Valerie menahan napasnya. Napas Aldrich begitu dekat, menyapu lembut permukaan kulitnya, membuat dadanya naik turun tidak teratur.“Kau mengganggu tidurku,” suara Aldrich terdengar serak, nyaris seperti gumaman.Valerie refleks mengulum bibirnya. “M—maaf, aku tidak bermaksud...”Dia berusaha menarik tangannya, tetapi cengkeraman Aldrich tetap erat, menahan pergelangan tangannya dengan mudah. Mata pria itu masih menatapnya, tajam dan dalam, seolah bisa membaca isi hatinya.Detik berikutnya, tanpa peringatan, Aldrich membalikkan tubuhnya, membuat Valerie terkesiap saat kini dirinya berada di bawah pria itu.“A—Aldrich... apa yang kau lakukan?” tanyanya tergagap, jantungnya berpacu cepat.Aldrich tidak menjawab. Tatapannya turun ke bibir Valerie, sebelum kembali menatap matanya dengan intensitas yang membuat tubuh Valerie menegang.Valerie kembali mengulum bibirnya, berusaha menenangkan diri. “Dengar... aku tidak berniat melakukannya denganmu malam ini,” katanya terbata.Senyuman miring
“Huh!”Valerie berpegangan pada tepian bathtub, mencoba menenangkan detak jantungnya yang menggila. Begitu Aldrich melangkah keluar, ia buru-buru mengunci pintu kamar mandi, seolah itu bisa menghentikan efek pria itu terhadapnya. Tapi percuma. Wajahnya masih terasa panas, pipinya memerah seperti habis terbakar.“Aku bisa gila jika begini terus,” gumamnya sambil memukul dadanya pelan, seolah itu bisa menenangkan debaran yang tak terkendali.Akhir-akhir ini, ia seakan kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Pesona Aldrich bukan hanya mengetuk, tapi mendobrak masuk ke dalam hatinya, mengacaukan segalanya.Valerie menghela napas dalam, lalu perlahan menenggelamkan tubuhnya ke dalam air hangat. Namun, bukannya menenangkan, pikirannya malah melayang ke sosok Aldrich. Cara pria itu menatapnya, suara seraknya yang dalam, dan bagaimana jari-jari pria itu sempat menyentuh dagunya, meninggalkan sensasi panas yang masih tertinggal.Valerie menggigit bibirnya. Sial. Dia bahkan masih bisa membaya
Valerie merasakan sentuhan ringan di bahunya, begitu halus namun menciptakan sensasi panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Aldrich tidak terburu-buru. Jemarinya yang besar dan hangat bergerak perlahan, menelusuri bahu telanjang Valerie dengan kelembutan yang membuat napasnya tercekat.“Apa kau selalu seharum ini setelah mandi?” suara Aldrich berbisik di dekat telinganya, begitu rendah dan berat hingga membuat tengkuk Valerie meremang.Lalu, sebelum ia sempat berpikir, Aldrich menundukkan kepalanya. Valerie bisa merasakan deru napas pria itu di kulitnya. Aldrich menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam, seakan tengah menikmati wangi sabun yang masih melekat di kulit Valerie.Membuat Valerie menegang. Jari-jarinya mencengkeram erat handuk di tangannya, mencoba mencari pegangan untuk tetap berdiri tegak."A—Aldrich..." suaranya hampir tidak terdengar, setengah tercekat antara gugup dan sesuatu yang lebih dalam yang bahkan tidak berani ia akui.Tapi Aldrich tidak menjawab. Ia hanya terse
