“Kau ingin melihat kamarmu?”Suara Aldrich yang dalam menyadarkannya dari lamunannya. Valerie menoleh, menemukan pria itu sudah berdiri di dekat tangga dengan ekspresi tenang, tetapi matanya tetap mengamati Valerie dengan cermat.Valerie mengangguk pelan, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang merayapi dirinya. Ia mengikuti Aldrich menaiki tangga lebar yang terbuat dari kayu gelap dengan pegangan besi berukir. Langkah mereka nyaris tidak bersuara di lantai kayu, menciptakan suasana yang semakin sunyi.Setibanya di lantai atas, Aldrich membuka salah satu pintu di sisi kiri koridor. Valerie melangkah masuk dan langsung terdiam.Kamar itu lebih besar dari apartemennya.Tempat tidur berukuran king dengan seprai putih bersih berada di tengah ruangan, berhadapan langsung dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan hutan di kejauhan. Ada sofa kecil di sudut ruangan, serta meja kerja yang terlihat simpel namun elegan.Dibandingkan dengan kemewahan yang dingin di mansion Aldrich, ruang
"Letakkan saja, biar aku yang membersihkan sisanya," kata Aldrich saat melihat Valerie bersiap membereskan piring dan peralatan makan mereka.Namun, bukannya menurut, Valerie justru tetap berdiri di tempatnya. "Kau sudah memasak. Biar aku yang membersihkannya." Ia mengerucutkan bibir, menunjukkan ketidaksetujuannya.Aldrich hanya meliriknya sekilas sebelum dengan sigap mengambil piring dari tangan Valerie. "Kau duduk saja," ujarnya tegas, lalu membawa semua peralatan makan ke wastafel.Tapi tentu saja, Valerie tidak mau diam begitu saja. Ia justru mengikuti Aldrich sampai ke wastafel, memperhatikannya dengan penuh rasa ingin tahu.Aldrich, tanpa menghiraukannya, mengambil celemek hitam yang tergantung di samping lemari dapur, lalu mengenakannya dengan gerakan terlatih. Ia juga menyarungkan sepasang sarung tangan karet sebelum mulai mencuci piring dengan telaten. Jemarinya yang biasanya tampak garang saat mengetik di laptop atau menggenggam setir mobil, kini dengan luwes menggosok set
Valerie tahu ia harus mundur. Ia harus menjauh sebelum semuanya semakin tak terkendali. Tapi ketika Aldrich semakin mendekat, ketika matanya yang tajam menatap bibirnya seolah meminta izin tanpa kata, Valerie justru tetap diam.Tidak ada keraguan. Tidak ada kecanggungan.Lalu, bibir Aldrich menyentuhnya—hangat, lembut, dan begitu pasti.Ciuman itu bukan tuntutan, bukan juga sesuatu yang tergesa-gesa. Aldrich menciumnya dengan tenang, seakan memberi waktu bagi Valerie untuk menyadari apa yang sedang terjadi. Sentuhannya dalam, tapi tidak mendesak. Seolah ia ingin Valerie merasakan setiap sensasi, setiap getaran yang muncul dari sentuhan mereka.Dan Valerie? Ia membalas.Tanpa sadar, jemarinya yang tadinya mengepal di dada Aldrich kini melonggar, jemari kecilnya merayap naik, menyentuh leher pria itu, lalu berhenti di belakang tengkuknya. Ia tidak menarik Aldrich lebih dekat, tapi juga tidak mendorongnya pergi.Aldrich menangkap isyarat itu dengan cepat. Ciumannya semakin dalam, lebih
