Jangan lupa tinggalkan komentar dan ulasannya, terima kasih.^_^^_^
Eve sangat terkejut mendengar ucapan dokter, tentu saja dia tak percaya jika dibilang hamil.“Dok, jangan bercanda,” kata Eve dengan ekspresi wajah sangat panik.Dokter menatap ke Eve yang terlihat cemas, lalu menjelaskan, “Jika Anda tidak percaya, mungkin bisa langsung periksa ke bagian poli kandungan untuk memastikan. Sesuai dengan keluhan dan hasil pemeriksaan yang saya lakukan, Anda memang hamil dan usia kandungannya mungkin baru berapa minggu sehingga belum benar-benar terlihat jika tidak melakukan USG.”Tubuh Eve membeku mendengar penjelasan dokter. Dia merasa seluruh tubuhnya lemas seperti tak bertulang mendengar fakta jika dirinya hamil.Karena Eve tidak percaya, akhirnya dokter membuat rujukan ke Poli kandungan agar Eve bisa memastikan kalau diagnosa dokter itu tidak salah.Eve benar-benar menemui dokter kandungan dan hasilnya sama. Eve hamil 6 minggu sehingga belum begitu terlihat. Eve baru ingat jika harusnya dia datang bulan minggu ini, tapi tamu bulannya itu tidak datang d
Rapat yang dihadiri Kaivan akhirnya selesai. Dia langsung mengambil ponselnya yang tergeletak di meja, kemudian meninggalkan ruangan itu begitu saja menuju ruang kerjanya. Bahkan Kaivan seperti tak melihat keberadaan Grisel di sana, sampai tidak menyadari kalau Grisel berusaha terlihat tapi nyatanya sama sekali tidak.Grisel melihat Kaivan yang pergi seperti terburu-buru. Dia pun dilanda kekesalan yang mendalam, apalagi tadi sempat melihat pesan yang dikirimkan asisten Kaivan.“Kenapa Pak Kaivan menunggu kabar tentang Eve, mereka tidak ada hubungan khusus, tapi kenapa Pak Kaivan sangat peduli pada Eve?” Grisel bertanya-tanya dalam hati.Bagaimana tidak Grisel merasa seperti itu? Kaivan sampai meminta asistennya untuk melaporkan apa yang sedang Eve lakukan, hal itu membuat Grisel resah.Grisel masih melamun karena pikirannya sendiri, bahkan sesampainya di meja kerjanya pun Grisel masih memikirkan perhatian Kaivan ke Eve, tentu saja dia terganggu karena merasa Eve akan selalu menjadi sai
Keesokan paginya, Eve sudah berangkat bekerja meski sebelumnya izin cuti beberapa hari. Saat baru saja masuk lobby, Eve bertemu dengan Grisel.Eve berjalan untuk mengabaikan Grisel, tapi Grisel langsung mensejajari langkahnya ketika menuju lift.“Bagaimana kondisimu? Kamu sudah sembuh?” tanya Grisel seolah begitu peduli dengan Eve.“Ya,” jawab Eve singkat karena tak bisa mengabaikan Grisel begitu saja.“Syukurlah,” ucap Grisel.Mereka berdua menunggu di depan lift. Eve memilih diam sampai pintu lift terbuka. Dia masuk begitu juga dengan Grisel.“Kamu sakit apa?” tanya Grisel saat mereka berada di lift.Eve ingin sekali menghela napas kasar, tapi dia menahan diri untuk tak terlalu mencolok jika terganggu dengan keberadaan Grisel di sampingnya.“Hanya demam karena kelelahan banyak pekerjaan,” jawab Eve tanpa menoleh Grisel.Sikap sok peduli Grisel kepadanya benar-benar membuat Eve risih, tapi Eve tak bisa menghindari itu.“Kamu benar-benar akan ikut makan malam nanti, kan?” tanya Grisel
