Setengah jam berlalu. Saat ini Raven yang baru saja sampai di halaman perusahaan pun dengan cepat menghentikan mobilnya di dekat satpam yang berjaga di dekat pintu perusahaan. Dan kemudian tanpa berbasa-basi ia langsung menyerahkan kunci mobilnya pada satpam tersebut.“Di mana dia,” gumamnya sambil melangkah dengan cepat masuk ke dalam gedung perusahaan tersebut.Sedangkan di sisi lain saat ini ada Sean yang berjalan di lantai dasar. Segera saja ia menghampiri sahabatnya itu. “Rav, ada apa?“ tanyanya.Raven pun menghentikan langkahnya. “Apa dia sudah datang?“ tanyanya.Sean pun mengernyitkan dahinya. “Bukankah mereka akan datang nanti siang, apakah ada perubahan?“ “Bukan mereka, tapi Vivian,” tukas Raven.Sean pun memberikan ekspresi malas di wajahnya mendengar sahabatnya itu mencari wanita yang sering membuat sakit kepala itu. “Sudah, dia sudah datang,” jawabnya.Setelah itu, tanpa berbicara apa pun Raven langsung melanjutkan langkahnya ke arah pintu lift khusus. “Aku haru
“Berhenti.“ Vivian kembali mundur selangkah.“Ada apa, apa kamu tidak rindu denganku?“ tanya laki-laki di depan Vivian tersebut sembari maju selangkah.“Kenapa, bagaimana bisa kamu di sini?“ tanya Vivian yang makin waspada.“Tidak bisa, aku tidak boleh membiarkannya tahu keberadaan Shine,” batin Vivian.“Maksud kamu, bagaimana aku bisa menemukan kalian?“ tanya laki-laki di depan Vivian tersebut dengan suara lembut yang khas.Tiba-tiba dari arah lain terdengar suara langkah kaki masuk ke area tersebut.“Vi!“ Langsung saja Vivian menoleh. “Sean,” gumamnya.“Kamu sedang apa?“ tanya Sean yang didampingi Charles ke sana.Mendengar pertanyaan Sean, Vivian pun langsung kembali menoleh ke arah semula dan melihat laki-laki di depannya itu sudah tidak ada.“Ada apa?“ tanya Sean yang saat ini sudah berada tepat di samping Vivian. Ia cukup terkejut melihat wajah pucat Vivian, segera saja ia mengarahkan pandangannya ke sekitar tempat itu Dan tanpa aba-aba Charles pun segera memeriksa sekitar lok
“Apa dia yang diceritakan oleh Shine?“ tanya Raven karena Vivian terlihat gamang saat akan mengatakan siap orang yang menemuinya tadi.Vivian yang sempat menundukkan pandangannya pun langsung mengangkat matanya lagi. Ia menatap lekat mata Raven. “Siapa yang diceritakan oleh Shine?“ tanyanya balik.“Laki-laki bernama Roland,” jawab Raven singkat.Vivian kemudian membuang napas panjang mendengar jawaban Raven. “Roland itu—”Kalimat Vivian berhenti ketika tiba-tiba ponsel Raven dan Vivian berdering bersamaan. Segera saja Raven melangkah kembali ke arah meja kerjanya dan kemudian mengangkatnya. Begitu juga dengan Vivian, ia juga langsung mengangkat panggilan yang ada di ponsel yang masih di genggamannya.“Ada apa Jes?“ tanya Vivian.“Vi, Roland datang,” ujar Jessi yang ada di dalam panggilan tersebut.“Lalu bagaimana dengan Shine, apa dia bersama dengan Roland?“ tanya Vivian yang sangat cemas saat ini.“Iya, dia kembali dengan Roland dan mereka sedang menonton televisi sekarang,” jawab Je
