Pagi itu, Valerie duduk di meja kerjanya dengan kepala yang terasa penuh. Ia menyesap kopinya perlahan, berusaha mengusir sisa panas yang masih mengendap dalam tubuh dan pikirannya. Namun, tidak peduli seberapa keras ia mencoba fokus pada pekerjaannya, bayangan Aldrich terus menghantuinya.Ciumannya. Tatapannya. Suaranya yang dalam saat mengucapkan kata-kata penuh godaan.“Hah....”Valerie menghela napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan dirinya. Ia tidak boleh terbawa suasana. Ia harus tetap profesional di kantor.Tapi suasana kantor pagi ini terasa sedikit berbeda.Beberapa rekan kerja yang biasanya ramah tampak berbisik-bisik sambil meliriknya. Beberapa bahkan menatapnya dengan tatapan sinis.Valerie mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang aneh.Hingga akhirnya, Lara, menghampirinya dengan ekspresi canggung.“Kau sudah dengar?” tanyanya pelan.Valerie mengerutkan kening. “Dengar apa?”Lara menggigit bibirnya, tampak ragu sebelum akhirnya berbisik, “Ada gosip yang beredar tent
“Mau ke mana?” suara Aldrich terdengar tenang, tetapi sorot matanya penuh perhatian.Valerie menghela napas panjang, lalu menggeleng lemah. Di mata Aldrich, wanita itu tampak rapuh, meskipun sebelumnya mereka sudah menduga rencana Charlos hari ini.Dengan gerakan lembut, Aldrich mengangkat tangannya, membelai bahu Valerie. Sudut bibirnya tertarik tipis, membentuk senyuman yang seolah mengatakan semua akan baik-baik saja.Valerie menatapnya, hatinya berdesir. Ingin rasanya ia membiarkan dirinya larut dalam pelukan Aldrich, merasakan kehangatan yang pria itu tawarkan. Namun, ia menahan diri.“Tidak perlu dipikirkan. Biar aku yang urus. Ayo kembali,” kata Aldrich mantap.Valerie mengangguk pelan, lalu berjalan berdampingan dengannya. Saat melewati Alicia, wanita itu menatapnya tajam, bibirnya melengkung penuh penghinaan.“Dasar wanita murahan,” gumamnya, cukup lantang untuk didengar.Langkah Valerie terhenti seketika. Namun sebelum ia sempat bereaksi, Aldrich sudah lebih dulu berbalik, m
Valerie menelan ludah, suaranya nyaris berbisik saat bertanya, “Kau lihat videonya?”Aldrich mengembuskan napas panjang sebelum menipiskan bibirnya. Tatapannya tak lepas dari Valerie, seolah memastikan wanita itu tidak goyah. “Ya, aku melihatnya.” Dia berhenti sejenak, lalu mengangkat bahu dengan ekspresi acuh. “Dan kau tahu? Tubuh pria dalam video itu sangat menyedihkan. Sama sekali tidak menarik. Itu jelas editan murahan.”Valerie yang awalnya tegang tak bisa menahan diri untuk terkekeh kecil. “Kau...” ia memukul ringan dada Aldrich, tapi wajahnya kini lebih rileks.Namun, momen itu tak berlangsung lama. Getaran ponsel di meja kerja Aldrich memecah keheningan. Nama Henry terpampang di layar, membuat Aldrich langsung mengangkatnya tanpa ragu.“Bicara,” perintahnya tegas.Suara Henry terdengar di seberang, tajam dan penuh kepastian. “Tuan, semua berita dan foto editan telah berhasil dihapus dari sebagian besar platform. Kami juga telah melacak IP pengirim anonim yang menyebarkannya
Valerie menatap bakinya yang sudah hampir penuh. Nasi putih mengepul di sisi kiri, bersebelahan dengan ayam panggang berbalut saus madu yang mengilap. Ada juga tumis sayuran segar yang berwarna cerah, tahu goreng keemasan, dan sup bening yang masih mengepulkan uap.“Ah, Bibi, ini sudah terlalu banyak,” ujar Valerie dengan canggung.Sejak video dan foto editan tentang dirinya tersebar pagi ini, suasana di kantor berubah. Tatapan penuh bisik-bisik dan gumaman halus mengikutinya ke mana pun ia pergi. Beberapa orang terang-terangan menghindarinya, sementara yang lain menatapnya seakan-akan ia adalah sosok yang harus dikasihani—atau justru dijauhi.Namun, Bi Asih berbeda. Wanita paruh baya yang bekerja di katering kantor itu justru memperlakukannya lebih hangat dari biasanya.“Jangan sungkan. Kau butuh makan yang banyak,” kata Bi Asih sambil tersenyum lembut. “Kalau kurang, kau bisa tambah lagi. Mau coba ini juga?” tangannya menunjuk ke arah akar lotus yang tersaji di dalam nampan kecil.
