Malam itu, Alicia tiba di sebuah restoran eksklusif di pusat kota. Tempat itu bukan hanya sekadar restoran, melainkan juga ruang pertemuan bagi para eksekutif dan pebisnis kelas atas. Ia masuk dengan percaya diri, mengenakan gaun hitam elegan yang membentuk siluet tubuhnya dengan sempurna.Di sudut ruangan yang lebih privat, seorang pria sudah menunggunya. Charlos.Alicia mendekat, menarik kursi dengan anggun, lalu duduk di depannya. Charlos meletakkan gelas anggurnya, mengamati Alicia dengan senyum miring."Jadi, apa rencana besarmu?" tanyanya, nada suaranya penuh ketertarikan.Alicia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Charlos dengan penuh keyakinan. "Kau masih ingin Valerie kembali, kan?"Senyum Charlos menghilang. Wajahnya mengeras, matanya menyipit tajam. "Tentu saja. Dia milikku."Alicia terkekeh pelan. "Kalau begitu, kita punya tujuan yang sama. Aku ingin Valerie hancur, dan kau ingin dia kembali padamu."Charlos menatapnya dengan penuh minat. "Lanjutkan."Alicia mencondon
"Ini juga?" Aldrich bertanya seraya mengangkat sebungkus wagyu beef slice dari rak pendingin yang berembun. Plastik bening membungkus potongan daging yang tersusun rapi, memperlihatkan warna merah segarnya dengan marbling lemak putih yang menggoda.Valerie melirik sebentar, lalu mengangguk. "Ambil saja, kita bisa buat yakiniku atau mungkin steak nanti."Mereka berada di bagian produk segar sebuah swalayan mewah, tempat deretan daging premium tersusun dengan pencahayaan yang menonjolkan kualitasnya. Biasanya, kulkas di mansion Aldrich selalu diisi oleh kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas persediaan bahan makanan. Namun, setelah pulang kerja tadi, Valerie bersikeras ingin berbelanja sendiri.Aldrich, tentu saja, menuruti keinginannya dengan senang hati."Kau benar-benar ingin memasak untukku, huh?" Aldrich tersenyum kecil, melangkah mendekati Valerie yang tengah memilih sayuran.Valerie meraih satu ikat asparagus hijau, menggenggamnya sejenak untuk memastikan kesegarannya
Setibanya di mansion, Aldrich membawa masuk kantong-kantong belanjaan ke dapur, sementara Valerie melepaskan sepatu hak tingginya, merasa lebih santai setelah seharian bekerja. Mansion itu terasa hangat dan nyaman, dengan pencahayaan yang redup dan aroma samar kayu manis dari lilin aroma terapi yang selalu menyala di sudut ruang tamu.“Rasanya lebih nyaman dibanding kantor,” gumam Valerie seraya meregangkan lengannya.Aldrich yang baru saja masuk dari dapur menatapnya dengan senyum geli. “Jangan terlalu betah. Bisa-bisa kau enggan pulang ke apartemenmu.”“Meskipun aku menyukai itu.”Valerie mendengus, melangkah ke dapur di mana kantong-kantong belanjaan masih tertata di meja marmer. Dia menggulung lengan blazer-nya, lalu mulai mengeluarkan bahan-bahan yang mereka beli satu per satu.Aldrich melipat tangannya, bersandar di ambang pintu dapur, mengamati Valerie yang terlihat serius menyusun daging, sayuran, dan keju ke dalam kulkas.“Padahal nona besar kita ini jarang sekali memasak. T
