“Hhh .…” Valerie menarik napas tajam, sebuah desahan halus lolos dari bibirnya. Suara itu seperti undangan tanpa kata, ia membiarkan sentuhan Aldrich menghangatkan kulitnya. Menarik napas dalam-dalam, ia mencoba mengenyahkan rasa sakit hati yang terus membayanginya. Suara detak jam di suite hotel mewah di tengah kota Paris menjadi satu-satunya penanda waktu yang terus berjalan, sementara ia merasa dunia seolah berhenti. Di luar jendela besar, Menara Eiffel berdiri anggun, dikelilingi kerlip cahaya malam. Namun, pemandangan itu tak seberapa dibandingkan intensitas tatapan pria di depannya yang sulit diabaikan. “Kamu yakin ingin melanjutkan ini?” Aldrich bertanya pelan. Mata Aldrich menelisik dalam, seakan mampu melihat semua luka dan rasa sakit yang disembunyikan Valerie di balik sikap tenangnya. Valerie mengangguk, mencoba menyembunyikan kekacauan emosinya. “Iya … aku butuh ini. Aku butuh … sesuatu untuk melupakan semuanya,” jawabnya. Tatapan Valerie penuh keyakinan. Hati
“Sial, aku terlambat!” Valerie, wanita berusia 23 tahun itu mempercepat langkah kakinya, sesekali ia melirik jam di pergelangan tangan. Ia tiba di sebuah gedung perkantoran dengan perasaan campur aduk. Penerbangan panjang dari Paris tak mampu mengalihkan pikirannya dari malam terakhirnya di kota tersebut. Mengingat gigolo malam itu membuat hatinya berdenyut aneh—antara malu, kecewa, dan rasa rindu yang tak masuk akal. Namun, Valerie segera menepis pikirannya. Hari ini, ia harus bersikap profesional. Wawancara kerja di perusahaan IT ternama ini adalah kesempatan besar, setelah ia memilih untuk kabur dari rumah karena sang Daddy yang mengatur perjodohan untuknya. Hell, ia baru saja dikhianati oleh dua orang terpercaya sekaligus. Pacar dan sahabatnya. Dan sekarang ia tidak akan membiarkan pikirannya kacau hanya karena kenangan sesaat dengan seorang pria. Saat Valerie memasuki ruang resepsionis, ia disambut oleh suasana modern dengan kaca-kaca besar yang memantulkan sinar ma
“Jadi, itu alasan saya ingin bergabung di perusahaan ini,” ucap Valerie, menjawab pertanyaan Aldrich dengan suara yang tenang namun penuh keyakinan.Aldrich memiringkan kepala sedikit, memperhatikan wanita di depannya dengan intensitas yang tidak sepenuhnya ia sadari. “Valerie,” katanya, suaranya terdengar lebih lembut dari yang ia maksudkan. “Kau terlihat… siap untuk kesempatan ini.”Tatapannya tanpa sengaja turun ke jemari Valerie yang tampak meremas clutch-nya dengan gugup. Gerakan kecil itu tidak terlewat dari matanya, memberi kesan bahwa di balik sikap percaya dirinya, ada kelembutan yang sengaja ia sembunyikan. Valerie segera sedikit menegakkan tubuh, berusaha memperkuat auranya yang profesional. Ia tidak ingin Aldrich, atau siapa pun, melihat sisi rentannya. “Terima kasih,” jawabnya dengan nada yang terdengar mantap, meskipun di dalam hatinya ada gejolak yang sulit ia abaikan.Mata mereka bertemu untuk beberapa detik, masing-masing mencoba membaca pikiran yang tersembunyi di
