Share

Keputusan Besar

“Kakak bekerja biar kamu tetap kuliah, tapi kamu malah melakukan pekerjaan seperti ini dan melupakan kewajibanmu!” teriak Sheryl lagi.

Rasa marah dan kecewa bercampur menjadi satu, lalu yang tersisa hanya tangisan pilu. Untuk pertama kalinya Sheryl merasa gagal sebagai Kakak. Apa yang dilakukannya selama ini menjadi tidak berarti.

Anindya tidak mengelak sama sekali. Dia ikut menangis sambil menyesali keadaan.

“Aku nggak kuat hidup begini, Kak. Aku ingin seperti dulu saat Ayah dan Ibu masih ada. Aku ingin kita hidup nyaman dan makan sepuasnya!” seru Anindya kemudian.

“Kalau kamu ingin mengubah hidup kita, seharusnya kamu tetap kuliah dan belajar dengan rajin! Bukannya malah bekerja jadi caddy di tempat golf begini!”

“Aku ingin jadi dokter, Kak. Itu cita-citaku sejak dulu! Tapi sekarang segalanya menjadi terasa begitu sulit. Jangankan untuk membayar uang kuliahku yang jumlahnya jutaan, untuk makan saja kita harus berhemat mati-matian!”

Sheryl menangkupkan tangannya ke wajah demi menyembunyikan raut penuh tangis dan kesedihannya. Teringat lagi ucapan Haikal tadi siang yang menawarkan kehidupan sempurna untuknya.

Siang tadi Sheryl masih berpegang teguh pada keyakinannya untuk berjuang sendirian. Tapi setelah melihat betapa rapuh Anindya, keputusan itu berubah begitu cepat. Lalu perubahan itu disambut oleh tawaran Haikal yang menjanjikan sebuah dunia baru dimana mimpi Anindya dijamin akan tetap utuh.

“Maafkan kakak,” ujar Sheryl dengan suara serak. “Kakak terlalu egois sehingga lupa memikirkan perasaanmu.”

Sheryl ingin mewujudkan mimpi adiknya menjadi kenyataan. Biarlah mimpinya terkubur dalam-dalam asalkan adiknya bisa meraih apa yang selama ini dicita-citakannya. Tidak apa-apa dia berkorban asalkan masa depan adiknya tetap cemerlang dengan mimpi-mimpi yang menjadi kenyataan.

“Besok pergilah ke kampus dan belajar seperti biasa. Ujian semester tinggal sebentar lagi, kamu harus mengejar ketertinggalanmu,” ujar Sheryl pada adiknya.

Anindya menggeleng beberapa kali. “Aku akan bekerja, Kak. Terlalu berat jika aku tetap memaksakan diri meraih keinginanku disaat seperti ini.”

“Jangan pikirkan apapun selain kuliahmu. Percaya sama Kakak, semuanya akan baik-baik saja,” ujar Sheryl meyakinkan.

“Memangnya apa yang akan Kakak lakukan? Bekerja di kafe kecil itu tidak akan mengubah apapun, Kak,” sahut Anindya dengan sangsi.

“Sudah kakak bilang, jangan khawatirkan apa pun! Walau bagaimana pun kamu harus belajar dengan giat dan meraih gelar dokter!” Sheryl sedikit membentak adiknya dengan keras.

“Aku ingin sekali, Kak. Tapi tidak bisa…” balas Anindya lirih. Sungguh, dia tidak akan tega melihat kakaknya berjuang sendirian.

“Percayalah, Nin, kakak akan mewujudkan mimpimu.” Tangis Sheryl kembali pecah tak tertahankan.

Air mata Anindya ikut bercucuran bersama rasa pedih di dalam dadanya. Mimpi-mimpi yang telah dibangunnya sejak kecil sekarang seperti sebuah bayangan di dalam kabut tipis. Terasa nyata, namun terlihat begitu susah untuk digapai.

Anindya sadar bahwa sekarang hidupnya sudah berubah. Tidak ada lagi orang tua yang menjadi tempat bergantungnya. Satu-satunya harapan akan masa depannya terletak di pundak Sheryl yang memintanya untuk percaya.

