“Agatha, kau baik-baik saja?” Seorang gadis dengan riasan pernikahan yang cantik itu masih menatap sendu pada bayangan dirinya di cermin.
Sementara seorang gadis lainnya tampak mendekat sembari meletakkan kedua tangan di bahunya.
“Bagaimana aku bisa baik-baik saja, sedangkan aku sendiri tidak tahu dengan siapa aku akan menikah.” Agatha berusaha tegar, sekuat tenaga menahan air mata yang mencoba keluar dari pelupuk matanya.
Dia tidak boleh menangis sekarang. Dia harus menggunakan otaknya untuk memikirkan cara terbaik untuk menghindari atau lebih bagus lagi membatalkan pernikahan buta ini.
“Siapa yang tahu pria seperti apa yang dipilih oleh ayahmu itu. Apa kau ingin aku pergi melihat?” Amelie—manager Agatha—mengendikkan bahunya, menghela napas dengan frustasi.
“Tidak perlu. Hanya akan buang-buang waktu saja.” Agatha menggeleng, menolak usulan Amelie.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kau mencoba membujuk ayahmu sekali lagi saja? Saat ini di luar pasti sedang sangat ramai dan banyak orang, otomatis pikirannya akan kacau dan terpecah. Kau bisa menggunakan kesempatan ini untuk memengaruhnya.” Usul Amelie lagi.
“Tidak bisa. Aku sangat mengenal sifat ayahku. Hal seperti ini tidak akan berhasil. Kalau aku berhasil memengaruhinya, pernikahan ini tidak akan pernah ada.”
“Coba saja, siapa tahu ayahmu akan berubah pikiran pada detik-detik terakhir. Kecuali kau—memang menginginkan pernikahan ini?” Tanya Amelie asal yang langsung ditatap tajam oleh Agatha.
“Tentu saja tidak. Aku sangat tahu bagaimana ayahku, dia tidak akan mungkin membatalkan pernikahan di saat-saat terakhir. Dia tidak seberani itu untuk menanggung malu seumur hidup.” Agatha kembali melihat bayangan dirinya di cermin.
Cantik. Dan juga menyedihkan. Itulah gambaran dirinya saat ini.
Agatha Rawlins adalah seorang selebritis papan atas di Italia. Banyak orang mengidolakan dan memujanya. Hampir setiap apapun yang dia lakukan selalu menjadi trendsetter di masyarakat. Dengan kecantikannya yang alami, orang-orang percaya kalau dirinya mungkin adalah reinkarnasi dari dewi Aphrodite di masa kini.
Namun nasibnya tak sebaik wajah cantiknya. Beberapa saat lagi, dirinya akan melakukan pernikahan dengan seorang pria pilihan ayahnya. Agatha tidak menyangka akan menikah dengan cara seperti ini. Usianya masih 24 tahun, namun sudah dipaksa menikah dengan pria yang tidak dia ketahui asal usulnya.
“Apa kau sudah selesai dirias? Kenapa lama sekali?” Tanya seorang pria setengah baya yang baru saja masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk pintu.
“Hanya tinggal memasang tiaranya saja.” Ucap sang perias dengan wajah kecut, pasalnya ini hampir kesepuluh kalinya pria itu masuk untuk menanyakan hal yang sama.
“Baiklah, kuharap ini yang terakhir. Sepuluh menit lagi pastikan untuk membawanya ke luar.” Lanjutnya lagi.
Allesio Rawlins—Ayah Agatha— terkenal memiliki temperamen yang sangat buruk. Meskipun usianya belum terlalu tua, namun wajah dan perawakannya terlihat seperti sudah berusia 70 tahun. Hal itu karena kebiasaan buruknya yang selalu mengonsumsi alkohol dan juga mengisap tembakau.
Amelie bahkan harus menahan napas saat berhadapan dengannya.
Setelah kejadian 14 tahun yang lalu, ayah kandungnya membawanya kembali ke Vicitavecchia, salah satu kota yang terletak di provinsi Roma, Italia Barat. Menjadikannya seorang aktris dan model iklan di usia yang masih sangat muda.