Setelah jam makan siang. Eve dan Dania kembali ke lantai atas untuk bekerja lagi.“Apa kamu diundang Grisel makan malam? Bukankah kalian satu divisi?” tanya Dania ketika berjalan bersama Eve menuju lift.“Ah, ya.” Eve hanya mengangguk.“Aku juga diundang, entah kenapa. Ya sudah, datang saja sekalian berkumpul dengan yang lain,” ujar Dania.Eve tak banyak bicara dan hanya menanggapi perkataan Dania dengan senyum.“Kamu berangkat dengan siapa?” tanya Dania yang memang bisa dibilang cerewet, meski begitu Dania juga perhatian.“Entah, mungkin sendiri,” jawab Eve sambil tersenyum tipis.“Bagaimana kalau kita pergi bersama? Aku juga tidak tahu mau berangkat dengan siapa,” ajak Dania penuh semangat, bahkan menggenggam tangan Eve seolah berharap ajakannya diterima.Eve memandang ke lengannya yang dipegang Dania, lalu tanpa bisa menolak Eve mengangguk mengiyakan saja.“Oke, nanti malam aku akan menghubungimu sebelum menjemput,” ujar Dania penuh semangat.Dania keluar di divisi yang berada satu
Eve sangat terkejut saat melihat ada telapak tangan berada di bawah dagunya. Dia mengangkat pandangan, hingga terkejut saat melihat Kaivan menyodorkan tangan padanya.Tidak cuma Eve, tapi semua orang termasuk Grisel kini menatap ke Kaivan dan Eve, tentu saja mereka keheranan dengan sikap Kaivan.Grisel langsung memasang wajah tak senang ke Eve. Dia sampai mengepalkan telapak tangan.“E-Eve … apa yang terjadi? Apa yang kalian lakukan?” tanya Grisel mencoba bersikap biasa meski hatinya begitu panas.Eve terkejut mendengar pertanyaan Grisel lantas memundurkan kepala untuk menjauh dari tangan Kaivan. Dia tidak jadi muntah karena hanya merasa mual saja.Kaivan sendiri tak mendengar apa yang dikatakan Grisel. Tatapannya masih tertuju ke Eve, tapi perlahan tangannya ditarik kembali. Sepertinya Kaivan tidak menyadari apa yang dilakukannya sudah menarik perhatian banyak orang.“Kamu baik-baik saja?” tanya Dania sambil mengusap punggung Eve.Eve menoleh pada Dania lalu menjawab dengan sebuah ang
“Kenapa Pak Kaivan tiba-tiba pergi, bahkan tidak memberitahuku lebih dulu?” Grisel kesal hingga meninggalkan ruang tempat makan dan teman-temannya, karena malas sudah tidak ada Kaivan di sana.Grisel menghentikan langkah, hingga berpikir apa mungkin Kaivan pergi mengantar Eve? Apalagi Kaivan menghilang bersamaan Eve yang sudah lebih dulu pamit pulang.“Lihat saja, kalau sampai Eve menggoda bahkan merebut Pak Kaivan dariku, aku akan memberinya pelajaran!” Grisel takkan pernah rela jika Eve sampai melampauinya, dia harus selalu berada di atas lebih dari Eve. Dia berjalan menuju pintu keluar restoran untuk meninggalkan restoran itu.Di sisi lain, Damian masih berdiri memandang mobil sedan hitam yang melaju meninggalkan area restoran. Damian datang ke restoran itu karena mendengar kabar soal makan malam yang diadakan Grisel, tapi siapa sangka dia malah lebih dulu melihat Eve bersama Kaivan. Damian bertanya-tanya, sejak kapan Eve mengenal Kaivan dan kenapa keduanya tampak begitu dekat? Bah
'Apa yang harus kukatakan?' batin Eve bingung saat mendengar ucapan Kaivan.Meski tatapan Kaivan datar padanya, tapi entah kenapa jantungnya berdegup cepat. Ada apa dengannya? Bahkan kini, bayangan saat malam di mana peristiwa waktu itu terjadi, kembali membayang di kepalanya.Eve gelagapan mendengar pertanyaan Kaivan. Eve bingung karena tidak mungkin mengatakan kalau sedang hamil, itu sama saja membuka rahasia yang disimpannya agar tak berurusan dengan Kaivan. Apalagi sekarang Kaivan bersama Grisel, dia tidak mau dianggap sebagai perebut kekasih orang. Kaivan masih menunggu Eve menjawab. Dia sangat yakin sebenarnya Eve tidak punya alasan kuat, dengan begini Kaivan bisa menahan Eve agar tidak resign. Selain hasil pekerjaan Eve yang rapi dan bagus, Kaivan juga seperti tidak bisa melepas Eve begitu saja. Di saat kepanikan melanda karena tak memiliki jawaban yang diharapkan Kaivan. Eve mendadak mual lagi sampai menutup mulut dengan satu tangan. Kaivan melihat Eve yang ingin muntah sepe