“Kali ini, percayalah sama kakak. Demi ayah dan ibu yang sudah tenang di sana, kamu harus tetap kuliah agar tidak ada kekecewaan yang membelit kita di masa depan,” ujar Sheryl kemudian.

“Baik, Kak. Aku akan kembali kuliah,” sahut Anindya dengan pasrah.

Malam itu mereka kembali menata hati dan saling mempercayai satu sama lain. Mereka hanyalah dua saudara yang tidak lagi memiliki siapa-siapa untuk mengadu. Keduanya sama-sama rapuh, tapi mereka menolak untuk membiarkan dunia runtuh.

Sheryl kemudian mengambil sebuah kartu nama, lalu menghubungi kontak yang tertera di sana. Hanya sebaris pesan singkat yang kemudian disambut oleh sebuah panggilan suara. Sheryl berbicara dengan laki-laki di seberang sana dan mengatakan kesediaannya.

Sheryl telah mengatur strategi sebelum masuk ke dalam sebuah dunia baru yang ditawarkan oleh laki-laki asing. Di dalam kepalanya tersusun berbagai rencana dalam menjalani hidup ke depannya.

Beberapa hari kemudian, Sheryl membawa Anindya untuk bertemu dengan Haikal. Mereka telah sepakat untuk memulai hari baru dengan rencana yang baru. Anindya tahu bahwa Sheryl bersedia melemparkan diri pada laki-laki asing untuk menjaga agar hidup mereka baik-baik saja. Tidak banyak yang dilakukan Anindya selain mengikuti kemauan kakaknya.

“Bukankah itu laki-laki yang datang waktu Ayah dan Ibu meninggal?” bisik Anindya saat melihat sosok Haikal yang kini berjalan menuju meja mereka.

Saat ini mereka sedang duduk di sebuah restoran karena Haikal bilang akan ada hal penting untuk dibahas. Sheryl sengaja mengajak Anindya ikut dengannya supaya tahu siapa laki-laki yang akan menjadi calon suaminya.

Sheryl mengangguk, “Benar. Dia adalah anak dari orang yang menabrak ayah dan Ibu.”

“Apa dia datang untuk memberikan kita uang santunan seperti janjinya?” tanya Anindya lagi.

Sheryl menghela napas dalam, kemudian menjawab dengan pelan. “Dialah orang yang mengajak kakak menikah.”

“Apa?” Anindya terperanjat kaget sambil menatap kakaknya dengan sedikit melotot.

Sheryl mengangguk samar. Dia tahu bahwa kabar ini akan mengejutkan Anindya, tapi dia telah mewanti-wantu bahwa Anindya tidak boleh protes apalagi mengacaukan rencananya.

“Dia cukup ganteng, ‘kan?” bisik Sheryl saat Haikal semakin dekat.

Anindya mengangguk pelan. Sementara itu Haikal melempar senyum hangat dan menarik kursi di seberang meja mereka.

“Kalian sudah lama menunggu?” tanya Haikal ramah.

Kedua gadis itu menggeleng serempak. Kemudian Sheryl memperkenalkan adiknya pada sosok laki-laki yang akan menjadi suaminya itu. Haikal tersenyum ramah dan menampilkan wajah bersahabar.

Mereka berbicara dengan santai sambil menikmati makanan yang tersedia. Setelah selesai menyantap hidangan utama, barulah Haikal menyampaikan maksudnya.

“Aku ingin menikahi kakakmu, Anin. Maukah kau menerimaku sebagai kakak iparmu dan memberi restu pada kami?” tanya Haikal dengan wajah yang begitu manis

Anindya menatap Sheryl sekilas, raut wajah kakaknya tampak tegang. Kemudian dalam beberapa detik, Anindya menjawab dengan sebuah anggukan pelan.

“Berjanjilah untuk menjaga kakakku dengan baik karena dia satu-satunya milikku di dunia ini,” ujar Anindya.

“Pasti,” jawab Haikal cepat. “Aku pasti akan menjaga kalian berdua dengan baik.”

