“Kakak bekerja biar kamu tetap kuliah, tapi kamu malah melakukan pekerjaan seperti ini dan melupakan kewajibanmu!” teriak Sheryl lagi.
Rasa marah dan kecewa bercampur menjadi satu, lalu yang tersisa hanya tangisan pilu. Untuk pertama kalinya Sheryl merasa gagal sebagai Kakak. Apa yang dilakukannya selama ini menjadi tidak berarti.Anindya tidak mengelak sama sekali. Dia ikut menangis sambil menyesali keadaan.“Aku nggak kuat hidup begini, Kak. Aku ingin seperti dulu saat Ayah dan Ibu masih ada. Aku ingin kita hidup nyaman dan makan sepuasnya!” seru Anindya kemudian.“Kalau kamu ingin mengubah hidup kita, seharusnya kamu tetap kuliah dan belajar dengan rajin! Bukannya malah bekerja jadi caddy di tempat golf begini!”“Aku ingin jadi dokter, Kak. Itu cita-citaku sejak dulu! Tapi sekarang segalanya menjadi terasa begitu sulit. Jangankan untuk membayar uang kuliahku yang jumlahnya jutaan, untuk makan saja kita harus berhemat mati-matian!”Sheryl menangkupkan tangannya ke wajah demi menyembunyikan raut penuh tangis dan kesedihannya. Teringat lagi ucapan Haikal tadi siang yang menawarkan kehidupan sempurna untuknya.Siang tadi Sheryl masih berpegang teguh pada keyakinannya untuk berjuang sendirian. Tapi setelah melihat betapa rapuh Anindya, keputusan itu berubah begitu cepat. Lalu perubahan itu disambut oleh tawaran Haikal yang menjanjikan sebuah dunia baru dimana mimpi Anindya dijamin akan tetap utuh.“Maafkan kakak,” ujar Sheryl dengan suara serak. “Kakak terlalu egois sehingga lupa memikirkan perasaanmu.”Sheryl ingin mewujudkan mimpi adiknya menjadi kenyataan. Biarlah mimpinya terkubur dalam-dalam asalkan adiknya bisa meraih apa yang selama ini dicita-citakannya. Tidak apa-apa dia berkorban asalkan masa depan adiknya tetap cemerlang dengan mimpi-mimpi yang menjadi kenyataan.“Besok pergilah ke kampus dan belajar seperti biasa. Ujian semester tinggal sebentar lagi, kamu harus mengejar ketertinggalanmu,” ujar Sheryl pada adiknya.Anindya menggeleng beberapa kali. “Aku akan bekerja, Kak. Terlalu berat jika aku tetap memaksakan diri meraih keinginanku disaat seperti ini.”“Jangan pikirkan apapun selain kuliahmu. Percaya sama Kakak, semuanya akan baik-baik saja,” ujar Sheryl meyakinkan.“Memangnya apa yang akan Kakak lakukan? Bekerja di kafe kecil itu tidak akan mengubah apapun, Kak,” sahut Anindya dengan sangsi.“Sudah kakak bilang, jangan khawatirkan apa pun! Walau bagaimana pun kamu harus belajar dengan giat dan meraih gelar dokter!” Sheryl sedikit membentak adiknya dengan keras.“Aku ingin sekali, Kak. Tapi tidak bisa…” balas Anindya lirih. Sungguh, dia tidak akan tega melihat kakaknya berjuang sendirian.“Percayalah, Nin, kakak akan mewujudkan mimpimu.” Tangis Sheryl kembali pecah tak tertahankan.Air mata Anindya ikut bercucuran bersama rasa pedih di dalam dadanya. Mimpi-mimpi yang telah dibangunnya sejak kecil sekarang seperti sebuah bayangan di dalam kabut tipis. Terasa nyata, namun terlihat begitu susah untuk digapai.Anindya sadar bahwa sekarang hidupnya sudah berubah. Tidak ada lagi orang tua yang menjadi tempat bergantungnya. Satu-satunya harapan akan masa depannya terletak di pundak Sheryl yang memintanya untuk percaya.“Kali ini, percayalah sama kakak. Demi ayah dan ibu yang sudah tenang di sana, kamu harus tetap kuliah agar tidak ada kekecewaan yang membelit kita di masa depan,” ujar Sheryl kemudian.