Sesampainya di kamar asrama. Eve duduk di tepian ranjang sambil memegangi perutnya. Dia bahkan tidak menyalakan lampu utama dan hanya menyalakan lampu tidur. Memperlihatkan kamar yang begitu suram, sesuram hati dan hidupnya sekarang.Eve menyentuh perutnya, kenapa rasa sakit begitu menekan dada. Apa dia hanya terlalu sensitif saja karena hamil? Atau apa yang membuatnya seperti tak bisa mengendalikan dirinya sendiri?Apalagi saat tadi hampir ketahuan Kaivan jika dirinya hamil karena berulang kali mual, hal itu benar-benar membuat tubuh Eve gemetar. Dia juga bersyukur karena Kaivan tidak memaksanya ke rumah sakit.“Kamu harus lebih tenang saat berhadapan dengan Pak Kaivan, Eve. Jika tidak, kamu bisa membuat kesalahan yang bisa membuatnya tahu kalau kamulah wanita yang berani masuk kamarnya malam itu,” gumam Eve mencoba mensugesti dirinya sendiri agar tidak panik lagi saat berhadapan dengan Kaivan.Saat Eve masih diam karena larut dalam kepanikan dan kecemasan, ponselnya berdering dan ad
Waktu berjalan dengan begitu cepat. Perjuangan yang biasa dilakukan sendiri, sekarang banyak yang menemani.Selama kehamilannya, Eve benar-benar merasakan banyak perhatian banyak orang di sekitarnya, membuatnya bisa menikmati kehamilan dengan perasaan tenang dan bahagia.Pagi itu. Eve berjalan ke ruang ganti untuk menghampiri Kaivan. Usia kandungannya sudah sembilan bulan. Perutnya sudah besar dan Eve mulai kesusahan melakukan aktivitasnya.“Biar aku bantu pakaikan dasi,” ucap Eve saat menghampiri Kaivan.Kaivan menoleh. Dia melihat istrinya itu berjalan mendekat.“Kalau lelah duduklah saja, Eve.”Eve hanya tersenyum. Dia meraih dasi Kaivan dan kukuh ingin mengikat dasi.“Duduk terus juga capek,” balas Eve.Dia mengikat dasi dengan seksama.Kaivan memperhatikan Eve yang sedang mengikat. Semakin besar kandungan Eve, istrinya itu terlihat semakin cantik.“Sudah,” ucap Eve.“Terima kasih,” balas Kaivan diakhiri sebuah kecupan di kening.Perhatian Kaivan ke perut Eve. Dia mengusap lembut p
“Apa Dokter tidak salah memeriksa?”“Sudah dipastikan lagi?”Eve merasa kepalanya sangat berat. Samar-samar dia mendengar suara Kaivan dan Maria. Dia pun berusaha untuk membuka mata sampai akhirnya melihat dua orang itu berdiri di dekatnya dengan ekspresi wajah panik.“Sayang.” Eve memanggil dengan suara lirih.Kaivan menoleh ketika mendengar suara Eve. Dia segera menghampiri istrinya itu.“Bagaimana perasaanmu? Mana yang sakit?” tanya Kaivan sambil menggenggam telapak tangan Eve.Maria juga ikut mendekat ke ranjang karena sangat mencemaskan Eve.“Aku di mana?” tanya Eve dengan suara berat.“Di rumah sakit, tadi aku dihubungi kalau kamu pingsan, jadi aku membawamu ke sini,” jawab Kaivan.Eve mengangguk pelan. Dia memang masih merasa sakit kepala.Kaivan dan Maria menunggu dengan sabar sampai Eve sepenuhnya sadar. “Aku tidak tahu kenapa bisa pingsan, maaf sudah membuat kalian cemas,” ucap Eve lirih.“Untuk apa minta maaf. Kami malah cemas kalau terjadi sesuatu padamu, tapi untungnya ti