“Agatha, lalu apa rencanamu selanjutnya?” Amelie memincingkan matanya, melihat gelagat Agatha saat ini, terlihat gadis itu seperti sedang merencanakan sesuatu.
“Melarikan diri. Amelie, kau akan membantuku, kan?”
“Apa? Kalau ayahmu tahu, dia pasti akan langsung membunuhku!” Agatha melihat raut kecemasan di wajah Amelie.
“Dia tidak akan melakukannya.”
“Dia saja bisa membuatmu menikah dengan pria yang tidak kau kenal. Kalau hanya membunuhku, tentu itu bukan sesuatu yang sulit baginya.”
“Kumohon, Amelie. Aku akan sangat berterima kasih padamu. Dan kalau kita bisa bertemu lagi, aku berjanji akan melakukan apapun untukmu.” Kata Agatha penuh permohonan, tatapannya kali ini benar-benar sulit untuk ditolak.
“Hm, baiklah. Tapi jika ayahmu benar-benar membunuhku, kau harus memakamkanku di komplek pemakaman elit dengan harga tanah yang mahal.” Celetuk Amelie asal, yang mau tak mau mengundang tawa Agatha.
“Setuju. Aku berhutang budi padamu, Amelie. Aku menyayangimu.” Agatha mengecup singkat salah satu pipi Amelie.
“Hati-hati.” Amelie menarik napas dengan was-was.
Agatha mengangguk dan mulai memanjat keluar lewat jendela, lalu berlari secepat dan sejauh mungkin dari sana. Dia bahkan tidak sempat mengganti pakaiannya. Masih mengenakan gaun pengantinnya yang memiliki desain sedikit ketat di bagian pinggul hingga lututnya.
Bagian bawah gaun itu terlihat seperti ekor putri duyung yang menari-nari di perairan lepas. Sangat indah sehingga mampu menunjukkan lekukan tubuhnya yang sempurna.
“Maafkan aku, ayah. Aku tidak bisa menikah dengan pria yang sama sekali tidak kukenal.” Agatha menatap sekeliling rumahnya untuk terakhir kali.
Memandang lurus ke depan, di mana sebuah pekarangan yang luas telah disulap menjadi latar pernikahan yang begitu megah dan berhiaskan bunga-bunga mawar yang tampak segar seperti baru dipetik. Itu seharusnya akan menjadi tempat pernikahannya.
Agatha menarik napas dalam, mengangkat gaunnya ke atas dan kembali berlari.
“Tunggu! Kau mau pergi kemana?” Suara seorang pria mengagetkannya, Agatha terkejut saat mendapati empat hingga lima orang pengawal ayahnya tengah berlari menuju ke arahnya.
“Tidak. Aku tidak boleh tertangkap.” Ucap Agatha, dengan susah payah mempercepat laju larinya untuk menghindari kejaran orang-orang itu.
“Agatha, Agatha. Kau akan kabur kemana sekarang?” Agatha bergumam, matanya beredar ke sekeliling, mencari tempat yang aman untuk menyembunyikan dirinya.
Agatha tidak dapat berlari lagi, apalagi dengan mengenakan gaun pengantin, itu sungguh menyulitkan. Di tengah kebingungannya untuk menghindari orang-orang yang tengah mengejarnya. Tiba-tiba sebuah limusin hitam berhenti tepat di sampingnya dan Agatha merasakan tangannya ditarik dengan kasar hingga dirinya terjatuh dan masuk ke dalam limusin itu.
“Sssst, tenanglah. Kalau tidak, mereka bisa menemukanmu.” Pria itu mengangkat sebelah alisnya, sementara salah satu tangannya menutup mulut Agatha.
Agatha melotot, tidak mengenali pria itu. Namun dari paras dan penampilannya yang terlampau rapi itu, Agatha berani menjamin kalau pria itu mungkin bukan orang sembarangan.
‘Bukan orang sembarangan!’ Hatinya berseru penuh peringatan.
Sesaat kemudian, pikirannya kacau dipenuhi dengan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi. Agatha takut diculik!
