penderitaan kedua gadis yatim piatu itu.Kecelakaan orang tuanya yang terjadi secara tiba-tiba membuat hidupnya jungkir balik dalam sekejap. Ayah dan Ibunya yang sedang berboncengan ditabrak oleh sebuah mobil yang melaju kencang hingga keduanya meninggal.Awalnya keluarga Abraham sebagai pemilik mobil berjanji akan memberi uang santunan yang cukup banyak. Syaratnya tentu saja Sheryl harus mau berdamai dan tidak menuntut apa-apa. Dalam rasa panik dan di bawah tekanan, Sheryl menyetujui saja persyaratan tersebut. Itulah kenapa tidak ada gugatan terhadap pelaku tabrakan itu sampai deti ini.Sayangnya hingga empat puluh hari berlalu, tidak ada tanda-tanda mereka beritikad baik menyerahkan santunan. Sedangkan masalah demi masalah datang bertubi-tubi menghantam mereka.Rentenir dan debt kolektor dari Bank datang menagih hutang sehingga Sheryl harus merelakan tabungan dan perhiasannya ludes tanpa sisa. Di saat sulit begini, pamannya malah tega menjual rumah yang ditempatinya dan mengusir Sheryl serta adiknya.“Bagaimana dengan uang santunan yang dijanjikan oleh orang yang menabrak ayah, kak?” tanya Anindya pada kakaknya.“Entahlah, sampai sekarang mereka bahkan tidak pernah datang atau menghubungi kita,” ujar Sheryl lemah.“Bagaimana kalau kita datangi saja rumahnya? Bukankah waktu itu dia meninggalkan kartu nama pada kakak?”“Nanti kita dikira mengemis karena menuntut uang itu.”“Uang itu hak kita, Kak. Mereka sendiri yang berjanji akan memberi santunan karena telah menyebabkan Ayah dan Ibu meninggal.”Sheryl menghela napas dalam-dalam. Ditatapnya adiknya yang sedang memasang raut wajah cemas.Usia mereka berdua terpaut tiga tahun. Sheryl berusia dua puluh dua tahun sedangkan Anindya sembilan belas tahun. Sheryl baru saja tamat kuliah sedangkan Anindya masih duduk di tingkat pertama sebagai mahasiswa kedokteran.Sebagai seorang kakak, Sheryl paham bahwa sekarang tanggung jawab sedang bertumpu padanya.“Nanti biar kakak saja yang datang ke rumah orang itu,” ujar Sheryl membuat keputusan.“Walau bagaimana pun, uang itu harus kita dapatkan, Kak. Sekarang kita sudah tidak punya apa-apa lagi dan harus bertahan hidup dalam kesusahan,” ujar Anindya.Batin Sheryl mencelos getir mendengarkan betapa malangnya nasib mereka saat ini. Setelah kedua orang tuanya meninggal, semuanya ikut ludes tanpa sisa. Parahnya lagi, keluarga dekat bukannya membantu malah saling berebut warisan.Saat ini Sheryl tidak bisa membiarkan adiknya memikirkan semua permasalahan yang terjadi seorang diri. Setiap keputusan dan apa pun risikonya harus mereka tanggung berdua.“Sudah, kamu pikirin saja kuliahmu. Urusan keuangan biar kakak yang mengaturnya,” ujar Sheryl dengan tegar.“Bagaimana caranya?” tanya Anindya penasaran.“Kamu lupa, ya, kalau kakakmu ini sarjana akuntansi?” balas Sheryl dengan wajah bangga. “Kakak akan mendapatkan pekerjaan yang bagus sehingga bisa membiayai kuliahmu sampai selesai.”Gadis berusia sembilan belas tahun itu mengangguk-angguk pelan. Dia percaya bahwa kakaknya akan bersikap setegar dirinya dalam menjalani hidup ini.Tanpa Anindya tahu, dalam kegelapan dan kesunyian malam, Sheryl sering menangis menumpahkan kesedihannya yang seolah tanpa penawar. Dunia yang runtuh dalam sekejap telah mengubah cara pandangnya terhadap segalanya.Tidak ada yang benar-benar tulus dalam hidup ini. Bahkan hubungan keluarga sekalipun. Orang-orang yang selama ini bersikap baik kepada mereka malah berbalik arah saat tahu Sheryl dan Anindya sedang berada dalam kesusahan. Mereka hanya baik disaat orang tuanya masih ada