Setelah sehari dirawat di rumah sakit. Akhirnya Kai diperbolehkan pulang. Setelah tahu Kai alergi kacang, Eve harus benar-benar berhati-hati memilih makanan untuk Kai.“Ingat ya, Kai. Pokoknya mulai sekarang jangan pernah makan kacang, ya? Kalau Kai bandel makan kacang, Kai akan muntah-muntah dan masuk rumah sakit lagi,” ucap Eve mengingatkan.“Iya, Mami.” Kai mengangguk penuh semangat.Eve tersenyum lalu mengusap lembut rambut Kai. Dia menurunkan Kai agar bisa bermain di kamar, memandang putranya yang sangat aktif dan sudah sehat seperti sediakala.“Kai tidak kenapa-napa, kan?” tanya Bibi karena cemas dengan kondisi Kai yang sampai harus dirawat di rumah sakit.“Tidak kok, Bi. Selama dia tidak makan kacang, dia aman,” jawab Eve, “minta tolong jangan pernah masak kacang ya, Bi. Apalagi menyediakan kacang di rumah,” pinta Eve.Bibi mengangguk lega dan mengiyakan permintaan Eve, lalu pamit ke dapur untuk memasak.Saat Eve hendak ke kamar. Ponselnya berdering dan membuat Eve langsung mel
Keesokan harinya. Eve mengecek koper untuk memastikan tidak ada barang yang tertinggal, terutama barang milik Kai.“Mami, kita mau ke mana?” tanya Kai yang duduk di ranjang sambil memperhatikan Eve yang sedang sibuk.Eve menoleh Kai. Dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga lalu menjawab, “Kita mau ketemu paman dan bibinya Kai.”Kai berpikir.“Memangnya punya? Kenapa harus bawa baju banyak? Kan Paman Brian dan Paman Damian yang datang, bukan kita yang pergi?” tanya Kai sambil menggerakkan kedua tangan di depan pundak sebagai tanda bingung.Eve tersenyum. Lalu duduk di dekat Kai dan mencium kedua tangan mungil putranya itu. Eve memang belum pernah memberitahu Kai soal Bram dan Alana karena belum siap mengenalkan Kai kepada kakaknya.“Mami punya kakak, dia itu pamannya Kai. Tapi, karena Paman sedang sakit, nanti Kai sama temen mami dulu, kalau Paman sudah sembuh. Kai baru ketemu dia, ya? Paman pasti sangat suka sama Kai,” ucap Eve menjelaskan. Dia kembali mencium punggung tangan Kai
“Halo, Bibi Cantik. Aku Kai.” Kai langsung menyapa ramah pada Dania.Dania sangat terkejut sampai menatap anak laki-laki itu dan Eve secara bergantian.“Dia siapa, Eve?” tanya Dania benar-benar bingung.Eve menghela napas pelan, lalu membalas, “Bisa kita pergi dulu? Nanti kujelaskan.”Dania mengangguk. Dia membantu Eve membawakan koper karena Eve menggandeng Kai.Dania mengajak Eve dan Kai ke apartemennya karena Eve bilang butuh tempat tinggal sementara. Mereka menempuh perjalanan tak terlalu lama menuju apartemen milik Dania.“Kai mau minum apa?” tanya Dania saat sampai di unit apartemennya.Kai malah menoleh Eve seolah meminta sang mami yang memutuskan.“Air putih saja dulu karena kita baru saja melakukan perjalanan panjang,” jawab Eve,Dania mengangguk lalu menyajikan air dingin untuk Kai dan Eve.“Jadi, Kai ini anak siapa?” tanya Dania yang sejak tadi memendam rasa penasaran.Sebelum menjawab, Kai bilang mau pipis. Eve meminta Kai segera ke kamar mandi sendiri.“Jadi ….” Dania men
