"Sudah sampai."Aldrich menghentikan mobilnya di depan apartemen Valerie. Lampu-lampu kota memantulkan cahaya di permukaan mobilnya, menciptakan suasana malam yang hangat namun tetap elegan. Tak seperti sebelumnya, kali ini Valerie tidak tertidur. Dia memandang bangunan apartemen di sebelahnya sebelum menoleh kepada Aldrich."Terima kasih sudah mengantarku pulang," katanya singkat, suaranya terdengar sedikit lelah.Aldrich mengangguk kecil, senyum tipis menghiasi wajahnya. Namun, nada bercandanya langsung muncul. "Kau tidak menawarkanku untuk masuk?" tanyanya dengan alis terangkat, membuat Valerie memutar bola matanya."Tidak, terima kasih. Pulanglah!" balas Valerie tegas sambil membuka pintu mobil. Tapi Aldrich tidak menyerah. Dia memasang ekspresi pura-pura terluka, satu tangannya memegangi dada."Kau kejam sekali, nona," ujarnya dramatis, seolah benar-benar terluka oleh penolakan itu.Valerie mendengus kecil, menyandarkan punggungnya ke pintu yang masih terbuka. "Kejam adalah na
“Pagi, Val!” “Pagi, Mbak Vio,” balas Valerie singkat, sambil melangkah cepat melewati meja Violet, resepsionis yang selalu tampak ceria dengan senyum ramahnya.Di tangan kanan Valerie, sebuah gelas kopi instan masih menguarkan aroma khas, sementara tangan kirinya memegang tablet. Tatapannya fokus pada layar, memperhatikan jadwal Aldrich untuk pagi ini."Meeting jam sembilan, conference call jam sebelas, makan siang bisnis di luar..." gumam Valerie setengah hati. Mencoba mencerna aktivitas padat pria itu. Ia mendesah kecil, lalu menyeruput kopi sambil terus berjalan menuju ruang kerjanya."Sibuk seperti biasa," pikirnya. Di satu sisi, jadwal ini berarti Valerie akan bertemu Aldrich lebih sering hari ini. Di sisi lain, itu berarti ia harus menghadapi ledekan atau godaan yang sudah pasti tidak akan terhindarkan.Sesampainya di ruang kerjanya, Valerie meletakkan tablet di atas meja dan duduk sambil meregangkan tubuhnya. Ia menatap layar komputer, siap untuk menjalani hari. “Semangat,
“Val, ayo.”Valerie yang baru saja ingin merenggangkan otot tubuhnya mendongak perlahan, menatap Aldrich yang berdiri menjulang di balik mejanya. Pria itu tampak santai dengan kedua tangan tersimpan di saku celana, tetapi tatapan matanya jelas menuntut.Dahi Valerie mengernyit. “Kemana?” tanyanya sambil mengerjap polos, tak langsung menangkap maksud Aldrich.“Makan siang bisnis. Bukankah kau sudah melihat jadwalku?” jawab Aldrich santai, tetapi ada nada menggoda dalam suaranya.“Lalu?” Valerie masih tampak bingung, seolah menantang Aldrich untuk menjelaskan lebih lanjut.Aldrich mendesah, memutar bola matanya dengan dramatis. “Kau sekretarisku, bukan?” tanyanya, seolah memastikan.Valerie mengangguk pelan, masih belum mengerti ke mana arah pembicaraan ini.“Sudah menjadi tugasmu sebagai sekretaris untuk menemaniku dalam setiap acara—baik rapat maupun meeting bisnis. Sekarang, ayo. Kau punya lima menit untuk membereskan mejamu,” katanya dengan nada yang lebih tegas.Valerie tertegun s