Hari-hari awal Valerie sebagai sekretaris CEO terasa seperti ujian mental. Jadwal Aldrich yang padat, rapat yang tak ada habisnya, dan tuntutan perfeksionisme membuatnya bekerja ekstra keras.Namun, kejadian memalukan di hari ketiga membuatnya ingin menggali lubang dan menghilang.Saat itu Valerie tengah sibuk menyortir email ketika Aldrich memintanya untuk mengirimkan daftar belanja pribadi kepada asisten rumah tangganya. Daftar itu sederhana. Hanya berisi bahan makanan, beberapa botol anggur, dan satu catatan tambahan yang nyaris luput dari perhatian Valerie. Karena terburu-buru, dia salah menekan tombol dan mengirimkan email itu ke seluruh divisi perusahaan. Dampaknya langsung terasa. Ponsel Valerie berbunyi tanpa henti, kolega mulai berbisik-bisik, dan beberapa bahkan tertawa terbahak-bahak. Baru saat itulah Valerie membuka kembali email yang ia kirimkan dan membaca bagian akhirnya: PS: Jangan lupa beli almond milk, bukan susu sapi biasa. Saya tidak mau jerawatan saat meeting b
“Jadi, Aldrich...” Suara berat Bastian terdengar dari telepon, bercampur antara bingung dan terkejut. "Kau CEO HC Group?""Benar, Pak Bastian," jawab Aldrich dengan santai, namun suaranya memancarkan dominasi. "Dan Valerie sekarang bekerja sebagai sekretaris saya. Sangat berbakat sekali putri Anda."Valerie, yang duduk di seberang meja, hampir tersedak napasnya.Sejenak, hanya ada keheningan di ujung telepon. Kemudian Bastian tertawa lega. "Baiklah kalau begitu. Saya senang dia tidak bekerja di tempat sembarangan."Setelah percakapan selesai, Aldrich menyerahkan ponsel Valerie kembali. Namun, senyum kecil di wajahnya penuh dengan ejekan terselubung. "Kau tidak perlu menyembunyikan apa pun dariku, Valerie."Valerie memicingkan matanya, mencoba menahan kekesalannya. Dengan nada berbisik tajam, ia menjawab, "Pak Aldrich, Anda tidak seharusnya ikut campur!""Oh?" Aldrich menyandarkan punggungnya dengan santai ke kursi, tatapannya tajam namun penuh permainan. "Jadi, ini rahasia? Dan siapa
"Arghhht!" Valerie berteriak sambil menjambak rambutnya sendiri, frustrasi. Setelah meninggalkan ruangan Aldrich dengan langkah tergesa dan pintu yang sengaja ia banting keras, ia berakhir di tangga darurat. Tempat yang sunyi itu menjadi pelarian sesaat dari kekacauan pikirannya.Ia menarik napas panjang, tapi udara yang ia hirup terasa berat, penuh dengan rasa frustrasi yang tak tertahankan. Tangannya gemetar memegang pegangan tangga, sementara matanya mulai berkaca-kaca.Valerie merasa marah. Ayahnya telah mengatur hidupnya tanpa sedikit pun mempertimbangkan perasaannya, memperlakukannya seperti pion dalam permainan bisnis. Ia juga bingung, karena Aldrich—pria yang ia kira gigolo saat di Paris—ternyata sudah mengenalnya sejak saat itu. Lebih buruk lagi, Aldrich adalah calon suami yang dijodohkan untuknya."Hell!" pikirnya pahit. Ia kabur dari rumah untuk menghindari perjodohan yang diatur ayahnya, tapi malah menghabiskan malam bersama pria itu. Ironisnya, saat itu ia sempat menga
Hari itu, setelah menyegel aliansi canggung mereka, Valerie dan Aldrich sepakat untuk bertemu setelah jam kerja di sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Valerie memilih tempat yang jauh dari keramaian kantor atau lingkungan bisnis, memastikan privasi mereka.Setelah menunggu beberapa saat, Aldrich muncul, mengenakan setelan santai tanpa dasi. Ia melirik sekeliling sebelum berjalan ke meja Valerie. "Pilihan tempat yang menarik," komentarnya saat duduk."Aku tidak ingin orang-orang membicarakan ini," jawab Valerie datar sambil mengaduk kopinya. "Kita di sini untuk rencana. Jadi, apa yang kau punya?"Aldrich mengangkat alis, sedikit tersenyum melihat Valerie yang langsung to the point. "Langsung ke inti, ya? Baiklah. Pertama-tama, kita perlu mempelajari apa yang sebenarnya diinginkan oleh kedua pihak keluarga kita.""Apa maksudmu? Bukannya jelas? Ayahku ingin aku menikah dengan pewaris HC group, dan kau jelas adalah alat untuk itu," jawab Valerie tajam.Aldrich mengangguk. "Itu kelihatan
