Aldrich membawa Valerie dalam gendongannya, langkahnya cepat dan penuh kewaspadaan. Ia tahu mereka belum sepenuhnya aman. Jika ada anak buah Charlos di sini, kemungkinan ada lebih banyak lagi di luar.Saat mereka mencapai lorong menuju pintu keluar darurat, Valerie meremas bahunya. "Aldrich... bagaimana kalau mereka masih ada di luar?"Aldrich menegang, lalu menurunkannya dengan hati-hati. Tatapan matanya tajam saat menatap pintu di depan mereka. "Aku akan pastikan kita keluar dari sini dengan selamat."Ia merogoh ponselnya dan menekan tombol panggilan cepat. "Kirim mobil ke pintu keluar darurat rumah sakit. Aku butuh pengawalan sekarang juga."Valerie menelan ludah. Nafasnya masih belum stabil setelah kejadian tadi. "Aldrich... aku takut."Aldrich menatapnya dalam, lalu mengusap pipinya dengan lembut. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu lagi."Saat ia mendekat ke pintu, langkahnya melambat. Jantung Valerie berdegup kencang. Aldrich mengintip melalui celah pintu dan melihat
Mobil masih melaju dengan kecepatan stabil, membawa Aldrich dan Valerie menjauh dari kekacauan di rumah sakit. Valerie duduk diam di kursinya, masih memegang erat tangan Aldrich, seolah takut jika melepaskannya, semua ini hanya akan menjadi mimpi buruk yang belum berakhir.Aldrich menoleh ke arahnya, merasakan bagaimana jari-jari Valerie menggenggamnya begitu erat. "Apa yang ingin kau katakan tadi?" tanyanya, suaranya lebih lembut dari biasanya.Valerie menatapnya, keragu-raguan tergambar jelas di wajahnya. Ia menelan ludah, mengumpulkan keberanian. Ini adalah saat yang tepat. Ia ingin mengatakan segalanya. Bahwa ia hamil. Bahwa ada kehidupan yang tumbuh di dalam dirinya, anak mereka.Tapi sebelum kata-kata itu sempat keluar dari bibirnya, ponselnya tiba-tiba berdering keras, memecah keheningan. Valerie tersentak, seolah tersadar kembali ke dunia nyata. Ia menoleh ke layar ponsel, dan jantungnya seakan berhenti berdetak.Bastian.Dengan cepat, ia mengangkat panggilan itu. "Ayah?"Su
“Sebentar,” katanya sebelum keluar dari ruangan untuk menerima panggilan.Sementara itu, Valerie kembali menatap ayahnya. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh perlahan. “Ayah… bertahanlah, ya,” bisiknya.Ia ingin berbagi kabar tentang kehamilannya. Tentang bagaimana dia kini mengandung cucu Bastian. Tapi kapan waktu yang tepat? Ayahnya masih terbaring lemah di sini, sementara hidupnya sendiri masih dipenuhi ketidakpastian.Tiba-tiba, Valerie merasakan pusing yang aneh. Pandangannya sedikit berputar, dan ia harus memejamkan mata sejenak untuk meredakan rasa tidak nyaman itu.“Aku harus kuat,” gumamnya pelan.Namun, sebelum ia bisa benar-benar menenangkan diri, Aldrich kembali masuk dengan ekspresi yang lebih serius dari sebelumnya.“Ada apa?” tanya Valerie, mencoba membaca raut wajah pria itu.Aldrich ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara. “Ada masalah di perusahaan. Aku harus pergi sebentar.”“Lagi?” tanya Valerie menghela, menatapnya dalam diam. Di satu sisi, ia ingin