“Ya, tetapi mengapa kliennya belum tiba?” tanya Valerie sambil melirik ke arah pintu masuk restoran.Aldrich melirik sekilas arlojinya, lalu mengangkat bahu dengan santai. "Mungkin masih di jalan," jawabnya tanpa terlihat khawatir sedikit pun.Valerie menghela napas kecil, matanya kembali beralih ke daftar menu yang ada di atas meja. Sementara itu, Aldrich bangkit dari kursinya. "Pesan saja dulu, aku mau ke toilet sebentar," ujarnya dengan nada ringan, sebelum melangkah pergi tanpa menunggu jawaban.Valerie hanya bisa mendesah pelan, lalu kembali memusatkan perhatian pada menu di tangannya. "Santai sekali orang itu," gumamnya pelan, mengingat Aldrich yang tampaknya tidak pernah terburu-buru dalam situasi apa pun.Valerie mengangkat tangan kecilnya untuk memanggil pelayan. "Maaf, boleh saya minta buku menu?" tanyanya sopan.Pelayan itu tersenyum ramah, membungkuk sedikit, dan menyerahkan buku menu kepada Valerie. "Silakan, kalau sudah siap memesan, panggil saja saya lagi."Valerie me
"Ya, tapi bagaimanapun, orang yang bukan dari kalangan kita memang tidak mengerti sih," ujar Bella sambil menyandarkan tubuhnya anggun di kursi, senyuman sinis terukir di wajahnya. Tatapannya melirik Valerie dari ujung kepala hingga kaki, seolah mengevaluasi setiap detail.Aldrich, yang sejak tadi berusaha menjaga kesabarannya, hampir saja membuka mulut untuk membela Valerie. Namun, matanya menangkap gerakan halus tangan Valerie di bawah meja, memberinya kode untuk tetap diam. Valerie menatapnya sekilas, memberikan senyum tipis penuh arti, seolah mengatakan, "Biar aku tangani ini."Bella, yang tidak menyadari percakapan tanpa kata itu, mengira Valerie tetap diam karena tidak terbiasa dengan lingkungan kelas atas. Ia menambahkan, "Mungkin lidahmu belum cocok dengan makanan seperti ini, ya? Rasanya memang berbeda dengan makanan biasa."Valerie mengangkat alis, senyumnya terukir lebih lebar. Ia menyandarkan tubuh ke kursi dengan santai, memutar garpu di tangannya. "Oh, maksudmu makan
“Kak Aldrich, bisakah kamu mengantarku pulang?”Bella memasang wajah imut yang sengaja dibuat-buat, kedua tangannya bertaut di depan dada, sementara matanya berkedip-kedip penuh harap. Aldrich hanya melirik sekilas sebelum mengangguk singkat. Seketika, Bella merasa menang. Ia melirik tajam ke arah Valerie, senyum kemenangan terukir di wajahnya. Dengan sengaja, ia menyenggol bahu Valerie saat berjalan menuju mobil sport Aldrich.Saat Bella hendak membuka pintu depan mobil, Aldrich tiba-tiba menahan gerakannya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya sibuk memegang ponsel. Bella tersenyum senang, yakin bahwa Aldrich akan membukakan pintu untuknya. Namun, setelah selesai berbicara di telepon, Aldrich menatap Bella dengan santai.“Aku sudah memesankan taksi online untukmu. Sebentar lagi akan sampai,” katanya tanpa ekspresi, seperti menyampaikan fakta biasa.Rahang Bella nyaris jatuh. Ia menatap Aldrich tak percaya. “T-taksi online?” tanyanya terbata.Aldrich mengangguk santai. “Ya.