Alicia menelan ludah, tapi entah mendapat keberanian dari mana, dia tetap mendongakkan dagunya. Meski wajahnya sedikit pucat, bibirnya masih melengkung sinis.“Pak Aldrich benar-benar membela dia?” Alicia tertawa kecil, meski terdengar dipaksakan. “Apa karena dia tidur denganmu juga? Atau Bapak juga tertipu dengan wajah polosnya?”Kantin kembali dipenuhi gumaman tertahan. Beberapa orang bahkan saling bertukar pandang, tidak percaya Alicia benar-benar berani mengatakan itu di depan Aldrich.Mata Aldrich semakin menggelap. Rahangnya mengatup keras, tapi ia tetap berdiri tegak, menatap Alicia seolah gadis itu bukan siapa-siapa.“Ulangi,” ucapnya rendah.Alicia menggigit bibirnya, tapi masih mencoba mempertahankan sikap. “Kenapa? Bapak tak mau mengakuinya? Dia wanita murahan! Bahkan sebelum video itu beredar, semua orang tahu bagaimana dia mendekati pria kaya demi keuntungan pribadi.”Aldrich mendekat satu langkah, membuat Alicia refleks mundur.“Kau ingin bicara soal harga diri, Alicia?
Ruangan kantin masih dipenuhi bisikan ketika Aldrich kembali berbicara, kali ini dengan nada yang lebih santai, tetapi tetap menusuk.“Oh, hampir lupa,” ucapnya sambil melirik ke arah tiga teman Alicia yang tadi ikut menghina Valerie. Tatapan matanya tajam, seperti elang yang baru saja menemukan mangsanya.Ketiga wanita itu menegang seketika. Salah satunya mencoba mengalihkan pandangan, seolah berharap Aldrich akan melewatkan mereka. Namun, sia-sia.“Aku juga tidak bisa membiarkan orang-orang yang suka menyebarkan fitnah dan menjatuhkan orang lain tetap bekerja di perusahaanku,” lanjut Aldrich, suaranya semakin menekan. “Jadi, kalian bertiga—” Ia menggerakkan jarinya, menunjuk satu per satu. “—juga dipecat. Hari ini juga.”Ketiga wanita itu terkejut. Salah satu dari mereka mencoba membela diri. “Tapi Pak Aldrich, kami tidak melakukan apa-apa! Itu semua ide Alicia!”“Oh? Jadi kalian hanya pengikut buta?” Aldrich menatap mereka dengan senyum dingin. “Lebih buruk lagi. Perusahaan ini t
Kabar bahwa Valerie adalah tunangan Aldrich sekaligus pewaris tunggal EliteCrop yang tengah belajar mandiri menyebar seperti api di antara para karyawan. Bisikan demi bisikan terdengar di berbagai sudut kantor, mulai dari kantin, ruang kerja, hingga lorong-lorong yang biasanya dipenuhi obrolan ringan.“Jadi, selama ini dia bukan sekadar sekretaris biasa?” bisik salah satu karyawan dengan ekspresi tak percaya.“Astaga, pantas saja Pak Aldrich begitu melindunginya. Aku kira dia hanya favorit atasan, ternyata…”“EliteCrop itu perusahaan teknologi besar, kan? Berarti dia lebih dari sekadar pewaris—dia bisa saja punya kuasa lebih besar dari Pak Aldrich suatu hari nanti!”Mereka yang sebelumnya memandang rendah Valerie kini mulai merasa canggung. Beberapa karyawan yang sempat bergosip buruk tentang Valerie kini merasa was-was. Mereka bertukar pandang dengan gelisah, bertanya-tanya apakah Aldrich akan mengingat siapa saja yang pernah meremehkan tunangannya.Sementara itu, Valerie tetap menj