“Akhirnya aku menemukanmu, Agatha.” Pria itu mencondongkan wajahnya ke depan dan berbicara dengan setengah berbisik.
Pria itu bahkan tahu namanya!
“Jalan.” Ucapnya lagi, sembari melepaskan tangannya dari mulut Agatha.
Limusin itu melesat meninggalkan lingkungan tempat tinggal Agatha hanya dengan satu kata perintah.
“Kau—siapa?” Tanya Agatha setelah berhasil mengumpulkan segenap keberaniannya.
Meskipun dalam hatinya ketakutan setengah mati, namun Agatha bersikeras untuk menyembunyikannya.
“Apa wajahku ini mudah untuk dilupakan, adikku sayang?” Agatha melotot, berusaha mencerna dua kalimat terakhir yang diucapkan pria itu.“Adik—apa?”Agatha nyaris kesusahan bernapas. Satu-satunya orang yang bisa memanggilnya adik adalah—kakak tirinya.“Kau, Liam—Liam Stefano?” Tebaknya.“Tepat sekali.” Pria itu menjentikkan jarinya karena Agatha berhasil mengenalinya.Sementara itu, kewaspadaan Agatha meningkat. Mereka sudah tidak bertemu selama empat belas tahun. Pertemuan terakhir mereka juga tidak berjalan baik, sekarang pria itu malah muncul di hadapannya.Agatha tidak menyangka, mereka akan bertemu lagi dalam situasi seperti ini.“Kenapa kau ada di sini?” Agatha bertanya lagi. Dia menatap Liam seperti kelinci yang terperangkap.“Untuk membawamu pulang tentu saja.” Ucapnya dengan ringan sembari menyandarkan punggungnya dengan santai di kursi dan menyilangkan kaki.“Aku? Tidak mungkin.” Agatha menggeleng, tidak ingin percaya.“Kenapa tidak? Bukankah kau harus mempertanggungjawabkan
“Rumahku.” Sesaat setelah Liam mengatakannya, mobil kembali bergerak lambat, lalu berhenti sepenuhnya di depan sebuah bangunan besar yang di dominasi warna putih.“Kenapa kau membawaku ke rumahmu?”“Kupikir kau butuh tempat pelarian yang aman?” Liam melihat Agatha dengan tatapan mencemooh. Penampilan Agatha dengan gaun pengantin putih itu mengandung fakta, kalau adiknya itu mungkin akan melangsungkan pernikahan hari ini.Agatha berusaha menguasai diri, merasa telah salah menafsirkan perkataan Liam sebelumnya. Pria itu hanya mengatakan ‘akan membawanya pulang tadi’, bukan ‘akan membawanya ke rumah lama mereka’. Dan di sinilah dirinya berada sekarang, di tempat asing yang belum pernah dia kunjungi.“Tuan muda, kau sudah pulang?” Sapa seorang pria berkulit pucat menyapa, menyambut kedatangan mereka.Pandangan mereka bertemu, dan Agatha menangkap keterkejutan dari reaksi pria itu. Namun setelah berhasil mengendalikan diri, pria itu kembali menunjukkan wajah datar tanpa ekspresi lagi.Seme
Agatha perlahan membuka kotak itu di hadapan Liam. Gadis itu kembali terkejut saat melihat pakaian yang terlipat rapi di dalamnya. Itu adalah satu stel seragam yang—sama persis dengan yang dikenakan oleh dua orang maid tadi.“Ini—“ Agatha menggantung ucapannya di tenggorokan.“Seragammu.” Jawab Liam ringan dan tanpa beban.“Apa? Kau gila?”“Tidak ada yang lebih gila dari seorang pelacur yang membunuh suami dan anaknya sendiri!” Seru Liam, membuat Agatha mundur karena terkejut.Pria itu mengatakannya dengan kejam dan tanpa perasaan.“Ibuku bukan pelacur.” Segumpal air mata menggenang di pelupuk mata Agatha.“Katakan itu pada tembok di belakang kepalamu.” Liam melempar serbetnya ke meja, lalu berdiri dan meninggalkan Agatha.“Jangan lupa untuk selalu memakainya selama kau berada di rumah ini.” Liam mengatakan kalimat itu tanpa berbalik, kemudian melanjutkan langkah kakinya untuk pergi menjauh.“Hanya begini saja? Jangan kau kira aku akan menyerah hanya karena hal seperti ini. Seumur hid