“Aldrich, aku ingin membicarakan sesuatu denganmu.”Valerie baru saja selesai mandi, tubuhnya masih terasa hangat dari uap air. Ia mengenakan piyama satin berwarna hitam dengan potongan dada rendah, dihiasi renda halus yang membingkai lekuk tubuhnya dengan anggun. Bahan kain yang lembut membalut kulitnya, membiarkan sebagian bahunya terekspos dengan elegan. Rambutnya yang masih setengah basah menjuntai ke samping, meneteskan sisa air yang menggelitik leher jenjangnya.Ia berjalan mendekati sofa di mana Aldrich duduk, masih mengenakan pakaian kantor yang tampak sedikit kusut setelah seharian bekerja. Di pangkuannya, laptop terbuka dengan grafik-grafik keuangan yang terus bergerak. Matanya terpaku pada layar, alisnya sedikit berkerut tanda tengah berpikir keras.Namun, saat Valerie semakin dekat, Aldrich akhirnya mendongak. Pandangannya langsung tertuju pada sosok wanita itu, dan seketika senyuman miring terukir di wajahnya.“Wow, kau tak sedang menggodaku, kan?” tanyanya dengan nada m
“Jadi, apa rencanamu?” tanya Aldrich, suaranya terdengar tenang, tetapi ada ketegangan terselubung di matanya.Valerie menghela napas panjang sebelum menggeleng. "Aku belum tahu.”Aldrich menutup matanya sejenak, lalu menatap Valerie lekat-lekat. “Aku yang akan mengurusnya.”Mata Valerie langsung berbinar, sorotnya penuh harapan. “Kau serius?”Aldrich mengangguk. “Setelah mendengar rencana mereka, aku tahu mereka ingin menjebakmu dengan beberapa foto. Tapi…” Ia menatap Valerie lebih dalam, seakan mencari sesuatu di matanya. “Apa kau benar-benar pernah berfoto mesra dengan Charlos?”Jantungnya berdegup lebih cepat. Sebenarnya, ia tak yakin ingin mendengar jawabannya. Namun, ia tetap bertanya—seolah ingin memastikan sesuatu.Valerie mendengus sambil melotot. “Aku bukan orang mesum. Tentu saja tidak!” jawabnya tegas.Sudut bibir Aldrich berkedut, menahan senyum kemenangan yang hampir saja terbit. Dadanya terasa lebih ringan, tetapi ia tak ingin menunjukkan perasaannya terlalu jelas.“Su
"Uh…" Valerie membuka mulut, tetapi tidak ada kata yang keluar. Ia buru-buru mengalihkan pandangan, tetapi detik berikutnya, Aldrich sudah berjalan mendekat."Sedang menungguku?" suara Aldrich terdengar dalam dan serak, sedikit bergetar di udara.Valerie menelan ludah. "A-aku… aku… tidak," sahutnya tergagap, membuat Aldrich langsung menyipitkan mata.Pria itu menyeringai kecil, lalu bersandar di sisi ranjang dengan tangan terlipat di dada. "Kenapa kau gugup?" tanyanya dengan nada penuh selidik."A-aku tidak gugup!" Valerie cepat-cepat menyangkal, tetapi wajahnya mulai memanas.Aldrich mengangkat alis, lalu mengulurkan tangan, menyentuh dagu Valerie dengan ujung jarinya. Sentuhan ringan itu cukup untuk membuat tubuh Valerie menegang."Hmm… kau terlihat seperti seseorang yang sedang menyembunyikan sesuatu." Suara Aldrich semakin dalam, penuh nada godaan.Valerie semakin panik. "Aku—aku hanya… lelah!" katanya buru-buru, lalu menarik selimut, mencoba menyembunyikan wajahnya yang pasti su
Valerie menahan napasnya. Napas Aldrich begitu dekat, menyapu lembut permukaan kulitnya, membuat dadanya naik turun tidak teratur.“Kau mengganggu tidurku,” suara Aldrich terdengar serak, nyaris seperti gumaman.Valerie refleks mengulum bibirnya. “M—maaf, aku tidak bermaksud...”Dia berusaha menarik tangannya, tetapi cengkeraman Aldrich tetap erat, menahan pergelangan tangannya dengan mudah. Mata pria itu masih menatapnya, tajam dan dalam, seolah bisa membaca isi hatinya.Detik berikutnya, tanpa peringatan, Aldrich membalikkan tubuhnya, membuat Valerie terkesiap saat kini dirinya berada di bawah pria itu.“A—Aldrich... apa yang kau lakukan?” tanyanya tergagap, jantungnya berpacu cepat.Aldrich tidak menjawab. Tatapannya turun ke bibir Valerie, sebelum kembali menatap matanya dengan intensitas yang membuat tubuh Valerie menegang.Valerie kembali mengulum bibirnya, berusaha menenangkan diri. “Dengar... aku tidak berniat melakukannya denganmu malam ini,” katanya terbata.Senyuman miring
