Eve menatap tak percaya ke Grisel. Tak menyangka kalau Grisel akan berterus terang hingga memperlihatkan jika selama ini Grisel memang sangat membencinya.Eve sendiri bingung, kenapa Grisel begitu membencinya? Salah apa dia, sedangkan selama ini yang menyakiti malah Grisel bukan sebaliknya.“Tenang saja, kamu tidak usah cemas apalagi sampai mengancamku,” ucap Eve dengan dagu sedikit naik ke atas sebagai tanda melawan Grisel.Grisel menaikkan satu sudut alis saat mendengar ucapan Eve.“Setelah hari ini, silakan kamu melakukan apa pun yang kamu mau,” ujar Eve lagi.Setelah mengatakan itu, Eve memilih meninggalkan Grisel karena urusannya ke sana hanya untuk menemui Kaivan.Grisel bingung mendengar ucapan Eve, bahkan merasa sikap Eve tak biasanya yang mudah ditindas dan ditipu.Ya, itu sebenarnya pikiran Grisel saja. Selama ini Eve tahu Grisel tak pernah baik ke Eve bahkan ucapan maafnya dulu juga bohong, tetapi Eve hanya memainkan perannya saja dalam kehidupan Grisel karena bekerja satu
Grisel ternyata mendengar pembicaraan antara Eve dan Kaivan karena kebetulan pintu ruangan Kaivan tidak tertutup sempurna. Dia terkejut mendengar Eve ingin mengundurkan diri, tapi hal itu juga membuatnya senang sampai bibirnya langsung tersenyum.“Bagus, akhirnya dia sadar diri juga,” gumam Grisel senang.Grisel semakin yakin jika memang tidak akan ada yang pernah bisa menandingi posisinya. Bagaimanapun caranya dia harus mendapatkan apa pun yang diinginkan. Grisel juga berpikir jika sejak dulu Eve memang hanya wanita lemah yang mudah digertak hingga langsung mengundurkan diri dari pekerjaan.Saat mendengar Eve pamit keluar ruangan. Grisel langsung mundur dari pintu, lalu kembali bersandiwara dengan memasang wajah cemas.Eve baru saja keluar dari ruangan Kaivan dan melihat Grisel yang berdiri menatapnya. Dia melihat tatapan Grisel yang tampak sedih, tapi hal itu tak membuatnya bersimpati.“Eve, aku minta maaf dengan ucapanku tadi. Aku tidak tahu ada apa denganku sampai berkata yang tida
Eve dijemput Brian saat baru saja keluar dari perusahaan. Sebelumnya Brian memang sudah diberitahu Eve soal keputusannya yang akan keluar dari perusahaan dan kebetulan hari itu saat Kaivan menyetujui surat pengunduran dirinya, Brian sudah berada di kota itu sehingga Brian langsung menjemput ketika Eve mengabarinya.“Terima kasih sudah menjemputku,” ucap Eve saat sudah berada di mobil bersama Brian.“Tidak masalah,” balas Brian sambil mengemudikan mobil menuju asrama.“Kamu ke asrama dulu, kan?” tanya Brian.“Iya, aku harus mengemas barang-barangku dari asrama karena sudah tidak akan pernah lagi tinggal di sana,” jawab Eve dengan senyum getir di wajah.Berat memang melepas apa yang sudah digapai, tapi ini keputusan Eve dan dia harus meyakinkan diri jika kelak akan mendapat sesuatu yang lebih baik lagi. Saat ini, dia tak sanggup jika menjadi bahan gunjingan di perusahaan, lebih baik memang pergi dan menjauh dari semua yang dikenalnya demi masa depannya.Brian mengemudikan mobil menuju as
Eve menggeleng menjawab pertanyaan Brian.“Sepertinya dia akan menikah dengan Grisel, jadi kurasa tidak perlu memberitahunya soal keberadaan ….” Eve menyentuh perutnya lagi setelah bicara.“Tunggu? Grisel? Maksudmu Grisel teman kita dulu?” tanya Brian sangat terkejut.Eve mengangguk-angguk dengan tatapan sedih.Brian mengembuskan napas kasar. Dia tahu kalau sejak dulu Grisel selalu menyukai apa pun yang dimiliki Eve, tetapi Eve terlalu baik sehingga sering sekali memberikan apa pun miliknya yang diinginkan Grisel.“Tidak heran, jangan-jangan dia merebut pria itu juga darimu,” gumam Brian benar-benar kesal jika ingat kelakuan Grisel.Eve terkejut mendengar ucapan Brian.“Tidak, dia tidak merebutnya. Aku dan dia tidak ada hubungan, hanya kebetulan saja Grisel memang disukai oleh Pak Kaivan. Dan, aku tidak mau dianggap ingin merebut milik Grisel jika aku memberitahu kalau hamil anak Pak Kaivan,” ujar Eve menjelaskan.Brian menoleh sekilas ke Eve dan tak berkata-kata lagi.Mereka akhirnya