“Agatha, apa kau sudah siap?” Seru sang fotografer dari tengah studio.Theo lalu mengangkat jempolnya ke udara sebagai jawaban.“Baiklah, aku akan melakukannya dengan baik kali ini.” Agatha berbicara pada dirinya sendiri, tangan kanannya menekan dada kirinya sejenak untuk menenangkan debur jantungnya.Setelah itu dia kembali melangkah ke tengah studio untuk melanjutkan pemotretan. Agatha bertekad untuk menyelesaikannya hari ini. Tidak peduli meskipun kakak tirinya berada di sana.“Astaga, aku jadi lupa memberitahunya tadi.” Lanjut Theo, suaranya menguap di udara saat melihat Agatha berjalan menjauhinya.***Agatha tampak kelelahan setelah menyelesaikan pemotretan dengan Juliette selama tiga jam penuh. Apalagi dirinya juga belum menyentuh makanan apapun sejak pagi. Jadi saat pekerjaannya selesai, Agatha segera meraih pasta carbonara dengan daging sapi asap yang sudah disiapkan untuknya.Agatha melahap makanannya dengan cepat, dia harus segera pergi untuk membeli ponsel baru sebelum kem
Agatha sudah hampir kehabisan napas saat suara Luca menginterupsi di belakang Liam.“Tuan Stefano, jangan. Kau bisa membunuhnya.” Liam menarik tangannya dengan keras, meninggalkan Agatha yang seketika terduduk dan terbatuk di lantai sembari memegangi lehernya.“Tidak akan ada yang tahu sekalipun dia mati di rumahku.” Suara Liam samar-samar terdengar di kejauhan.“Palazzo ini terlalu berharga untuk dijadikan tempat pembunuhan.” Sahut Luca.“Kau benar. Kau bawa dia, pastikan bibi Emy mengurusnya dengan benar.” Lanjut Liam sebelum kaki-kaki panjangnya menaiki anak tangga menuju ke lantai dua.Agatha tersenyum miris saat mendengar percakapan kedua pria itu. Mereka membicarakan tentang pembunuhan dengan begitu ringan dan mudahnya.‘Sebenarnya tumbuh menjadi manusia seperti apa kau ini? Bukan hanya dirimu yang kehilangan keluarga dalam kecelakaan itu, tapi aku juga.’ Batin Agatha, menahan air matanya agar tidak jatuh. Dia tidak boleh menangis, Agatha tidak ingin menunjukkan kelemahannya pad
“Maafkan saya, tuan muda. Saya bersalah. Saya hanya terlalu senang karena—awh! Sakit.” Serunya saat Liam dengan sengaja menarik kasar nampan berisi kopi dari tangan Agatha hingga jatuh, dan cairan pekat yang masih panas itu seketika meluncur jatuh mengenai tangan maid muda itu, membuatnya meringis dan mengibaskan tangannya yang memerah dan hampir melepuh.“Apa yang kau lakukan?” Agatha melotot tak percaya.“Itulah akibatnya kalau tidak mematuhi aturan.” Ucapnya dengan dingin dan kejam.“Kau bisa mengatakannya baik-baik tanpa harus menyakiti tangan orang lain.”“Sejak kapan aku peduli? Jangan bertindak seolah kau adalah pahlawan. Karena di sini, statusmu sama saja dengannya. Kecuali—kau juga ingin mencobanya?” Agatha tersentak.Melihat dari ekspresi Liam saat ini, bukan tidak mungkin pria itu akan melakukan ancamannya.“Ikuti saja aturan mainnya kal