Eve sampai di rumah sakit. Dia berjalan di koridor menuju ruang inap Bram. Saat sampai di depan pintu ruangan Bram, Eve tidak langsung masuk karena gugup.Sudah sangat lama sekali dia tidak pulang dan mengabaikan sang kakak, meski terkadang saling berhubungan, tapi bukankah itu tidak cukup.Eve menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Dia mengetuk pintu, lalu masuk perlahan saat mendengar suara sahutan dari dalam.Alana dan Bram ada di dalam, Alana sedang menyuapi Bram makan lalu keduanya menatap ke pintu saat mendengar suara ketukan. Alana dan Bram melihat Eve masuk.“Eve.” Bram langsung senang melihat adiknya pulang.Eve tersenyum pada Bram. Namun, siapa sangka kedatangannya mampu membuat Bram langsung menangis.“Akhirnya kamu pulang, kemarilah.” Bram mengulurkan tangan pada Eve.Alana menjauh dari ranjang, memberikan ruang untuk Eve bertemu dengan Bram.Eve mendekat dan memeluk sang kakak. Baru tiga tahun dia pergi, sudah banyak sekali perubahan yang terjadi pada kakakn
Eve bergeming melihat pria yang baru saja menatap ke arahnya. Dia ingin menghindar tapi sudah terlambat. Pria itu sudah melihatnya.Apa dia mengenali? Kenapa dia menatap? Semoga dia tidak ingat pada Eve. Apalagi penampilan Eve berbeda dari dulu, rambutnya yang dulu panjang dan sering diikat, kini menjadi pendek sebahu dan tergerai bebas.Eve memandang Kaivan yang baru saja dari loket administrasi. Dia mencoba bersikap biasa, lalu berjalan ke arah pria itu berjalan juga.Di saat keduanya saling berpapasan, Eve melihat Kaivan menatapnya tapi pria itu sama sekali tidak merespon atau menghentikan langkahnya. Eve melihat Kaivan yang berjalan begitu saja melewati dirinya.Eve langsung menghela napas lega. Dia sudah menahan napas karena panik, tapi sepertinya Kaivan lupa padanya atau tak mengenalinya, sehingga Eve benar-benar bersyukur. Itu bagus, tapi kenapa tiba-tiba Eve merasa sesak di dada. Ada apa dengannya?Eve mencoba mengabaikan rasa sakit yang tidak tahu apa penyebabnya itu. Dia pun
Kaivan baru saja turun dari mobil bersama Hendry. Dia pergi dari rumah sakit karena ada rapat siang ini.“Pastikan karyawan kita tidak melakukan kesalahan saat presentasi nanti,” ucap Kaivan mengingatkan.“Baik, Pak.” Hendry berjalan di samping Kaivan sambil mengangguk.Saat mereka berjalan di lobi menuju lift, tiba-tiba ada yang menabrak kaki Kaivan, lalu membuat Kaivan dan Hendry berhenti melangkah. Mereka melihat anak laki-laki kecil terjatuh di lantai dan merintih kesakitan.Kaivan terkejut dan keheranan melihat anak kecil di perusahaannya. Dia sampai menengok ke kanan dan kiri, tapi tidak ada orang dewasa di sana yang menghampiri anak kecil itu.Kaivan menatap anak kecil itu yang sudah berdiri tapi melipat kedua kaki sambil memasang wajah siap menangis.“Siapa kamu dan sedang apa di sini?” tanya Kaivan dengan nada suara tegas karena memang begitulah dia.Bukannya menjawab pertanyaan Kaivan, Kai malah menangis karena takut dan menahan pipis. Dia merasa kalau pria di depannya itu s
Hendry mengantar Kai buang air kecil, tapi dia tidak langsung meninggalkan karena cemas jika anak sekecil itu ditinggal sendirian di kamar mandi.“Kamu bisa sendiri?” tanya Hendry.“Bica,” jawab Kai mau masuk bilik. Dia berhenti lagi saat melihat Hendry mau ikut masuk.“Paman mau apa?” tanya Kai.“Bantuin kamu, memangnya kamu bisa lepas celana lalu kencing sendiri?” tanya Hendry.“Bicalah,” balas Kai, “Kai mau pipic cendiri. Kata Mami, kalau Kai pipic, tidak boleh ada yang lihat kecuali Mami.”Kai bicara sambil menggerakkan telunjuk sebagai isyarat tidak boleh.Hendry terkejut. Bisa-bisanya anak sekecil ini bisa bicara seperti orang dewasa dan sangat mandiri.Hendry akhirnya menunggu di luar. Dia memastikan Kai selesai dan kembali mengantar ke lobi sebelum ditinggal.“Kamu bisa menyiramnya?” tanya Hendry yang berdiri di depan bilik. “Bica, kan Mami ngajarin,” balas Kai dari dalam bilik.Hendry mengangguk-angguk kagum, orang tua Kai pasti mendidik sangat baik. Hendry mendengar suara a
