“Sembarangan saja,” tukas Vivian sembari menjangkau pipi chubby Shine.“Tapi Mama bilang sendiri kalau mama hamil tiga bulan,” jawab Shine sembari menepis tangan mamanya yang saat ini sedang mencubit gemas pipinya.“Apanya yang hamil tiga bulan, kapan Mama pernah bilang seperti itu?“ tanya Vivian yang tidak mau kesalahpahaman ini terus berlanjut.Setelah terlepas dari Vivian, Shine dengan cepat berlari dan bersembunyi di belakang kaki Raven. Sementara itu saat ini Raven terus memperhatikan perut Vivian. “Apa dia juga percaya dengan kekonyolan ini?“ batin Vivian sembari memperhatikan ekspresi wajah Raven. “Ck, tapi jika dia percaya pun itu juga wajar, bagaimanapun juga kami sudah tidak bersama selama beberapa tahun. Sangat mungkin kalau dia berpikir aku ini sudah bersama dengan orang lain.““Apa yang kamu pikirkan?“ Dia bertanya sembari menegakkan kembali tubuhnya dan kemudian menatap Raven dengan dingin.“Aku hanya ingin memastikan saja apa benar kamu sudah hamil? Aku penasaran siap
Segera saja Raven berlari bersama laki-laki paruh baya tersebut. Sedangkan Vivian mengikuti dibelakangnya sembari menggendong Shine. Pergi mereka bergegas pergi ke ruangan Tuan Bryan. Raven pun tanpa basa-basi langsung membuka pintu kamar tersebut.“Bagaimana, ada apa dengan kakek?“ tanya Raven sembari melangkah mendekati ranjang Tuan Bryan.Itu dokter Richard yang sedang membetulkan infus Tuan Brian pun langsung menatap ke arah Raven namun sesaat kemudian pandangannya tertarik pada Vivian yang saat ini sedang menggendong sains.“Kenapa dia lagi Jangan bilang dia ini tiba-tiba menjadi dokter keluarga ini,” batin Vivian sembari berpura-pura tenang. “Lebih baik aku ikuti saja alur ceritanya jangan sampai terjebak masalah karena hal-hal yang sudah lewat.“ Vivian mengepal kuat.“Tuan Bryan mengalami serangan jantung tapi tidak apa-apa tapi tidak apa-apa keadaannya kini sudah lebih stabil keadaannya hanya saja tolong kalian jaga emosinya agar terkontrol,” ujar Richard sembari menyelesaika
“Gawat,” batin Nyonya Reya yang langsung menoleh pada Raven.Sedangkan Tuan Johansson kini menegakkan punggungnya. “Benar, saya memanglah ayah dari Vivian. Tetapi kami tidak memiliki hubungan darah,” bebernya.Kepala Vivian tertunduk, tangannya mengepal mendengar ucapan laki-laki yang sedari kecil dipanggilnya ayah itu.“Apa maksud kamu?“ tanya Tuan Johansson sembari berusaha bangun dan langsung saja dibantu oleh Dokter Richard agar bisa duduk bersandar.Tuan Johansson pun maju selangkah. “Vivian benar anak mendiang istri saya, Grease, tapi dia bukan anak saya. Saya menikahi ibunya setelah dia mengandung tiga bulan,” terangnya.Mendengar hal itu Tuan Johansson pun langsung melirik ke arah Vivian. “Jadi dia bukan anak sah. Tapi bagaimanapun juga dia adalah cucu menantu yang aku pilih sendiri. Ck, aku akan menyelidiki masalah ini nanti,” batinnya.“Jadi kamu datang ke sini sebagai siapa?“ tanya Tuan Johansson yang masih bersikap tenang.Tuan Johansson tercengang selama beberapa saat. “A
Sesaat kemudian Tuan Brayen mengalihkan pandangannya pada Nyonya Reya.“Ada apa sebenarnya?“ batin Nyonya Reya yang langsung merasa tertekan karena menjadi sorotan semua orang yang ada di ruangan itu, kecuali Tuan Johansson yang juga tidak tahu apa pun.“Dasar wanita tidak tahu diuntung!“ teriak Tuan Brayen sembari menatap tajam ke arah menantunya itu.Tentu saja ini membuat Nyonya Reya tersentak. Dia benar-benar terkejut dengan semua hal yang terjadi. “Ada apa sebenarnya?“ tanyanya sembari mengarahkan pandangannya ke sekitar.Langsung saja Tuan Brayen mengambil ponsel milik Jose yang kini masih memutar video amoral Nyonya Reya dan Tuan Johansson. Dengan cepat dia melemparkan benda tersebut ke arah Nyonya Reya.CRAK! Ponsel tersebut terjatuh menghantam lantai setelah sebelumnya menghantam pundak Nyonya Reya. Karena hantaman benda pipih tersebut, Nyonya Reya pun mundur selangkah dan kemudian terduduk di lantai.Dan sesaat kemudian dia bisa melihat gambar yang ada di layar ponsel yang k