“Nona Agatha, senang bisa bertemu denganmu lagi.” Pria setengah baya itu—Oliver, menelusuri Agatha dari segala sisi.“Aku senang bisa bertemu lagi dengan paman. Paman masih terlihat sama seperti 14 tahun yang lalu.”Agatha kembali mengingat pertemuan terakhirnya dengan pria bernama Oliver itu. Hari saat keluarganya dimakamkan. Oliver adalah orang yang membelanya dan menyelamatkannya dari amukan Liam saat itu. Pria itu juga yang lalu membawanya keluar dari rumah lamanya.Setelah itu mereka tidak pernah bertemu lagi hingga sekarang.“Aku senang sekali nona tumbuh dengan baik.”“Terima kasih, paman. Oh, ya. Apa yang paman lakukan di sini?”“Tuan Liam menyuruhku untuk mengantar nona.”“Mengantarku?” Agatha menunjuk dirinya sendiri dengan terkejut.“Ya. Bukankah kau adalah seorang selebritis sekarang? Akan sangat berbahaya kalau orang terkenal sepert
“Amelie?” Agatha membelalak saat mendapati Amelie berada di studio Juliette, dia lalu berlari dan menghambur ke dalam pelukan gadis itu.“Amelie, kau baik-baik saja? Apa ayahku melukaimu? Atau melakukan hal buruk padamu?” Amelie menggeleng dan tersenyum mendengar rentetan pertanyaan Agatha.“Syukurlah, aku sangat mencemaskanmu.”“Aku tahu.” Gadis bernama Amelie itu menepuk pelan punggung Agatha yang memeluknya.“Ayahku pasti marah besar saat mengetahui aku kabur di hari pernikahan.” Agatha memelankan suaranya saat mengatakan kalimat terakhirnya.“Begitulah. Aku akan menceritakannya setelah kau menyelesaikan pekerjaanmu.” Agatha mengangguk setuju dan segera kembali ke posisinya.***“Jadi, Agatha. Bisakah kau memberitahuku dimana kau tinggal beberapa hari ini? Ayahmu bahkan tidak bisa melacakmu karena kau tidak membawa apapun saat pergi.” Agatha dan Ame
Agatha tidak pernah menyangka kebahagiaan yang sesunguhnya akan datang seperti ini. Hingga membuatnya berkali-kali meyakinkan diri kalau semua yang terjadi bukanlah mimpi. Rasanya masih seperti kemarin dia bertemu dengan Liam untuk pertama kalinya setelah perpisahan selama 14 tahun. Rasanya baru kemarin juga mereka menikah dan menghadapi berbagai cobaan dan segala kesalahpahaman.Dan rasanya, seperti baru kemarin juga mereka bertemu kembali setelah perpisahan kedua selama lima tahun. Setelah melewati semua perjalanan panjang itu, akhirnya dia bisa mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya. Liam sudah berubah 180 derajat dari saat pertama kali mereka bertemu.Pria itu selalu memanjakan dan menunjukkan rasa cintanya setiap saat, setiap hari. Dia juga menepati janjinya untuk selalu memprioritaskan keluarganya, membahagiakan Agatha dan anak-anaknya. Liam bahkan dengan tulus memindahkan makam ibunya di samping makan ayah dan kakaknya di rumah lama mereka, tidak lagi memisah
“Kukira aku tidak akan pernah puas jika menyangkut dirimu. Bukankah aku sudah sering mengatakannya?” Liam memainkan jari jemarinya di bahu telanjang Agatha.“Kuharap Noah tidak akan pernah menemukan kita dalam keadaan seperti ini.”“Tidak akan. Aku sudah mewanti-wanti Bibi Emy untuk ‘menjaganya’ dengan baik. Kalau sampai bocah itu lolos, aku akan memecatnya.”“Kau ini, masih saja suka sembarangan memecat orang.” Agatha memutar bola matanya malas, menanggapi sikap Liam yang masih suka seenaknya sendiri.***Sudah berminggu-minggu berlalu. Noah sudah mulai bisa beradaptasi hidup di lingkungan Cedar Hills yang dipenuhi dengan vila-vila orang kaya dengan jarak yang sangat jauh antar satu vila dengan vila lainnya. Kehidupannya sama sekali berbeda dengan saat dirinya masih tinggal di Borghetto.Di tempat tingal lamanya, rumah tetangganya berjarak tidak begitu jauh. Namun di Cedar Hills, Noah harus menerima kenyataan kalau dirinya bahkan tidak memiliki tetangga. Setelah pindah ke Como, ayahn
