"Lalu hari ini kita mau ke mana?" tanya Valerie, akhirnya menyerah untuk melanjutkan pembicaraan ini dengan nada formal. Ia menyilangkan kedua lengannya, menatap Aldrich dengan wajah setengah jengah. Pria itu selalu punya cara untuk membuatnya penasaran, meski Valerie benci mengakuinya.Aldrich menegakkan tubuhnya, meletakkan gelas di meja dapur sebelum menyelipkan tangan ke saku celananya. "Ke butik," jawabnya santai, seolah itu adalah hal paling wajar di dunia."Butik?" Valerie memiringkan kepalanya. "Apa kau mau membeli setelan baru untuk dirimu sendiri? Kalau ya, kenapa aku harus ikut? Lagipula, bukankah hari ini kau mengatakan jika kita akan menghadiri acara keluarga?"Aldrich terkekeh, sorot matanya penuh godaan. "Bukan untukku, babe. Untukmu."“Ah, sebenarnya yang kedua itu tidak sungguh-sungguh. Aku hanya ingin bermain denganmu.” tambah Aldrich melanjutkan. Valerie mendadak terdiam. Giginya saling beradu, geram dengan tingkah Aldrich yang semaunya itu. Menarik nafas panjan
Setelah beberapa saat menenangkan dirinya di ruang ganti, Valerie keluar dengan anggun mengenakan gaun yang tadi Aldrich bantu kenakan. Gaun itu berwarna biru muda dengan potongan yang pas di tubuhnya, memancarkan aura elegan. Ia berjalan menuju Aldrich yang tengah duduk santai di sofa, tapi pria itu segera bangkit ketika melihatnya."Luar biasa," Aldrich memujinya dengan nada tulus kali ini, tanpa tambahan godaan seperti biasanya. Mata pria itu memperhatikan Valerie dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Aku tahu itu akan cocok denganmu."Valerie memutar bola matanya, meski pipinya sedikit memerah. "Kau terlalu banyak bicara. Jadi, ini cukup atau kau ingin aku mencoba semua gaun di sini?"Aldrich tersenyum kecil, mengambil ponselnya dan pura-pura sibuk mengetik sesuatu. "Sepertinya aku harus membeli gaun ini untukmu.""Membelikan gaun? Aku bisa membayarnya sendiri, Aldrich," tegas Valerie sambil melipat tangan.Aldrich menurunkan ponselnya, menatapnya serius. "Aku tahu kau bisa, Val
"Aku ke toilet dulu."Valerie bangkit dari tempat duduknya setelah mengelap singkat bibirnya dengan serbet. Gerakannya anggun, meskipun terlihat sederhana. Aldrich hanya mengangguk, matanya mengikuti punggung Valerie yang menjauh, melangkah dengan percaya diri di antara meja-meja restoran mewah itu.Aldrich bersandar di kursinya, mengambil posisi yang begitu santai namun tetap terlihat berwibawa. Pemandangan pria itu dengan jas hitam sempurna, rambut tertata rapi, dan rahang tegas yang memancarkan aura dingin membuat siapa pun yang melihatnya sulit berpaling. Beberapa orang mulai memperhatikan, dan suara bisik-bisik pelan terdengar dari meja terdekat."Dia artis, kan?" bisik seorang wanita muda di meja depan, matanya melirik penuh penasaran."Entahlah, tapi wajahnya tampan sekali," timpal temannya sambil terus mencuri pandang.Aldrich tidak peduli. Selama tiga puluh tahun hidupnya, perhatian semacam ini sudah menjadi hal yang biasa. Entah itu di restoran, jalan umum, atau acara-aca