“Baik, Kak. Aku akan kembali kuliah,” sahut Anindya dengan pasrah.Malam itu mereka kembali menata hati dan saling mempercayai satu sama lain. Mereka hanyalah dua saudara yang tidak lagi memiliki siapa-siapa untuk mengadu. Keduanya sama-sama rapuh, tapi mereka menolak untuk membiarkan dunia runtuh.Sheryl kemudian mengambil sebuah kartu nama, lalu menghubungi kontak yang tertera di sana. Hanya sebaris pesan singkat yang kemudian disambut oleh sebuah panggilan suara. Sheryl berbicara dengan laki-laki di seberang sana dan mengatakan kesediaannya.Sheryl telah mengatur strategi sebelum masuk ke dalam sebuah dunia baru yang ditawarkan oleh laki-laki asing. Di dalam kepalanya tersusun berbagai rencana dalam menjalani hidup ke depannya.Beberapa hari kemudian, Sheryl membawa Anindya untuk bertemu dengan Haikal. Mereka telah sepakat untuk memulai hari baru dengan rencana yang baru. Anindya tahu bahwa Sheryl bersedia melemparkan diri pada laki-laki asing untuk menjaga agar hidup mereka baik-baik saja. Tidak banyak yang dilakukan Anindya selain mengikuti kemauan kakaknya.“Bukankah itu laki-laki yang datang waktu Ayah dan Ibu meninggal?” bisik Anindya saat melihat sosok Haikal yang kini berjalan menuju meja mereka.Saat ini mereka sedang duduk di sebuah restoran karena Haikal bilang akan ada hal penting untuk dibahas. Sheryl sengaja mengajak Anindya ikut dengannya supaya tahu siapa laki-laki yang akan menjadi calon suaminya.Sheryl mengangguk, “Benar. Dia adalah anak dari orang yang menabrak ayah dan Ibu.”“Apa dia datang untuk memberikan kita uang santunan seperti janjinya?” tanya Anindya lagi.Sheryl menghela napas dalam, kemudian menjawab dengan pelan. “Dialah orang yang mengajak kakak menikah.”“Apa?” Anindya terperanjat kaget sambil menatap kakaknya dengan sedikit melotot.Sheryl mengangguk samar. Dia tahu bahwa kabar ini akan mengejutkan Anindya, tapi dia telah mewanti-wantu bahwa Anindya tidak boleh protes apalagi mengacaukan rencananya.“Dia cukup ganteng, ‘kan?” bisik Sheryl saat Haikal semakin dekat.Anindya mengangguk pelan. Sementara itu Haikal melempar senyum hangat dan menarik kursi di seberang meja mereka.“Kalian sudah lama menunggu?” tanya Haikal ramah.Kedua gadis itu menggeleng serempak. Kemudian Sheryl memperkenalkan adiknya pada sosok laki-laki yang akan menjadi suaminya itu. Haikal tersenyum ramah dan menampilkan wajah bersahabar.Mereka berbicara dengan santai sambil menikmati makanan yang tersedia. Setelah selesai menyantap hidangan utama, barulah Haikal menyampaikan maksudnya.“Aku ingin menikahi kakakmu, Anin. Maukah kau menerimaku sebagai kakak iparmu dan memberi restu pada kami?” tanya Haikal dengan wajah yang begitu manisAnindya menatap Sheryl sekilas, raut wajah kakaknya tampak tegang. Kemudian dalam beberapa detik, Anindya menjawab dengan sebuah anggukan pelan.“Berjanjilah untuk menjaga kakakku dengan baik karena dia satu-satunya milikku di dunia ini,” ujar Anindya.“Pasti,” jawab Haikal cepat. “Aku pasti akan menjaga kalian berdua dengan baik.”Anindya mengangguk senang sambil terus memperhatikan raut wajah kakaknya. Dia yakin kakaknya tidak sembarangan memilih laki-laki, oleh karena itulah Anindya segera memberi restu.“Setelah ini kita akan mencari kost baru untuk Anin,” ujar Haikal. “Calon dokter hebat di masa depan tidak bisa tinggal di tempat pengap dan sempit begitu.”