"Ah, akhirnya!" Valerie mendesah sambil merebahkan diri di ranjang apartemennya. Matanya menatap kosong ke langit-langit yang bercahaya lembut, sementara pikirannya melayang ke kejadian-kejadian yang baru saja berlalu. Ruangan itu tenang, nyaris terlalu sunyi, meskipun deru samar kendaraan dari luar masih terdengar."Paris..." gumamnya pelan, mengingat malam itu.Bayangan kamar hotel megah yang pernah ia tempati bersama Aldrich tiba-tiba muncul. Ranjang besar dengan seprai putih beraroma lavender, jendela kaca lebar yang menghadap gemerlap menara Eiffel, dan keheningan yang terasa begitu menusuk. Saat itu, ia masih mengira Aldrich adalah pria biasa—atau lebih tepatnya, gigolo mahal yang bisa ia bayar untuk melupakan kesedihannya."Lucu sekali," katanya sambil tertawa kecil, namun ada kepahitan di ujung suaranya. "Gigolo yang ternyata seorang bos besar. Apa lagi kejutan yang kau simpan, Aldrich? Ah... dia juga calon yang Ayah pilihkan.”Valerie mendesah sekali lagi, sebelum memili
Aldrich bersandar ke sofa, menatap api yang berkobar di perapian sebelum akhirnya berbicara."Tentang yang terakhir kali, aku masih menunggu jawabanmu. Kalau-kalau kau berubah pikiran."Valerie menoleh, menatapnya dengan alis bertaut. "Apa maksudmu?"Aldrich tersenyum miring, sorot matanya tajam namun tetap tenang. "Pernyataan cintaku. Aku tahu kau merasakannya sama seperti aku. Jadi, berhentilah berpura-pura bahwa itu tidak terjadi. Jangan terus-terusan menolak aku."Valerie membuka mulut, hendak membantah, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Karena di lubuk hatinya, ia tahu Aldrich benar.Dan perasaan yang ia rasakan saat ini juga nyata.Namun, ia menepisnya. "Kau mungkin salah mengartikannya, Aldrich. Bisa saja perasaan itu hadir karena kita menjadi partner ranjang. Itu hanya sesaat."Entah sudah berapa kali Valerie mengatakan itu.Membuat Aldrich menghela napas pelan, lalu mengalihkan pandangannya ke perapian. Ekspresinya tidak berubah, tetapi Valerie bisa merasakan ketegangan y
Valerie tahu ia harus mundur. Ia harus menjauh sebelum semuanya semakin tak terkendali. Tapi ketika Aldrich semakin mendekat, ketika matanya yang tajam menatap bibirnya seolah meminta izin tanpa kata, Valerie justru tetap diam.Tidak ada keraguan. Tidak ada kecanggungan.Lalu, bibir Aldrich menyentuhnya—hangat, lembut, dan begitu pasti.Ciuman itu bukan tuntutan, bukan juga sesuatu yang tergesa-gesa. Aldrich menciumnya dengan tenang, seakan memberi waktu bagi Valerie untuk menyadari apa yang sedang terjadi. Sentuhannya dalam, tapi tidak mendesak. Seolah ia ingin Valerie merasakan setiap sensasi, setiap getaran yang muncul dari sentuhan mereka.Dan Valerie? Ia membalas.Tanpa sadar, jemarinya yang tadinya mengepal di dada Aldrich kini melonggar, jemari kecilnya merayap naik, menyentuh leher pria itu, lalu berhenti di belakang tengkuknya. Ia tidak menarik Aldrich lebih dekat, tapi juga tidak mendorongnya pergi.Aldrich menangkap isyarat itu dengan cepat. Ciumannya semakin dalam, lebih