dan sedang jaya. Sekarang, hanya ada Sheryl dan Anindya yang saling menguatkan satu sama lain.Keesokan harinya, Sheryl memberanikan diri mendatangi kantor megah tempat keluarga Abraham bekerja. Dipandanginya gedung tinggi itu dengan gugup sebelum melangkah ke dalam lobi yang terasa sejuk meski cuaca di luar sedang panas terik.Dengan bermodal keyakinan dan harapan, Sheryl mengatakan bahwa dia ingin menemui Haikal Abraham yang pernah menjanjikannya uang santunan kematian orang tuanya.Saat berhadapan dengan laki-laki bermata tajam itu, Sheryl tahu bahwa dia tidak akan mendapatka tujuannya dengan mudah. Karena sosok Haikal Abraham tampak begitu keras dan kejam.“Kalau kamu ingin uang santunan kecelakaan orang tuamu dicairkan, maka kamu harus menandatangani perjanjian ini,” ujar laki-laki berbadan tegap itu pada Sheryl.“Perjanjian apa?” tanya gadis itu keheranan.Selembar kertas berisi beberapa poin kesepakatan disodorkan ke hadapan Sheryl. Gadis itu membaca tulisan yang tertera dengan cermat. Lalu saat sampai pada poin terakhir, kening Sheryl berkerut heran dan dia langsung mengajukan protes.“Apa-apaan ini!” sergahnya kesal. “Kenapa aku harus mengikuti permainan konyol ini padahal akulah yang jadi korbannya!”“Kau mau uang santunan itu, tidak?” tanya laki-laki itu dengan wajahnya yang datar.Sheryl mendesah kesal, kemudian meletakkan kertas itu dengan sedikit sentakan kasar. Ditatapnya laki-laki di hadapannya dengan sorot mata marah dan terluka.“Berhentilah mempermainkan hidup kami, Tuan Kaya Raya!” ujar Sheryl dengan suara sedikit bergetar karena amarah yang membuncah.“Kau sudah menyebabkan kedua orang tuaku meninggal dunia. Lalu sekarang saat kami menuntut santunan untuk melanjutkan hidup, kau malah mempermainkan kami!”“Siapa yang mempermainkanmu? Aku hanya memberikanmu penawaran yang seharusnya kau sambut dengan suka cita!” balas laki-laki bernama Haikal itu dengan nada yang begitu tenang.“Lalu ini apa, hah? Kenapa kau memintaku untuk bersedia menikah denganmu hanya demi uang santunan yang seharusnya menjadi hak kami?” tanya Sheryl kemudian.Kali ini air mata gadis itu meleleh tak tertahankan. Berulang kali dia mengerjapkan mata untuk mengusir kabut yang menghalangi pandangannya.“Kau akan mendapatkan keuntungan ganda jika menerima tawaranku. Pertama, kau akan menjadi istriku dan hidup dalam kemewahan. Kedua, adikmu bisa melanjutkan kuliah tanpa perlu memikirkan biaya sepeser pun. Aku akan menanggung hidup kalian berdua,” jelas Haikal pada Sheryl.Gadis itu menggeleng cepat. “Aku tidak akan menikah denganmu!”“Kalau begitu jangan berharap akan ada santunan untuk kalian!”"Uang itu hak kami! Kau seharusnya bersimpati pada dua nyawa yang telah kau renggut dan dua anak yang mendadak jadi yatim piatu!” Sheryl berteriak frustrasi di hadapan seorang Haikal Abraham. Sedangkan Haikal hanya tertawa kecil dan menatap gadis si hadapannya dengan remeh. “Jika kasus ini diusut, maka akan terlihat jelas bahwa orang tuamu yang bersalah. Apa perlu aku memperlihatkan rekaman kameranya padamu?”“Apa maksudmu?” tanya Sheryl dengan mata menyorot tidak mengerti. Ditekannya seluruh amarah di dalam dadanya. Haikal menekan remot untuk menyalakan monitor di hadapan mereka. Lalu disana terlihat jelas rekaman kecelakaan dimana Ayah Sheryl terlihat kehilangan fokus lalu mengemudi di jalur yang salah sehingga terjadilah tabrakan maut itu. " Mobil orang tuamu juga melaju dengan kencang!" sergah Sheryl."Tapi mereka ada di jalur yang benar," sanggah Haikal dengan wajah tenang dan angkuh.“Inilah alasan kenapa aku tidak menghubungimu,” ujar Haikal kemudian. “Karena kecelakaan itu