“Memangnya aku akan ngekost dimana?” tanya Anindya penasaran.“Ada banyak kost yang layak di dekat kampusmu. Silakan pilih mana yang kamu suka,” ujar Haikal sambil menyerahkan beberapa situs iklan yang menampilkan kost eksklusif.“Ini kost mahal semua,” ujar Anindya ragu-ragu.“Harga mahal itu sebanding dengan fasilitas dan kenyamanannya, Nin. Kamu harus fokus belajar tanpa terganggu oleh kebisingan tetangga kost,” ujar Haikal.Anindya menoleh ke arah Sheryl dan meminta pendapat kakaknya. Tapi Sheryl menyerahkan keputusan pada adiknya.“Kamu yang akan menempati, jadi pilih saja sesuai seleramu,” ujar Sheryl pelan.Setelah menentukan pilihannya, akhirnya Anindya memindahkan barang-barang ke kost baru. Kamar yang terletak di lantai dua itu cukup luas dan memiliki fasilitas lengkap. Mulai dari lemari sampai AC.Sementara itu Sheryl mempertanyakan kepada Haikal kenapa dia tidak mengizinkan Anindya tinggal bersama mereka saja.“Kenapa Anindya harus ngekost sendiri? Padahal dia bisa tinggal bersama kita,” ujar Sheryl.“Aku tidak mau seatap dengan ipar perempuan,” ujar Haikal memberi alasan.“Tapi dia adikku satu-satunya, Mas. Seharusnya dia tetap tinggal bersamaku.”“Aku memilih tempat yang bagus dan layak untuk adikmu, jadi kamu tidak perlu risau. Kalau ngekost sendiri, Anindya bisa fokus belajar tanpa perlu terganggu oleh apa pun.”“Aku khawatir dia akan kesulitan tinggal sendiri,” gumam Sheryl pelan.“Adikmu sudah berusia sembilan belas tahun, dia cukup dewasa untuk melakukan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri. Jangan terus menerus menganggap adikmu seperti bocah,” balas Haikal.“Nanti Anindya boleh datang berkunjung, ‘kan, Mas?”“Tentu saja, kenapa tidak?”Kelegaan menyapa hati Sheryl saat Haikal berjanji demikian. Rasanya sekarang tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkannya. Sheryl hanya perlu bersandiwara di hadapan laki-laki ini demi meraih tujuannya.“Aku akan memberikan apa saja keinginanmu, tapi kamu harus menjadi milikku. Itu artinya, hanya ada aku sebagai satu-satunya laki-laki yang ada di dalam hidupmu. Kamu juga harus mencintaiku dan tidak boleh berpaling dariku,” ucap Haikal kemudian.“Baik, Mas,” jawab Sheryl dengan patuh.“Bagus. Aku suka gadis penurut,” balas Haikal. Dia meraih wajah Sheryl dan mendaratkan sebuah ciuman, tapi Sheryl segera menoleh hingga bibir Haikal hanya mendarat di sudut bibirnya saja.“Masih malu-malu, ya,” bisik Haikal dengan senyum menggoda.Sheryl hanya mengulas senyum palsu. Orang tua Haikal adalah penyebab kematian ayah dan Ibunya melalui kecelakaan tragis. Lalu Haikal menekan dan menjebaknya masuk ke dalam sebuah pernikahan yang tidak diinginkannya. Lantas, bagaimana caranya Sheryl bisa mencintai sosok yang menorehkan luka begitu dalam?Luka dan rahasia itu disimpan oleh Sheryl seorang diri. Saat ini dia tampil sebagai sosok perempuan yang menerima Haikal dan terlihat begitu mudah untuk didapatkan.