Aldrich bersandar ke sofa, menatap api yang berkobar di perapian sebelum akhirnya berbicara."Tentang yang terakhir kali, aku masih menunggu jawabanmu. Kalau-kalau kau berubah pikiran."Valerie menoleh, menatapnya dengan alis bertaut. "Apa maksudmu?"Aldrich tersenyum miring, sorot matanya tajam namun tetap tenang. "Pernyataan cintaku. Aku tahu kau merasakannya sama seperti aku. Jadi, berhentilah berpura-pura bahwa itu tidak terjadi. Jangan terus-terusan menolak aku."Valerie membuka mulut, hendak membantah, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Karena di lubuk hatinya, ia tahu Aldrich benar.Dan perasaan yang ia rasakan saat ini juga nyata.Namun, ia menepisnya. "Kau mungkin salah mengartikannya, Aldrich. Bisa saja perasaan itu hadir karena kita menjadi partner ranjang. Itu hanya sesaat."Entah sudah berapa kali Valerie mengatakan itu.Membuat Aldrich menghela napas pelan, lalu mengalihkan pandangannya ke perapian. Ekspresinya tidak berubah, tetapi Valerie bisa merasakan ketegangan y
Valerie sudah berusaha memejamkan mata, tetapi tetap saja tak bisa tidur. Perutnya masih terasa tidak nyaman, membuatnya resah. Akhirnya, ia membuka mata dan menoleh ke arah Aldrich yang duduk di sofa tunggal, sibuk memainkan tabletnya.“Aldrich,” panggilnya pelan.Aldrich mengangkat wajah, sedikit terkejut mendengar suaranya di tengah keheningan malam. Tanpa ragu, ia langsung menggelapkan layar tablet dan meletakkan benda itu di atas meja sebelum mendekati tempat tidur.“Kenapa belum tidur?” tanyanya sambil duduk di tepi ranjang.Valerie menggeleng pelan, membiarkan Aldrich mengusap rambutnya dengan lembut. Sentuhan itu terasa menenangkan, tetapi tetap tidak bisa mengusir rasa tidak nyaman dalam perutnya.“Aku tidak bisa tidur,” akunya jujur.Aldrich menghela napas, lalu mengangguk paham. “Bagaimana perutmu? Masih terasa tidak enak?”Valerie hanya mengangguk kecil.“Apa perlu aku panggilkan dokter ke sini?” tawar Aldrich dengan nada serius.Mendengar itu, Valerie langsung menggeleng
Pagi harinya, cahaya matahari menembus celah tirai, menciptakan semburat keemasan di dalam kamar. Valerie masih terlelap, napasnya teratur, sementara Aldrich sudah terjaga lebih dulu. Ia bangkit perlahan agar tidak membangunkan Valerie, lalu berjalan keluar kamar. Begitu sampai di ruang kerja, ponselnya bergetar di atas meja. Ia mengangkatnya tanpa ragu.“Tuan, orang-orang Charlos yang membuntuti Anda sudah dibereskan. Mereka tidak akan bisa mendekati Anda ataupun Nona Valerie lagi,” ujar suara tegas dari bawahan kepercayaannya.Aldrich bersandar di kursinya, mengusap dagunya yang mulai berpasir dengan ekspresi penuh pemikiran. "Bagus. Apa ada hal lain?""Ya. Kami telah mengumpulkan semua bukti terkait aktivitas Charlos, termasuk transaksi ilegal yang ia lakukan untuk menjatuhkan Anda dan bukti bahwa ia berusaha mencelakai Nona Valerie. Semua dokumen sudah siap untuk dilaporkan ke pihak berwajib."Aldrich mengangguk puas. "Lakukan segera. Pastikan dia tidak punya celah untuk lolos."
Sementara itu, Aldrich berada di kantornya, menatap layar laptop dengan ekspresi dingin. Sejak pagi, ia terus menerima laporan dari bawahannya tentang gerakan terakhir Charlos. Semua anak buah Charlos yang mencoba membuntuti mereka sudah dilumpuhkan, dan bukti kejahatan pria itu telah dikumpulkan untuk diserahkan ke pihak berwajib.Namun, sebelum ia bisa menghela napas lega, ponselnya bergetar. Nama Lucas, salah satu orang kepercayaannya, muncul di layar."Bos, ada masalah besar."Aldrich mengernyit. "Apa?""Kami baru saja mendapat informasi bahwa Charlos tidak bekerja sendirian. Ada seseorang yang lebih besar di belakangnya, dan mereka baru saja menggerakkan sesuatu yang berbahaya."Dada Aldrich menegang. "Siapa orang itu?"Lucas terdengar ragu sebelum menjawab. "Kami belum bisa memastikan identitasnya, tetapi menurut informasi yang kami dapat, dia jauh lebih berpengaruh daripada Charlos. Dan yang lebih buruk, mereka tahu bahwa Anda sudah mengumpulkan bukti-bukti kejahatan mereka."