“Huh!”Valerie berpegangan pada tepian bathtub, mencoba menenangkan detak jantungnya yang menggila. Begitu Aldrich melangkah keluar, ia buru-buru mengunci pintu kamar mandi, seolah itu bisa menghentikan efek pria itu terhadapnya. Tapi percuma. Wajahnya masih terasa panas, pipinya memerah seperti habis terbakar.“Aku bisa gila jika begini terus,” gumamnya sambil memukul dadanya pelan, seolah itu bisa menenangkan debaran yang tak terkendali.Akhir-akhir ini, ia seakan kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Pesona Aldrich bukan hanya mengetuk, tapi mendobrak masuk ke dalam hatinya, mengacaukan segalanya.Valerie menghela napas dalam, lalu perlahan menenggelamkan tubuhnya ke dalam air hangat. Namun, bukannya menenangkan, pikirannya malah melayang ke sosok Aldrich. Cara pria itu menatapnya, suara seraknya yang dalam, dan bagaimana jari-jari pria itu sempat menyentuh dagunya, meninggalkan sensasi panas yang masih tertinggal.Valerie menggigit bibirnya. Sial. Dia bahkan masih bisa membaya
Valerie tertawa. “Astaga… aku ingat sedikit. Ayah sempat nangis juga, ya?”“Iya, sambil bilang, ‘Anakku sudah bisa kabur dari rumah!’” ujar Bunda menirukan suara Bastian dengan gaya dramatis, dan mereka berdua meledak dalam tawa.Halaman demi halaman Valerie buka, menemukan momen-momen kecil yang dulu hanya kabur dalam ingatan: waktu ia nyasar di taman belakang dan ditemukan tidur di bawah pohon mangga, saat menangis karena balon ulang tahunnya meletus, atau saat mencoret-coret dinding dengan krayon lalu menyalahkan “kucing tetangga.”“Aku… beneran dulu segemas ini ya Bun?” Valerie mencubit pipinya sendiri.“Gemes banget, sampai bikin Bunda takut kamu cepat besar dan ninggalin Bunda,” ucap Bunda sambil mengelus rambut Valerie.Valerie diam sejenak, menatap satu foto lama. Itu adalah fotonya dan Jennifer, masih berseragam sekolah, tersenyum sambil memegang bunga matahari yang mereka tanam bersama.Wajah Valerie perlahan berubah. Tangannya menyentuh foto itu sejenak, lalu cepat-cepat me
Tok. Tok.Ketukan lembut terdengar di pintu kamar Valerie. Suaranya disusul suara lembut yang tak pernah gagal membuat Valerie merasa seperti anak kecil lagi.“Sayang, Bunda boleh masuk?”Valerie yang sejak tadi hanya duduk di tepi ranjang, memeluk bantal sambil memandangi jendela, menunggu pesan dari Aldrich, menoleh pelan. Ia mengangguk meski tahu sang bunda tak bisa melihatnya.Pintu terbuka perlahan. Wanita elegan dengan balutan blouse biru pastel itu melangkah masuk, menenteng secangkir susu hangat. Senyum hangatnya muncul lebih dulu, sebelum ia duduk di sisi tempat tidur Valerie.“Apa kamu merasa nyaman?” tanya Bunda, mengusap pelan tangan Valerie.Valerie mengangguk kecil. “Nyaman, Bun. Lebih dari nyaman.”Tapi bundanya tahu, di balik senyuman itu, ada hal-hal yang masih mengganjal di hati putrinya.Sambil menyerahkan cangkir susu, Bunda menarik napas panjang. “Kamu tahu, waktu Bunda hamil kamu dulu, Bunda juga sering menangis diam-diam.”Valerie menoleh cepat, kaget.“Bunda?”