Valerie berlari secepat yang dia bisa, napasnya memburu. Lorong rumah sakit terasa semakin panjang dan mencekam. Dia bisa mendengar langkah kaki berat yang mengejarnya, mendekat semakin cepat.Saat menoleh ke belakang, mata Valerie melebar melihat Charlos yang semakin dekat. Wajah pria itu dipenuhi amarah dan obsesinya yang semakin tak terkendali.“Berhenti, Valerie!” seru Charlos, suaranya menggema di lorong kosong.Tapi Valerie tidak mau berhenti. Dia mempercepat langkahnya, menyeberangi koridor lain, mencari tempat yang bisa dia gunakan untuk bersembunyi. Namun, di tikungan berikutnya, tubuhnya ditarik kasar.“Akh—!” Valerie hampir menjerit, tetapi Charlos buru-buru membekap mulutnya dengan tangan.“Jangan melawan,” bisik Charlos dengan nada mengancam. “Kita perlu bicara, Valerie. Kau pikir bisa lari dariku?”Valerie meronta, mencoba melepaskan diri, tetapi cengkeraman Charlos begitu kuat.Sebelum Charlos bisa membawanya pergi lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki cepa
Jennifer menggigit kukunya sembari berjalan mondar-mandir di ruang tamunya. Tatapannya terpaku pada layar televisi yang terus menayangkan berita tentang penangkapan Charlos."Bodoh!" gerutunya gemas, menggertakkan gigi.Dia menghela napas kasar, satu tangan bertolak pinggang sementara tangan lainnya meremas rambutnya sendiri. "Tenang, Jenn… Charlos tidak akan bisa menyeretmu secara langsung. Kau tidak akan masuk penjara," ucapnya, mencoba menenangkan diri.Tapi rasa panik tetap menggigitnya.Rencana menculik dan menyebarkan video editan Valerie—semua itu adalah idenya. Namun, Jennifer tidak pernah menyangka Charlos akan sebodoh itu hingga tertangkap dengan begitu mudah."Sial! Aku harus kabur!"Tanpa membuang waktu, Jennifer bergegas mengeluarkan koper, memasukkan barang-barang berharganya dengan terburu-buru. Tangannya gemetar saat mengambil paspor dan uang tunai yang sudah ia simpan sejak lama untuk keadaan darurat seperti ini.Namun sebelum koper itu penuh, suara ketukan keras men
Berhasil. Henry berhasil menangkap sebelah tangan Jennifer di detik terakhir.Tubuh Jennifer sudah setengah tergantung di udara, kakinya tak lagi berpijak di balkon. Angin malam menusuk kulitnya, membuat tubuhnya semakin gemetar. Matanya melebar, napasnya tersengal saat menyadari hanya tangan Henry yang menjadi satu-satunya penyelamatnya dari kematian."Pegang aku!" suara Henry terdengar tegas, tapi ada nada panik di dalamnya.Jennifer menatapnya dengan campuran keterkejutan dan ketakutan. Tangannya yang lain mencakar-cakar udara, mencari sesuatu untuk dipegang, tapi tidak ada yang bisa dia raih selain genggaman Henry yang semakin erat."Aku tidak bisa—" suara Jennifer bergetar, air matanya mengalir tanpa bisa ditahan."Kau bisa!" Henry menggertakkan giginya, otot-otot lengannya menegang saat dia menarik tubuh Jennifer perlahan.Namun, Jennifer terus meronta. Dia menggeliat, seolah ingin tetap jatuh. "Lepaskan aku! Aku tidak mau ditangkap!""Diam, sialan!" Henry berteriak, menarik Jen
Aldrich melajukan mobilnya kembali ke rumah sakit dengan kecepatan tinggi. Dia tidak peduli dengan klakson dari kendaraan lain.Satu-satunya yang ada di pikirannya adalah Valerie. Dia harus melihatnya, memastikan bahwa dia baik-baik saja.Setibanya di rumah sakit, Aldrich memarkir mobilnya dengan kasar dan segera bergegas masuk. Langkahnya panjang dan cepat, penuh urgensi. Di depan kamar rawat Bastian, beberapa bodyguardnya berjaga ketat. Mereka berdiri dengan sikap waspada, seolah siap menghadapi ancaman kapan saja.Saat melihat Aldrich, salah satu bodyguard langsung menyapa dengan sopan, lalu memberi jalan untuknya. Aldrich hanya mengangguk singkat sebelum mendorong pintu dan masuk.Pemandangan pertama yang menyambutnya adalah Valerie, tertidur di tepi ranjang ayahnya. Tubuhnya sedikit membungkuk, kepalanya bertumpu pada lengan, sementara jemarinya masih menggenggam tangan Bastian. Wajahnya tampak lelah, seakan sudah terlalu banyak melalui hari yang berat.Aldrich mendekat dengan h