“Akhirnya sampai!” ujar Valerie dengan nada setengah lega, setengah lelah. Matanya menatap gedung apartemen yang menjulang di hadapannya, lalu bergantian melirik ke arah Aldrich yang duduk di kursi pengemudi.Setelah makan siang bisnis yang lebih mirip ajang drama tadi, Aldrich memutuskan untuk langsung mengantar Valerie pulang. Mereka tak kembali ke kantor, dan Valerie bersumpah, ini mungkin satu-satunya kebaikan pria itu hari ini.“Kau terlihat tidak rela? Apa mungkin kau enggan jauh-jauh dariku?” goda Aldrich, menyeringai seperti biasanya. Nada suaranya santai, tapi matanya berkilat jahil, penuh kepuasan melihat ekspresi Valerie yang jelas terganggu.Valerie mendengus, lalu memutar bola matanya dramatis. “Jelas-jelas aku bahagia sekali karena tidak harus bertemu denganmu setiap detik, Tuan gigolo Sempurna! Ini benar-benar kabar baik untuk kesehatan mentalku.”Aldrich tertawa pelan, tampaknya justru menikmati celotehan Valerie. “Ah, sungguh? Tapi mengapa aku menangkap kesan sebali
“Val!”Suara panggilan itu membuat langkah Valerie terhenti. Pagi itu, ia baru saja melangkah melewati lobi utama kantor. Penampilannya rapi seperti biasa—blazer hitam dipadu dengan blouse berwarna gading yang tersemat rapi di bawah pinggang celana panjangnya. Rambut panjangnya digerai dengan sedikit gelombang di ujung, dan sepatu hak tingginya berbunyi nyaring setiap kali ia melangkah. Valerie menoleh dan mendapati seorang pria dengan ransel yang hampir lepas dari bahunya, berlari kecil mengejarnya sambil terengah-engah. Itu Leo—dengan kemeja biru muda yang digulung hingga siku, dasi yang agak miring, dan celana bahan berwarna abu-abu. Berbeda dengan Valerie yang berasal dari tim eksekutif sebagai sekretaris CEO, Leo bekerja di divisi kreatif dan lebih sering tampil santai dibanding karyawan lain.“Leo?” Valerie berkerut keningnya, bingung melihat pria itu berlari seperti dikejar sesuatu.“Selamat pagi, Valerie,” ujar Leo masih sambil berusaha mengatur napasnya yang tak teratur.
Ruang interogasi siang itu tak terlalu ramai. Hanya ada dua penyidik, satu pengacara pendamping dari pihak kepolisian, dan Aldrich yang duduk dengan ekspresi tegas di sisi kanan meja.Jennifer duduk di seberang, tangannya terikat borgol, tapi senyumnya masih setengah mengejek seperti biasa. Rambutnya diikat asal, dan tatapannya tajam menusuk ke arah Aldrich.“Jadi,” ujar penyidik, membuka catatan. “Kita ingin memastikan, benar bahwa semua rencana penjebakan, pengawasan, penyebaran video tak senonoh itu berasal dari Anda?”Jennifer menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, menarik napas panjang, lalu melirik Aldrich sejenak. Bibirnya terangkat dalam senyum malas.“Ya,” katanya enteng. “Itu semua ideku.”Ruangan mendadak sunyi.Aldrich hanya memiringkan kepala sedikit, menatapnya lebih dalam. “Kenapa, Jennifer?”Jennifer mendecakkan lidah pelan. “Kenapa? Serius nanya begitu?”Ia mengangkat alis, lalu melipat tangan di atas meja. “Kau tahu, dulunya aku dan Valerie itu sahabat. Bestie, begitu
“Karena… kamu sangat cantik pagi ini. Dan aku butuh waktu untuk menikmati itu tanpa disela siapa pun,” jawabnya jujur, dengan suara rendah dan dalam.Valerie tertawa kecil, menunduk menahan senyum. “Gombal!”“Tidak.” Aldrich melangkah mendekat. “Kamu makin bersinar sejak hamil. Kulitmu, matamu, senyummu… aku bahkan tidak yakin bisa berkonsentrasi bekerja hari ini.”Valerie menegakkan dagunya, pura-pura berani. “Berarti salahku kamu jadi malas kerja?”“Tentu.” Aldrich menatap mata Valerie begitu dekat sekarang. “Dan karena itu…”Tiba-tiba, ia mencondongkan tubuhnya cepat dan mencuri satu kecupan ringan di bibir Valerie, hanya sekelebat, nyaris tak tersentuh angin.Valerie terkejut. “Aldrich!”Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, Aldrich sudah menjauh setengah langkah dengan senyum tak berdosa. “Apa? Aku hanya mengambil hakku sebagai tunangan.”“Kalau dilihat Bunda, aku bisa dikunci di kamar sebulan!” Valerie menepuk dada Aldrich dengan gemas, tapi rona merah sudah merayap sampai