"Letakkan saja, biar aku yang membersihkan sisanya," kata Aldrich saat melihat Valerie bersiap membereskan piring dan peralatan makan mereka.Namun, bukannya menurut, Valerie justru tetap berdiri di tempatnya. "Kau sudah memasak. Biar aku yang membersihkannya." Ia mengerucutkan bibir, menunjukkan ketidaksetujuannya.Aldrich hanya meliriknya sekilas sebelum dengan sigap mengambil piring dari tangan Valerie. "Kau duduk saja," ujarnya tegas, lalu membawa semua peralatan makan ke wastafel.Tapi tentu saja, Valerie tidak mau diam begitu saja. Ia justru mengikuti Aldrich sampai ke wastafel, memperhatikannya dengan penuh rasa ingin tahu.Aldrich, tanpa menghiraukannya, mengambil celemek hitam yang tergantung di samping lemari dapur, lalu mengenakannya dengan gerakan terlatih. Ia juga menyarungkan sepasang sarung tangan karet sebelum mulai mencuci piring dengan telaten. Jemarinya yang biasanya tampak garang saat mengetik di laptop atau menggenggam setir mobil, kini dengan luwes menggosok set
“Kau ingin melihat kamarmu?”Suara Aldrich yang dalam menyadarkannya dari lamunannya. Valerie menoleh, menemukan pria itu sudah berdiri di dekat tangga dengan ekspresi tenang, tetapi matanya tetap mengamati Valerie dengan cermat.Valerie mengangguk pelan, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang merayapi dirinya. Ia mengikuti Aldrich menaiki tangga lebar yang terbuat dari kayu gelap dengan pegangan besi berukir. Langkah mereka nyaris tidak bersuara di lantai kayu, menciptakan suasana yang semakin sunyi.Setibanya di lantai atas, Aldrich membuka salah satu pintu di sisi kiri koridor. Valerie melangkah masuk dan langsung terdiam.Kamar itu lebih besar dari apartemennya.Tempat tidur berukuran king dengan seprai putih bersih berada di tengah ruangan, berhadapan langsung dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan hutan di kejauhan. Ada sofa kecil di sudut ruangan, serta meja kerja yang terlihat simpel namun elegan.Dibandingkan dengan kemewahan yang dingin di mansion Aldrich, ruang
Mobil melaju dengan kecepatan stabil di jalanan yang semakin lengang. Valerie yang awalnya masih tegang, perlahan mulai menyadari sesuatu. Jalanan yang mereka lalui bukanlah rute menuju apartemennya, juga bukan ke mansion Aldrich.“Kita ke mana?” tanyanya, menoleh pada Aldrich dengan alis berkerut.Aldrich tetap menatap ke depan, wajahnya tanpa ekspresi. “Tempat yang lebih aman.”Valerie merasakan firasat aneh menyelusup ke dalam dirinya. “Tapi apartemenku—”“Sudah tidak aman,” potong Aldrich tegas. “Juga mansionku. Charlos bukan orang bodoh. Jika dia cukup berani mengikutiku sejauh ini, dia pasti punya mata-mata yang memantau setiap pergerakanku.”Valerie menggigit bibirnya, pikirannya berputar. “Lalu ke mana kau membawaku?”Aldrich akhirnya menoleh sekilas ke arahnya, sebelum kembali fokus pada jalan. “Villaku.”Valerie mengerjap. “Villa?”Aldrich mengangguk. “Di luar kota, jauh dari pemukiman. Hanya sedikit orang yang tahu keberadaannya, dan tidak ada yang bisa menemukanmu di sana
“Kita meninggalkan mobil ini di sini?” Valerie bertanya pelan.Aldrich mengangguk. “Ya, biarkan mereka mengikuti yang salah.”Bawahan Aldrich segera membawa mobil lama mereka pergi ke arah yang berbeda, seolah mereka masih ada di dalamnya. Sementara itu, Aldrich dan Valerie sudah berada di kendaraan baru, melaju ke arah lain.Di kejauhan, Charlos yang masih memantau melalui sistem pelacakan mulai menyeringai.“Aku tahu kau cerdas, Aldrich.” Ia berbisik, matanya menatap titik bergerak di layar ponselnya.Namun, senyumannya perlahan memudar ketika ia menyadari sesuatu yang aneh. Mobil yang ia lacak tiba-tiba bergerak ke arah yang tidak masuk akal.Charlos mengerutkan kening. “Tunggu… Apa ini?”Dalam hitungan detik, titik tersebut berhenti di satu lokasi. Lalu—hilang.Charlos mengumpat. Ia baru sadar—Aldrich telah mengelabuinya. Charlos membanting ponselnya ke dashboard dengan frustrasi. Rahangnya mengeras, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang kini terasa semakin gelap di bawah ba
