Keesokan harinya, Vivian bangun lebih pagi dari biasanya. Ia pun memilih pergi ke dapur untuk mengambil air sembari membawa ponselnya karena ingin menelepon orang yang terus dipikirkannya sejak semalam.“Halo,” sapa laki-laki yang tengah dihubungi Vivian.“Iya, halo. Di mana Shine?“ tanya Vivian tanpa basa-basi.“Dia sedang tidur, apa kamu ingin melihatnya?“ jawab Raven.Ya, walaupun sebenarnya dia juga berpikir kalau Shine lebih aman bersama dengan Raven, akan tetapi ia merasa cukup kesal karena Shine sama sekali tidak merasa keberatan dengan hal itu. Bahkan anak semata wayangnya itu terlihat tidak ada beban ketika meninggalkan dirinya semalam.“Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin memastikan saja,” sahut Vivian dengan tenang. "Sudah kalau begitu, silakan istirahat kembali. Maaf sudah mengganggu.““Tunggu. Aku ingin bertanya sesuatu,” ucap Raven.“Apa?““Apa kamu pergi dariku karena dua laki-laki itu?“ tanya Raven.Vivian terdiam sesaat mendengar pertanyaan tersebut. “Ji
Setelah mematikan panggilan tersebut dan menatap tajam ke arah laki-laki yang menyamar sebagai office boy, kemudian Vivian segera kembali mengarahkan pandangannya pada Rain.“Kalau begitu nanti kita bicarakan lagi ya,” ucap Vivian sambil menggaruk pelipisnya. “Ini sudah masuk waktunya bekerja,” imbuhnya sambil menatap ke arah jam dinding besar yang terpasang di salah satu sisi dinding ruangan itu.Rain pun ikut menatap jam yang sama.“Tentu saja. Kalau begitu bagaimana kalau kita ke sana bersama-sama, kebetulan aku juga ada urusan dengan Raven,” ajak Rain.“Ah, sial! Padahal aku ingin menghindari dia. Kenapa malah jadi naik ke atas bersama dia,” gerutu Vivian di dalam hati. Akan tetapi, seperti apa pun dia menggerutu di dalam hati, pada akhirnya dia hanya bisa tersenyum dan mengangguk agar laki-laki di depannya itu tetap percaya dengan hubungan mereka.Setelah itu seperti yang seharusnya, mereka pun menaiki lift bersama untuk naik ke lantai di mana Raven berada. “Rain apa
Setelah itu Vivian pun segera berbalik ketika Tuan Johansson masuk ke dalam ruangan tersebut. “Selamat datang Tuan Johansson, silakan duduk,” sambut Raven ketika melihat ayah mertuanya itu memasuki ruangan itu.“Anda ….“ Mata Rain terbelalak ketika melihat wajah Tuan Johansson.Sesaat kemudian Raven pun menyahut, “Ya, dia adalah Ayah mertuaku.““Jadi dia benar-benar Tuan Johansson, ayah Vivian?“ Rain tak percaya melihat kenyataan itu. Dia pernah melihat foto Tuan Johansson saat Vivian menunjukkan foto keluarganya. Tapi dulu berita mengatakan kalau keluarga Vivian sudah menjadi abu saat insiden kebakaran, lalu bagaimana bisa Tuan Johansson hidup kembali?“Jadi, Anda ini ….“ Tuan Johansson menatap Rain yang masih terlihat linglung.“Saya adalah direktur dari perusahaan Star,” sahut Rain sembari bangun dari kursinya dan kemudian berjabat tangan dengan Tuan Johansson.Sedangkan di sisi lain, saat ini Vivian tengah menyelinap. Ia berjalan tanpa suara ke arah pintu masuk ruangan te
“Jadi apalagi yang kamu rencanakan?“ tanya Tuan Johansson sembari berganti menoleh pada Raven.“Maaf Tuan, sepertinya ada beberapa hal lebih penting yang harus Anda urus dari pada marah-marah di sini,” sahut Sean, laki-laki yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu.Langsung saja Tuan Johansson mengepalkan tangannya kuat. Tanpa berkata apa pun lagi, kemudian ia meninggalkan tempat tersebut. Sedangkan Vivian yang melihat hal itu pun segera melangkah ingin mengikuti Tuan Johansson, tetapi dengan cepat dihentikan oleh Raven. “Mau ke mana?“ tanyanya.“Aku harus mencari tahu di mana—” “Orang tua kandungmu?“ sela Raven.“Benar aku ingin tahu di mana ayah kandungku” sahut Vivian.“Apa kamu pikir jika dia tahu, dia akan memberitahu kamu yang sebenarnya?“ tukas Raven sembari berdiri dari kursinya. “Dengar, dia tidak tahu siapa ayah kandungmu karena selama ini ibumu tidak pernah memberitahu kebenarannya. Dia hampir menghapus semua jejak tentang ayah kandungmu,” bebernya. Vivian mundur bebe