"Sudah sampai."Aldrich menghentikan mobilnya di depan apartemen Valerie. Lampu-lampu kota memantulkan cahaya di permukaan mobilnya, menciptakan suasana malam yang hangat namun tetap elegan. Tak seperti sebelumnya, kali ini Valerie tidak tertidur. Dia memandang bangunan apartemen di sebelahnya sebelum menoleh kepada Aldrich."Terima kasih sudah mengantarku pulang," katanya singkat, suaranya terdengar sedikit lelah.Aldrich mengangguk kecil, senyum tipis menghiasi wajahnya. Namun, nada bercandanya langsung muncul. "Kau tidak menawarkanku untuk masuk?" tanyanya dengan alis terangkat, membuat Valerie memutar bola matanya."Tidak, terima kasih. Pulanglah!" balas Valerie tegas sambil membuka pintu mobil. Tapi Aldrich tidak menyerah. Dia memasang ekspresi pura-pura terluka, satu tangannya memegangi dada."Kau kejam sekali, nona," ujarnya dramatis, seolah benar-benar terluka oleh penolakan itu.Valerie mendengus kecil, menyandarkan punggungnya ke pintu yang masih terbuka. "Kejam adalah na
“Pagi, Val!” “Pagi, Mbak Vio,” balas Valerie singkat, sambil melangkah cepat melewati meja Violet, resepsionis yang selalu tampak ceria dengan senyum ramahnya.Di tangan kanan Valerie, sebuah gelas kopi instan masih menguarkan aroma khas, sementara tangan kirinya memegang tablet. Tatapannya fokus pada layar, memperhatikan jadwal Aldrich untuk pagi ini."Meeting jam sembilan, conference call jam sebelas, makan siang bisnis di luar..." gumam Valerie setengah hati. Mencoba mencerna aktivitas padat pria itu. Ia mendesah kecil, lalu menyeruput kopi sambil terus berjalan menuju ruang kerjanya."Sibuk seperti biasa," pikirnya. Di satu sisi, jadwal ini berarti Valerie akan bertemu Aldrich lebih sering hari ini. Di sisi lain, itu berarti ia harus menghadapi ledekan atau godaan yang sudah pasti tidak akan terhindarkan.Sesampainya di ruang kerjanya, Valerie meletakkan tablet di atas meja dan duduk sambil meregangkan tubuhnya. Ia menatap layar komputer, siap untuk menjalani hari. “Semangat,
“Val, ayo.”Valerie yang baru saja ingin merenggangkan otot tubuhnya mendongak perlahan, menatap Aldrich yang berdiri menjulang di balik mejanya. Pria itu tampak santai dengan kedua tangan tersimpan di saku celana, tetapi tatapan matanya jelas menuntut.Dahi Valerie mengernyit. “Kemana?” tanyanya sambil mengerjap polos, tak langsung menangkap maksud Aldrich.“Makan siang bisnis. Bukankah kau sudah melihat jadwalku?” jawab Aldrich santai, tetapi ada nada menggoda dalam suaranya.“Lalu?” Valerie masih tampak bingung, seolah menantang Aldrich untuk menjelaskan lebih lanjut.Aldrich mendesah, memutar bola matanya dengan dramatis. “Kau sekretarisku, bukan?” tanyanya, seolah memastikan.Valerie mengangguk pelan, masih belum mengerti ke mana arah pembicaraan ini.“Sudah menjadi tugasmu sebagai sekretaris untuk menemaniku dalam setiap acara—baik rapat maupun meeting bisnis. Sekarang, ayo. Kau punya lima menit untuk membereskan mejamu,” katanya dengan nada yang lebih tegas.Valerie tertegun s
“Ya, tetapi mengapa kliennya belum tiba?” tanya Valerie sambil melirik ke arah pintu masuk restoran.Aldrich melirik sekilas arlojinya, lalu mengangkat bahu dengan santai. "Mungkin masih di jalan," jawabnya tanpa terlihat khawatir sedikit pun.Valerie menghela napas kecil, matanya kembali beralih ke daftar menu yang ada di atas meja. Sementara itu, Aldrich bangkit dari kursinya. "Pesan saja dulu, aku mau ke toilet sebentar," ujarnya dengan nada ringan, sebelum melangkah pergi tanpa menunggu jawaban.Valerie hanya bisa mendesah pelan, lalu kembali memusatkan perhatian pada menu di tangannya. "Santai sekali orang itu," gumamnya pelan, mengingat Aldrich yang tampaknya tidak pernah terburu-buru dalam situasi apa pun.Valerie mengangkat tangan kecilnya untuk memanggil pelayan. "Maaf, boleh saya minta buku menu?" tanyanya sopan.Pelayan itu tersenyum ramah, membungkuk sedikit, dan menyerahkan buku menu kepada Valerie. "Silakan, kalau sudah siap memesan, panggil saja saya lagi."Valerie me