Pagi itu, Valerie duduk di meja kerjanya dengan kepala yang terasa penuh. Ia menyesap kopinya perlahan, berusaha mengusir sisa panas yang masih mengendap dalam tubuh dan pikirannya. Namun, tidak peduli seberapa keras ia mencoba fokus pada pekerjaannya, bayangan Aldrich terus menghantuinya.Ciumannya. Tatapannya. Suaranya yang dalam saat mengucapkan kata-kata penuh godaan.“Hah....”Valerie menghela napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan dirinya. Ia tidak boleh terbawa suasana. Ia harus tetap profesional di kantor.Tapi suasana kantor pagi ini terasa sedikit berbeda.Beberapa rekan kerja yang biasanya ramah tampak berbisik-bisik sambil meliriknya. Beberapa bahkan menatapnya dengan tatapan sinis.Valerie mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang aneh.Hingga akhirnya, Lara, menghampirinya dengan ekspresi canggung.“Kau sudah dengar?” tanyanya pelan.Valerie mengerutkan kening. “Dengar apa?”Lara menggigit bibirnya, tampak ragu sebelum akhirnya berbisik, “Ada gosip yang beredar tent
“Mau ke mana?” suara Aldrich terdengar tenang, tetapi sorot matanya penuh perhatian.Valerie menghela napas panjang, lalu menggeleng lemah. Di mata Aldrich, wanita itu tampak rapuh, meskipun sebelumnya mereka sudah menduga rencana Charlos hari ini.Dengan gerakan lembut, Aldrich mengangkat tangannya, membelai bahu Valerie. Sudut bibirnya tertarik tipis, membentuk senyuman yang seolah mengatakan semua akan baik-baik saja.Valerie menatapnya, hatinya berdesir. Ingin rasanya ia membiarkan dirinya larut dalam pelukan Aldrich, merasakan kehangatan yang pria itu tawarkan. Namun, ia menahan diri.“Tidak perlu dipikirkan. Biar aku yang urus. Ayo kembali,” kata Aldrich mantap.Valerie mengangguk pelan, lalu berjalan berdampingan dengannya. Saat melewati Alicia, wanita itu menatapnya tajam, bibirnya melengkung penuh penghinaan.“Dasar wanita murahan,” gumamnya, cukup lantang untuk didengar.Langkah Valerie terhenti seketika. Namun sebelum ia sempat bereaksi, Aldrich sudah lebih dulu berbalik, m
Valerie menelan ludah, suaranya nyaris berbisik saat bertanya, “Kau lihat videonya?”Aldrich mengembuskan napas panjang sebelum menipiskan bibirnya. Tatapannya tak lepas dari Valerie, seolah memastikan wanita itu tidak goyah. “Ya, aku melihatnya.” Dia berhenti sejenak, lalu mengangkat bahu dengan ekspresi acuh. “Dan kau tahu? Tubuh pria dalam video itu sangat menyedihkan. Sama sekali tidak menarik. Itu jelas editan murahan.”Valerie yang awalnya tegang tak bisa menahan diri untuk terkekeh kecil. “Kau...” ia memukul ringan dada Aldrich, tapi wajahnya kini lebih rileks.Namun, momen itu tak berlangsung lama. Getaran ponsel di meja kerja Aldrich memecah keheningan. Nama Henry terpampang di layar, membuat Aldrich langsung mengangkatnya tanpa ragu.“Bicara,” perintahnya tegas.Suara Henry terdengar di seberang, tajam dan penuh kepastian. “Tuan, semua berita dan foto editan telah berhasil dihapus dari sebagian besar platform. Kami juga telah melacak IP pengirim anonim yang menyebarkannya
Valerie menatap bakinya yang sudah hampir penuh. Nasi putih mengepul di sisi kiri, bersebelahan dengan ayam panggang berbalut saus madu yang mengilap. Ada juga tumis sayuran segar yang berwarna cerah, tahu goreng keemasan, dan sup bening yang masih mengepulkan uap.“Ah, Bibi, ini sudah terlalu banyak,” ujar Valerie dengan canggung.Sejak video dan foto editan tentang dirinya tersebar pagi ini, suasana di kantor berubah. Tatapan penuh bisik-bisik dan gumaman halus mengikutinya ke mana pun ia pergi. Beberapa orang terang-terangan menghindarinya, sementara yang lain menatapnya seakan-akan ia adalah sosok yang harus dikasihani—atau justru dijauhi.Namun, Bi Asih berbeda. Wanita paruh baya yang bekerja di katering kantor itu justru memperlakukannya lebih hangat dari biasanya.“Jangan sungkan. Kau butuh makan yang banyak,” kata Bi Asih sambil tersenyum lembut. “Kalau kurang, kau bisa tambah lagi. Mau coba ini juga?” tangannya menunjuk ke arah akar lotus yang tersaji di dalam nampan kecil.
