Segera saja Raven berlari bersama laki-laki paruh baya tersebut. Sedangkan Vivian mengikuti dibelakangnya sembari menggendong Shine. Pergi mereka bergegas pergi ke ruangan Tuan Bryan. Raven pun tanpa basa-basi langsung membuka pintu kamar tersebut.“Bagaimana, ada apa dengan kakek?“ tanya Raven sembari melangkah mendekati ranjang Tuan Bryan.Itu dokter Richard yang sedang membetulkan infus Tuan Brian pun langsung menatap ke arah Raven namun sesaat kemudian pandangannya tertarik pada Vivian yang saat ini sedang menggendong sains.“Kenapa dia lagi Jangan bilang dia ini tiba-tiba menjadi dokter keluarga ini,” batin Vivian sembari berpura-pura tenang. “Lebih baik aku ikuti saja alur ceritanya jangan sampai terjebak masalah karena hal-hal yang sudah lewat.“ Vivian mengepal kuat.“Tuan Bryan mengalami serangan jantung tapi tidak apa-apa tapi tidak apa-apa keadaannya kini sudah lebih stabil keadaannya hanya saja tolong kalian jaga emosinya agar terkontrol,” ujar Richard sembari menyelesaika
“Gawat,” batin Nyonya Reya yang langsung menoleh pada Raven.Sedangkan Tuan Johansson kini menegakkan punggungnya. “Benar, saya memanglah ayah dari Vivian. Tetapi kami tidak memiliki hubungan darah,” bebernya.Kepala Vivian tertunduk, tangannya mengepal mendengar ucapan laki-laki yang sedari kecil dipanggilnya ayah itu.“Apa maksud kamu?“ tanya Tuan Johansson sembari berusaha bangun dan langsung saja dibantu oleh Dokter Richard agar bisa duduk bersandar.Tuan Johansson pun maju selangkah. “Vivian benar anak mendiang istri saya, Grease, tapi dia bukan anak saya. Saya menikahi ibunya setelah dia mengandung tiga bulan,” terangnya.Mendengar hal itu Tuan Johansson pun langsung melirik ke arah Vivian. “Jadi dia bukan anak sah. Tapi bagaimanapun juga dia adalah cucu menantu yang aku pilih sendiri. Ck, aku akan menyelidiki masalah ini nanti,” batinnya.“Jadi kamu datang ke sini sebagai siapa?“ tanya Tuan Johansson yang masih bersikap tenang.Tuan Johansson tercengang selama beberapa saat. “A
Sesaat kemudian Tuan Brayen mengalihkan pandangannya pada Nyonya Reya.“Ada apa sebenarnya?“ batin Nyonya Reya yang langsung merasa tertekan karena menjadi sorotan semua orang yang ada di ruangan itu, kecuali Tuan Johansson yang juga tidak tahu apa pun.“Dasar wanita tidak tahu diuntung!“ teriak Tuan Brayen sembari menatap tajam ke arah menantunya itu.Tentu saja ini membuat Nyonya Reya tersentak. Dia benar-benar terkejut dengan semua hal yang terjadi. “Ada apa sebenarnya?“ tanyanya sembari mengarahkan pandangannya ke sekitar.Langsung saja Tuan Brayen mengambil ponsel milik Jose yang kini masih memutar video amoral Nyonya Reya dan Tuan Johansson. Dengan cepat dia melemparkan benda tersebut ke arah Nyonya Reya.CRAK! Ponsel tersebut terjatuh menghantam lantai setelah sebelumnya menghantam pundak Nyonya Reya. Karena hantaman benda pipih tersebut, Nyonya Reya pun mundur selangkah dan kemudian terduduk di lantai.Dan sesaat kemudian dia bisa melihat gambar yang ada di layar ponsel yang k