“Katakan sesuatu, Sheryl…”“I Love You, Mas…”Untuk pertama kalinya Sheryl berpisah dengan Anindya setelah kedua orang tuanya meninggal. Mereka berdua tidak lagi menempati kamar kost sempit yang pengap. Sheryl dibawa oleh Haikal ke sebuah rumah mewah yang ada di kawasan elit. Sedangkan Anindya tinggal di kost barunya yang luas dan memiliki fasilitas lengkap. Sheryl mengembuskan napas berat bersamaan dengan rasa sesak di dalam dadanya. Dia merasakan sebuah kesedihan atas perpisahan itu. Tapi ketika mengingat kembali tujuannya, Sheryl langsung menepis segala rasa sendu yang hadir di dalam dadanya. "Bagaimana, kamu suka rumah ini?" tanya Haikal pada Sheryl. "Rumahmu bagus, Mas," puji Sheryl sambil tersenyum. Dia harus memperlihatkan rasa antusiasnya terhadap apa yang diberikan oleh Haikal padanya. "Rumah ini akan menjadi rumahmu juga, Sheryl. Kuharap kamu tidak merasa canggung saat berada di sini. Jika ada yang kurang, katakan saja padaku. Nanti akan kupenuhi semua permintaanmu," ujar Haikal. "Terima kasih, tapi sekarang rasany
"Boleh aku menciummu?" Haikal bertanya sambil menatap Sheryl tanpa kedip. Gadis itu tampak terkejut tapi detik berikutnya dia mengangguk malu. Haikal memegang sisi wajahnya dan memaksanya sedikit menengadah, lalu dikecupnya bibir mungil itu sejenak. Ini adalah ciuman pertama mereka sekaligus sebuah perkenalan. Jadi, Haikal tidak perlu tergesa-gesa dan dia harus melakukannya dengan lembut. Manis, wangi dan lembut. Sebuah kesan pertama yang menyenangkan Haikal dapatkan dari gadis itu. Kemudian dia mengulangi ciumannya sekali lagi. Kali ini lebih dalam dan kuat dibandingkan sebelumnya. Haikal sadar bahwa dia adalah seorang laki-laki picik yang tega menjebak gadis polos ini. Tapi sungguh, dia ingin sekali memiliki Sheryl untuk dirinya sendiri. Dia telah terpesona pada tatap sendu gadis itu. Dia jatuh cinta pada senyumnya yang tulus dan manis. Saat pertama kali melihat Sheryl di rumah sakit pasca kecelakaan tragis itu, Haikal telah bertekad untuk mendapatkan gadis ini. Ada sebuah per
Malam ini adalah malam pertama Sheryl tidur bernagi ranjang dengan laki-laki asing. Awalnya dia gugup sekali tapi saat melihat sikap Haikal yang tenang, perasaan takut itu berangsur hilang. Sheryl pikir laki-laki itu akan memaksakan kehendak dan menyentuhnya sesuka hati. Mengingat sepanjang malam tadi Haikal senang sekali melakukan kontak fisik dengannya. Berkali-kali pula bibir Sheryl menjadi sasaran laki-laki itu. Saat ini Haikal justru sedang membaca buku sambil bersandar pada headboard ranjang. Dia bilang bahwa membaca adalah kebiasaannya sebelum tidur. "Besok kita akan bertemu dengan kedua orang tuaku" ujar Haikal. "Aku akan mengenalkanmu sebagai calon istriku pada mereka.""Apa yang harus kupersiapkan?" tanya Sheryl. "Tidak ada," jawab Haikal. Sheryl mengangguk setuju sembari mengulas senyum manis. Jujur saja, Sheryl tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajahnya saat bertemu dengan kedua orang tua Haikal nanti. Mereka adalah sosok yang menyebabkan kedua orang tuanya me
"Mami tidak setuju dengan rencanamu menikahi gadis itu." Nyonya Marissa menatap putranya dengan sorot angkuh. Seolah ucapannya barusan akan memberi pengaruh begitu besar. "Oh, ya?" Haikal menatap Maminya sekilas. Dia berdecak samar, lalu kembali berkata, "Sayangnya aku tidak butuh persetujuan Mami. Jadi, simpan saja pendapat itu untuk Mami sendiri.""Kal..." Wanita paruh baya itu menatap putranya dengan sorot mata kecewa. Dia tidak menyangka kalimat pedas itu akan meluncur dari putranya. "Kamu nggak mau memikirkan Mami sedikitpun?""Kenapa aku harus memikirkan Mami disaat Mami hanya memikirkan diri sendiri?" Haikal balas bertanya dengan kalimat lebih menohok. "Mami akan menganggapmu sebagai anak durhaka yang membangkang jika tetap menikahi gadis itu," tegas Nyonya Marisa lagi. Haikal menggedikkan bahunya sekilas. "Bukannya sudah lama Mami menyematkan gelar kehormatan seperti itu untukku? Di mata Mami, aku adalah anak durhaka, pembangkang, tidak bisa diatur, pokoknya aku tuh... jaha