“Semua akan baik-baik saja.” Sheryl berkali-kali mengucapkan kalimat itu sebagai bentuk penguat kepada dirinya sendiri. Entah kapan keadaan akan membaik, Sheryl tidak tahu. Sekarang dia hanya perlu menjalani hidup dengan kepala tegak dan berjuang sekuat mungkin. Dia tidak sendiri, ada Anindya yang bergantung padanya sekarang. Oleh karena itu, Sheryl harus kuat demi adiknya. Anindya tetap kuliah seperti biasa dan Sheryl mencoba mencari peruntungan dengan cara mengirim lamaran kesana kemari. Sebagai lulusan dengan nilai yang cukup tinggi, seharusnya mudah bagi Sheryl mendapatkan pekerjaan. Sayangnya hidup tidak selalu berjalan mulus karena ada banyak kerumitan yang menyertai takdirnya. Dari sekian banyak tempat yang Sheryl datangi untuk melamar pekerjaan, tidak ada satu pun yang buka lowongan. Berkali-kali Sheryl di panggil tes tulis di beberapa perusahaan, tapi setelahnya tidak ada lagi kejelasan. Semuanya mengambang begitu saja bersama harapan seorang Fresh Graduate tanpa pengalam
“Percuma kuliah tinggi-tinggi, eh … ujung-ujungnya jadi pelayan kafe,” ujar Renita menyindir Sheryl. Saat ini Sheryl bekerja di sebuah kafe demi menyanbung hidup. Dia tidak mungkin terus menerus berdiam diri menunggu panggilan kerja sementara kebutuhan terus mendesak. “Iya, nih. Nggak ada bedanya sama gue yang lulusan SMA dan kerja ngelap meja,” timpal Yeni. Sheryl yang mendengarkan sindiran itu memilih untuk cuek dan menutup telinga rapat-rapat. Dia bekerja seperti ini bukan karena keinginannya sendiri, tapi karena dipaksa oleh keadaan. Setiap hari Sheryl akan mengecek email dan memeriksa apakah ada panggilan wawancara untuknya. Dia menghela napas setiap kali harapannya tidak terkabul. Sekarang yang perlu dilakukannya adalah bekerja dengan baik lalu menerima gaji. Tidak dipedulikannya sindiran dari orang-orang sirik seperti itu. “Kalian jangan ngerumpi aja, kerja yang benar sana!” seru Nata pada dua orang perempuan yang berdiri di dekat meja kasir. “Lihat Sheryl, tuh. Walaupun
“Kakak bekerja biar kamu tetap kuliah, tapi kamu malah melakukan pekerjaan seperti ini dan melupakan kewajibanmu!” teriak Sheryl lagi. Rasa marah dan kecewa bercampur menjadi satu, lalu yang tersisa hanya tangisan pilu. Untuk pertama kalinya Sheryl merasa gagal sebagai Kakak. Apa yang dilakukannya selama ini menjadi tidak berarti. Anindya tidak mengelak sama sekali. Dia ikut menangis sambil menyesali keadaan. “Aku nggak kuat hidup begini, Kak. Aku ingin seperti dulu saat Ayah dan Ibu masih ada. Aku ingin kita hidup nyaman dan makan sepuasnya!” seru Anindya kemudian. “Kalau kamu ingin mengubah hidup kita, seharusnya kamu tetap kuliah dan belajar dengan rajin! Bukannya malah bekerja jadi caddy di tempat golf begini!” “Aku ingin jadi dokter, Kak. Itu cita-citaku sejak dulu! Tapi sekarang segalanya menjadi terasa begitu sulit. Jangankan untuk membayar uang kuliahku yang jumlahnya jutaan, untuk makan saja kita harus berhemat mati-matian!” Sheryl menangkupkan tangannya ke wajah demi m