"Ya, tapi bagaimanapun, orang yang bukan dari kalangan kita memang tidak mengerti sih," ujar Bella sambil menyandarkan tubuhnya anggun di kursi, senyuman sinis terukir di wajahnya. Tatapannya melirik Valerie dari ujung kepala hingga kaki, seolah mengevaluasi setiap detail.Aldrich, yang sejak tadi berusaha menjaga kesabarannya, hampir saja membuka mulut untuk membela Valerie. Namun, matanya menangkap gerakan halus tangan Valerie di bawah meja, memberinya kode untuk tetap diam. Valerie menatapnya sekilas, memberikan senyum tipis penuh arti, seolah mengatakan, "Biar aku tangani ini."Bella, yang tidak menyadari percakapan tanpa kata itu, mengira Valerie tetap diam karena tidak terbiasa dengan lingkungan kelas atas. Ia menambahkan, "Mungkin lidahmu belum cocok dengan makanan seperti ini, ya? Rasanya memang berbeda dengan makanan biasa."Valerie mengangkat alis, senyumnya terukir lebih lebar. Ia menyandarkan tubuh ke kursi dengan santai, memutar garpu di tangannya. "Oh, maksudmu makan
“Permisi,” suara Valerie terdengar di balik pintu.Aldrich, yang duduk di belakang meja kerjanya, tengah tenggelam dalam tumpukan berkas. Kacamata kerja bertengger di hidungnya, menambah kesan serius, meski ketampanannya tetap terpancar tanpa usaha. Dia tidak langsung menjawab, sibuk menandatangani dokumen terakhir sebelum mengangkat kepalanya.“Masuk,” sahutnya, suara beratnya terdengar santai namun tegas.Valerie membuka pintu dan melangkah masuk. Tatapan Aldrich tetap terpaku pada dokumen, tidak sedikit pun meliriknya.Valerie mendekat, meletakkan sebuah map di meja. “Ini ada laporan yang harus Bapak tanda tangani,” katanya dengan nada formal.Baru saat itu Aldrich mengangkat wajahnya, melepas kacamatanya dengan gerakan perlahan yang elegan. Dia menatap Valerie dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan, kemudian mengisyaratkan dengan dagunya. “Ke sini, lebih dekat.”Valerie mendengus, tapi menurut. Dia melangkah ke sisi meja Aldrich.“Apa itu?” tanya Aldrich dengan nada datar, m
“Jadi, kau benar-benar setuju, ya?” Aldrich bertanya lagi, nada suaranya lebih lembut kali ini.Valerie mendesah pelan, merasa seperti harus mengulang jawabannya untuk kesekian kali. “Aku sudah bilang, aku setuju. Tapi kau tahu ini gila, kan?”Aldrich mengangguk, mengakui hal itu tanpa ragu. “Tentu saja ini gila. Tapi bukankah hidup kita sudah cukup gila sejak awal?”Valerie mengangkat bahu, setuju dengan ucapan Aldrich meski tidak mau mengakuinya. Dia menatap pria itu, matanya menyipit. “Tapi aku punya satu syarat lagi.”“Oh?” Aldrich menatapnya dengan ketertarikan baru. “Katakan.”“Jangan pernah melibatkan pekerjaan dalam... hubungan ini,” Valerie berkata dengan tegas. “Aku tidak mau semua ini memengaruhi profesionalisme kita di kantor.”Aldrich tertawa kecil, seolah-olah itu adalah hal paling mudah yang bisa dia lakukan. “Aku janji. Kau adalah karyawanku yang paling berharga. Aku tidak akan merusaknya hanya karena hubungan ini.”Valerie mendengus, tidak yakin apakah harus merasa