“Tentu saja aku tahu. Aku juga tahu makanan kesukaan semua orang di rumah ini.”“Sungguh?”“Bibi Emy adalah koki terbaik di sini. Kalau kau ingin makan sesuatu, tinggal katakan saja padanya.” Sahut Liam.“Hebat. Ayah bahkan memiliki seorang koki pribadi!”“Baiklah, kau sudah mendapatkan kamarmu. Sekarang giliran ayah mengantar ibumu ke kamar.”“Hm, bersikap baiklah padanya.”“Bibi Emy, tolong jaga dia dengan baik. Pastikan dia tidak tiba-tiba muncul di kamarku.” Ucap Liam memperingati.“Baik, Tuan Stefano.” Bibi Emy mengangguk dan tersenyum, paham betul dengan maksud perkataan majikannya itu.***“Apa Noah menyukai kamar barunya?” Tanya Agatha tanpa memalingkan pandangannya dari kebun lily putih di hadapannya.“Dia sangat menyukainya. Sekarang dia sedang menikmati tortellini cokelat kesukaannya.” Jawab Liam, pria itu berjalan mendekati Agatha dan melingkarkan tangannya posesif di pinggang istrinya.“Baguslah.” Responsnya singkat.“Kau baru tiba beberapa menit di sini dan langsung meli
“Itu—sama sekali bukan urusanku.” Liam menyeringai, menikmati pemandangan menyedihkan dari orang-orang yang telah berlaku buruk pada anak dan istrinya selama lima tahun ini.“Bukankah kalian juga bersikap tidak adil pada Agatha dan Noah saat mereka tidak memiliki apa pun?”“Tuan Stefano, mohon maafkan kesalahan kami di masa lalu. Tidak bisakah kau melupakannya dan—”“Tidak. Sudah kukatakan aku bukan orang pemaaf, jadi jangan mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin bisa kulakukan.” Liam menggamit lengan Agatha dan membawanya pergi dari sana, mengabaikan rintihan orang-orang yang memohon padanya.Liam tidak peduli, baginya orang-orang yang bersalah pantas untuk dihukum dan menerima karma mereka. Sama sekali tidak layak untuk dimaafkan. Orang-orang itu layak untuk menuai apa yang telah mereka tabor. Sekaligus sebagai peringatan bagi yang lainnya, kalau tidak boleh sembarangan memperlakukan orang lai
“Sejak awal aku sudah menyadari kemiripanku denganmu, hanya saja aku tidak ingin terlalu berharap. Aku takut kalau kenyataannya tidak sesuai dengan yang kuharapkan. Jadi aku memilih menunggu sampai kau memberitahuku lebih dulu.”Liam menjulurkan tangan untuk mengusap wajah Noah yang sudah basah oleh air mata.“Sekarang dengarkan baik-baik. Aku adalah ayahmu. Ayah yang mencintai dan sangat menginginkanmu. Kau akan selalu menjadi lebih penting daripada hidupku sendiri. Ingat itu baik-baik, oke?” Noah mengangguk mendengar penjelasan ayahnya.“Kalau begitu bersiaplah, aku akan mengantarmu ke sekolah.”“Tidak mau.” Liam mengerutkan keningnya mendengar penolakan Noah.“Aku tidak ingin berada di sekolah itu lagi. Ayah juga mengatakan kemarin kalau aku bisa mendapatkan sekolah yang lebih baik dari sekolahku yang di sini.”“Itu memang benar. Ayah akan mengantarmu ke sekolah bu