Satu jam berlalu, saat ini Vivian dan Raven sudah berada di rumah sewa Vivian. “Jess! Shine!“ panggil Vivian sembari melangkah dengan cepat memasuki rumah sederhana itu.“Iya, Ma!“ sahut Shine dari ruang santai rumah itu.Segera saja Vivian mempercepat langkahnya.“Sayang, kamu tidak apa-apa kan?“ tanya Vivian sembari memeluk Shine ketika mereka baru saja bertemu.Vivian menatap Shine dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia memastikan tidak ada yang salah dengan anak laki-lakinya tersebut. Sedangkan Shine hanya mengerutkan dahinya ketika melihat tingkah mamanya yang baginya terlihat berlebihan.“Apa yang kamu lakukan Ma, aku tidak apa-apa. Tidak ada yang bisa menyakitiku, aku inikan hebat,” sahut Shine sembari mundur selangkah dan kemudian bersedekap di hadapan Vivian.Sedangkan Vivian yang mendapatkan respon seperti itu langsung saja merasa jengkel. “Shine, Mama ini sangat khawatir pada kamu.“ Vivian memeluk gemas anak laki-lakinya itu yang terkadang sok kuat dan sok dew
Keesokan harinya, Vivian bangun lebih pagi dari biasanya. Ia pun memilih pergi ke dapur untuk mengambil air sembari membawa ponselnya karena ingin menelepon orang yang terus dipikirkannya sejak semalam.“Halo,” sapa laki-laki yang tengah dihubungi Vivian.“Iya, halo. Di mana Shine?“ tanya Vivian tanpa basa-basi.“Dia sedang tidur, apa kamu ingin melihatnya?“ jawab Raven.Ya, walaupun sebenarnya dia juga berpikir kalau Shine lebih aman bersama dengan Raven, akan tetapi ia merasa cukup kesal karena Shine sama sekali tidak merasa keberatan dengan hal itu. Bahkan anak semata wayangnya itu terlihat tidak ada beban ketika meninggalkan dirinya semalam.“Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin memastikan saja,” sahut Vivian dengan tenang. "Sudah kalau begitu, silakan istirahat kembali. Maaf sudah mengganggu.““Tunggu. Aku ingin bertanya sesuatu,” ucap Raven.“Apa?““Apa kamu pergi dariku karena dua laki-laki itu?“ tanya Raven.Vivian terdiam sesaat mendengar pertanyaan tersebut. “Ji
Setelah mematikan panggilan tersebut dan menatap tajam ke arah laki-laki yang menyamar sebagai office boy, kemudian Vivian segera kembali mengarahkan pandangannya pada Rain.“Kalau begitu nanti kita bicarakan lagi ya,” ucap Vivian sambil menggaruk pelipisnya. “Ini sudah masuk waktunya bekerja,” imbuhnya sambil menatap ke arah jam dinding besar yang terpasang di salah satu sisi dinding ruangan itu.Rain pun ikut menatap jam yang sama.“Tentu saja. Kalau begitu bagaimana kalau kita ke sana bersama-sama, kebetulan aku juga ada urusan dengan Raven,” ajak Rain.“Ah, sial! Padahal aku ingin menghindari dia. Kenapa malah jadi naik ke atas bersama dia,” gerutu Vivian di dalam hati. Akan tetapi, seperti apa pun dia menggerutu di dalam hati, pada akhirnya dia hanya bisa tersenyum dan mengangguk agar laki-laki di depannya itu tetap percaya dengan hubungan mereka.Setelah itu seperti yang seharusnya, mereka pun menaiki lift bersama untuk naik ke lantai di mana Raven berada. “Rain apa
Setelah itu Vivian pun segera berbalik ketika Tuan Johansson masuk ke dalam ruangan tersebut. “Selamat datang Tuan Johansson, silakan duduk,” sambut Raven ketika melihat ayah mertuanya itu memasuki ruangan itu.“Anda ….“ Mata Rain terbelalak ketika melihat wajah Tuan Johansson.Sesaat kemudian Raven pun menyahut, “Ya, dia adalah Ayah mertuaku.““Jadi dia benar-benar Tuan Johansson, ayah Vivian?“ Rain tak percaya melihat kenyataan itu. Dia pernah melihat foto Tuan Johansson saat Vivian menunjukkan foto keluarganya. Tapi dulu berita mengatakan kalau keluarga Vivian sudah menjadi abu saat insiden kebakaran, lalu bagaimana bisa Tuan Johansson hidup kembali?“Jadi, Anda ini ….“ Tuan Johansson menatap Rain yang masih terlihat linglung.“Saya adalah direktur dari perusahaan Star,” sahut Rain sembari bangun dari kursinya dan kemudian berjabat tangan dengan Tuan Johansson.Sedangkan di sisi lain, saat ini Vivian tengah menyelinap. Ia berjalan tanpa suara ke arah pintu masuk ruangan te