Dalam ruangan yang remang-remang, Charlos duduk di belakang mejanya, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan kayu dengan ritme lambat. Wajahnya datar, tetapi sorot matanya menyiratkan ketidakpuasan.“Rencana kita gagal,” katanya dengan suara rendah, menelepon seseorang.Di seberang sana, Jennifer tengah duduk santai di sebuah salon mewah. Wanita itu meniup lembut kukunya yang baru saja dihiasi nail art berkilauan, seolah apa yang dikatakan Charlos bukan masalah besar.“Kalau begitu, jalankan rencana kedua,” ujar Jennifer santai, suaranya terdengar seperti mendikte. “Aku ragu kali ini Valerie akan lolos.”Senyum tipis muncul di sudut bibir Charlos. Tanpa menanggapi lebih lanjut, ia menutup panggilan itu secara sepihak. Jemarinya kini bertaut, sementara tatapannya meredup penuh obsesi.“Kau harus kembali padaku, Valerie,” gumamnya pelan. “Jika tidak, maka tak akan ada yang bisa memilikimu.”Sementara Valerie baru saja menyusun laporan terakhirnya hari itu. Berkas-berkas sudah tertata rapi,
Valerie tertawa. “Astaga… aku ingat sedikit. Ayah sempat nangis juga, ya?”“Iya, sambil bilang, ‘Anakku sudah bisa kabur dari rumah!’” ujar Bunda menirukan suara Bastian dengan gaya dramatis, dan mereka berdua meledak dalam tawa.Halaman demi halaman Valerie buka, menemukan momen-momen kecil yang dulu hanya kabur dalam ingatan: waktu ia nyasar di taman belakang dan ditemukan tidur di bawah pohon mangga, saat menangis karena balon ulang tahunnya meletus, atau saat mencoret-coret dinding dengan krayon lalu menyalahkan “kucing tetangga.”“Aku… beneran dulu segemas ini ya Bun?” Valerie mencubit pipinya sendiri.“Gemes banget, sampai bikin Bunda takut kamu cepat besar dan ninggalin Bunda,” ucap Bunda sambil mengelus rambut Valerie.Valerie diam sejenak, menatap satu foto lama. Itu adalah fotonya dan Jennifer, masih berseragam sekolah, tersenyum sambil memegang bunga matahari yang mereka tanam bersama.Wajah Valerie perlahan berubah. Tangannya menyentuh foto itu sejenak, lalu cepat-cepat me
Tok. Tok.Ketukan lembut terdengar di pintu kamar Valerie. Suaranya disusul suara lembut yang tak pernah gagal membuat Valerie merasa seperti anak kecil lagi.“Sayang, Bunda boleh masuk?”Valerie yang sejak tadi hanya duduk di tepi ranjang, memeluk bantal sambil memandangi jendela, menunggu pesan dari Aldrich, menoleh pelan. Ia mengangguk meski tahu sang bunda tak bisa melihatnya.Pintu terbuka perlahan. Wanita elegan dengan balutan blouse biru pastel itu melangkah masuk, menenteng secangkir susu hangat. Senyum hangatnya muncul lebih dulu, sebelum ia duduk di sisi tempat tidur Valerie.“Apa kamu merasa nyaman?” tanya Bunda, mengusap pelan tangan Valerie.Valerie mengangguk kecil. “Nyaman, Bun. Lebih dari nyaman.”Tapi bundanya tahu, di balik senyuman itu, ada hal-hal yang masih mengganjal di hati putrinya.Sambil menyerahkan cangkir susu, Bunda menarik napas panjang. “Kamu tahu, waktu Bunda hamil kamu dulu, Bunda juga sering menangis diam-diam.”Valerie menoleh cepat, kaget.“Bunda?”