Kaivan dan Hendry berada di lift, mereka menuju ruang kerja Kaivan.Hendry masih menahan tawa, dia melihat Kaivan yang memasang wajah masam.“Anak kecil itu lucu sekali. Dia sangat cerdas dan mandiri, tapi anehnya langsung takut dan mengatakan kalau Anda galak. Mungkin karena suara Anda yang tegas,” ucap Hendry akhirnya bicara ketika mereka keluar dari lift.Kaivan menghentikan langkah mendengar ucapan Kaivan, dia tiba-tiba tak senang.Hendry terkejut melihat tatapan Kaivan. Dia langsung melipat bibir dan diam. Dia tahu kalau tatapan Kaivan menunjukkan rasa tak senang, mungkin karena Kaivan baru saja dibilang galak?“Oh ya, Pak. Anak itu memanggil Dania dengan sebutan bibi, apa anak itu keponakan Dania? Kalau iya, bukankah berarti dia keponakan Anda juga?” tanya Hendry mencoba mengalihkan pembicaraan.Bukannya perasaannya membaik, Kaivan semakin terlihat tidak senang.“Anak itu adalah anak Eve,” ucap Kaivan dengan tatapan dingin.Hendry terkejut. Dia langsung diam karena merasa bersal
Hari pernikahan Eve dan Kaivan tiba. Malam sebelum acara pernikahan, Eve berada di kamar sedang istirahat setelah makan malam.“Eve, boleh aku masuk?” tanya Alana setelah sebelumnya mengetuk pintu.“Masuklah, Kak.”Alana membuka pintu kamar Eve. Dia melihat adik iparnya itu sedang duduk memegang ponsel.“Ada apa, Kak?” tanya Eve sambil menggeser posisi duduknya di ranjang untuk memberi tempat agar Alana bisa duduk.Alana duduk di dekat Eve. Dia menatap pada adik iparnya itu.“Besok kamu akan menikah. Aku dan kakakmu selama ini menyadari, belum pernah memberikan yang terbaik, terutama aku yang sering sekali bersikap tak baik karena rasa iri padamu. Tapi, semua sudah berlalu. Aku tidak bisa memberi apa pun selain mendoakan yang terbaik untuk kebahagiaanmu,” ucap Alana sambil menggenggam erat telapak tangan Eve.Bola mata Eve berkaca-kaca. Dia mengulum bibir untuk menahan tangisnya.“Tidak memberi apa-apa bagaimana, Kak? Aku bisa kuliah dan tumbuh juga karena usaha kalian. Ya, meski Kak
Siang itu Eve pergi ke perusahaan Kaivan. Dia mengantar makanan karena Kaivan berkata jika sangat sibuk.“Kamu masih sibuk?” tanya Eve saat masuk ruangan Kaivan.Kaivan menatap pada Eve. Melihat calon istrinya itu datang, Kaivan langsung menutup tirai dinding kaca agar para staff tak melihat apa yang dilakukannya.“Kenapa tirainya ditutup?” tanya Eve keheranan.Kaivan mendekat pada Eve, lalu mengecup pipi wanita itu.“Biar mereka tidak melihat ini,” jawab Kaivan.Eve terkejut sampai memukul lengan Kaivan karena gemas.Eve mengajak Kaivan duduk. Dia membuka pembungkus makanan agar Kaivan bisa segera menyantap makan siang.“Aku sebenarnya masih harus memilah berkas, sepertinya tidak bisa makan siang dulu,” kata Kaivan.Eve menatap pada Kaivan, lalu membalas, “Kamu tetap harus makan meski sedang sibuk. Kamu memilah berkas, biar aku yang menyuapi.”Senyum mengembang di wajah Kaivan saat mendengar ide Eve. Dia mengajak Eve ke meja kerja, memosisikan kursi lain di samping kursi kerjanya agar