"Kalian berdua harus keluar dari rumah ini karena sebentar lagi pembelinya akan datang!” ujar laki-laki berkumis tebal itu. Dua orang gadis yatim piatu itu hanya menatap sedih dan tidak berdaya sama sekali. Paman dari pihak ayah yang seharusnya berperan sebagai wali mereka justru tega mengusir tanpa perasaan. Padahal tanah kuburan kedua orang tua mereka masih basah. “Kenapa harus dijual, Pakde?” tanya Sheryl dengan suara sengau. “Ini adalah rumah yang kami tempati sejak kecil.”“Asal kalian tahu, ya. Rumah ini adalah warisan yang harus kami bagi sama rata,” ujar Pak Slamet kemudian. “Sudah terlalu lama kami bersabar karena Mas Thoriq selalu menolak setiap kali kami hendak menjual rumah ini.”“Lalu bagaimana dengan kami, Paklek? Dimana kami akan tinggal kalau rumah ini dijual?” tanya Sheryl dengan mengiba. Adik ayahnya itu menggeleng tegas. “Itu bukan urusan kami. Lagi pula kalian berdua sudah dewasa dan bisa memikirkan hidup sendiri.”“Apa enggak kasihan sama kami?” tanya Anindya m
"Uang itu hak kami! Kau seharusnya bersimpati pada dua nyawa yang telah kau renggut dan dua anak yang mendadak jadi yatim piatu!” Sheryl berteriak frustrasi di hadapan seorang Haikal Abraham. Sedangkan Haikal hanya tertawa kecil dan menatap gadis si hadapannya dengan remeh. “Jika kasus ini diusut, maka akan terlihat jelas bahwa orang tuamu yang bersalah. Apa perlu aku memperlihatkan rekaman kameranya padamu?”“Apa maksudmu?” tanya Sheryl dengan mata menyorot tidak mengerti. Ditekannya seluruh amarah di dalam dadanya. Haikal menekan remot untuk menyalakan monitor di hadapan mereka. Lalu disana terlihat jelas rekaman kecelakaan dimana Ayah Sheryl terlihat kehilangan fokus lalu mengemudi di jalur yang salah sehingga terjadilah tabrakan maut itu. " Mobil orang tuamu juga melaju dengan kencang!" sergah Sheryl."Tapi mereka ada di jalur yang benar," sanggah Haikal dengan wajah tenang dan angkuh.“Inilah alasan kenapa aku tidak menghubungimu,” ujar Haikal kemudian. “Karena kecelakaan itu
“Semua akan baik-baik saja.” Sheryl berkali-kali mengucapkan kalimat itu sebagai bentuk penguat kepada dirinya sendiri. Entah kapan keadaan akan membaik, Sheryl tidak tahu. Sekarang dia hanya perlu menjalani hidup dengan kepala tegak dan berjuang sekuat mungkin. Dia tidak sendiri, ada Anindya yang bergantung padanya sekarang. Oleh karena itu, Sheryl harus kuat demi adiknya. Anindya tetap kuliah seperti biasa dan Sheryl mencoba mencari peruntungan dengan cara mengirim lamaran kesana kemari. Sebagai lulusan dengan nilai yang cukup tinggi, seharusnya mudah bagi Sheryl mendapatkan pekerjaan. Sayangnya hidup tidak selalu berjalan mulus karena ada banyak kerumitan yang menyertai takdirnya. Dari sekian banyak tempat yang Sheryl datangi untuk melamar pekerjaan, tidak ada satu pun yang buka lowongan. Berkali-kali Sheryl di panggil tes tulis di beberapa perusahaan, tapi setelahnya tidak ada lagi kejelasan. Semuanya mengambang begitu saja bersama harapan seorang Fresh Graduate tanpa pengalam