Ruang interogasi siang itu tak terlalu ramai. Hanya ada dua penyidik, satu pengacara pendamping dari pihak kepolisian, dan Aldrich yang duduk dengan ekspresi tegas di sisi kanan meja.Jennifer duduk di seberang, tangannya terikat borgol, tapi senyumnya masih setengah mengejek seperti biasa. Rambutnya diikat asal, dan tatapannya tajam menusuk ke arah Aldrich.“Jadi,” ujar penyidik, membuka catatan. “Kita ingin memastikan, benar bahwa semua rencana penjebakan, pengawasan, penyebaran video tak senonoh itu berasal dari Anda?”Jennifer menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, menarik napas panjang, lalu melirik Aldrich sejenak. Bibirnya terangkat dalam senyum malas.“Ya,” katanya enteng. “Itu semua ideku.”Ruangan mendadak sunyi.Aldrich hanya memiringkan kepala sedikit, menatapnya lebih dalam. “Kenapa, Jennifer?”Jennifer mendecakkan lidah pelan. “Kenapa? Serius nanya begitu?”Ia mengangkat alis, lalu melipat tangan di atas meja. “Kau tahu, dulunya aku dan Valerie itu sahabat. Bestie, begitu
“Karena… kamu sangat cantik pagi ini. Dan aku butuh waktu untuk menikmati itu tanpa disela siapa pun,” jawabnya jujur, dengan suara rendah dan dalam.Valerie tertawa kecil, menunduk menahan senyum. “Gombal!”“Tidak.” Aldrich melangkah mendekat. “Kamu makin bersinar sejak hamil. Kulitmu, matamu, senyummu… aku bahkan tidak yakin bisa berkonsentrasi bekerja hari ini.”Valerie menegakkan dagunya, pura-pura berani. “Berarti salahku kamu jadi malas kerja?”“Tentu.” Aldrich menatap mata Valerie begitu dekat sekarang. “Dan karena itu…”Tiba-tiba, ia mencondongkan tubuhnya cepat dan mencuri satu kecupan ringan di bibir Valerie, hanya sekelebat, nyaris tak tersentuh angin.Valerie terkejut. “Aldrich!”Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, Aldrich sudah menjauh setengah langkah dengan senyum tak berdosa. “Apa? Aku hanya mengambil hakku sebagai tunangan.”“Kalau dilihat Bunda, aku bisa dikunci di kamar sebulan!” Valerie menepuk dada Aldrich dengan gemas, tapi rona merah sudah merayap sampai
Suara bel utama mansion menggema lembut ke seluruh penjuru rumah, membuyarkan tawa keluarga kecil itu di ruang makan.Salah satu maid segera berjalan cepat menuju pintu depan. Tak lama, ia kembali sambil tersenyum, membungkuk sedikit kepada Valerie.“Maaf, Nona Valerie… ada tamu. Tuan Aldrich sudah tiba.”Wajah Valerie seketika berubah. Matanya membulat kecil. “Ha? Aldrich?”Sebelum ia bisa berdiri dari kursinya, langkah-langkah mantap terdengar mendekat. Di ambang ruang makan yang luas dan berlapis marmer itu, Aldrich muncul, membawa sebuket bunga peony berwarna putih kekuningan yang indah, dengan satu kantong kertas berisi botol minuman herbal yang tampaknya dikemas dengan cantik.“Pagi semuanya.” Suaranya rendah dan tenang, tapi senyumnya penuh kelembutan, terarah hanya pada satu orang—Valerie.Valerie yang semula bersandar santai kini duduk lebih tegak. Wajahnya langsung merona. Tangannya refleks menyentuh pipinya yang terasa hangat, lalu menatap Aldrich dengan cemberut malu-malu
Begitu ia menginjak lantai marmer utama, aroma masakan segar langsung menyergap lebih kuat. Valerie menuju ruang makan, dan saat pintu geser dibuka oleh seorang pelayan lain, matanya langsung dimanjakan oleh pemandangan yang menggugah selera.Ruang makan itu luas, dengan langit-langit tinggi dan lampu kristal utama bergaya baroque menggantung anggun di tengah ruangan. Meja makan panjang dari kayu walnut mengkilat ditata sempurna dengan taplak putih bersih dan peralatan makan perak. Di tengah meja, berjejer aneka masakan yang menggoda. Omelette keju, salmon panggang, salad buah segar, aneka roti dan croissant hangat, potongan alpukat dan telur rebus, bubur ayam kampung, serta teh melati dan kopi hitam yang masih mengepul.Di ujung meja, sang ayah, Bastian, sudah duduk santai dengan koran pagi terbuka di depan wajahnya, namun begitu Valerie masuk, ia menurunkannya dan langsung tersenyum lebar.“Lihat siapa yang akhirnya bangun!” serunya sambil berdiri. “Nak, daddymu curiga, bundamu s