Dari dalam mobil dengan kaca gelap yang terparkir di seberang jalan, Charlos mengamati pemandangan di depannya dengan rahang mengatup keras. Jemarinya mengepal di atas pahanya, sementara matanya tak lepas dari sosok Valerie yang tertawa lepas di samping Aldrich."Cih... Lihat kau sekarang, Valerie," gumamnya dengan nada penuh kebencian. "Bersama pria yang bahkan tidak seharusnya ada di sisimu."Charlos menyandarkan tubuhnya ke jok mobil, menekan dahinya dengan ibu jarinya sementara pikirannya berkecamuk. Ia sudah memperhitungkan banyak hal, tetapi satu hal yang tidak ia duga adalah betapa cepatnya Aldrich mengambil alih posisi di hati Valerie. Seharusnya, wanita itu masih terluka dan rentan setelah pengkhianatannya dulu.Harusnya, Valerie kembali padanya.Harusnya, Valerie tidak bisa bahagia dengan pria lain."Kau pikir kau sudah menang, Aldrich?" gumamnya rendah, bibirnya menyeringai tipis. "Aku tidak akan diam saja melihat ini."Charlos lalu meraih ponselnya dan membuka pesan dari
Mobil mewah Aldrich melaju mulus di sepanjang jalan utama, meninggalkan pusat kota yang sibuk. Valerie bersandar di jok penumpang, sesekali melirik ke luar jendela, mencari sesuatu.“Aldrich, berhenti di situ,” ujarnya tiba-tiba, matanya berbinar melihat gerobak cendol pinggir jalan.Aldrich mengerutkan kening, melirik ke arah yang dimaksud Valerie. Di sana, seorang penjual cendol tua tengah sibuk melayani pelanggan dengan mangkuk plastik berisi es serut hijau, santan, dan gula merah kental. Motor-motor terparkir sembarangan di sekitar gerobak, beberapa orang duduk di bangku kayu, menyeruput minuman mereka dengan puas.Dahi Aldrich semakin berkerut. “Di sana?” tanyanya, terdengar tidak yakin.“Iya,” Valerie mengangguk penuh semangat. “Aku mau cendol dari bakul itu.”Aldrich menekan rem perlahan, tetapi tak segera menepikan mobilnya. Tatapannya kembali ke Valerie, kali ini dengan ekspresi skeptis. “Kau yakin? Kita bisa pergi ke restoran atau kafe yang menjual cendol lebih bersih dan
Dalam ruangan yang remang-remang, Charlos duduk di belakang mejanya, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan kayu dengan ritme lambat. Wajahnya datar, tetapi sorot matanya menyiratkan ketidakpuasan.“Rencana kita gagal,” katanya dengan suara rendah, menelepon seseorang.Di seberang sana, Jennifer tengah duduk santai di sebuah salon mewah. Wanita itu meniup lembut kukunya yang baru saja dihiasi nail art berkilauan, seolah apa yang dikatakan Charlos bukan masalah besar.“Kalau begitu, jalankan rencana kedua,” ujar Jennifer santai, suaranya terdengar seperti mendikte. “Aku ragu kali ini Valerie akan lolos.”Senyum tipis muncul di sudut bibir Charlos. Tanpa menanggapi lebih lanjut, ia menutup panggilan itu secara sepihak. Jemarinya kini bertaut, sementara tatapannya meredup penuh obsesi.“Kau harus kembali padaku, Valerie,” gumamnya pelan. “Jika tidak, maka tak akan ada yang bisa memilikimu.”Sementara Valerie baru saja menyusun laporan terakhirnya hari itu. Berkas-berkas sudah tertata rapi,