Alicia menelan ludah, tapi entah mendapat keberanian dari mana, dia tetap mendongakkan dagunya. Meski wajahnya sedikit pucat, bibirnya masih melengkung sinis.“Pak Aldrich benar-benar membela dia?” Alicia tertawa kecil, meski terdengar dipaksakan. “Apa karena dia tidur denganmu juga? Atau Bapak juga tertipu dengan wajah polosnya?”Kantin kembali dipenuhi gumaman tertahan. Beberapa orang bahkan saling bertukar pandang, tidak percaya Alicia benar-benar berani mengatakan itu di depan Aldrich.Mata Aldrich semakin menggelap. Rahangnya mengatup keras, tapi ia tetap berdiri tegak, menatap Alicia seolah gadis itu bukan siapa-siapa.“Ulangi,” ucapnya rendah.Alicia menggigit bibirnya, tapi masih mencoba mempertahankan sikap. “Kenapa? Bapak tak mau mengakuinya? Dia wanita murahan! Bahkan sebelum video itu beredar, semua orang tahu bagaimana dia mendekati pria kaya demi keuntungan pribadi.”Aldrich mendekat satu langkah, membuat Alicia refleks mundur.“Kau ingin bicara soal harga diri, Alicia?
Aldrich bersandar ke sofa, menatap api yang berkobar di perapian sebelum akhirnya berbicara."Tentang yang terakhir kali, aku masih menunggu jawabanmu. Kalau-kalau kau berubah pikiran."Valerie menoleh, menatapnya dengan alis bertaut. "Apa maksudmu?"Aldrich tersenyum miring, sorot matanya tajam namun tetap tenang. "Pernyataan cintaku. Aku tahu kau merasakannya sama seperti aku. Jadi, berhentilah berpura-pura bahwa itu tidak terjadi. Jangan terus-terusan menolak aku."Valerie membuka mulut, hendak membantah, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Karena di lubuk hatinya, ia tahu Aldrich benar.Dan perasaan yang ia rasakan saat ini juga nyata.Namun, ia menepisnya. "Kau mungkin salah mengartikannya, Aldrich. Bisa saja perasaan itu hadir karena kita menjadi partner ranjang. Itu hanya sesaat."Entah sudah berapa kali Valerie mengatakan itu.Membuat Aldrich menghela napas pelan, lalu mengalihkan pandangannya ke perapian. Ekspresinya tidak berubah, tetapi Valerie bisa merasakan ketegangan y
Valerie tahu ia harus mundur. Ia harus menjauh sebelum semuanya semakin tak terkendali. Tapi ketika Aldrich semakin mendekat, ketika matanya yang tajam menatap bibirnya seolah meminta izin tanpa kata, Valerie justru tetap diam.Tidak ada keraguan. Tidak ada kecanggungan.Lalu, bibir Aldrich menyentuhnya—hangat, lembut, dan begitu pasti.Ciuman itu bukan tuntutan, bukan juga sesuatu yang tergesa-gesa. Aldrich menciumnya dengan tenang, seakan memberi waktu bagi Valerie untuk menyadari apa yang sedang terjadi. Sentuhannya dalam, tapi tidak mendesak. Seolah ia ingin Valerie merasakan setiap sensasi, setiap getaran yang muncul dari sentuhan mereka.Dan Valerie? Ia membalas.Tanpa sadar, jemarinya yang tadinya mengepal di dada Aldrich kini melonggar, jemari kecilnya merayap naik, menyentuh leher pria itu, lalu berhenti di belakang tengkuknya. Ia tidak menarik Aldrich lebih dekat, tapi juga tidak mendorongnya pergi.Aldrich menangkap isyarat itu dengan cepat. Ciumannya semakin dalam, lebih