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk lewat celah tirai kamar Valerie, menyapu lembut wajahnya yang tenang dan sedikit mengantuk. Kulitnya tampak lebih bercahaya dari biasanya, dengan pipi yang merona alami, sebuah pesona baru yang muncul sejak ia mengandung. Rambutnya yang sedikit berantakan justru membingkai wajah ovalnya dengan manis, membuatnya terlihat semakin menawan meski baru saja terbangun.Ia mengenakan daster satin berwarna lembut—biru muda dengan renda tipis di bagian lengan dan kerah. Bahannya yang jatuh mengikuti lekuk tubuh membuatnya tampak anggun meski dalam kesederhanaan. Valerie menggeliat pelan di atas ranjang, lalu meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.Senyuman tipis langsung mengembang di wajahnya begitu layar menyala, ada notifikasi dari Aldrich.Aldrich [07.02 AM]:Pagi, sayang. Sudah bangun?Valerie mengetik dengan cepat, senyumnya makin lebar.Valerie [07.03 AM]:Sudah. Tapi belum mandi. Masih mager di kasur.Kenapa tidak bangunkan aku langsung saja?
Malam telah turun dengan damai, membungkus mansion megah milik keluarga Bastian dalam kehangatan yang elegan. Di ruang makan utama, cahaya lampu gantung berkilau keemasan, memantulkan bayangan hangat di dinding-dinding tinggi yang dihiasi lukisan klasik.Di meja makan panjang yang ditata rapi dengan peralatan makan mewah berlapis emas, duduklah Valerie, Aldrich, Bastian, dan sang Bunda. Wanita anggun itu mengenakan blus sutra krem yang memancarkan ketenangan, duduk di samping suaminya dengan tatapan penuh cinta pada anak semata wayangnya.Makan malam berlangsung dalam obrolan ringan dan senyum yang tak putus-putus. Sampai akhirnya Valerie meletakkan garpunya perlahan, menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi hangat yang terselip gugup.“Ayah, Bunda…” ucap Valerie lirih. “Aku ingin memberitahu sesuatu.”Bunda Valerie segera menatap putrinya itu dengan lembut. “Apa, sayang?”Valerie meraih tangan ibunya, lalu melirik Aldrich yang duduk di sebelahnya, memberi anggukan kecil penuh duku
Langit mulai beranjak senja saat rombongan mobil hitam mewah memasuki gerbang besar bergaya klasik Eropa yang berdiri megah di ujung jalan pribadi sepanjang hampir satu kilometer. Pagar besi berornamen emas terbuka perlahan, menampilkan pemandangan mansion Bastian yang seperti diambil dari halaman majalah arsitektur kelas dunia.Mansion itu berdiri tiga lantai dengan dominasi marmer putih krem, jendela-jendela tinggi berbingkai emas matte, dan pilar-pilar kokoh menjulang. Air mancur dengan patung kuda berlapis perunggu menjadi pusat taman depan, dengan rumput yang dipangkas sempurna dan lampu-lampu taman mulai menyala hangat seiring langit menggelap.Saat mobil berhenti, beberapa bodyguard berbadan tegap segera membuka pintu. Valerie turun terlebih dahulu, mengenakan dress soft pink selutut yang membentuk tubuh rampingnya. Flat shoes putihnya menyentuh marmer dengan langkah anggun. Di belakangnya, Aldrich turun dengan gaya khasnya—jas casual warna arang, kemeja putih berpotongan pas