Eve dan Kaivan masih duduk berdua di samping rumah setelah semua orang pulang. Kaivan menggenggam erat telapak tangan Eve seperti tak berniat melepas.“Kamu dan Damian benar-benar sudah berbaikan?” tanya Eve memastikan.“Ya, anggap saja begitu. Tapi aku akan tetap memantaunya, meski bisa dibilang kalau dia sudah berumur, tapi Damian itu masih labil.”Eve terkekeh pelan mendengar ucapan Kaivan.“Kenapa malah tertawa?” tanya Kaivan dengan dahi berkerut halus.“Ya, labil sepertimu tampaknya,” balas Eve sambil melirik Kaivan.“Siapa bilang aku labil?” Kaivan tidak terima Eve mengatainya seperti itu.Eve menahan tawa. Dia menggeser posisi hingga menatap pada Kaivan lalu menjelaskan, “Jika kamu tidak labil, kamu pasti akan segera menikahi Grisel waktu itu.”Kaivan terkesiap, lalu mengelak, “Itu bukan labil, tapi hanya belum yakin.”“Aku memang berjanji akan menikahi, tapi itu untuk wanita yang aku tiduri. Dan saat Grisel mengakuinya, entah kenapa ada yang janggal, karena itu aku tidak seger
Malam itu. Kaivan dan yang lain makan malam bersama di rumah Maria. Ada Bram dan Alana juga yang diundang ke rumah.“Kalian jangan sungkan, ya. Makan saja apa yang kalian suka, kalau mau memilih menu lain yang tidak ada di meja, bilang saja. Tidak usah malu-malu, anggap rumah sendiri,” ucap Maria pada Bram dan Alana.Bram dan Alana mengangguk. Mereka benar-benar canggung diajak makan malam di rumah Maria.Saat mereka sedang makan malam, pelayan datang menemui Maria.“Itu, Bu. Pak Damian dan Mbak Dania datang,” kata pelayan.“Oh, suruh masuk saja. Aku yang mengundang mereka untuk makan malam bersama,” balas Maria.Pelayan itu mengangguk lalu segera pergi ke depan untuk mempersilakan Damian dan Dania masuk.Eve menoleh pada Kaivan. Dia melihat pria itu memasang wajah datar dan tak senang. Eve memilih diam dan tak berkomentar sama sekali.Damian dan Dania masuk. Dania langsung menyapa Maria dan yang lain, sedangkan Damian menatap pada Kaivan yang tak memandang ke arahnya sama sekali.“Ay
Bram buru-buru turun dari mobil saat sampai di rumah Kaivan. Dia dijemput sopir Kaivan karena sangat mencemaskan Eve ketika tadi menghubungi.“Bagaimana keadaanmu? Kenapa kamu tidak segera menghubungiku?” tanya Bram langsung mengecek apakah Eve terluka atau tidak.“Aku baik-baik saja, Kak. Kak Bram tidak perlu mencemaskanku seperti ini,” ucap Eve mencoba menenangkan.Bram menatap sendu, lalu menghela napas pelan.Eve mengajak Bram duduk lebih dulu, kemudian menceritakan yang terjadi dan kondisi Grisel saat ini.Bram menghela napas kasar, baru kemudian berkomentar.“Dia punya pilihan agar hidupnya lebih baik, tapi dia malah memilih cara yang salah dan memaksakan sesuatu yang seharusnya tak dia miliki,” ujar Bram, “ya sudahlah, terpenting kamu baik-baik saja.”Bram menatap Eve penuh kelegaan.Eve mengangguk-angguk sambil memulas senyum agar Bram lega.**Setelah Eve merasa lebih baik, dia dan Kaivan pergi mengunjungi Grisel ke rumah sakit untuk melihat perkembangan dan laporan medis dar
Eve mengajak Kaivan menemui ibu Grisel. Bagaimanapun mereka harus memberitahu kondisi Grisel pada wanita itu. Eve sendiri juga tidak bisa merasa tenang begitu saja karena secara langsung atau tidak, Eve juga memperburuk depresi Grisel.“Pak.” Wanita tua itu langsung sedikit membungkuk saat melihat Kaivan di belakang dan menemuinya.Eve langsung merangkul pundak wanita tua itu, kemudian berkata, “Bibi ada yang mau aku bicarakan.”Wanita itu terkejut, bahkan terlihat takut.“Apa saya membuat kesalahan?” tanya wanita tua itu.“Tidak, Bi. Bibi tidak berbuat salah, hanya saja ada yang memang harus kami bicarakan dengan Bibi,” ucap Eve mencoba tenang meski takut dengan reaksi ibu Grisel.“Duduklah, Bi.” Kaivan bicara dengan tegas agar wanita itu tidak kebingungan.Eve mengajak ibu Grisel duduk, begitu juga dengan Eve dan Kaivan yang duduk berhadapan dengan wanita itu.Wanita itu terlihat gemetar, bahkan jemarinya saling meremas sambil menatap pada Eve dan Kaivan secara bergantian.Eve ingin