"Letakkan saja, biar aku yang membersihkan sisanya," kata Aldrich saat melihat Valerie bersiap membereskan piring dan peralatan makan mereka.Namun, bukannya menurut, Valerie justru tetap berdiri di tempatnya. "Kau sudah memasak. Biar aku yang membersihkannya." Ia mengerucutkan bibir, menunjukkan ketidaksetujuannya.Aldrich hanya meliriknya sekilas sebelum dengan sigap mengambil piring dari tangan Valerie. "Kau duduk saja," ujarnya tegas, lalu membawa semua peralatan makan ke wastafel.Tapi tentu saja, Valerie tidak mau diam begitu saja. Ia justru mengikuti Aldrich sampai ke wastafel, memperhatikannya dengan penuh rasa ingin tahu.Aldrich, tanpa menghiraukannya, mengambil celemek hitam yang tergantung di samping lemari dapur, lalu mengenakannya dengan gerakan terlatih. Ia juga menyarungkan sepasang sarung tangan karet sebelum mulai mencuci piring dengan telaten. Jemarinya yang biasanya tampak garang saat mengetik di laptop atau menggenggam setir mobil, kini dengan luwes menggosok set
“Kau ingin melihat kamarmu?”Suara Aldrich yang dalam menyadarkannya dari lamunannya. Valerie menoleh, menemukan pria itu sudah berdiri di dekat tangga dengan ekspresi tenang, tetapi matanya tetap mengamati Valerie dengan cermat.Valerie mengangguk pelan, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang merayapi dirinya. Ia mengikuti Aldrich menaiki tangga lebar yang terbuat dari kayu gelap dengan pegangan besi berukir. Langkah mereka nyaris tidak bersuara di lantai kayu, menciptakan suasana yang semakin sunyi.Setibanya di lantai atas, Aldrich membuka salah satu pintu di sisi kiri koridor. Valerie melangkah masuk dan langsung terdiam.Kamar itu lebih besar dari apartemennya.Tempat tidur berukuran king dengan seprai putih bersih berada di tengah ruangan, berhadapan langsung dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan hutan di kejauhan. Ada sofa kecil di sudut ruangan, serta meja kerja yang terlihat simpel namun elegan.Dibandingkan dengan kemewahan yang dingin di mansion Aldrich, ruang
Mobil melaju dengan kecepatan stabil di jalanan yang semakin lengang. Valerie yang awalnya masih tegang, perlahan mulai menyadari sesuatu. Jalanan yang mereka lalui bukanlah rute menuju apartemennya, juga bukan ke mansion Aldrich.“Kita ke mana?” tanyanya, menoleh pada Aldrich dengan alis berkerut.Aldrich tetap menatap ke depan, wajahnya tanpa ekspresi. “Tempat yang lebih aman.”Valerie merasakan firasat aneh menyelusup ke dalam dirinya. “Tapi apartemenku—”“Sudah tidak aman,” potong Aldrich tegas. “Juga mansionku. Charlos bukan orang bodoh. Jika dia cukup berani mengikutiku sejauh ini, dia pasti punya mata-mata yang memantau setiap pergerakanku.”Valerie menggigit bibirnya, pikirannya berputar. “Lalu ke mana kau membawaku?”Aldrich akhirnya menoleh sekilas ke arahnya, sebelum kembali fokus pada jalan. “Villaku.”Valerie mengerjap. “Villa?”Aldrich mengangguk. “Di luar kota, jauh dari pemukiman. Hanya sedikit orang yang tahu keberadaannya, dan tidak ada yang bisa menemukanmu di sana
“Kita meninggalkan mobil ini di sini?” Valerie bertanya pelan.Aldrich mengangguk. “Ya, biarkan mereka mengikuti yang salah.”Bawahan Aldrich segera membawa mobil lama mereka pergi ke arah yang berbeda, seolah mereka masih ada di dalamnya. Sementara itu, Aldrich dan Valerie sudah berada di kendaraan baru, melaju ke arah lain.Di kejauhan, Charlos yang masih memantau melalui sistem pelacakan mulai menyeringai.“Aku tahu kau cerdas, Aldrich.” Ia berbisik, matanya menatap titik bergerak di layar ponselnya.Namun, senyumannya perlahan memudar ketika ia menyadari sesuatu yang aneh. Mobil yang ia lacak tiba-tiba bergerak ke arah yang tidak masuk akal.Charlos mengerutkan kening. “Tunggu… Apa ini?”Dalam hitungan detik, titik tersebut berhenti di satu lokasi. Lalu—hilang.Charlos mengumpat. Ia baru sadar—Aldrich telah mengelabuinya. Charlos membanting ponselnya ke dashboard dengan frustrasi. Rahangnya mengeras, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang kini terasa semakin gelap di bawah ba