Setelah berjuang sendiri, sekarang ada tangan yang bisa Eve genggam erat. Dia bagai Cinderella yang akhirnya menemukan sang pangeran, diratukan dan dicintai begitu dalam oleh pria yang bahkan sekalipun tak pernah ada di dalam mimpinya.Pernikahan Eve dan Kaivan sudah satu tahun berjalan. Pagi itu Eve membantu pelayan di dapur menyiapkan sarapan, sudah menjadi kebiasaan meski para pelayan dulu sering melarang.“Ini sudah semuanya, ditata di meja, ya.” Eve memberi instruksi setelah selesai memasak.“Baik, Bu.”Eve meninggalkan dapur. Dia pergi memanggil Maria sebelum membangunkan Kai dan Kaivan.“Ibu sudah bangun?” Eve masuk kamar untuk mengecek Maria.“Sudah, Eve.” Suara Maria terdengar dari kamar mandi.“Sarapannya sudah siap, aku mau bangunin Kai dan Kaivan dulu,” ucap Eve.Setelah mendengar balasan Maria dari dalam kamar mandi. Eve segera keluar dari kamar sang mertua, lantas pergi ke lantai atas. Semalam Kai merengek ingin tidur bersama mereka, sehingga pagi ini putra mereka yang s
Kaivan baru saja keluar dari kamar mandi. Dia melihat Eve yang berbaring memunggunginya. Apa Eve sudah tidur?Kaivan naik ke ranjang. Dia bergeser mendekat ke arah Eve berbaring, lantas menyentuh lengan wanita itu.“Eve, kamu sudah tidur?” tanya Kaivan. Dia bahkan sengaja meletakkan dagu di lengan Eve.Eve sebenarnya sangat panik dan gugup. Dia berpikir untuk tidur lebih dulu sebelum Kaivan selesai mandi, tapi kenyataannya dia hanya bisa memejamkan mata dan tidak bisa jatuh ke alam mimpi, membuatnya sekarang malah semakin cemas.Ini memang bukan malam pertama baginya, tapi lamanya waktu tidak pernah berhubungan seperti itu, tentu membuat Eve merasa ini seperti yang pertama baginya..“Kamu lelah, hm?” tanya Kaivan. Dia tahu Eve belum tidur karena kelopak mata Eve tampak bergerak.Kaivan terus meletakkan dagu di lengan Eve, dia menatap gemas pada Eve yang berpura-pura tidur. Sampai akhirnya dia melihat Eve membuka mata.“Apa kamu lapar?” tanya Eve seraya menatap pada Kaivan.Kaivan meng
“Kai mau pulang cama Mami dan Papi.”Kai bersidekap dada. Dia tidak mau beranjak dari kursinya saat Maria mengajak pulang.Maria, Bram, dan Alana saling tatap, bagaimana caranya membujuk Kai agar Kaivan dan Eve bisa menikmati malam pengantin.“Atau Kai mau tidur di rumah Paman?” tanya Bram membujuk.“Ih … Kai maunya cama Mami dan Papi.” Kai turun dari kursi. Dia berlari menghampiri Kaivan dan Eve yang sedang bicara dengan Dania.“Mami, Papi. Kai mau ikut kalian, tapi Nenek cama Paman malah mau ngajak pulang!” teriak Kai begitu keras.Kaivan dan Eve menoleh bersamaan, mereka terkejut melihat Kai berteriak-teriak seperti itu.“Kenapa, hm?” tanya Eve sedikit membungkuk agar bisa menatap sang putra.“Itu, macak Kai curuh pulang cama Nenek, Kai ‘kan maunya cama Mami dan Papi.” Kai mengadu sambil menunjuk ke Maria dan Bram yang sedang berjalan menghampiri.Kaivan menoleh ke Maria, tentu dia paham dengan niatan Maria mengajak Kai pulang.“Kai, nanti Mami dan Papi akan pulang, tapi setelah me
Pernikahan Kaivan dan Eve berjalan dengan sangat lancar. Mereka sudah sah menjadi suami istri, kini tradisi melempar bunga pun akan dilakukan.Beberapa karyawan lajang yang diundang ke pesta itu sudah bersiap di depan altar, begitu juga dengan Dania yang ikut bergabung untuk mendapatkan buket bunga milik Eve. Siapa tahu selanjutnya dia yang akan menikah.Eve tersenyum penuh kebahagiaan melihat orang-orang antusias ingin merebut buket bunganya. Dia melihat Dania yang memberi kode agar dilempar ke arah Dania, membuat Eve semakin menahan senyum.Eve memunggungi para wanita yang siap menerima buket miliknya. Master Ceremony mulai berhitung, lalu di hitungan ketiga, Eve melempar buket bunga miliknya.Buket itu terlempar cukup kuat. Dania begitu antusias ingin menangkap, tapi banyaknya wanita di sana, membuat buket itu terpental beberapa kali hingga akhirnya jatuh ke tangan seseorang.Semua wanita kini menatap pada orang yang memegang buket itu.“Brian.” Eve terkejut tapi juga merasa lucu ka