“Percuma kuliah tinggi-tinggi, eh … ujung-ujungnya jadi pelayan kafe,” ujar Renita menyindir Sheryl. Saat ini Sheryl bekerja di sebuah kafe demi menyanbung hidup. Dia tidak mungkin terus menerus berdiam diri menunggu panggilan kerja sementara kebutuhan terus mendesak. “Iya, nih. Nggak ada bedanya sama gue yang lulusan SMA dan kerja ngelap meja,” timpal Yeni. Sheryl yang mendengarkan sindiran itu memilih untuk cuek dan menutup telinga rapat-rapat. Dia bekerja seperti ini bukan karena keinginannya sendiri, tapi karena dipaksa oleh keadaan. Setiap hari Sheryl akan mengecek email dan memeriksa apakah ada panggilan wawancara untuknya. Dia menghela napas setiap kali harapannya tidak terkabul. Sekarang yang perlu dilakukannya adalah bekerja dengan baik lalu menerima gaji. Tidak dipedulikannya sindiran dari orang-orang sirik seperti itu. “Kalian jangan ngerumpi aja, kerja yang benar sana!” seru Nata pada dua orang perempuan yang berdiri di dekat meja kasir. “Lihat Sheryl, tuh. Walaupun
"Mami tidak setuju dengan rencanamu menikahi gadis itu." Nyonya Marissa menatap putranya dengan sorot angkuh. Seolah ucapannya barusan akan memberi pengaruh begitu besar. "Oh, ya?" Haikal menatap Maminya sekilas. Dia berdecak samar, lalu kembali berkata, "Sayangnya aku tidak butuh persetujuan Mami. Jadi, simpan saja pendapat itu untuk Mami sendiri.""Kal..." Wanita paruh baya itu menatap putranya dengan sorot mata kecewa. Dia tidak menyangka kalimat pedas itu akan meluncur dari putranya. "Kamu nggak mau memikirkan Mami sedikitpun?""Kenapa aku harus memikirkan Mami disaat Mami hanya memikirkan diri sendiri?" Haikal balas bertanya dengan kalimat lebih menohok. "Mami akan menganggapmu sebagai anak durhaka yang membangkang jika tetap menikahi gadis itu," tegas Nyonya Marisa lagi. Haikal menggedikkan bahunya sekilas. "Bukannya sudah lama Mami menyematkan gelar kehormatan seperti itu untukku? Di mata Mami, aku adalah anak durhaka, pembangkang, tidak bisa diatur, pokoknya aku tuh... jaha
Malam ini adalah malam pertama Sheryl tidur bernagi ranjang dengan laki-laki asing. Awalnya dia gugup sekali tapi saat melihat sikap Haikal yang tenang, perasaan takut itu berangsur hilang. Sheryl pikir laki-laki itu akan memaksakan kehendak dan menyentuhnya sesuka hati. Mengingat sepanjang malam tadi Haikal senang sekali melakukan kontak fisik dengannya. Berkali-kali pula bibir Sheryl menjadi sasaran laki-laki itu. Saat ini Haikal justru sedang membaca buku sambil bersandar pada headboard ranjang. Dia bilang bahwa membaca adalah kebiasaannya sebelum tidur. "Besok kita akan bertemu dengan kedua orang tuaku" ujar Haikal. "Aku akan mengenalkanmu sebagai calon istriku pada mereka.""Apa yang harus kupersiapkan?" tanya Sheryl. "Tidak ada," jawab Haikal. Sheryl mengangguk setuju sembari mengulas senyum manis. Jujur saja, Sheryl tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajahnya saat bertemu dengan kedua orang tua Haikal nanti. Mereka adalah sosok yang menyebabkan kedua orang tuanya me