Dari dalam mobil dengan kaca gelap yang terparkir di seberang jalan, Charlos mengamati pemandangan di depannya dengan rahang mengatup keras. Jemarinya mengepal di atas pahanya, sementara matanya tak lepas dari sosok Valerie yang tertawa lepas di samping Aldrich."Cih... Lihat kau sekarang, Valerie," gumamnya dengan nada penuh kebencian. "Bersama pria yang bahkan tidak seharusnya ada di sisimu."Charlos menyandarkan tubuhnya ke jok mobil, menekan dahinya dengan ibu jarinya sementara pikirannya berkecamuk. Ia sudah memperhitungkan banyak hal, tetapi satu hal yang tidak ia duga adalah betapa cepatnya Aldrich mengambil alih posisi di hati Valerie. Seharusnya, wanita itu masih terluka dan rentan setelah pengkhianatannya dulu.Harusnya, Valerie kembali padanya.Harusnya, Valerie tidak bisa bahagia dengan pria lain."Kau pikir kau sudah menang, Aldrich?" gumamnya rendah, bibirnya menyeringai tipis. "Aku tidak akan diam saja melihat ini."Charlos lalu meraih ponselnya dan membuka pesan dari
Mobil mewah Aldrich melaju mulus di sepanjang jalan utama, meninggalkan pusat kota yang sibuk. Valerie bersandar di jok penumpang, sesekali melirik ke luar jendela, mencari sesuatu.“Aldrich, berhenti di situ,” ujarnya tiba-tiba, matanya berbinar melihat gerobak cendol pinggir jalan.Aldrich mengerutkan kening, melirik ke arah yang dimaksud Valerie. Di sana, seorang penjual cendol tua tengah sibuk melayani pelanggan dengan mangkuk plastik berisi es serut hijau, santan, dan gula merah kental. Motor-motor terparkir sembarangan di sekitar gerobak, beberapa orang duduk di bangku kayu, menyeruput minuman mereka dengan puas.Dahi Aldrich semakin berkerut. “Di sana?” tanyanya, terdengar tidak yakin.“Iya,” Valerie mengangguk penuh semangat. “Aku mau cendol dari bakul itu.”Aldrich menekan rem perlahan, tetapi tak segera menepikan mobilnya. Tatapannya kembali ke Valerie, kali ini dengan ekspresi skeptis. “Kau yakin? Kita bisa pergi ke restoran atau kafe yang menjual cendol lebih bersih dan
Dalam ruangan yang remang-remang, Charlos duduk di belakang mejanya, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan kayu dengan ritme lambat. Wajahnya datar, tetapi sorot matanya menyiratkan ketidakpuasan.“Rencana kita gagal,” katanya dengan suara rendah, menelepon seseorang.Di seberang sana, Jennifer tengah duduk santai di sebuah salon mewah. Wanita itu meniup lembut kukunya yang baru saja dihiasi nail art berkilauan, seolah apa yang dikatakan Charlos bukan masalah besar.“Kalau begitu, jalankan rencana kedua,” ujar Jennifer santai, suaranya terdengar seperti mendikte. “Aku ragu kali ini Valerie akan lolos.”Senyum tipis muncul di sudut bibir Charlos. Tanpa menanggapi lebih lanjut, ia menutup panggilan itu secara sepihak. Jemarinya kini bertaut, sementara tatapannya meredup penuh obsesi.“Kau harus kembali padaku, Valerie,” gumamnya pelan. “Jika tidak, maka tak akan ada yang bisa memilikimu.”Sementara Valerie baru saja menyusun laporan terakhirnya hari itu. Berkas-berkas sudah tertata rapi,