Beberapa menit berlalu, kini Vivian berada di ambang pintu bersama dengan pelayan yang tadi memanggilnya. Dan seperti yang seharusnya di sana terlihat seorang pengantar paket dengan sebuah kotak kado di tangannya.“Apa benar Nona Vivian?“ tanya pengantar paket tersebut sembari menatap nama yang tertera di atas paket itu.“Benar, saya Vivian. Maaf ini dari siapa?“ tanya Vivian sembari mengambil paket yang kini disodorkan oleh kurir tersebut.“Maaf Nona saya tidak tahu. Saya hanya diperintahkan untuk mengantar paket ini ke alamat ini, untuk Nona yang bernama Vivian,” jawab kurir paket tersebut sembari menyerahkan daftar tanda terima.Mendengar hal itu Vivian pun hanya bisa menandatangani daftar tanda terima tersebut, bagaimanapun juga dia tahu apa tugas seorang kurir karena dia pernah bekerja sampingan menjadi seorang kurir sebelum menikah dengan Raven.“Baiklah Nona kalau begitu selamat malam,” ucap pengirim paket tersebut sebelum meninggalkan tempat itu.“Tidak ada yang aneh,
Beberapa menit berlalu, kini Vivian berada di ambang pintu bersama dengan pelayan yang tadi memanggilnya. Dan seperti yang seharusnya di sana terlihat seorang pengantar paket dengan sebuah kotak kado di tangannya.“Apa benar Nona Vivian?“ tanya pengantar paket tersebut sembari menatap nama yang tertera di atas paket itu.“Benar, saya Vivian. Maaf ini dari siapa?“ tanya Vivian sembari mengambil paket yang kini disodorkan oleh kurir tersebut.“Maaf Nona saya tidak tahu. Saya hanya diperintahkan untuk mengantar paket ini ke alamat ini, untuk Nona yang bernama Vivian,” jawab kurir paket tersebut sembari menyerahkan daftar tanda terima.Mendengar hal itu Vivian pun hanya bisa menandatangani daftar tanda terima tersebut, bagaimanapun juga dia tahu apa tugas seorang kurir karena dia pernah bekerja sampingan menjadi seorang kurir sebelum menikah dengan Raven.“Baiklah Nona kalau begitu selamat malam,” ucap pengirim paket tersebut sebelum meninggalkan tempat itu.“Tidak ada yang aneh,
“Untung selamat,” gumam Vivian sembari bangun setelah berguling-guling bersama Raven, hingga mereka bisa bersembunyi di dekat tebing buatan yang memang berkesempatan tak jauh dari tempat mereka tadi.Kemudian Vivian mengalihkan pandangannya pada Raven yang kini sedang berdiri di sampingnya. “Ada apa, apa kamu terluka?“ tanyanya saat melihat ekspresi wajah Raven yang seperti sedang menahan rasa sakit.“Sepertinya punggungku membentur sesuatu,” ucap Raven sambil berbalik badan.Vivian kemudian kembali menoleh ke arah tempat mereka berguling tadi. Dan terlihatlah sebuah batu yang mungkin saja penyebab luka pada punggung Raven saat ini. “Perih,” gumamnya sembari meringis membayangkan sakitnya.“Itu batu,” ucapnya sembari kembali menatap luka di punggung Raven yang terus mengeluarkan darah.“Sepertinya tidak terlalu parah, tapi kamu tidak apa-apa kan?“ tanya Raven yang kini berbalik badan untuk melihat keadaan Vivian.“Tidak terlalu parah apanya,” sahut Vivian sembari mengarahkan pandanga
“Aku ingin minum lagi,” bisik Raven.Vivian pun langsung mendorong dada Raven. “Minta minum ya minta minum, kenapa harus dekat-dekat,” ketusnya yang kemudian bangun dan melangkah ke arah meja yang tak jauh dari mereka.“Kamu buka sendiri bajumu, nanti aku bantu mengoleskan obatnya,” ucap Vivian sembari menuangkan air minum ke dalam gelas.Tanpa menyahut Raven pun melakukan apa yang diperintahkan oleh Vivian. Dan setelah beberapa saat, Vivian pun kembali sembari membawa segelas air putih untuk Raven.“Minum dulu, setelah ini aku akan mengoleskan obatnya,” ujar Vivian sembari menyodorkan air tersebut pada Raven yang baru saja selesai melepas kemejanya.Setelah Raven mengambil gelas yang disodorkannya, kemudian Vivian berganti mempersiapkan obat oles dan juga kasa yang akan ia gunakan untuk membalut luka Raven.“Apa lukanya sebesar itu sampai harus diobati?“ tanya Raven setelah menghabiskan air di dalam gelas.“Mau besar ataupun kecil yang namanya luka harus diobati. Sebenarnya tidak beg