"Kupikir kau tidak menginginkan anak ini," isak Valerie di sela tangisnya.Aldrich sedikit melepaskan pelukannya, lalu menghapus air mata Valerie dengan lembut. Senyum tipis terukir di wajahnya. "Kenapa kau berpikir seperti itu, sayang?" tanyanya dengan suara penuh kasih.Valerie menggeleng, matanya masih basah. "Bukankah hubungan kita hanya pura-pura? Dalam perjanjian, tidak ada satu pun pembahasan tentang anak. Kupikir kau pasti akan membenci kehamilan ini."Aldrich terdiam, membiarkan kata-kata Valerie mengendap dalam pikirannya. Sekejap kemudian, ia menarik wanita itu kembali ke dalam pelukannya, lebih erat dari sebelumnya. Aldrich mengecup puncak kepala Valerie, lalu turun ke kelopak matanya yang masih basah. Ia melanjutkan ke pipinya, menenangkan setiap jejak air mata dengan sentuhan bibirnya yang lembut."Aku memang tidak pernah berpikir kau akan hamil, babe. Tapi kehamilanmu adalah kejutan paling berharga dalam hidupku." Suaranya terdengar penuh kebahagiaan, disertai tawa ke
Valerie tertawa. “Astaga… aku ingat sedikit. Ayah sempat nangis juga, ya?”“Iya, sambil bilang, ‘Anakku sudah bisa kabur dari rumah!’” ujar Bunda menirukan suara Bastian dengan gaya dramatis, dan mereka berdua meledak dalam tawa.Halaman demi halaman Valerie buka, menemukan momen-momen kecil yang dulu hanya kabur dalam ingatan: waktu ia nyasar di taman belakang dan ditemukan tidur di bawah pohon mangga, saat menangis karena balon ulang tahunnya meletus, atau saat mencoret-coret dinding dengan krayon lalu menyalahkan “kucing tetangga.”“Aku… beneran dulu segemas ini ya Bun?” Valerie mencubit pipinya sendiri.“Gemes banget, sampai bikin Bunda takut kamu cepat besar dan ninggalin Bunda,” ucap Bunda sambil mengelus rambut Valerie.Valerie diam sejenak, menatap satu foto lama. Itu adalah fotonya dan Jennifer, masih berseragam sekolah, tersenyum sambil memegang bunga matahari yang mereka tanam bersama.Wajah Valerie perlahan berubah. Tangannya menyentuh foto itu sejenak, lalu cepat-cepat me
Tok. Tok.Ketukan lembut terdengar di pintu kamar Valerie. Suaranya disusul suara lembut yang tak pernah gagal membuat Valerie merasa seperti anak kecil lagi.“Sayang, Bunda boleh masuk?”Valerie yang sejak tadi hanya duduk di tepi ranjang, memeluk bantal sambil memandangi jendela, menunggu pesan dari Aldrich, menoleh pelan. Ia mengangguk meski tahu sang bunda tak bisa melihatnya.Pintu terbuka perlahan. Wanita elegan dengan balutan blouse biru pastel itu melangkah masuk, menenteng secangkir susu hangat. Senyum hangatnya muncul lebih dulu, sebelum ia duduk di sisi tempat tidur Valerie.“Apa kamu merasa nyaman?” tanya Bunda, mengusap pelan tangan Valerie.Valerie mengangguk kecil. “Nyaman, Bun. Lebih dari nyaman.”Tapi bundanya tahu, di balik senyuman itu, ada hal-hal yang masih mengganjal di hati putrinya.Sambil menyerahkan cangkir susu, Bunda menarik napas panjang. “Kamu tahu, waktu Bunda hamil kamu dulu, Bunda juga sering menangis diam-diam.”Valerie menoleh cepat, kaget.“Bunda?”