Valerie duduk di kursi rumah sakit dengan wajah sedikit pucat. Perutnya sudah jauh lebih baik, tapi ada kegelisahan yang mengganggu pikirannya.Ia melirik ponselnya. Tidak ada pesan atau panggilan masuk. Kenapa Aldrich belum menghubunginya lagi?Seorang perawat datang dan tersenyum. "Nona Valerie, dokter sudah siap menemui Anda."Valerie mengangguk dan berdiri, namun perasaan aneh menggelayut di dadanya. Saat melewati lorong rumah sakit, ia merasa ada seseorang yang mengawasinya.Langkahnya melambat. Matanya melirik ke kanan dan kiri, mencoba mencari sumber perasaan tidak nyaman itu.Lalu, di ujung lorong, ia melihat seseorang berdiri dengan jaket hitam dan topi ditarik rendah. Jantungnya mencelos. Orang itu tidak bergerak, tapi seakan menunggu.Valerie menelan ludah. Jangan panik, Valerie. Mungkin itu hanya pengunjung biasa. Tapi entah mengapa, instingnya berkata lain.Ia melanjutkan langkahnya, kali ini lebih cepat. Setiap langkah yang ia ambil, rasa takut dalam dirinya semakin kuat
Valerie tertawa. “Astaga… aku ingat sedikit. Ayah sempat nangis juga, ya?”“Iya, sambil bilang, ‘Anakku sudah bisa kabur dari rumah!’” ujar Bunda menirukan suara Bastian dengan gaya dramatis, dan mereka berdua meledak dalam tawa.Halaman demi halaman Valerie buka, menemukan momen-momen kecil yang dulu hanya kabur dalam ingatan: waktu ia nyasar di taman belakang dan ditemukan tidur di bawah pohon mangga, saat menangis karena balon ulang tahunnya meletus, atau saat mencoret-coret dinding dengan krayon lalu menyalahkan “kucing tetangga.”“Aku… beneran dulu segemas ini ya Bun?” Valerie mencubit pipinya sendiri.“Gemes banget, sampai bikin Bunda takut kamu cepat besar dan ninggalin Bunda,” ucap Bunda sambil mengelus rambut Valerie.Valerie diam sejenak, menatap satu foto lama. Itu adalah fotonya dan Jennifer, masih berseragam sekolah, tersenyum sambil memegang bunga matahari yang mereka tanam bersama.Wajah Valerie perlahan berubah. Tangannya menyentuh foto itu sejenak, lalu cepat-cepat me
Tok. Tok.Ketukan lembut terdengar di pintu kamar Valerie. Suaranya disusul suara lembut yang tak pernah gagal membuat Valerie merasa seperti anak kecil lagi.“Sayang, Bunda boleh masuk?”Valerie yang sejak tadi hanya duduk di tepi ranjang, memeluk bantal sambil memandangi jendela, menunggu pesan dari Aldrich, menoleh pelan. Ia mengangguk meski tahu sang bunda tak bisa melihatnya.Pintu terbuka perlahan. Wanita elegan dengan balutan blouse biru pastel itu melangkah masuk, menenteng secangkir susu hangat. Senyum hangatnya muncul lebih dulu, sebelum ia duduk di sisi tempat tidur Valerie.“Apa kamu merasa nyaman?” tanya Bunda, mengusap pelan tangan Valerie.Valerie mengangguk kecil. “Nyaman, Bun. Lebih dari nyaman.”Tapi bundanya tahu, di balik senyuman itu, ada hal-hal yang masih mengganjal di hati putrinya.Sambil menyerahkan cangkir susu, Bunda menarik napas panjang. “Kamu tahu, waktu Bunda hamil kamu dulu, Bunda juga sering menangis diam-diam.”Valerie menoleh cepat, kaget.“Bunda?”