“Itu … sepertinya hal ini sengaja ditutupi,” jawab Sean.“Sepertinya ada orang yang ingin mengalihkan perhatianku,” batin Raven sembari berbalik dan menatap ke arah Charles, Vivian dan Rolland yang saat ini masih melangkah mencari makam laki-laki bernama Alex.“Baiklah, suruh orang untuk menyelidiki hal ini lagi. Dan percepat semuanya!“ titah Raven.“Baik,” sahut Sean yang ada di dalam panggilan tersebut.Setelah itu Raven pun dengan tenang mematikan panggilan tersebut. “Semakin menarik saja,” gumamnya sembari menatap Rolland yang saat ini terlihat tengah bercengkrama dengan Vivian. Setengah jam berlalu. Setelah selesai mengunjungi makam bernisankan nama Alex, kemudian mereka pun meninggalkan area pemakaman tersebut. “Apakah Alex mengatakan sesuatu sebelum dia meninggal?“ tanya Rolland dengan ekspresi dingin di wajahnya, seolah dia masih merasa terpukul karena kini dia tahu dengan jelas kalau salah saudaranya itu telah tiada.Ya, semua itu hanyalah tipuan dari Rolland
Setelah selesai sarapan pagi, kemudian sepasang ayah dan anak ini pun segera berangkat ke sekolah seperti hari kemarin.“Pa, apa Mama tidak akan terus tinggal bersama dengan Tante Jessi?“ tanya Shine sembari menatap ke arah Papanya yang saat ini sedang menyetir sendiri mobil tersebut.“Tidak. Papa sedang berusaha agar Mamamu mau pindah ke tempat kita,” jawab Raven dengan tenang.Raven mengerucutkan bibirnya. “Apa mau aku bantu?“ Langsung saja Raven melirik anak semata wayangnya itu.“Tapi aku punya syarat dan ketentuan,” imbuh Shine sebelum Raven mengatakan iya.“Apa dia sedang berkomplot melawanku,” pikir Raven.“Apa syaratnya?“ tanya Raven dengan tenang.Shine pun menatap ayahnya dengan serius. “Aku ingin ….“** Sementara itu, saat ini Vivian tengah sarapan bersama dua orang yang terus saling menggoda di depannya. Tangannya menggenggam erat sendok makannya, hingga ….“Hei, ini meja makan!“ teriak Vivian pada dua orang di depannya tersebut.Seketika suasana beru
Sesaat kemudian Shine pun turun dari bangku yang didudukinya. Ketiga temannya pun saling menatap dan kemudian meletakkan bekal makanannya lalu mengikuti Shine melangkah ke arah Vivian.“Siapa Ma?“ tanya Shine ketika sudah berada tak jauh dari Vivian.Vivian yang terlihat kebingungan pun langsung merengkuh tubuh anaknya. Segera ia menggendong tubuh mungil tersebut dan memeluknya erat.“Shine, ini Mamamu?“ tanya Jerry, salah satu sahabat Shine.“Benar ini mamaku,” jawab Shine sembari tersenyum bangga.Ketiga anak laki-laki tersebut pun saling menatap dan kemudian mengangguk-ngangguk seolah mereka bertiga baru saja menyetujui sesuatu.Kemudian dari arah lain terlihat Gustavo yang tengah mempercepat langkahnya untuk mendorong kursi roda orang yang tadi memanggil Vivian. “Mama dia siapa?“ tanya Shine sembari ikut menatap ke arah laki-laki lanjut usia yang saat ini duduk di atas kursi roda seperti yang Vivian lakukan.“Dia kakek buyut kamu,” jawab Vivian sembari mempererat pelukann
Lebih dari 15 menit Tuan Brayen mengobrol dengan Vivian dan juga cicitnya, akhirnya dia dan Gustavo berpamitan untuk meninggalkan tempat itu.“Ingat, nanti malam kalian harus datang ke rumah Kakek,” ucapnya sembari mengusap kepala Shine dengan lembut. “Ini perintah, mengerti!" imbuhnya.Vivian pun segera mengangguk. "Baik Kakek," jawabnya.Setelah berbicara beberapa hal lagi, kemudian Vivian dan Shine pun melambaikan tangannya mengantar Tuan Brayen meninggalkan area taman kanak-kanak tersebut.“Jadi benar dia kakek buyutku, Ma?“ Tanya Shine sembari menoleh ke arah Vivian yang saat ini masih terus menatap ke arah Tuan Brayen yang sedang dibopong masuk ke dalam mobil oleh Gustavo.“Benar, dia adalah kakek buyut kamu,” jawab Vivian sambil menghela napas panjang. “Apa di kehidupan sebelumnya aku ini seorang pejuang yang mati di medan perang, sampai-sampai punya kakek mertua yang baik seperti dia,” batin Vivian yang masih tidak menyangka kalau tebakannya selama ini salah. Dia ti