Ruang interogasi siang itu tak terlalu ramai. Hanya ada dua penyidik, satu pengacara pendamping dari pihak kepolisian, dan Aldrich yang duduk dengan ekspresi tegas di sisi kanan meja.Jennifer duduk di seberang, tangannya terikat borgol, tapi senyumnya masih setengah mengejek seperti biasa. Rambutnya diikat asal, dan tatapannya tajam menusuk ke arah Aldrich.“Jadi,” ujar penyidik, membuka catatan. “Kita ingin memastikan, benar bahwa semua rencana penjebakan, pengawasan, penyebaran video tak senonoh itu berasal dari Anda?”Jennifer menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, menarik napas panjang, lalu melirik Aldrich sejenak. Bibirnya terangkat dalam senyum malas.“Ya,” katanya enteng. “Itu semua ideku.”Ruangan mendadak sunyi.Aldrich hanya memiringkan kepala sedikit, menatapnya lebih dalam. “Kenapa, Jennifer?”Jennifer mendecakkan lidah pelan. “Kenapa? Serius nanya begitu?”Ia mengangkat alis, lalu melipat tangan di atas meja. “Kau tahu, dulunya aku dan Valerie itu sahabat. Bestie, begitu
“Karena… kamu sangat cantik pagi ini. Dan aku butuh waktu untuk menikmati itu tanpa disela siapa pun,” jawabnya jujur, dengan suara rendah dan dalam.Valerie tertawa kecil, menunduk menahan senyum. “Gombal!”“Tidak.” Aldrich melangkah mendekat. “Kamu makin bersinar sejak hamil. Kulitmu, matamu, senyummu… aku bahkan tidak yakin bisa berkonsentrasi bekerja hari ini.”Valerie menegakkan dagunya, pura-pura berani. “Berarti salahku kamu jadi malas kerja?”“Tentu.” Aldrich menatap mata Valerie begitu dekat sekarang. “Dan karena itu…”Tiba-tiba, ia mencondongkan tubuhnya cepat dan mencuri satu kecupan ringan di bibir Valerie, hanya sekelebat, nyaris tak tersentuh angin.Valerie terkejut. “Aldrich!”Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, Aldrich sudah menjauh setengah langkah dengan senyum tak berdosa. “Apa? Aku hanya mengambil hakku sebagai tunangan.”“Kalau dilihat Bunda, aku bisa dikunci di kamar sebulan!” Valerie menepuk dada Aldrich dengan gemas, tapi rona merah sudah merayap sampai
Suara bel utama mansion menggema lembut ke seluruh penjuru rumah, membuyarkan tawa keluarga kecil itu di ruang makan.Salah satu maid segera berjalan cepat menuju pintu depan. Tak lama, ia kembali sambil tersenyum, membungkuk sedikit kepada Valerie.“Maaf, Nona Valerie… ada tamu. Tuan Aldrich sudah tiba.”Wajah Valerie seketika berubah. Matanya membulat kecil. “Ha? Aldrich?”Sebelum ia bisa berdiri dari kursinya, langkah-langkah mantap terdengar mendekat. Di ambang ruang makan yang luas dan berlapis marmer itu, Aldrich muncul, membawa sebuket bunga peony berwarna putih kekuningan yang indah, dengan satu kantong kertas berisi botol minuman herbal yang tampaknya dikemas dengan cantik.“Pagi semuanya.” Suaranya rendah dan tenang, tapi senyumnya penuh kelembutan, terarah hanya pada satu orang—Valerie.Valerie yang semula bersandar santai kini duduk lebih tegak. Wajahnya langsung merona. Tangannya refleks menyentuh pipinya yang terasa hangat, lalu menatap Aldrich dengan cemberut malu-malu
Begitu ia menginjak lantai marmer utama, aroma masakan segar langsung menyergap lebih kuat. Valerie menuju ruang makan, dan saat pintu geser dibuka oleh seorang pelayan lain, matanya langsung dimanjakan oleh pemandangan yang menggugah selera.Ruang makan itu luas, dengan langit-langit tinggi dan lampu kristal utama bergaya baroque menggantung anggun di tengah ruangan. Meja makan panjang dari kayu walnut mengkilat ditata sempurna dengan taplak putih bersih dan peralatan makan perak. Di tengah meja, berjejer aneka masakan yang menggoda. Omelette keju, salmon panggang, salad buah segar, aneka roti dan croissant hangat, potongan alpukat dan telur rebus, bubur ayam kampung, serta teh melati dan kopi hitam yang masih mengepul.Di ujung meja, sang ayah, Bastian, sudah duduk santai dengan koran pagi terbuka di depan wajahnya, namun begitu Valerie masuk, ia menurunkannya dan langsung tersenyum lebar.“Lihat siapa yang akhirnya bangun!” serunya sambil berdiri. “Nak, daddymu curiga, bundamu s