Eve berada di salah satu kamar yang terdapat di hotel tempat pesta pernikahan diadakan. Dia datang lebih awal karena harus dirias oleh MUA yang sudah ditunjuk oleh Kaivan.Alana menemani Eve di kamar. Dia terus memperhatikan Eve yang sedang dirias sampai akhirnya siap.“Kamu sangat cantik,” puji Alana seraya menghampiri Eve yang baru saja selesai dirias.Eve menatap Alana dari pantulan cermin. Dia tersenyum malu karena mendapat pujian dari kakak iparnya itu.Alana menatap cukup lama pada Eve, lalu mengeluarkan sesuatu dari tas kecil yang dibawanya.Eve memperhatikan. Tidak tahu apa yang akan diberikan oleh kakak iparnya itu.“Kakakmu dan aku sepakat memberikan ini sebagai hadiah pernikahanmu, memang tidak mewah dan mahal, tapi kami berharap ini cukup berkesan untukmu,” ujar Alana memberikan kalung dengan liontin berinisial E.Eve sangat terkejut. Dia sampai menggeleng kepala pelan karena tak bisa menerima hadiah itu. Dia tahu kondisi ekonomi kakak dan kakak iparnya sedang susah, tapi
Hari pernikahan Eve dan Kaivan tiba. Malam sebelum acara pernikahan, Eve berada di kamar sedang istirahat setelah makan malam.“Eve, boleh aku masuk?” tanya Alana setelah sebelumnya mengetuk pintu.“Masuklah, Kak.”Alana membuka pintu kamar Eve. Dia melihat adik iparnya itu sedang duduk memegang ponsel.“Ada apa, Kak?” tanya Eve sambil menggeser posisi duduknya di ranjang untuk memberi tempat agar Alana bisa duduk.Alana duduk di dekat Eve. Dia menatap pada adik iparnya itu.“Besok kamu akan menikah. Aku dan kakakmu selama ini menyadari, belum pernah memberikan yang terbaik, terutama aku yang sering sekali bersikap tak baik karena rasa iri padamu. Tapi, semua sudah berlalu. Aku tidak bisa memberi apa pun selain mendoakan yang terbaik untuk kebahagiaanmu,” ucap Alana sambil menggenggam erat telapak tangan Eve.Bola mata Eve berkaca-kaca. Dia mengulum bibir untuk menahan tangisnya.“Tidak memberi apa-apa bagaimana, Kak? Aku bisa kuliah dan tumbuh juga karena usaha kalian. Ya, meski Kak
Siang itu Eve pergi ke perusahaan Kaivan. Dia mengantar makanan karena Kaivan berkata jika sangat sibuk.“Kamu masih sibuk?” tanya Eve saat masuk ruangan Kaivan.Kaivan menatap pada Eve. Melihat calon istrinya itu datang, Kaivan langsung menutup tirai dinding kaca agar para staff tak melihat apa yang dilakukannya.“Kenapa tirainya ditutup?” tanya Eve keheranan.Kaivan mendekat pada Eve, lalu mengecup pipi wanita itu.“Biar mereka tidak melihat ini,” jawab Kaivan.Eve terkejut sampai memukul lengan Kaivan karena gemas.Eve mengajak Kaivan duduk. Dia membuka pembungkus makanan agar Kaivan bisa segera menyantap makan siang.“Aku sebenarnya masih harus memilah berkas, sepertinya tidak bisa makan siang dulu,” kata Kaivan.Eve menatap pada Kaivan, lalu membalas, “Kamu tetap harus makan meski sedang sibuk. Kamu memilah berkas, biar aku yang menyuapi.”Senyum mengembang di wajah Kaivan saat mendengar ide Eve. Dia mengajak Eve ke meja kerja, memosisikan kursi lain di samping kursi kerjanya agar