Ruang interogasi siang itu tak terlalu ramai. Hanya ada dua penyidik, satu pengacara pendamping dari pihak kepolisian, dan Aldrich yang duduk dengan ekspresi tegas di sisi kanan meja.Jennifer duduk di seberang, tangannya terikat borgol, tapi senyumnya masih setengah mengejek seperti biasa. Rambutnya diikat asal, dan tatapannya tajam menusuk ke arah Aldrich.“Jadi,” ujar penyidik, membuka catatan. “Kita ingin memastikan, benar bahwa semua rencana penjebakan, pengawasan, penyebaran video tak senonoh itu berasal dari Anda?”Jennifer menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, menarik napas panjang, lalu melirik Aldrich sejenak. Bibirnya terangkat dalam senyum malas.“Ya,” katanya enteng. “Itu semua ideku.”Ruangan mendadak sunyi.Aldrich hanya memiringkan kepala sedikit, menatapnya lebih dalam. “Kenapa, Jennifer?”Jennifer mendecakkan lidah pelan. “Kenapa? Serius nanya begitu?”Ia mengangkat alis, lalu melipat tangan di atas meja. “Kau tahu, dulunya aku dan Valerie itu sahabat. Bestie, begitu
“Karena… kamu sangat cantik pagi ini. Dan aku butuh waktu untuk menikmati itu tanpa disela siapa pun,” jawabnya jujur, dengan suara rendah dan dalam.Valerie tertawa kecil, menunduk menahan senyum. “Gombal!”“Tidak.” Aldrich melangkah mendekat. “Kamu makin bersinar sejak hamil. Kulitmu, matamu, senyummu… aku bahkan tidak yakin bisa berkonsentrasi bekerja hari ini.”Valerie menegakkan dagunya, pura-pura berani. “Berarti salahku kamu jadi malas kerja?”“Tentu.” Aldrich menatap mata Valerie begitu dekat sekarang. “Dan karena itu…”Tiba-tiba, ia mencondongkan tubuhnya cepat dan mencuri satu kecupan ringan di bibir Valerie, hanya sekelebat, nyaris tak tersentuh angin.Valerie terkejut. “Aldrich!”Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, Aldrich sudah menjauh setengah langkah dengan senyum tak berdosa. “Apa? Aku hanya mengambil hakku sebagai tunangan.”“Kalau dilihat Bunda, aku bisa dikunci di kamar sebulan!” Valerie menepuk dada Aldrich dengan gemas, tapi rona merah sudah merayap sampai
Suara bel utama mansion menggema lembut ke seluruh penjuru rumah, membuyarkan tawa keluarga kecil itu di ruang makan.Salah satu maid segera berjalan cepat menuju pintu depan. Tak lama, ia kembali sambil tersenyum, membungkuk sedikit kepada Valerie.“Maaf, Nona Valerie… ada tamu. Tuan Aldrich sudah tiba.”Wajah Valerie seketika berubah. Matanya membulat kecil. “Ha? Aldrich?”Sebelum ia bisa berdiri dari kursinya, langkah-langkah mantap terdengar mendekat. Di ambang ruang makan yang luas dan berlapis marmer itu, Aldrich muncul, membawa sebuket bunga peony berwarna putih kekuningan yang indah, dengan satu kantong kertas berisi botol minuman herbal yang tampaknya dikemas dengan cantik.“Pagi semuanya.” Suaranya rendah dan tenang, tapi senyumnya penuh kelembutan, terarah hanya pada satu orang—Valerie.Valerie yang semula bersandar santai kini duduk lebih tegak. Wajahnya langsung merona. Tangannya refleks menyentuh pipinya yang terasa hangat, lalu menatap Aldrich dengan cemberut malu-malu
Begitu ia menginjak lantai marmer utama, aroma masakan segar langsung menyergap lebih kuat. Valerie menuju ruang makan, dan saat pintu geser dibuka oleh seorang pelayan lain, matanya langsung dimanjakan oleh pemandangan yang menggugah selera.Ruang makan itu luas, dengan langit-langit tinggi dan lampu kristal utama bergaya baroque menggantung anggun di tengah ruangan. Meja makan panjang dari kayu walnut mengkilat ditata sempurna dengan taplak putih bersih dan peralatan makan perak. Di tengah meja, berjejer aneka masakan yang menggoda. Omelette keju, salmon panggang, salad buah segar, aneka roti dan croissant hangat, potongan alpukat dan telur rebus, bubur ayam kampung, serta teh melati dan kopi hitam yang masih mengepul.Di ujung meja, sang ayah, Bastian, sudah duduk santai dengan koran pagi terbuka di depan wajahnya, namun begitu Valerie masuk, ia menurunkannya dan langsung tersenyum lebar.“Lihat siapa yang akhirnya bangun!” serunya sambil berdiri. “Nak, daddymu curiga, bundamu s