Suara bel utama mansion menggema lembut ke seluruh penjuru rumah, membuyarkan tawa keluarga kecil itu di ruang makan.Salah satu maid segera berjalan cepat menuju pintu depan. Tak lama, ia kembali sambil tersenyum, membungkuk sedikit kepada Valerie.“Maaf, Nona Valerie… ada tamu. Tuan Aldrich sudah tiba.”Wajah Valerie seketika berubah. Matanya membulat kecil. “Ha? Aldrich?”Sebelum ia bisa berdiri dari kursinya, langkah-langkah mantap terdengar mendekat. Di ambang ruang makan yang luas dan berlapis marmer itu, Aldrich muncul, membawa sebuket bunga peony berwarna putih kekuningan yang indah, dengan satu kantong kertas berisi botol minuman herbal yang tampaknya dikemas dengan cantik.“Pagi semuanya.” Suaranya rendah dan tenang, tapi senyumnya penuh kelembutan, terarah hanya pada satu orang—Valerie.Valerie yang semula bersandar santai kini duduk lebih tegak. Wajahnya langsung merona. Tangannya refleks menyentuh pipinya yang terasa hangat, lalu menatap Aldrich dengan cemberut malu-malu
Begitu ia menginjak lantai marmer utama, aroma masakan segar langsung menyergap lebih kuat. Valerie menuju ruang makan, dan saat pintu geser dibuka oleh seorang pelayan lain, matanya langsung dimanjakan oleh pemandangan yang menggugah selera.Ruang makan itu luas, dengan langit-langit tinggi dan lampu kristal utama bergaya baroque menggantung anggun di tengah ruangan. Meja makan panjang dari kayu walnut mengkilat ditata sempurna dengan taplak putih bersih dan peralatan makan perak. Di tengah meja, berjejer aneka masakan yang menggoda. Omelette keju, salmon panggang, salad buah segar, aneka roti dan croissant hangat, potongan alpukat dan telur rebus, bubur ayam kampung, serta teh melati dan kopi hitam yang masih mengepul.Di ujung meja, sang ayah, Bastian, sudah duduk santai dengan koran pagi terbuka di depan wajahnya, namun begitu Valerie masuk, ia menurunkannya dan langsung tersenyum lebar.“Lihat siapa yang akhirnya bangun!” serunya sambil berdiri. “Nak, daddymu curiga, bundamu s
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk lewat celah tirai kamar Valerie, menyapu lembut wajahnya yang tenang dan sedikit mengantuk. Kulitnya tampak lebih bercahaya dari biasanya, dengan pipi yang merona alami, sebuah pesona baru yang muncul sejak ia mengandung. Rambutnya yang sedikit berantakan justru membingkai wajah ovalnya dengan manis, membuatnya terlihat semakin menawan meski baru saja terbangun.Ia mengenakan daster satin berwarna lembut—biru muda dengan renda tipis di bagian lengan dan kerah. Bahannya yang jatuh mengikuti lekuk tubuh membuatnya tampak anggun meski dalam kesederhanaan. Valerie menggeliat pelan di atas ranjang, lalu meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.Senyuman tipis langsung mengembang di wajahnya begitu layar menyala, ada notifikasi dari Aldrich.Aldrich [07.02 AM]:Pagi, sayang. Sudah bangun?Valerie mengetik dengan cepat, senyumnya makin lebar.Valerie [07.03 AM]:Sudah. Tapi belum mandi. Masih mager di kasur.Kenapa tidak bangunkan aku langsung saja?