"Boleh aku menciummu?" Haikal bertanya sambil menatap Sheryl tanpa kedip. Gadis itu tampak terkejut tapi detik berikutnya dia mengangguk malu. Haikal memegang sisi wajahnya dan memaksanya sedikit menengadah, lalu dikecupnya bibir mungil itu sejenak. Ini adalah ciuman pertama mereka sekaligus sebuah perkenalan. Jadi, Haikal tidak perlu tergesa-gesa dan dia harus melakukannya dengan lembut. Manis, wangi dan lembut. Sebuah kesan pertama yang menyenangkan Haikal dapatkan dari gadis itu. Kemudian dia mengulangi ciumannya sekali lagi. Kali ini lebih dalam dan kuat dibandingkan sebelumnya. Haikal sadar bahwa dia adalah seorang laki-laki picik yang tega menjebak gadis polos ini. Tapi sungguh, dia ingin sekali memiliki Sheryl untuk dirinya sendiri. Dia telah terpesona pada tatap sendu gadis itu. Dia jatuh cinta pada senyumnya yang tulus dan manis. Saat pertama kali melihat Sheryl di rumah sakit pasca kecelakaan tragis itu, Haikal telah bertekad untuk mendapatkan gadis ini. Ada sebuah per
Untuk pertama kalinya Sheryl berpisah dengan Anindya setelah kedua orang tuanya meninggal. Mereka berdua tidak lagi menempati kamar kost sempit yang pengap. Sheryl dibawa oleh Haikal ke sebuah rumah mewah yang ada di kawasan elit. Sedangkan Anindya tinggal di kost barunya yang luas dan memiliki fasilitas lengkap. Sheryl mengembuskan napas berat bersamaan dengan rasa sesak di dalam dadanya. Dia merasakan sebuah kesedihan atas perpisahan itu. Tapi ketika mengingat kembali tujuannya, Sheryl langsung menepis segala rasa sendu yang hadir di dalam dadanya. "Bagaimana, kamu suka rumah ini?" tanya Haikal pada Sheryl. "Rumahmu bagus, Mas," puji Sheryl sambil tersenyum. Dia harus memperlihatkan rasa antusiasnya terhadap apa yang diberikan oleh Haikal padanya. "Rumah ini akan menjadi rumahmu juga, Sheryl. Kuharap kamu tidak merasa canggung saat berada di sini. Jika ada yang kurang, katakan saja padaku. Nanti akan kupenuhi semua permintaanmu," ujar Haikal. "Terima kasih, tapi sekarang rasany
“Kakak bekerja biar kamu tetap kuliah, tapi kamu malah melakukan pekerjaan seperti ini dan melupakan kewajibanmu!” teriak Sheryl lagi. Rasa marah dan kecewa bercampur menjadi satu, lalu yang tersisa hanya tangisan pilu. Untuk pertama kalinya Sheryl merasa gagal sebagai Kakak. Apa yang dilakukannya selama ini menjadi tidak berarti. Anindya tidak mengelak sama sekali. Dia ikut menangis sambil menyesali keadaan. “Aku nggak kuat hidup begini, Kak. Aku ingin seperti dulu saat Ayah dan Ibu masih ada. Aku ingin kita hidup nyaman dan makan sepuasnya!” seru Anindya kemudian. “Kalau kamu ingin mengubah hidup kita, seharusnya kamu tetap kuliah dan belajar dengan rajin! Bukannya malah bekerja jadi caddy di tempat golf begini!” “Aku ingin jadi dokter, Kak. Itu cita-citaku sejak dulu! Tapi sekarang segalanya menjadi terasa begitu sulit. Jangankan untuk membayar uang kuliahku yang jumlahnya jutaan, untuk makan saja kita harus berhemat mati-matian!” Sheryl menangkupkan tangannya ke wajah demi m
“Percuma kuliah tinggi-tinggi, eh … ujung-ujungnya jadi pelayan kafe,” ujar Renita menyindir Sheryl. Saat ini Sheryl bekerja di sebuah kafe demi menyanbung hidup. Dia tidak mungkin terus menerus berdiam diri menunggu panggilan kerja sementara kebutuhan terus mendesak. “Iya, nih. Nggak ada bedanya sama gue yang lulusan SMA dan kerja ngelap meja,” timpal Yeni. Sheryl yang mendengarkan sindiran itu memilih untuk cuek dan menutup telinga rapat-rapat. Dia bekerja seperti ini bukan karena keinginannya sendiri, tapi karena dipaksa oleh keadaan. Setiap hari Sheryl akan mengecek email dan memeriksa apakah ada panggilan wawancara untuknya. Dia menghela napas setiap kali harapannya tidak terkabul. Sekarang yang perlu dilakukannya adalah bekerja dengan baik lalu menerima gaji. Tidak dipedulikannya sindiran dari orang-orang sirik seperti itu. “Kalian jangan ngerumpi aja, kerja yang benar sana!” seru Nata pada dua orang perempuan yang berdiri di dekat meja kasir. “Lihat Sheryl, tuh. Walaupun