Beberapa menit berlalu, kini Vivian berada di ambang pintu bersama dengan pelayan yang tadi memanggilnya. Dan seperti yang seharusnya di sana terlihat seorang pengantar paket dengan sebuah kotak kado di tangannya.“Apa benar Nona Vivian?“ tanya pengantar paket tersebut sembari menatap nama yang tertera di atas paket itu.“Benar, saya Vivian. Maaf ini dari siapa?“ tanya Vivian sembari mengambil paket yang kini disodorkan oleh kurir tersebut.“Maaf Nona saya tidak tahu. Saya hanya diperintahkan untuk mengantar paket ini ke alamat ini, untuk Nona yang bernama Vivian,” jawab kurir paket tersebut sembari menyerahkan daftar tanda terima.Mendengar hal itu Vivian pun hanya bisa menandatangani daftar tanda terima tersebut, bagaimanapun juga dia tahu apa tugas seorang kurir karena dia pernah bekerja sampingan menjadi seorang kurir sebelum menikah dengan Raven.“Baiklah Nona kalau begitu selamat malam,” ucap pengirim paket tersebut sebelum meninggalkan tempat itu.“Tidak ada yang aneh,
Beberapa menit berlalu, kini Vivian berada di ambang pintu bersama dengan pelayan yang tadi memanggilnya. Dan seperti yang seharusnya di sana terlihat seorang pengantar paket dengan sebuah kotak kado di tangannya.“Apa benar Nona Vivian?“ tanya pengantar paket tersebut sembari menatap nama yang tertera di atas paket itu.“Benar, saya Vivian. Maaf ini dari siapa?“ tanya Vivian sembari mengambil paket yang kini disodorkan oleh kurir tersebut.“Maaf Nona saya tidak tahu. Saya hanya diperintahkan untuk mengantar paket ini ke alamat ini, untuk Nona yang bernama Vivian,” jawab kurir paket tersebut sembari menyerahkan daftar tanda terima.Mendengar hal itu Vivian pun hanya bisa menandatangani daftar tanda terima tersebut, bagaimanapun juga dia tahu apa tugas seorang kurir karena dia pernah bekerja sampingan menjadi seorang kurir sebelum menikah dengan Raven.“Baiklah Nona kalau begitu selamat malam,” ucap pengirim paket tersebut sebelum meninggalkan tempat itu.“Tidak ada yang aneh,
“Untung selamat,” gumam Vivian sembari bangun setelah berguling-guling bersama Raven, hingga mereka bisa bersembunyi di dekat tebing buatan yang memang berkesempatan tak jauh dari tempat mereka tadi.Kemudian Vivian mengalihkan pandangannya pada Raven yang kini sedang berdiri di sampingnya. “Ada apa, apa kamu terluka?“ tanyanya saat melihat ekspresi wajah Raven yang seperti sedang menahan rasa sakit.“Sepertinya punggungku membentur sesuatu,” ucap Raven sambil berbalik badan.Vivian kemudian kembali menoleh ke arah tempat mereka berguling tadi. Dan terlihatlah sebuah batu yang mungkin saja penyebab luka pada punggung Raven saat ini. “Perih,” gumamnya sembari meringis membayangkan sakitnya.“Itu batu,” ucapnya sembari kembali menatap luka di punggung Raven yang terus mengeluarkan darah.“Sepertinya tidak terlalu parah, tapi kamu tidak apa-apa kan?“ tanya Raven yang kini berbalik badan untuk melihat keadaan Vivian.“Tidak terlalu parah apanya,” sahut Vivian sembari mengarahkan pandanga
“Aku ingin minum lagi,” bisik Raven.Vivian pun langsung mendorong dada Raven. “Minta minum ya minta minum, kenapa harus dekat-dekat,” ketusnya yang kemudian bangun dan melangkah ke arah meja yang tak jauh dari mereka.“Kamu buka sendiri bajumu, nanti aku bantu mengoleskan obatnya,” ucap Vivian sembari menuangkan air minum ke dalam gelas.Tanpa menyahut Raven pun melakukan apa yang diperintahkan oleh Vivian. Dan setelah beberapa saat, Vivian pun kembali sembari membawa segelas air putih untuk Raven.“Minum dulu, setelah ini aku akan mengoleskan obatnya,” ujar Vivian sembari menyodorkan air tersebut pada Raven yang baru saja selesai melepas kemejanya.Setelah Raven mengambil gelas yang disodorkannya, kemudian Vivian berganti mempersiapkan obat oles dan juga kasa yang akan ia gunakan untuk membalut luka Raven.“Apa lukanya sebesar itu sampai harus diobati?“ tanya Raven setelah menghabiskan air di dalam gelas.“Mau besar ataupun kecil yang namanya luka harus diobati. Sebenarnya tidak beg