Ruang interogasi siang itu tak terlalu ramai. Hanya ada dua penyidik, satu pengacara pendamping dari pihak kepolisian, dan Aldrich yang duduk dengan ekspresi tegas di sisi kanan meja.Jennifer duduk di seberang, tangannya terikat borgol, tapi senyumnya masih setengah mengejek seperti biasa. Rambutnya diikat asal, dan tatapannya tajam menusuk ke arah Aldrich.“Jadi,” ujar penyidik, membuka catatan. “Kita ingin memastikan, benar bahwa semua rencana penjebakan, pengawasan, penyebaran video tak senonoh itu berasal dari Anda?”Jennifer menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, menarik napas panjang, lalu melirik Aldrich sejenak. Bibirnya terangkat dalam senyum malas.“Ya,” katanya enteng. “Itu semua ideku.”Ruangan mendadak sunyi.Aldrich hanya memiringkan kepala sedikit, menatapnya lebih dalam. “Kenapa, Jennifer?”Jennifer mendecakkan lidah pelan. “Kenapa? Serius nanya begitu?”Ia mengangkat alis, lalu melipat tangan di atas meja. “Kau tahu, dulunya aku dan Valerie itu sahabat. Bestie, begitu
“Karena… kamu sangat cantik pagi ini. Dan aku butuh waktu untuk menikmati itu tanpa disela siapa pun,” jawabnya jujur, dengan suara rendah dan dalam.Valerie tertawa kecil, menunduk menahan senyum. “Gombal!”“Tidak.” Aldrich melangkah mendekat. “Kamu makin bersinar sejak hamil. Kulitmu, matamu, senyummu… aku bahkan tidak yakin bisa berkonsentrasi bekerja hari ini.”Valerie menegakkan dagunya, pura-pura berani. “Berarti salahku kamu jadi malas kerja?”“Tentu.” Aldrich menatap mata Valerie begitu dekat sekarang. “Dan karena itu…”Tiba-tiba, ia mencondongkan tubuhnya cepat dan mencuri satu kecupan ringan di bibir Valerie, hanya sekelebat, nyaris tak tersentuh angin.Valerie terkejut. “Aldrich!”Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, Aldrich sudah menjauh setengah langkah dengan senyum tak berdosa. “Apa? Aku hanya mengambil hakku sebagai tunangan.”“Kalau dilihat Bunda, aku bisa dikunci di kamar sebulan!” Valerie menepuk dada Aldrich dengan gemas, tapi rona merah sudah merayap sampai
Suara bel utama mansion menggema lembut ke seluruh penjuru rumah, membuyarkan tawa keluarga kecil itu di ruang makan.Salah satu maid segera berjalan cepat menuju pintu depan. Tak lama, ia kembali sambil tersenyum, membungkuk sedikit kepada Valerie.“Maaf, Nona Valerie… ada tamu. Tuan Aldrich sudah tiba.”Wajah Valerie seketika berubah. Matanya membulat kecil. “Ha? Aldrich?”Sebelum ia bisa berdiri dari kursinya, langkah-langkah mantap terdengar mendekat. Di ambang ruang makan yang luas dan berlapis marmer itu, Aldrich muncul, membawa sebuket bunga peony berwarna putih kekuningan yang indah, dengan satu kantong kertas berisi botol minuman herbal yang tampaknya dikemas dengan cantik.“Pagi semuanya.” Suaranya rendah dan tenang, tapi senyumnya penuh kelembutan, terarah hanya pada satu orang—Valerie.Valerie yang semula bersandar santai kini duduk lebih tegak. Wajahnya langsung merona. Tangannya refleks menyentuh pipinya yang terasa hangat, lalu menatap Aldrich dengan cemberut malu-malu
Begitu ia menginjak lantai marmer utama, aroma masakan segar langsung menyergap lebih kuat. Valerie menuju ruang makan, dan saat pintu geser dibuka oleh seorang pelayan lain, matanya langsung dimanjakan oleh pemandangan yang menggugah selera.Ruang makan itu luas, dengan langit-langit tinggi dan lampu kristal utama bergaya baroque menggantung anggun di tengah ruangan. Meja makan panjang dari kayu walnut mengkilat ditata sempurna dengan taplak putih bersih dan peralatan makan perak. Di tengah meja, berjejer aneka masakan yang menggoda. Omelette keju, salmon panggang, salad buah segar, aneka roti dan croissant hangat, potongan alpukat dan telur rebus, bubur ayam kampung, serta teh melati dan kopi hitam yang masih mengepul.Di ujung meja, sang ayah, Bastian, sudah duduk santai dengan koran pagi terbuka di depan wajahnya, namun begitu Valerie masuk, ia menurunkannya dan langsung tersenyum lebar.“Lihat siapa yang akhirnya bangun!” serunya sambil berdiri. “Nak, daddymu curiga, bundamu s