“Aku tidak mau.” Agatha menarik diri sepenuhnya dari berpelukan dengan Liam.“Kenapa?” Tanya pria itu bingung.“Usiaku sudah 29 tahun sekarang.”“Di mataku, kau terlihat jauh lebih muda dan cantik dari gadis muda mana pun.”“Aku hanya akan hamil satu kali lagi. Apa kau keberatan? Atau mau mencari wanita lain untuk memenuhi keinginanmu yang ingin memiliki banyak anak itu?”Liam menarik napas dalam sebelum menjawab, berusaha tidak ada kesalahan pengucapan dan membuat Agatha berubah pikiran.“Terserah kau saja. Berapa pun tidak masalah. Bagiku, asalkan bisa hidup dan menua bersamamu, itu saja sudah cukup. Keinginanku yang paling besar sekarang adalah menjalani hidup denganmu dan juga Noah. Dan berusaha memprioritaskan kebahagiaan kalian berdua.”“Kata-katamu terdengar manis, dari mana kau mempelajarinya?”“Aku mempelajarinya darimu.” Li
“Kau penyihir kecil menantang dengan segala kebaikannya. Dan juga istri yang kucintai. Sangat-sangat kucintai.” Jawabnya.“Kau sudah mengatakannya kemarin.”“Aku akan lebih sering lagi mengatakannya. Sesering mungkin.” Liam tak lagi menyangkal perasaannya, dan dia akan berusaha sejujur mungkin, terutama untuk membuat Agatha tetap di sisinya.Agatha merasa tubuhnya panas dan berkeringat, namun Liam dengan gerakan cepat bangkit dan meraup tubuhnya kembali dalam pelukan. Liam menciumnya, Agatha secara sadar dan sukarela membalas ciumannya.Saat tiba-tiba Liam menghentikan ciumanya, pria itu mendesah di atas bibir Agatha yang peka. Dia mengangkat kedua tangannya dan menangkup wajah Agatha, mata abu-abunya yang gelap penuh dengan hasrat yang menuntut tanggapan positif.“Aku tak akan pernah merasa puas akan dirimu, Tesoro—sayang. Kumohon, pulanglah bersamaku.”Dada Agatha serasa direma
“Anggap saja begitu. Agar rencana balas dendamku ini berjalan lancar, sebaiknya kau ikut pulang bersamaku. Dengan begitu aku bisa menghukummu—tidak—menghamilimu sebanyak yang bisa kau terima.”“Dasar kau mesum.”“Kau kira mudah menahan diri selama lima tahun?”“Siapa suruh kau tidak mencari pelampiasan lain. Dengan kualifikasimu, pasti banyak wanita yang tertarik.”“Kau pikir aku pria seperti apa? Aku adalah pria yang sudah menikah. Aku tidak ingin mengotori diriku dengan berselingkuh!”Sekarang Agatha yakin wajahnya pasti sudah sangat merah. Kenyataan bahwa suaminya tidak menginginkan wanita lain selain dirinya terdengar cukup melegakan.“Aku akan melihat Noah dulu.” Agatha berusaha menghindari Liam dengan menjadikan putranya sebagai alasan.Sejujurnya, dia merasa perlu membujuk anak itu agar tidak terlalu memusuhi Liam. Agatha paham dengan sikap Noah
Merasa malu karena terpergok oleh putranya sendiri tengah melakukan perbuatan tidak senonoh.“Oh, maafkan aku, Agatha. Apa kami datang di saat yang tidak tepat? Haruskah aku membawa Noah pergi lagi?” Tanya Frank dengan hati-hati, pria itu kesulitan berkata-kata melihat tatapan Liam yang setajam pisau.“Kukira paman orang yang baik, ternyata kau lebih mesum dari pria mana pun yang mencoba mendekati ibuku.” Noah segera berlari ke arah keduanya, lalu memberikan beberapa tinju pada Liam, membuat pria itu terhuyung ke belakang akibat serangan dadakan itu.“Apa yang kau lakukan?” Liam berusaha menghalau tangan Noah kecil yang bergerak sangat cepat ke arahnya.“Aku membencimu, karena sudah berani mencium ibuku. Aku akan memukulmu dan menendang pantatmu!” Teriaknya dengan amarah yang meluap-luap.“Agatha.” Liam menatap Agatha seolah meminta pertolongan.“Berhentilah kalian berdua.&rdq