Untuk pertama kalinya Sheryl berpisah dengan Anindya setelah kedua orang tuanya meninggal. Mereka berdua tidak lagi menempati kamar kost sempit yang pengap. Sheryl dibawa oleh Haikal ke sebuah rumah mewah yang ada di kawasan elit. Sedangkan Anindya tinggal di kost barunya yang luas dan memiliki fasilitas lengkap. Sheryl mengembuskan napas berat bersamaan dengan rasa sesak di dalam dadanya. Dia merasakan sebuah kesedihan atas perpisahan itu. Tapi ketika mengingat kembali tujuannya, Sheryl langsung menepis segala rasa sendu yang hadir di dalam dadanya. "Bagaimana, kamu suka rumah ini?" tanya Haikal pada Sheryl. "Rumahmu bagus, Mas," puji Sheryl sambil tersenyum. Dia harus memperlihatkan rasa antusiasnya terhadap apa yang diberikan oleh Haikal padanya. "Rumah ini akan menjadi rumahmu juga, Sheryl. Kuharap kamu tidak merasa canggung saat berada di sini. Jika ada yang kurang, katakan saja padaku. Nanti akan kupenuhi semua permintaanmu," ujar Haikal. "Terima kasih, tapi sekarang rasany
"Boleh aku menciummu?" Haikal bertanya sambil menatap Sheryl tanpa kedip. Gadis itu tampak terkejut tapi detik berikutnya dia mengangguk malu. Haikal memegang sisi wajahnya dan memaksanya sedikit menengadah, lalu dikecupnya bibir mungil itu sejenak. Ini adalah ciuman pertama mereka sekaligus sebuah perkenalan. Jadi, Haikal tidak perlu tergesa-gesa dan dia harus melakukannya dengan lembut. Manis, wangi dan lembut. Sebuah kesan pertama yang menyenangkan Haikal dapatkan dari gadis itu. Kemudian dia mengulangi ciumannya sekali lagi. Kali ini lebih dalam dan kuat dibandingkan sebelumnya. Haikal sadar bahwa dia adalah seorang laki-laki picik yang tega menjebak gadis polos ini. Tapi sungguh, dia ingin sekali memiliki Sheryl untuk dirinya sendiri. Dia telah terpesona pada tatap sendu gadis itu. Dia jatuh cinta pada senyumnya yang tulus dan manis. Saat pertama kali melihat Sheryl di rumah sakit pasca kecelakaan tragis itu, Haikal telah bertekad untuk mendapatkan gadis ini. Ada sebuah per
Malam ini adalah malam pertama Sheryl tidur bernagi ranjang dengan laki-laki asing. Awalnya dia gugup sekali tapi saat melihat sikap Haikal yang tenang, perasaan takut itu berangsur hilang. Sheryl pikir laki-laki itu akan memaksakan kehendak dan menyentuhnya sesuka hati. Mengingat sepanjang malam tadi Haikal senang sekali melakukan kontak fisik dengannya. Berkali-kali pula bibir Sheryl menjadi sasaran laki-laki itu. Saat ini Haikal justru sedang membaca buku sambil bersandar pada headboard ranjang. Dia bilang bahwa membaca adalah kebiasaannya sebelum tidur. "Besok kita akan bertemu dengan kedua orang tuaku" ujar Haikal. "Aku akan mengenalkanmu sebagai calon istriku pada mereka.""Apa yang harus kupersiapkan?" tanya Sheryl. "Tidak ada," jawab Haikal. Sheryl mengangguk setuju sembari mengulas senyum manis. Jujur saja, Sheryl tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajahnya saat bertemu dengan kedua orang tua Haikal nanti. Mereka adalah sosok yang menyebabkan kedua orang tuanya me
"Mami tidak setuju dengan rencanamu menikahi gadis itu." Nyonya Marissa menatap putranya dengan sorot angkuh. Seolah ucapannya barusan akan memberi pengaruh begitu besar. "Oh, ya?" Haikal menatap Maminya sekilas. Dia berdecak samar, lalu kembali berkata, "Sayangnya aku tidak butuh persetujuan Mami. Jadi, simpan saja pendapat itu untuk Mami sendiri.""Kal..." Wanita paruh baya itu menatap putranya dengan sorot mata kecewa. Dia tidak menyangka kalimat pedas itu akan meluncur dari putranya. "Kamu nggak mau memikirkan Mami sedikitpun?""Kenapa aku harus memikirkan Mami disaat Mami hanya memikirkan diri sendiri?" Haikal balas bertanya dengan kalimat lebih menohok. "Mami akan menganggapmu sebagai anak durhaka yang membangkang jika tetap menikahi gadis itu," tegas Nyonya Marisa lagi. Haikal menggedikkan bahunya sekilas. "Bukannya sudah lama Mami menyematkan gelar kehormatan seperti itu untukku? Di mata Mami, aku adalah anak durhaka, pembangkang, tidak bisa diatur, pokoknya aku tuh... jaha