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk lewat celah tirai kamar Valerie, menyapu lembut wajahnya yang tenang dan sedikit mengantuk. Kulitnya tampak lebih bercahaya dari biasanya, dengan pipi yang merona alami, sebuah pesona baru yang muncul sejak ia mengandung. Rambutnya yang sedikit berantakan justru membingkai wajah ovalnya dengan manis, membuatnya terlihat semakin menawan meski baru saja terbangun.Ia mengenakan daster satin berwarna lembut—biru muda dengan renda tipis di bagian lengan dan kerah. Bahannya yang jatuh mengikuti lekuk tubuh membuatnya tampak anggun meski dalam kesederhanaan. Valerie menggeliat pelan di atas ranjang, lalu meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.Senyuman tipis langsung mengembang di wajahnya begitu layar menyala, ada notifikasi dari Aldrich.Aldrich [07.02 AM]:Pagi, sayang. Sudah bangun?Valerie mengetik dengan cepat, senyumnya makin lebar.Valerie [07.03 AM]:Sudah. Tapi belum mandi. Masih mager di kasur.Kenapa tidak bangunkan aku langsung saja?
Malam telah turun dengan damai, membungkus mansion megah milik keluarga Bastian dalam kehangatan yang elegan. Di ruang makan utama, cahaya lampu gantung berkilau keemasan, memantulkan bayangan hangat di dinding-dinding tinggi yang dihiasi lukisan klasik.Di meja makan panjang yang ditata rapi dengan peralatan makan mewah berlapis emas, duduklah Valerie, Aldrich, Bastian, dan sang Bunda. Wanita anggun itu mengenakan blus sutra krem yang memancarkan ketenangan, duduk di samping suaminya dengan tatapan penuh cinta pada anak semata wayangnya.Makan malam berlangsung dalam obrolan ringan dan senyum yang tak putus-putus. Sampai akhirnya Valerie meletakkan garpunya perlahan, menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi hangat yang terselip gugup.“Ayah, Bunda…” ucap Valerie lirih. “Aku ingin memberitahu sesuatu.”Bunda Valerie segera menatap putrinya itu dengan lembut. “Apa, sayang?”Valerie meraih tangan ibunya, lalu melirik Aldrich yang duduk di sebelahnya, memberi anggukan kecil penuh duku
Langit mulai beranjak senja saat rombongan mobil hitam mewah memasuki gerbang besar bergaya klasik Eropa yang berdiri megah di ujung jalan pribadi sepanjang hampir satu kilometer. Pagar besi berornamen emas terbuka perlahan, menampilkan pemandangan mansion Bastian yang seperti diambil dari halaman majalah arsitektur kelas dunia.Mansion itu berdiri tiga lantai dengan dominasi marmer putih krem, jendela-jendela tinggi berbingkai emas matte, dan pilar-pilar kokoh menjulang. Air mancur dengan patung kuda berlapis perunggu menjadi pusat taman depan, dengan rumput yang dipangkas sempurna dan lampu-lampu taman mulai menyala hangat seiring langit menggelap.Saat mobil berhenti, beberapa bodyguard berbadan tegap segera membuka pintu. Valerie turun terlebih dahulu, mengenakan dress soft pink selutut yang membentuk tubuh rampingnya. Flat shoes putihnya menyentuh marmer dengan langkah anggun. Di belakangnya, Aldrich turun dengan gaya khasnya—jas casual warna arang, kemeja putih berpotongan pas