“Jadi apalagi yang kamu rencanakan?“ tanya Tuan Johansson sembari berganti menoleh pada Raven.“Maaf Tuan, sepertinya ada beberapa hal lebih penting yang harus Anda urus dari pada marah-marah di sini,” sahut Sean, laki-laki yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu.Langsung saja Tuan Johansson mengepalkan tangannya kuat. Tanpa berkata apa pun lagi, kemudian ia meninggalkan tempat tersebut. Sedangkan Vivian yang melihat hal itu pun segera melangkah ingin mengikuti Tuan Johansson, tetapi dengan cepat dihentikan oleh Raven. “Mau ke mana?“ tanyanya.“Aku harus mencari tahu di mana—” “Orang tua kandungmu?“ sela Raven.“Benar aku ingin tahu di mana ayah kandungku” sahut Vivian.“Apa kamu pikir jika dia tahu, dia akan memberitahu kamu yang sebenarnya?“ tukas Raven sembari berdiri dari kursinya. “Dengar, dia tidak tahu siapa ayah kandungmu karena selama ini ibumu tidak pernah memberitahu kebenarannya. Dia hampir menghapus semua jejak tentang ayah kandungmu,” bebernya. Vivian mundur bebe
Salah seorang anak buah Aldrich berteriak cukup nyaring dan kemudian ambruk tengkurap di lantai. "Hah?" Vivian terkejut begitu juga yang lainnya.Sesaat semua orang mengarahkan pandangan mereka pada orang yang baru saja ambruk tersebut. "Kamu berani bermain-main denganku?" Aldrich menatap tajam Vivian yang saat ini masih mengarahkan pandangannya pada orang yang baru saja ambruk.Mendengar hal tersebut Vivian langsung mengarahkan pandangannya pada Aldrich. Namun tanpa menjawab, dia mengalihkan pandangannya pada Raven yang saat ini masih terduduk di lantai."Apa ini yang dia katakan agar aku menunggu sebentar lagi," batin Vivian.Dan sesaat kemudian Aldrich pun bangun dari ranjangnya, lalu melangkah ke arah Vivian. Namun, di tengah langkahnya, tiba-tiba salah satu anak buah Aldrich kembali terjungkal."Satu lagi, di mana mereka?" batin Vivian yang juga ikut penasaran dengan hal itu. Dia mengarahkan pandangannya ke sekitar untuk mencari petunjuk, sama dengan apa yang dilakuk
Beberapa jam berlalu. Saat ini Vivian dan Raven sedang berada di depan ruang ICU di salah satu rumah sakit di kota tersebut."Shine," gumam Vivian yang terus saja berdiri memandangi pintu ruangan tersebut."Tenanglah Vi, dia pasti baik-baik saja," ucap Jessi yang saat ini merangkul pundak Vivian."Iya," sahut Vivian lemah.Rasa gelisah memenuhi pikirannya saat ini. Kedua tangannya terus saling meremas untuk menekan perasaannya yang penuh dengan ketakutan yang seolah tak berujung.Sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki sedang berlari kecil ke tempat itu. Segera saja Vivian membalik badannya."Apa kamu mendapatkannya?" tanya Vivian pada laki-laki yang baru saja berlari kecil tersebut."Kami sedang berusaha," jawab Raven dengan ekspresi pahit di wajahnya.Seketika tubuh Vivian limbung. Namun, untung saja Jessi dengan sigap menahan tubuh sahabatnya itu. "Tenang dulu Vi, kamu harus kuat," ucapnya yang sebenarnya juga merasa khawatir bukan main.Vivian kemudian menoleh pada J