Anindya mengangguk senang sambil terus memperhatikan raut wajah kakaknya. Dia yakin kakaknya tidak sembarangan memilih laki-laki, oleh karena itulah Anindya segera memberi restu.

“Setelah ini kita akan mencari kost baru untuk Anin,” ujar Haikal. “Calon dokter hebat di masa depan tidak bisa tinggal di tempat pengap dan sempit begitu.”

“Memangnya aku akan ngekost dimana?” tanya Anindya penasaran.

“Ada banyak kost yang layak di dekat kampusmu. Silakan pilih mana yang kamu suka,” ujar Haikal sambil menyerahkan beberapa situs iklan yang menampilkan kost eksklusif.

“Ini kost mahal semua,” ujar Anindya ragu-ragu.

“Harga mahal itu sebanding dengan fasilitas dan kenyamanannya, Nin. Kamu harus fokus belajar tanpa terganggu oleh kebisingan tetangga kost,” ujar Haikal.

Anindya menoleh ke arah Sheryl dan meminta pendapat kakaknya. Tapi Sheryl menyerahkan keputusan pada adiknya.

“Kamu yang akan menempati, jadi pilih saja sesuai seleramu,” ujar Sheryl pelan.

Setelah menentukan pilihannya, akhirnya Anindya memindahkan barang-barang ke kost baru. Kamar yang terletak di lantai dua itu cukup luas dan memiliki fasilitas lengkap. Mulai dari lemari sampai AC.

Sementara itu Sheryl mempertanyakan kepada Haikal kenapa dia tidak mengizinkan Anindya tinggal bersama mereka saja.

“Kenapa Anindya harus ngekost sendiri? Padahal dia bisa tinggal bersama kita,” ujar Sheryl.

“Aku tidak mau seatap dengan ipar perempuan,” ujar Haikal memberi alasan.

“Tapi dia adikku satu-satunya, Mas. Seharusnya dia tetap tinggal bersamaku.”

“Aku memilih tempat yang bagus dan layak untuk adikmu, jadi kamu tidak perlu risau. Kalau ngekost sendiri, Anindya bisa fokus belajar tanpa perlu terganggu oleh apa pun.”

“Aku khawatir dia akan kesulitan tinggal sendiri,” gumam Sheryl pelan.

“Adikmu sudah berusia sembilan belas tahun, dia cukup dewasa untuk melakukan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri. Jangan terus menerus menganggap adikmu seperti bocah,” balas Haikal.

“Nanti Anindya boleh datang berkunjung, ‘kan, Mas?”

“Tentu saja, kenapa tidak?”

Kelegaan menyapa hati Sheryl saat Haikal berjanji demikian. Rasanya sekarang tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkannya. Sheryl hanya perlu bersandiwara di hadapan laki-laki ini demi meraih tujuannya.

“Aku akan memberikan apa saja keinginanmu, tapi kamu harus menjadi milikku. Itu artinya, hanya ada aku sebagai satu-satunya laki-laki yang ada di dalam hidupmu. Kamu juga harus mencintaiku dan tidak boleh berpaling dariku,” ucap Haikal kemudian.

“Baik, Mas,” jawab Sheryl dengan patuh.

“Bagus. Aku suka gadis penurut,” balas Haikal. Dia meraih wajah Sheryl dan mendaratkan sebuah ciuman, tapi Sheryl segera menoleh hingga bibir Haikal hanya mendarat di sudut bibirnya saja.

“Masih malu-malu, ya,” bisik Haikal dengan senyum menggoda.

Sheryl hanya mengulas senyum palsu. Orang tua Haikal adalah penyebab kematian ayah dan Ibunya melalui kecelakaan tragis. Lalu Haikal menekan dan menjebaknya masuk ke dalam sebuah pernikahan yang tidak diinginkannya. Lantas, bagaimana caranya Sheryl bisa mencintai sosok yang menorehkan luka begitu dalam?

Luka dan rahasia itu disimpan oleh Sheryl seorang diri. Saat ini dia tampil sebagai sosok perempuan yang menerima Haikal dan terlihat begitu mudah untuk didapatkan.

“Katakan sesuatu, Sheryl…”

“I Love You, Mas…”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status