“Jadi, bagaimana?” tanyanya, suaranya tenang namun penuh tekanan halus.Seperti sedang menantang Valerie untuk memberikan jawaban. Aldrich duduk di tepi sofa, menyandarkan tubuhnya santai, tetapi matanya tidak lepas dari Valerie. Senyumnya tipis, seolah yakin bahwa ia sudah memenangkan perdebatan ini.Valerie menelan ludah, mencoba mengusir rasa gugupnya. Tangannya secara refleks meraih gelas kosong di atas meja, lalu meletakkannya kembali tanpa minum. Ia tidak tahu kenapa, tapi kata-kata Aldrich terus berputar di kepalanya.“Entahlah, Aldrich.” Valerie menghela napas panjang, kepalanya bersandar ke sofa. “Ini terlalu rumit. Kau tahu itu.”“Rumit?” Aldrich menaikkan alisnya, menatap Valerie dengan tatapan menilai. “Apa yang rumit? Aku hanya menawarkan sesuatu yang sederhana. Hubungan tanpa beban. Kita tidak melibatkan perasaan, hanya tubuh. Kita membuat perjanjian, kau akan tetap bebas seperti sekarang.”“Tapi kita tidak seperti orang lain, Aldrich.” Valerie membalas, nada suaranya t
“Kau tidak ingin mencoba permen tadi?” tanya Aldrich sambil memperhatikan Valerie yang sibuk menghabiskan minuman hangatnya.Valerie mengangkat alis, menatapnya sekilas. “Permen yang tadi? Ah, itu bukan seleraku,” jawabnya santai.Aldrich mengangguk kecil, tapi sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk senyum yang sulit ditebak. “Apa kau yakin?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih menggoda.Valerie menaruh gelasnya di atas meja dengan pelan. Tatapannya kini penuh kecurigaan. “Kenapa kau tersenyum seperti itu? Mencurigakan sekali,” katanya, setengah waspada.Aldrich tidak menjawab. Sebagai gantinya, dia meraba saku celananya dan mengeluarkan sesuatu. Valerie memperhatikan gerakannya dengan tatapan heran, sampai Aldrich menyodorkan sebuah permen yang tadi dia beli di supermarket.“Kubilang ini bukan selera—” Valerie berhenti bicara. Wajahnya seketika memerah saat menyadari apa yang ia pegang. Rasa mabuk yang masih samar di kepalanya kini tergantikan oleh gelombang panas y
Aldrich tidak membawa Valerie pulang ke apartemen seperti sebelumnya. Sebaliknya, pria itu membelokkan mobil sportnya ke sebuah jalan yang dikelilingi pepohonan rindang, menuju mansion pribadinya.Valerie tertegun ketika mobil memasuki area mansion Aldrich. Pagar tinggi berlapis besi dengan ornamen ukiran klasik terbuka otomatis, memperlihatkan jalan masuk lebar yang diapit oleh taman lanskap yang begitu rapi. Lampu-lampu taman tersebar dengan pencahayaan hangat, menerangi hamparan rumput hijau dan bunga-bunga berwarna-warni yang tertata sempurna.Di ujung jalan, berdiri sebuah bangunan megah tiga lantai dengan arsitektur modern klasik. Pilar-pilar tinggi menghiasi teras depan, dengan pintu utama besar yang terbuat dari kayu mahoni berukir, memberikan kesan mewah namun tetap elegan.Saat mobil berhenti di depan pintu utama, Valerie membuka mulutnya sedikit, terpana. Namun, sebelum dia sempat berkata apa-apa, beberapa maid dengan seragam rapi berbaris menyambut mereka. Para maid memb
“Tunggu, tunggu. Hentikan mobilnya!”Valerie merengek tiba-tiba saat mereka baru setengah jalan.Aldrich mengerutkan kening, mengarahkan mobil ke pinggir jalan di dekat sebuah pom bensin. Dia menoleh cepat ke arah Valerie, yang terlihat pucat sambil memegangi perutnya.“Ada apa? Katakan sesuatu,” desak Aldrich, cemas.“Perutku terasa aneh. Aku ingin muntah,” gumam Valerie lemas.Aldrich menghela napas panjang sambil menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Dengan cepat, dia keluar dari mobil dan membuka pintu di sisi Valerie. “Ayo turun, kau butuh udara,” katanya tegas, membantu Valerie melepas sabuk pengamannya.Begitu Valerie berdiri, detik berikutnya dia langsung membungkuk dan memuntahkan isi perutnya.“Huek!”Aldrich berdiri di sampingnya tanpa ragu sedikit pun. Dia meraih rambut Valerie dengan lembut agar tidak menutupi wajahnya dan mengusap punggung wanita itu dengan gerakan pelan.“Rasanya tak nyaman,” keluh Valerie di sela-sela napasnya yang berat.“Tenang saja, sebentar lagi