“Semua akan baik-baik saja.” Sheryl berkali-kali mengucapkan kalimat itu sebagai bentuk penguat kepada dirinya sendiri. Entah kapan keadaan akan membaik, Sheryl tidak tahu. Sekarang dia hanya perlu menjalani hidup dengan kepala tegak dan berjuang sekuat mungkin. Dia tidak sendiri, ada Anindya yang bergantung padanya sekarang. Oleh karena itu, Sheryl harus kuat demi adiknya. Anindya tetap kuliah seperti biasa dan Sheryl mencoba mencari peruntungan dengan cara mengirim lamaran kesana kemari. Sebagai lulusan dengan nilai yang cukup tinggi, seharusnya mudah bagi Sheryl mendapatkan pekerjaan. Sayangnya hidup tidak selalu berjalan mulus karena ada banyak kerumitan yang menyertai takdirnya. Dari sekian banyak tempat yang Sheryl datangi untuk melamar pekerjaan, tidak ada satu pun yang buka lowongan. Berkali-kali Sheryl di panggil tes tulis di beberapa perusahaan, tapi setelahnya tidak ada lagi kejelasan. Semuanya mengambang begitu saja bersama harapan seorang Fresh Graduate tanpa pengalam
"Uang itu hak kami! Kau seharusnya bersimpati pada dua nyawa yang telah kau renggut dan dua anak yang mendadak jadi yatim piatu!” Sheryl berteriak frustrasi di hadapan seorang Haikal Abraham. Sedangkan Haikal hanya tertawa kecil dan menatap gadis si hadapannya dengan remeh. “Jika kasus ini diusut, maka akan terlihat jelas bahwa orang tuamu yang bersalah. Apa perlu aku memperlihatkan rekaman kameranya padamu?”“Apa maksudmu?” tanya Sheryl dengan mata menyorot tidak mengerti. Ditekannya seluruh amarah di dalam dadanya. Haikal menekan remot untuk menyalakan monitor di hadapan mereka. Lalu disana terlihat jelas rekaman kecelakaan dimana Ayah Sheryl terlihat kehilangan fokus lalu mengemudi di jalur yang salah sehingga terjadilah tabrakan maut itu. " Mobil orang tuamu juga melaju dengan kencang!" sergah Sheryl."Tapi mereka ada di jalur yang benar," sanggah Haikal dengan wajah tenang dan angkuh.“Inilah alasan kenapa aku tidak menghubungimu,” ujar Haikal kemudian. “Karena kecelakaan itu
"Kalian berdua harus keluar dari rumah ini karena sebentar lagi pembelinya akan datang!” ujar laki-laki berkumis tebal itu. Dua orang gadis yatim piatu itu hanya menatap sedih dan tidak berdaya sama sekali. Paman dari pihak ayah yang seharusnya berperan sebagai wali mereka justru tega mengusir tanpa perasaan. Padahal tanah kuburan kedua orang tua mereka masih basah. “Kenapa harus dijual, Pakde?” tanya Sheryl dengan suara sengau. “Ini adalah rumah yang kami tempati sejak kecil.”“Asal kalian tahu, ya. Rumah ini adalah warisan yang harus kami bagi sama rata,” ujar Pak Slamet kemudian. “Sudah terlalu lama kami bersabar karena Mas Thoriq selalu menolak setiap kali kami hendak menjual rumah ini.”“Lalu bagaimana dengan kami, Paklek? Dimana kami akan tinggal kalau rumah ini dijual?” tanya Sheryl dengan mengiba. Adik ayahnya itu menggeleng tegas. “Itu bukan urusan kami. Lagi pula kalian berdua sudah dewasa dan bisa memikirkan hidup sendiri.”“Apa enggak kasihan sama kami?” tanya Anindya m