Beberapa menit berlalu, kini Vivian berada di ambang pintu bersama dengan pelayan yang tadi memanggilnya. Dan seperti yang seharusnya di sana terlihat seorang pengantar paket dengan sebuah kotak kado di tangannya.“Apa benar Nona Vivian?“ tanya pengantar paket tersebut sembari menatap nama yang tertera di atas paket itu.“Benar, saya Vivian. Maaf ini dari siapa?“ tanya Vivian sembari mengambil paket yang kini disodorkan oleh kurir tersebut.“Maaf Nona saya tidak tahu. Saya hanya diperintahkan untuk mengantar paket ini ke alamat ini, untuk Nona yang bernama Vivian,” jawab kurir paket tersebut sembari menyerahkan daftar tanda terima.Mendengar hal itu Vivian pun hanya bisa menandatangani daftar tanda terima tersebut, bagaimanapun juga dia tahu apa tugas seorang kurir karena dia pernah bekerja sampingan menjadi seorang kurir sebelum menikah dengan Raven.“Baiklah Nona kalau begitu selamat malam,” ucap pengirim paket tersebut sebelum meninggalkan tempat itu.“Tidak ada yang aneh,
“Untung selamat,” gumam Vivian sembari bangun setelah berguling-guling bersama Raven, hingga mereka bisa bersembunyi di dekat tebing buatan yang memang berkesempatan tak jauh dari tempat mereka tadi.Kemudian Vivian mengalihkan pandangannya pada Raven yang kini sedang berdiri di sampingnya. “Ada apa, apa kamu terluka?“ tanyanya saat melihat ekspresi wajah Raven yang seperti sedang menahan rasa sakit.“Sepertinya punggungku membentur sesuatu,” ucap Raven sambil berbalik badan.Vivian kemudian kembali menoleh ke arah tempat mereka berguling tadi. Dan terlihatlah sebuah batu yang mungkin saja penyebab luka pada punggung Raven saat ini. “Perih,” gumamnya sembari meringis membayangkan sakitnya.“Itu batu,” ucapnya sembari kembali menatap luka di punggung Raven yang terus mengeluarkan darah.“Sepertinya tidak terlalu parah, tapi kamu tidak apa-apa kan?“ tanya Raven yang kini berbalik badan untuk melihat keadaan Vivian.“Tidak terlalu parah apanya,” sahut Vivian sembari mengarahkan pandanga
“Aku ingin minum lagi,” bisik Raven.Vivian pun langsung mendorong dada Raven. “Minta minum ya minta minum, kenapa harus dekat-dekat,” ketusnya yang kemudian bangun dan melangkah ke arah meja yang tak jauh dari mereka.“Kamu buka sendiri bajumu, nanti aku bantu mengoleskan obatnya,” ucap Vivian sembari menuangkan air minum ke dalam gelas.Tanpa menyahut Raven pun melakukan apa yang diperintahkan oleh Vivian. Dan setelah beberapa saat, Vivian pun kembali sembari membawa segelas air putih untuk Raven.“Minum dulu, setelah ini aku akan mengoleskan obatnya,” ujar Vivian sembari menyodorkan air tersebut pada Raven yang baru saja selesai melepas kemejanya.Setelah Raven mengambil gelas yang disodorkannya, kemudian Vivian berganti mempersiapkan obat oles dan juga kasa yang akan ia gunakan untuk membalut luka Raven.“Apa lukanya sebesar itu sampai harus diobati?“ tanya Raven setelah menghabiskan air di dalam gelas.“Mau besar ataupun kecil yang namanya luka harus diobati. Sebenarnya tidak beg
Sementara itu di hutan buatan, saat ini Raven dan Vivian sedang mengobrol santai sembari sesekali mantap ke arah jendela tempat pengawas hutan tadi mengintip mereka.“Apa kamu yakin orang-orangmu benar-benar tidak mengincar kita?“ tanya Vivian setelah cukup lama penjaga hutan itu tak lagi mengintip di jendela.“Aku yakin. Jika mereka memang mengincar kita, mereka pasti sudah sampai di sini,” jawab Raven sembari mengusap lembut kepala Vivian yang saat ini masih dalam pelukannya.Kemudian Vivian menjauhkan tubuhnya dari Raven dan segera mengambil kaos yang diberikan oleh penjaga hutan tadi. “Kamu bisa memakai ini sendiri 'kan?“ tanyanya sembari menyodorkan kaos tersebut.“Sepertinya jika banyak bergerak lukaku akan terbuka kembali,” jawab Raven dengan mata yang terus menatap kaos yang saat ini masih berada di tangan Vivian.Helaan kasar pun muncul dari bibir Vivian.“Baiklah untuk kali ini saja kamu bisa menganggapku bodoh,” uj