“Halo?”Suara Valerie terdengar serak, diselingi tawa kecil yang samar. Sudah tiga puluh menit berlalu sejak ia mulai merasa dunia seakan berputar akibat minuman beralkohol yang ia pesan sendiri. Namun, senyum lebar tetap menghiasi wajahnya yang memerah. Valerie sedikit membungkuk, melawan keseimbangannya sendiri, saat menerima panggilan dari Aldrich.Di seberang telepon, Aldrich langsung menyadari suara musik yang memekakkan telinga. Rahangnya mengeras. Samar-samar, ia juga menangkap suara seorang pria di latar belakang.“Kau mabuk?” tanya Aldrich tajam, nada khawatir bercampur kesal.Valerie tertawa, menggoyangkan tubuhnya tanpa peduli. Sebelah tangannya menepuk pipi seorang pria yang mendadak merangkul pinggangnya. “Aku tidak mabuk. Untuk apa kau bertanya?” jawab Valerie, suaranya terdengar main-main.Aldrich menarik napas panjang, menahan amarah yang membuncah. Namun, mendengar suara Valerie yang terdengar tidak seperti dirinya, amarah itu berubah menjadi kegelisahan. Tanpa berk
Mobil sedan hitam itu berhenti di depan sebuah gedung modern dengan neon sign yang berkelap-kelip mencolok. Musik bass berdentum lembut, meski dari luar hanya samar-samar terdengar. Antrian orang-orang tampak memanjang di depan pintu masuk, kebanyakan dari mereka berpakaian modis, mencerminkan kehidupan malam kota yang mewah dan energik.Valerie keluar dari mobil dengan anggun, derap high heels-nya memantul di trotoar. Luna menyusul dengan langkah cepat, lalu merangkul lengan Valerie sambil tersenyum lebar. “Kita pasti jadi pusat perhatian,” bisiknya.Senyum simpul Valerie tak luntur. Dengan penuh percaya diri, ia berjalan mendekati pintu masuk. Gaun hitam mini yang ia kenakan memeluk tubuhnya dengan sempurna, mengundang lirikan diam-diam dari pria-pria yang berdiri di antrean. Sorot mata mereka mengikuti setiap gerakan Valerie—dari helai rambut yang melambai lembut, hingga lekuk kaki jenjangnya yang berpadu indah dengan high heels bertali. Namun Valerie hanya menatap lurus ke dep
[“Clubbing?”]Valerie menatap pesan yang baru saja masuk ke ponselnya dari Luna, sahabatnya. Di hadapannya, layar laptop menampilkan deretan angka-angka yang harus ia susun ke dalam laporan keuangan bulanan. Tumpukan berkas tergeletak rapi di samping laptop, sementara tangan Valerie lincah memegang pulpen, mencoret-coret beberapa angka yang perlu diperbaiki. Layar spreadsheet penuh dengan data yang perlu ia susun, dan kepalanya sudah mulai terasa penat.“Huh,” desahnya pelan sambil bersandar sejenak di kursinya.Ia melepas kacamata baca yang bertengger di hidungnya, lalu meraih ponsel. Jari telunjuknya dengan cepat membalas pesan dari Luna. Sebelum itu, Valerie melirik kanan-kiri dengan waspada, memastikan tidak ada satu pun rekan kerja yang memperhatikannya, terutama Aldrich, bosnya yang selalu muncul tiba-tiba.“Aku sibuk,” balas Valerie singkat.Tak butuh waktu lama, layar ponselnya kembali menyala. Pesan balasan dari Luna muncul lagi dengan cepat, membuat Valerie mendecak pelan