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk lewat celah tirai kamar Valerie, menyapu lembut wajahnya yang tenang dan sedikit mengantuk. Kulitnya tampak lebih bercahaya dari biasanya, dengan pipi yang merona alami, sebuah pesona baru yang muncul sejak ia mengandung. Rambutnya yang sedikit berantakan justru membingkai wajah ovalnya dengan manis, membuatnya terlihat semakin menawan meski baru saja terbangun.Ia mengenakan daster satin berwarna lembut—biru muda dengan renda tipis di bagian lengan dan kerah. Bahannya yang jatuh mengikuti lekuk tubuh membuatnya tampak anggun meski dalam kesederhanaan. Valerie menggeliat pelan di atas ranjang, lalu meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.Senyuman tipis langsung mengembang di wajahnya begitu layar menyala, ada notifikasi dari Aldrich.Aldrich [07.02 AM]:Pagi, sayang. Sudah bangun?Valerie mengetik dengan cepat, senyumnya makin lebar.Valerie [07.03 AM]:Sudah. Tapi belum mandi. Masih mager di kasur.Kenapa tidak bangunkan aku langsung saja?
Malam telah turun dengan damai, membungkus mansion megah milik keluarga Bastian dalam kehangatan yang elegan. Di ruang makan utama, cahaya lampu gantung berkilau keemasan, memantulkan bayangan hangat di dinding-dinding tinggi yang dihiasi lukisan klasik.Di meja makan panjang yang ditata rapi dengan peralatan makan mewah berlapis emas, duduklah Valerie, Aldrich, Bastian, dan sang Bunda. Wanita anggun itu mengenakan blus sutra krem yang memancarkan ketenangan, duduk di samping suaminya dengan tatapan penuh cinta pada anak semata wayangnya.Makan malam berlangsung dalam obrolan ringan dan senyum yang tak putus-putus. Sampai akhirnya Valerie meletakkan garpunya perlahan, menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi hangat yang terselip gugup.“Ayah, Bunda…” ucap Valerie lirih. “Aku ingin memberitahu sesuatu.”Bunda Valerie segera menatap putrinya itu dengan lembut. “Apa, sayang?”Valerie meraih tangan ibunya, lalu melirik Aldrich yang duduk di sebelahnya, memberi anggukan kecil penuh duku
Langit mulai beranjak senja saat rombongan mobil hitam mewah memasuki gerbang besar bergaya klasik Eropa yang berdiri megah di ujung jalan pribadi sepanjang hampir satu kilometer. Pagar besi berornamen emas terbuka perlahan, menampilkan pemandangan mansion Bastian yang seperti diambil dari halaman majalah arsitektur kelas dunia.Mansion itu berdiri tiga lantai dengan dominasi marmer putih krem, jendela-jendela tinggi berbingkai emas matte, dan pilar-pilar kokoh menjulang. Air mancur dengan patung kuda berlapis perunggu menjadi pusat taman depan, dengan rumput yang dipangkas sempurna dan lampu-lampu taman mulai menyala hangat seiring langit menggelap.Saat mobil berhenti, beberapa bodyguard berbadan tegap segera membuka pintu. Valerie turun terlebih dahulu, mengenakan dress soft pink selutut yang membentuk tubuh rampingnya. Flat shoes putihnya menyentuh marmer dengan langkah anggun. Di belakangnya, Aldrich turun dengan gaya khasnya—jas casual warna arang, kemeja putih berpotongan pas