Kaivan pergi ke rumah sakit setelah Eve agak tenang. Dia juga sudah berpesan pada Maria untuk menjaga Eve.Sesampainya di rumah sakit, Kaivan menemui Hendry yang ada di depan ruang inap bersama pengacara yang ditunjuk untuk menangani kasus itu, hanya berjaga-jaga jika Grisel tiba-tiba menuntut Eve.“Bagaimana?” tanya Kaivan begitu sudah berada di hadapan Hendry dan pengacara.Hendry dan pengacara itu menatap aneh pada Kaivan, membuat Kaivan mengerutkan alis.“Ada apa? Grisel ingin menuntut Eve, atau dia membuat onar lagi?” tanya Kaivan menaruh curiga.“Bukan,” jawab Hendry sambil menggeleng.“Lalu?” tanya Kaivan dengan satu sudut alis tertarik ke atas.“Lebih baik Anda lihat sendiri, dokter juga ada di dalam,” kata Hendry.Kaivan tentunya semakin penasaran, ada apa sebenarnya sampai Hendry tak menjelaskan langsung padanya. Dia akhirnya masuk ke ruang inap, lalu melihat sendiri apa yang terjadi pada Grisel.Dokter masih mengecek kondisi Grisel bersama dua perawat, bahkan kini Grisel ha
Eve dan Kaivan masih menunggu sampai Grisel selesai CT-Scan, saat itu Hendry datang setelah mengecek kamera Cctv di apartemen.“Bagaimana?” tanya Kaivan.“Saya mendapat salinannya, Pak. Sebentar saya kirim ke Anda,” kata Hendry.Hendry mengirimkan video rekaman Cctv ke ponsel Kaivan, lalu menjelaskan, “Semua murni karena kesalahan Grisel yang menyerang Eve dulu, Pak. Bahkan jatuhnya Grisel sebenarnya tidak sepenuhnya salah Eve karena seperti yang terlihat di rekaman itu, kaki Grisel tersandung kakinya sendiri yang membuatnya jatuh ke belakang dan kepalanya langsung menghantam cermin.”Eve dan Kaivan mengamati rekaman itu, ternyata benar jika kejadian yang menimpa Grisel sepenuhnya bukan salah Eve.“Tapi tetap saja, dia terluka karena aku mendorongnya lebih dulu,” ucap Eve tetap cemas. Dia bisa terlibat dengan hukum karena masalah ini.Kaivan menggenggam erat tangan Eve, lalu berkata, “Kamu tenang saja. Biar pengacaraku yang mengurus semuanya. Ada bukti yang kita pegang juga ada saksi,
Eve terus mempertahankan cincinnya. Dia takkan mengalah lagi dari Grisel setelah apa yang Grisel lakukan padanya selama ini.“Kamu tidak layak memakai cincin ini. Ini seharusnya menjadi milikku!” teriak Grisel terus mencoba melepas cincin dari jari Eve.Eve terus mempertahankan cincin itu, begitu tangannya bisa lepas dari genggaman Grisel, Eve langsung mendorong Grisel agar menjauh darinya.Namun nahas, Grisel terdorong cukup kuat, hingga mundur sebelum akhirnya menabrak cermin yang terpajang di dinding dekat lift. Kaca itu pecah seiring Grisel yang terjatuh berlumuran darah karena luka akibat benturan cukup keras.Eve sangat syok. Dia tak berniat mencelakai Grisel, tapi ternyata Grisel malah terluka karena perbuatannya.Semua yang di sana juga terkejut, apalagi Grisel langsung tak sadarkan diri.Eve gemetar karena panik.Grisel dibawa ke rumah sakit. Eve juga ikut karena merasa harus bertanggung jawab. Dia sudah menghubungi Kaivan karena ketakutan, Eve juga tidak mungkin menghubungi