Sementara itu di hutan buatan, saat ini Raven dan Vivian sedang mengobrol santai sembari sesekali mantap ke arah jendela tempat pengawas hutan tadi mengintip mereka.“Apa kamu yakin orang-orangmu benar-benar tidak mengincar kita?“ tanya Vivian setelah cukup lama penjaga hutan itu tak lagi mengintip di jendela.“Aku yakin. Jika mereka memang mengincar kita, mereka pasti sudah sampai di sini,” jawab Raven sembari mengusap lembut kepala Vivian yang saat ini masih dalam pelukannya.Kemudian Vivian menjauhkan tubuhnya dari Raven dan segera mengambil kaos yang diberikan oleh penjaga hutan tadi. “Kamu bisa memakai ini sendiri 'kan?“ tanyanya sembari menyodorkan kaos tersebut.“Sepertinya jika banyak bergerak lukaku akan terbuka kembali,” jawab Raven dengan mata yang terus menatap kaos yang saat ini masih berada di tangan Vivian.Helaan kasar pun muncul dari bibir Vivian.“Baiklah untuk kali ini saja kamu bisa menganggapku bodoh,” uj
Salah seorang anak buah Aldrich berteriak cukup nyaring dan kemudian ambruk tengkurap di lantai. "Hah?" Vivian terkejut begitu juga yang lainnya.Sesaat semua orang mengarahkan pandangan mereka pada orang yang baru saja ambruk tersebut. "Kamu berani bermain-main denganku?" Aldrich menatap tajam Vivian yang saat ini masih mengarahkan pandangannya pada orang yang baru saja ambruk.Mendengar hal tersebut Vivian langsung mengarahkan pandangannya pada Aldrich. Namun tanpa menjawab, dia mengalihkan pandangannya pada Raven yang saat ini masih terduduk di lantai."Apa ini yang dia katakan agar aku menunggu sebentar lagi," batin Vivian.Dan sesaat kemudian Aldrich pun bangun dari ranjangnya, lalu melangkah ke arah Vivian. Namun, di tengah langkahnya, tiba-tiba salah satu anak buah Aldrich kembali terjungkal."Satu lagi, di mana mereka?" batin Vivian yang juga ikut penasaran dengan hal itu. Dia mengarahkan pandangannya ke sekitar untuk mencari petunjuk, sama dengan apa yang dilakuk
Beberapa jam berlalu. Saat ini Vivian dan Raven sedang berada di depan ruang ICU di salah satu rumah sakit di kota tersebut."Shine," gumam Vivian yang terus saja berdiri memandangi pintu ruangan tersebut."Tenanglah Vi, dia pasti baik-baik saja," ucap Jessi yang saat ini merangkul pundak Vivian."Iya," sahut Vivian lemah.Rasa gelisah memenuhi pikirannya saat ini. Kedua tangannya terus saling meremas untuk menekan perasaannya yang penuh dengan ketakutan yang seolah tak berujung.Sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki sedang berlari kecil ke tempat itu. Segera saja Vivian membalik badannya."Apa kamu mendapatkannya?" tanya Vivian pada laki-laki yang baru saja berlari kecil tersebut."Kami sedang berusaha," jawab Raven dengan ekspresi pahit di wajahnya.Seketika tubuh Vivian limbung. Namun, untung saja Jessi dengan sigap menahan tubuh sahabatnya itu. "Tenang dulu Vi, kamu harus kuat," ucapnya yang sebenarnya juga merasa khawatir bukan main.Vivian kemudian menoleh pada J