Malam telah turun dengan damai, membungkus mansion megah milik keluarga Bastian dalam kehangatan yang elegan. Di ruang makan utama, cahaya lampu gantung berkilau keemasan, memantulkan bayangan hangat di dinding-dinding tinggi yang dihiasi lukisan klasik.Di meja makan panjang yang ditata rapi dengan peralatan makan mewah berlapis emas, duduklah Valerie, Aldrich, Bastian, dan sang Bunda. Wanita anggun itu mengenakan blus sutra krem yang memancarkan ketenangan, duduk di samping suaminya dengan tatapan penuh cinta pada anak semata wayangnya.Makan malam berlangsung dalam obrolan ringan dan senyum yang tak putus-putus. Sampai akhirnya Valerie meletakkan garpunya perlahan, menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi hangat yang terselip gugup.“Ayah, Bunda…” ucap Valerie lirih. “Aku ingin memberitahu sesuatu.”Bunda Valerie segera menatap putrinya itu dengan lembut. “Apa, sayang?”Valerie meraih tangan ibunya, lalu melirik Aldrich yang duduk di sebelahnya, memberi anggukan kecil penuh duku
Langit mulai beranjak senja saat rombongan mobil hitam mewah memasuki gerbang besar bergaya klasik Eropa yang berdiri megah di ujung jalan pribadi sepanjang hampir satu kilometer. Pagar besi berornamen emas terbuka perlahan, menampilkan pemandangan mansion Bastian yang seperti diambil dari halaman majalah arsitektur kelas dunia.Mansion itu berdiri tiga lantai dengan dominasi marmer putih krem, jendela-jendela tinggi berbingkai emas matte, dan pilar-pilar kokoh menjulang. Air mancur dengan patung kuda berlapis perunggu menjadi pusat taman depan, dengan rumput yang dipangkas sempurna dan lampu-lampu taman mulai menyala hangat seiring langit menggelap.Saat mobil berhenti, beberapa bodyguard berbadan tegap segera membuka pintu. Valerie turun terlebih dahulu, mengenakan dress soft pink selutut yang membentuk tubuh rampingnya. Flat shoes putihnya menyentuh marmer dengan langkah anggun. Di belakangnya, Aldrich turun dengan gaya khasnya—jas casual warna arang, kemeja putih berpotongan pas
Suasana lorong rumah sakit yang tadinya hanya dipenuhi langkah tenang dan percakapan pelan berubah dalam sekejap. Seorang wanita dengan balutan blouse ketat berwarna merah marun dan rok pensil hitam selutut berjalan mendekat. Tubuhnya tinggi, lekuknya jelas, dan aroma parfum mahal yang menyengat langsung menyelimuti udara di sekitarnya. Sepasang stilettosnya berdetak nyaring di lantai, membuat beberapa kepala menoleh.Tatapannya langsung tertuju pada Aldrich, seperti sasarannya sudah terkunci sejak awal.“Hai,” ujarnya dengan suara mendesah yang dibuat-buat. “Boleh aku minta nomor teleponmu?”Tanpa memperdulikan Valerie, wanita itu dengan santainya meraih lengan Aldrich. Bahkan, saat Valerie hendak bicara, wanita itu mendorong bahunya perlahan ke samping sambil menambahkan.“Adik manis, kau minggir dulu.”Sentuhan itu tak keras, tapi cukup membuat Valerie sedikit terkejut dan melangkah setengah mundur. Aldrich yang menyadari gerakan itu langsung menoleh cepat ke arah Valerie, dan sa
“Jadi, apa yang ingin kau katakan tentang Charlos kemarin malam?” tanya Valerie pelan, matanya tetap tertuju pada layar, tapi perhatiannya jelas hanya untuk pria di sebelahnya.Aldrich menghabiskan sisa popcorn di dalam mulutnya, lalu menoleh menatap Valerie. Dengan santai namun penuh intensi, tangannya yang berada di bahu Valerie menarik wanita itu semakin mendekat. Tanpa berkata apa-apa terlebih dulu, Aldrich menunduk dan melabuhkan satu kecupan lembut di bibir Valerie.Ciuman itu singkat, tapi cukup untuk membuat darah Valerie berdesir. Wajahnya otomatis memerah, namun ia dengan cepat mengontrol ekspresinya, pura-pura tetap biasa saja meski jantungnya berdebar dua kali lebih kencang.Aldrich tersenyum kecil atas reaksi Valerie, lalu menjawab dengan nada tenang, “Dia mengakui semuanya, sayang. Dan kemungkinan sidang pertamanya tidak akan lama lagi.”Valerie mengangguk pelan, lalu memiringkan tubuhnya agar bisa lebih fokus mendengarkan. Tatapan Aldrich berubah serius saat melanjutka