"Kenapa, tidak senang?" tanya wanita tersebut sambil bersedekap dan kemudian melengos dengan gaya yang dilebih-lebihkan.Langsung saja Vivian melepaskan pegangannya dan kemudian berjalan dengan cepat ke arah wanita tersebut. "Bagaimana bisa aku tidak senang," sahutnya sambil memeluk erat sahabatnya itu."Kamu tuh ya, bikin aku khawatir saja," ucap Jessy sembari melepaskan pelukan Vivian. "Kamu tidak apa-apa kan?" tanya sambil menatap Vivian dari ujung kepala hingga ujung kaki."Tentu saja tidak apa-apa," sahut Vivian sambil tertawa kecil. "Oh iya, lalu di mana Shine? Bukankah kamu bilang kamu bersamanya?""Dia masih di sekolahan bersama Yella. Aku dengar kamu pulang hari ini, mangkannya aku pulang lebih dulu," terang Jessi sambil mengambil ponselnya yang tiba-tiba berdering.Dan sementara Jessi mengangkat panggilan di ponselnya, kini Vivian berbalik badan dan menatap Raven yang sedang berbicara pada Gustavo. "Kapan dia mengatakan hal ini pada orang rumah?" batinnya.Di saat yang sama,
Sepuluh jam berlalu dengan Vivian yang terus berkutat dengan obat-obatan untuk menyembuhkan para tentara yang mengalami efek mengerikan dari racun yang diberikan oleh Aldrich dan sekutunya."Kamu harus istirahat," ucap Raven sembari merangkul pundak Vivian tiba-tiba.Vivian yang sedari tadi berkonsentrasi merawat para tentara pun menoleh. "Kurang sedikit lagi, tinggal beberapa orang yang belum minum penawarnya," jawabnya sambil memejamkan matanya rapat-rapat selama beberapa detik.Melihat Vivian yang menahan pusing, Raven pun menunjuk salah satu tenaga medis. "Kamu dan yang lainnya urus beberapa orang ini, dia membutuhkan istirahat," titah Raven.Vivian yang terkejut mendengar ucapan Raven langsung memaksa matanya untuk terbuka. "Apa maksud kamu, ini sudah menjadi tu—""Itu bukan hanya tugasmu, tapi juga tugas mereka. Kamu sudah cukup bekerja," potong Raven sembari menarik tubuh Vivian untuk masuk ke dalam pelukannya."Benar Nyonya, Anda sudah bekerja keras. Sisanya biar kami yang mela
Saat Vivian ingin menjawab pertanyaan Raven, tiba-tiba saja Verdick berdehem."Semuanya sudah siap, Pak," ucap Verdick dengan ekspresi serius di wajahnya."Baik," sahut Raven yang kemudian mengarahkan pandangannya pada seluruh anak buahnya yang ada di ruangan itu. "Mari kita mulai. Berhati-hatilah kalian."Semua orang pun menganggukkan kepalanya. Tatapan yakin dan siap berkorban apa pun kini mereka semua tampilkan."Kamu tunggu di sini!" titah Raven sambil menoleh pada Vivian."Tidak," tolak Vivian dengan cepat. "Aku akan ikut membantu.""Ck," decak Raven.Namun Vivian tak menghiraukan ekspresi keberatan di wajah Raven, dia dengan santai mengambil salah satu pistol yang ada di sana. "Jika kita menang kamu harus menjelaskan dari mana asal black swan," pintanya sambil memastikan peluru di dalam pistol tersebut.Raven terdiam sejenak. "Apa dia sudah tahu?" batinnya."Baik," sahut Raven pada akhirnya. Setelah itu semua orang pun keluar dari ruangan tersebut lewat beberapa
Kembali Vivian menatap ke arah Aldrich. "Kamu benar-benar ...." Dia berkata seolah tak bisa berkata-kata lagi."Jadi kamu benar-benar mengira kalau akan ada Raven bersamaku?" cibir Aldrich.Vivian menggingit bibirnya memperlihatkan pada semua orang yang ada di sana kalau dirinya sedang kesal tapi tak tahu harus berbuat apa. "Kamu harus tenang Vi," batinnya.Kembali Aldrich membuka mulutnya. "Jika dia benar-benar bersamaku, apa kamu pikir dia masih bisa hidup," imbuhnya."Kenapa? Kenapa kamu ingin menyerang dia? Apakah ada masalah di antara kalian?" tanya Vivian seperti seorang gadis biasa. "Dan Rolland, bukankah kalian bersahabat baik?" Vivian melirik Rolland yang saat ini terlihat kacau dengan wajah babak belur.Tawa dari mulut Aldrich pun menggema di ruangan tersebut. "Jadi kamu benar-benar berpikir kalau Rolland adalah orang baik, sedangkan aku orang jahat? Dasar wanita," ejeknya.Vivian mengepalkan tangannya mendengar perkataan Aldrich. Dia tahu kalau dia memang pernah tertipu ol