"Kenapa, tidak senang?" tanya wanita tersebut sambil bersedekap dan kemudian melengos dengan gaya yang dilebih-lebihkan.Langsung saja Vivian melepaskan pegangannya dan kemudian berjalan dengan cepat ke arah wanita tersebut. "Bagaimana bisa aku tidak senang," sahutnya sambil memeluk erat sahabatnya itu."Kamu tuh ya, bikin aku khawatir saja," ucap Jessy sembari melepaskan pelukan Vivian. "Kamu tidak apa-apa kan?" tanya sambil menatap Vivian dari ujung kepala hingga ujung kaki."Tentu saja tidak apa-apa," sahut Vivian sambil tertawa kecil. "Oh iya, lalu di mana Shine? Bukankah kamu bilang kamu bersamanya?""Dia masih di sekolahan bersama Yella. Aku dengar kamu pulang hari ini, mangkannya aku pulang lebih dulu," terang Jessi sambil mengambil ponselnya yang tiba-tiba berdering.Dan sementara Jessi mengangkat panggilan di ponselnya, kini Vivian berbalik badan dan menatap Raven yang sedang berbicara pada Gustavo. "Kapan dia mengatakan hal ini pada orang rumah?" batinnya.Di saat yang sama,
Sepuluh jam berlalu dengan Vivian yang terus berkutat dengan obat-obatan untuk menyembuhkan para tentara yang mengalami efek mengerikan dari racun yang diberikan oleh Aldrich dan sekutunya."Kamu harus istirahat," ucap Raven sembari merangkul pundak Vivian tiba-tiba.Vivian yang sedari tadi berkonsentrasi merawat para tentara pun menoleh. "Kurang sedikit lagi, tinggal beberapa orang yang belum minum penawarnya," jawabnya sambil memejamkan matanya rapat-rapat selama beberapa detik.Melihat Vivian yang menahan pusing, Raven pun menunjuk salah satu tenaga medis. "Kamu dan yang lainnya urus beberapa orang ini, dia membutuhkan istirahat," titah Raven.Vivian yang terkejut mendengar ucapan Raven langsung memaksa matanya untuk terbuka. "Apa maksud kamu, ini sudah menjadi tu—""Itu bukan hanya tugasmu, tapi juga tugas mereka. Kamu sudah cukup bekerja," potong Raven sembari menarik tubuh Vivian untuk masuk ke dalam pelukannya."Benar Nyonya, Anda sudah bekerja keras. Sisanya biar kami yang mela
Saat Vivian ingin menjawab pertanyaan Raven, tiba-tiba saja Verdick berdehem."Semuanya sudah siap, Pak," ucap Verdick dengan ekspresi serius di wajahnya."Baik," sahut Raven yang kemudian mengarahkan pandangannya pada seluruh anak buahnya yang ada di ruangan itu. "Mari kita mulai. Berhati-hatilah kalian."Semua orang pun menganggukkan kepalanya. Tatapan yakin dan siap berkorban apa pun kini mereka semua tampilkan."Kamu tunggu di sini!" titah Raven sambil menoleh pada Vivian."Tidak," tolak Vivian dengan cepat. "Aku akan ikut membantu.""Ck," decak Raven.Namun Vivian tak menghiraukan ekspresi keberatan di wajah Raven, dia dengan santai mengambil salah satu pistol yang ada di sana. "Jika kita menang kamu harus menjelaskan dari mana asal black swan," pintanya sambil memastikan peluru di dalam pistol tersebut.Raven terdiam sejenak. "Apa dia sudah tahu?" batinnya."Baik," sahut Raven pada akhirnya. Setelah itu semua orang pun keluar dari ruangan tersebut lewat beberapa
Kembali Vivian menatap ke arah Aldrich. "Kamu benar-benar ...." Dia berkata seolah tak bisa berkata-kata lagi."Jadi kamu benar-benar mengira kalau akan ada Raven bersamaku?" cibir Aldrich.Vivian menggingit bibirnya memperlihatkan pada semua orang yang ada di sana kalau dirinya sedang kesal tapi tak tahu harus berbuat apa. "Kamu harus tenang Vi," batinnya.Kembali Aldrich membuka mulutnya. "Jika dia benar-benar bersamaku, apa kamu pikir dia masih bisa hidup," imbuhnya."Kenapa? Kenapa kamu ingin menyerang dia? Apakah ada masalah di antara kalian?" tanya Vivian seperti seorang gadis biasa. "Dan Rolland, bukankah kalian bersahabat baik?" Vivian melirik Rolland yang saat ini terlihat kacau dengan wajah babak belur.Tawa dari mulut Aldrich pun menggema di ruangan tersebut. "Jadi kamu benar-benar berpikir kalau Rolland adalah orang baik, sedangkan aku orang jahat? Dasar wanita," ejeknya.Vivian mengepalkan tangannya mendengar perkataan Aldrich. Dia tahu kalau dia memang pernah tertipu ol