“Ya, mungkin saja kita tidak akan bisa keluar dari sini,” jawab Raven sembari terus menatap Vivian dengan tenang.“Jangan bercanda, bukankah kamu bilang kalau anak buah kamu tidak mengejar kita?“ Vivian menatap mata Raven lekat. Dia yakin bisa membaca kebohongan dari gerak pupil mata Raven.“Tapi aku tidak tahu berapa orang yang sedang mengejar kita,” jawab Raven tanpa membuat gerakan berarti agar Vivian tak curiga dengan apa pun.Kemudian Vivian mendorong tubuh Raven. “Aku tidak ingin bercanda lagi. Aku tahu kamu itu bukan orang yang mudah menyerah, tidak mungkin kamu pasrah hanya karena tekanan seperti ini,” sahutnya sembari mengarahkan pandangannya ke sekeliling ruangan itu.Senyum pun muncul di bibir Raven. “Kamu memang benar mengenalku,” sahutnya.“Tentu saja aku mengenalmu, kita ini suami istri.“ Sesaat kemudian Vivian kembali mengarahkan pandangannya pada Raven. “Dan aku ingin kamu mengerti, aku masih ingin tetap dengan tujuanku semula. Kita bisa berpura-pura akur di depan Shi
Tentu saja Vivian tak akan percaya dengan bujuk rayu Rain yang sudah sangat jelas di matanya, akan tetapi karena ada hal menguntungkan di dalam rencana Rain kali ini, akhirnya Vivian pun mengangguk.“Baiklah, tapi ini benar hanya untuk mencocokkan saja kan? Karena jika aku ketahuan membocorkan desain perhiasan yang akan diluncurkan, maka aku pasti akan disalahkan oleh perusahaan. Kamu pasti mengerti konsekuensinya,” ucap Vivian sembari menunjukkan ekspresi innocent di wajahnya. Karakter Heta yang diperankan olehnya membuatnya harus memasang ekspresi penuh kegelisahan dan kebimbangan pada permintaan Rain kali ini.“Tentu saja aku tahu, mana mungkin aku tega berbuat sesuatu yang merugikan kamu. Bahkan aku sudah terang-terangan melamar kamu di depan publik, jadi aku tidak akan mungkin membuat nama baik kamu menjadi buruk. Kamu harus percaya padaku,” rayu Rain sembari menggenggam erat kedua telapak tangan Vivian.“Dasar wanita bodoh, aku hanya ingin memanfaatkan kamu. Siapa yang peduli
Sementara itu saat ini Raven sedang duduk dengan santai di tengah sebuah ruangan sembari memegang ponsel di tangannya.“Ikuti terus dia,” titah Raven yang kemudian mematikan panggilan tersebut. Kemudian dengan santai dia mengarahkan kembali pandangannya pada Charles yang saat ini berdiri tak jauh di depannya dan juga seorang laki-laki yang tengah berlutut dengan kepala yang ditutupi dengan kain hitam.“Lepaskan aku!“ teriak laki-laki tersebut sembari meronta ingin melepaskan diri karena tangan dan kakinya tengah diikat.“David,” ucap Raven dengan santai sembari terus menatap ke arah laki-laki yang kepalanya tengah ditutupi kain hitam tersebut dengan tenang.Mendengar namanya dipanggil dengan cara seperti itu, laki-laki yang pernah menjadi rekan Vivian saat berkerja sebagai pencuri berlian pun berhenti meronta. “Siapa kamu?“ tanyanya.Kemudian Raven pun memberi tanda pada Charles agar membuka kain hitam yang menutupi kepala laki-laki bernama David itu.“Kamu …,” gumam David k
“Ehem!“ Dehem Yana keras.Seketika Vivian dan Sean pun menoleh menatap ke arah Yana dan beberapa pegawai yang juga ikut menoleh ke arah mereka.“Maaf Pak Sean kami semua ingin meminta izin untuk memeriksa secara langsung berlian-berlian yang akan ditampilkan pada kontes nanti,” ucap Yana dengan sopan.Dan ketika Sean mengganti posisi tubuhnya, Vivian pun dengan cepat melangkah dan bergabung dengan Yana dan yang lainnya. “Benar Pak Sean, kami harus memastikan semuanya dalam keadaan baik sebelum beralih untuk mengerjakan yang lainnya,” imbuhnya.“Baiklah, kalian bisa melakukan apa pun yang diperlukan,” sahut Sean dengan tenang.“Terima kasih,” ujar Vivian dan timnya dengan kompak. Setelah itu Vivian dan timnya segera mengecek berlian-berlian tersebut di bawah pengawasan seorang penjaga yang ditugaskan khusus untuk mengawasi kegiatan hari itu. “Ck, sepertinya Sean benar-benar takut aku mengambil benda-benda mengkilat ini,” batin Vivian sembari melirik ke arah Sean yang saat ini juga