“Dia di sini,” batin Aldrich yang langsung mengganti ekspresi terkejut di wajahnya dengan sebuah senyum manis.“Kamu sedang mencari apa di sini?“ tanyanya sembari melangkah ke arah Vivian.“Apa dia berpura-pura atau memang tidak tahu kalau aku ada di sini?“ batin Vivian. “Tapi jika orang-orang mengenalnya sebagai dokter, seharusnya mereka sudah mengenal dia lebih dulu, jadi dia seharusnya sudah tahu aku ada di sini. Aku harus waspada.““Tidak ada. Aku hanya sedang menjalani hukuman," jawab Vivian dengan ketus sembari bersedekap. Dia tanpa ragu menunjukkan tatapan penuh permusuhan dengan laki-laki yang kini berdiri tak jauh di depannya itu.“Jadi kamu orang yang menyabotase tempat ini?“ tanya Vivian sekali lagi.“Aku? Jangan salah paham, aku tidak punya masalah dengan tentara di sini,” jawab Aldrich dengan santai.“Walaupun kelihatan tidak berbohong, tapi aku tidak bisa mempercayainya seratus persen. Setidaknya dia pasti punya andil dalam kekacauan ini, jika tidak, dia tidak mungkin se
“Dia sudah ada di sini, lalu di mana Raven? Apa semuanya sudah siap,” batin Vivian yang merasa gelisah ketika melihat salah satu orang yang tadi dia lihat di dalam dapur berbicara dengan kepala dapur.“Apa yang sedang kamu perhatikan, Vi?“ tanya Rozie sembari menepuk pundak Vivian.Vivian pun tersentak dan langsung menoleh. “Ah tidak ada apa-apa, aku hanya sepertinya pernah mengenal laki-laki itu,” jawab Vivian yang kemudian melirik laki-laki yang menjadi pusat perhatiannya selama beberapa saat yang lalu. “Atau mungkin hanya mirip saja,” imbuhnya.Rozie pun langsung menatap ke arah laki-laki yang dibicarakan Vivian, kemudian sebuah kernyitan muncul di keningnya. “Dia orang yang bertugas menjaga gerbang. Orangnya memang pendiam dan bagiku sedikit mencurigakan, tapi ….“ Dia tak melanjutkan kalimatnya.“Tapi apa?“ Vivian menyahut.“Tapi tentu saja aku tidak peduli. Asalkan aku sudah melewati setahun di sini, maka aku bisa bebas dari tempat ini, jadi aku tidak mau ikut campur dalam masal
“Ambilkan aku minum!“ titah Raven setelah Vivian sampai di depannya.Vivian langsung menyipitkan matanya. Rasa enggan dan ingin protes terlihat jelas di matanya. “Baik Pak.“ Tapi pada akhirnya itulah yang keluar dari mulutnya.Setelah itu Vivian pun melangkah meninggalkan area tersebut. Dengan cepat dia pergi ke bagian dapur agar bisa beristirahat sejenak di sana sebelum membuatkan kopi untuk Raven. Namun, sesuatu terjadi ketika dia berada di ambang pintu dapur.“Apa yang mereka lakukan,” batin Vivian sembari mundur selangkah karena melihat kepala dapur tengah berbicara dengan tiga orang tentara di sana. Dia terus memperhatikan interaksi antara keempat orang tersebut, hingga tiba-tiba saja salah seorang tentara itu mencengkeram kerah pakaian kepala dapur.“Apa yang sebenarnya terjadi,” batin Vivian sembari terus memperhatikan setiap gerakan keempat orang tersebut. Hingga sebuah poin cukup penting terlihat, salah satu tentara tersebut memasukkan sesuatu ke dalam saku pakaian kepala dap