“Dia di sini,” batin Aldrich yang langsung mengganti ekspresi terkejut di wajahnya dengan sebuah senyum manis.“Kamu sedang mencari apa di sini?“ tanyanya sembari melangkah ke arah Vivian.“Apa dia berpura-pura atau memang tidak tahu kalau aku ada di sini?“ batin Vivian. “Tapi jika orang-orang mengenalnya sebagai dokter, seharusnya mereka sudah mengenal dia lebih dulu, jadi dia seharusnya sudah tahu aku ada di sini. Aku harus waspada.““Tidak ada. Aku hanya sedang menjalani hukuman," jawab Vivian dengan ketus sembari bersedekap. Dia tanpa ragu menunjukkan tatapan penuh permusuhan dengan laki-laki yang kini berdiri tak jauh di depannya itu.“Jadi kamu orang yang menyabotase tempat ini?“ tanya Vivian sekali lagi.“Aku? Jangan salah paham, aku tidak punya masalah dengan tentara di sini,” jawab Aldrich dengan santai.“Walaupun kelihatan tidak berbohong, tapi aku tidak bisa mempercayainya seratus persen. Setidaknya dia pasti punya andil dalam kekacauan ini, jika tidak, dia tidak mungkin se
“Dia sudah ada di sini, lalu di mana Raven? Apa semuanya sudah siap,” batin Vivian yang merasa gelisah ketika melihat salah satu orang yang tadi dia lihat di dalam dapur berbicara dengan kepala dapur.“Apa yang sedang kamu perhatikan, Vi?“ tanya Rozie sembari menepuk pundak Vivian.Vivian pun tersentak dan langsung menoleh. “Ah tidak ada apa-apa, aku hanya sepertinya pernah mengenal laki-laki itu,” jawab Vivian yang kemudian melirik laki-laki yang menjadi pusat perhatiannya selama beberapa saat yang lalu. “Atau mungkin hanya mirip saja,” imbuhnya.Rozie pun langsung menatap ke arah laki-laki yang dibicarakan Vivian, kemudian sebuah kernyitan muncul di keningnya. “Dia orang yang bertugas menjaga gerbang. Orangnya memang pendiam dan bagiku sedikit mencurigakan, tapi ….“ Dia tak melanjutkan kalimatnya.“Tapi apa?“ Vivian menyahut.“Tapi tentu saja aku tidak peduli. Asalkan aku sudah melewati setahun di sini, maka aku bisa bebas dari tempat ini, jadi aku tidak mau ikut campur dalam masal
“Ambilkan aku minum!“ titah Raven setelah Vivian sampai di depannya.Vivian langsung menyipitkan matanya. Rasa enggan dan ingin protes terlihat jelas di matanya. “Baik Pak.“ Tapi pada akhirnya itulah yang keluar dari mulutnya.Setelah itu Vivian pun melangkah meninggalkan area tersebut. Dengan cepat dia pergi ke bagian dapur agar bisa beristirahat sejenak di sana sebelum membuatkan kopi untuk Raven. Namun, sesuatu terjadi ketika dia berada di ambang pintu dapur.“Apa yang mereka lakukan,” batin Vivian sembari mundur selangkah karena melihat kepala dapur tengah berbicara dengan tiga orang tentara di sana. Dia terus memperhatikan interaksi antara keempat orang tersebut, hingga tiba-tiba saja salah seorang tentara itu mencengkeram kerah pakaian kepala dapur.“Apa yang sebenarnya terjadi,” batin Vivian sembari terus memperhatikan setiap gerakan keempat orang tersebut. Hingga sebuah poin cukup penting terlihat, salah satu tentara tersebut memasukkan sesuatu ke dalam saku pakaian kepala dap