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk lewat celah tirai kamar Valerie, menyapu lembut wajahnya yang tenang dan sedikit mengantuk. Kulitnya tampak lebih bercahaya dari biasanya, dengan pipi yang merona alami, sebuah pesona baru yang muncul sejak ia mengandung. Rambutnya yang sedikit berantakan justru membingkai wajah ovalnya dengan manis, membuatnya terlihat semakin menawan meski baru saja terbangun.Ia mengenakan daster satin berwarna lembut—biru muda dengan renda tipis di bagian lengan dan kerah. Bahannya yang jatuh mengikuti lekuk tubuh membuatnya tampak anggun meski dalam kesederhanaan. Valerie menggeliat pelan di atas ranjang, lalu meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.Senyuman tipis langsung mengembang di wajahnya begitu layar menyala, ada notifikasi dari Aldrich.Aldrich [07.02 AM]:Pagi, sayang. Sudah bangun?Valerie mengetik dengan cepat, senyumnya makin lebar.Valerie [07.03 AM]:Sudah. Tapi belum mandi. Masih mager di kasur.Kenapa tidak bangunkan aku langsung saja?
Malam telah turun dengan damai, membungkus mansion megah milik keluarga Bastian dalam kehangatan yang elegan. Di ruang makan utama, cahaya lampu gantung berkilau keemasan, memantulkan bayangan hangat di dinding-dinding tinggi yang dihiasi lukisan klasik.Di meja makan panjang yang ditata rapi dengan peralatan makan mewah berlapis emas, duduklah Valerie, Aldrich, Bastian, dan sang Bunda. Wanita anggun itu mengenakan blus sutra krem yang memancarkan ketenangan, duduk di samping suaminya dengan tatapan penuh cinta pada anak semata wayangnya.Makan malam berlangsung dalam obrolan ringan dan senyum yang tak putus-putus. Sampai akhirnya Valerie meletakkan garpunya perlahan, menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi hangat yang terselip gugup.“Ayah, Bunda…” ucap Valerie lirih. “Aku ingin memberitahu sesuatu.”Bunda Valerie segera menatap putrinya itu dengan lembut. “Apa, sayang?”Valerie meraih tangan ibunya, lalu melirik Aldrich yang duduk di sebelahnya, memberi anggukan kecil penuh duku
Langit mulai beranjak senja saat rombongan mobil hitam mewah memasuki gerbang besar bergaya klasik Eropa yang berdiri megah di ujung jalan pribadi sepanjang hampir satu kilometer. Pagar besi berornamen emas terbuka perlahan, menampilkan pemandangan mansion Bastian yang seperti diambil dari halaman majalah arsitektur kelas dunia.Mansion itu berdiri tiga lantai dengan dominasi marmer putih krem, jendela-jendela tinggi berbingkai emas matte, dan pilar-pilar kokoh menjulang. Air mancur dengan patung kuda berlapis perunggu menjadi pusat taman depan, dengan rumput yang dipangkas sempurna dan lampu-lampu taman mulai menyala hangat seiring langit menggelap.Saat mobil berhenti, beberapa bodyguard berbadan tegap segera membuka pintu. Valerie turun terlebih dahulu, mengenakan dress soft pink selutut yang membentuk tubuh rampingnya. Flat shoes putihnya menyentuh marmer dengan langkah anggun. Di belakangnya, Aldrich turun dengan gaya khasnya—jas casual warna arang, kemeja putih berpotongan pas