Grisel panik sampai meremas jemarinya. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan Kaivan dan terlihat sangat gugup.Kaivan mengamati reaksi Grisel, lalu di saat akan bicara lagi, terdengar suara ketukan pintu yang membuat tatapan Kaivan tertuju ke pintu.“Masuk!” perintah Kaivan mempersilakan.Asisten Kaivan masuk, tapi tidak tahu kalau di sana ada Grisel.Grisel merasa lega, setidaknya dia bisa memanfaatkan kedatangan asisten Kaivan untuk kabur dari situasi yang sangat membuatnya tegang. Dia tidak akan pernah bisa menjawab pertanyaan Kaivan yang mungkin bisa membuat pria itu curiga.“Saya permisi dulu, Pak.” Grisel langsung pamit undur diri.Kaivan tidak mungkin mencegah, lalu akhirnya membiarkan saja Grisel pergi.Hendry–asisten Kaivan, memandang saat Grisel keluar dari ruangan Kaivan, lalu berjalan menghampiri atasannya itu.Di luar ruangan. Grisel mengusap dada untuk menstabilkan detak jantungnya yang berdegup sangat cepat.“Sialan! Kenapa Eve tidak pernah memberitahunya soal angka itu?” G
Eve masih berada di kamarnya saat mendengar suara bel dari pintu utama. Dia segera keluar dari kamar untuk membuka pintu karena yakin Brian yang datang.Eve berjalan perlahan menuruni anak tangga karena sekarang dirinya benar-benar harus menjaga diri.Di luar rumah. Brian berdiri di depan pintu menunggu Eve membuka pintu. Meskipun rumah itu miliknya, tapi Brian tidak langsung masuk karena sekarang ada Eve yang menempati rumah itu. Dia adalah pria yang sangat menjaga sopan santun, sehingga Brian tidak bertindak sesuka hatinya.Brian kembali menekan bel karena Eve belum juga membuka pintu.“Iya, sebentar.”Brian hanya tersenyum mendengar suara Eve dari dalam. Dia sabar menanti, lalu akhirnya pintu rumahnya terbuka dan tampak Eve berdiri sambil tersenyum padanya.“Maaf lama, aku baru saja selesai mandi,” kata Eve sambil membuka lebar pintu agar Brian bisa masuk.“Tidak masalah,” balas Brian tersenyum pada Eve.Brian menatap Eve yang terlihat berbeda. Dari sudut pandangnya, Eve terlihat l
Raut keterkejutan tampak jelas di wajah Eve. Dia benar-benar tidak menyangka akan mendapat panggilan ini.“Bagaimana kabarmu, Eve. Kamu pasti mengenali suaraku, kan?”Eve diam sepersekian detik mendengar suara yang memang diketahuinya itu.Eve bertanya-tanya, dari mana Damian tahu nomor ponselnya? Dia tidak pernah berhubungan sama sekali dengan Damian, lantas kenapa Damian bisa menghubunginya?Eve tak mau bicara dengan Damian. Dia ingin mengakhiri panggilan tapi Damian sudah kembali bicara.“Kenapa kamu diam, Eve? Sejak kapan kamu mengabaikan orang yang berniat baik? Aku hanya ingin tahu kabarmu?” tanya Damian karena mungkin tak mendengar balasan Eve.Eve bingung. Dia akhirnya membalas ucapan Damian.“Baik,” jawab Eve.“Hm … seperti itu,” balas Damian dari seberang panggilan.Eve benar-benar tidak tahu, kenapa Damian menghubunginya dan mau apa pria ini?“Aku dengar kamu tidak lagi kerja di perusahaan Kaivan. Apa kamu ada masalah?” tanya Damian lagi.Dahi Eve berkerut halus mendengar p
Kaivan duduk di ruang kerja rumahnya sambil menatap layar laptop yang terbuka. Dia tidak sedang mengerjakan berkas, tapi sedang larut dalam pikiran yang entah apa sangat mengganggunya.Terdengar suara ketukan pintu. Kaivan menoleh dan ternyata Maria sudah ada di ambang pintu. Dia memandang Maria yang kini berjalan menghampirinya.“Ini sudah malam, kenapa kamu tidak tidur?” tanya Maria meski sebelumnya sempat bersitegang dengan Kaivan, tapi setelahnya hubungan mereka membaik.“Hm … ini baru ingin istirahat,” jawab Kaivan lalu menutup laptop.Maria melihat akhir-akhir ini Kaivan seperti tidak fokus.“Bagaimana kabar Eve? Ibu ingin berkunjung ke perusahaan untuk bertemu dengannya,” ucap Maria tampak antusias.Kaivan menatap Maria, lalu membalas, “Eve sudah mengundurkan diri dari pekerjaannya.”Maria sangat terkejut mendengar balasan Kaivan. “Kenapa? Kenapa dia mengundurkan diri? Apa dia membuat kesalahan lalu kamu memecatnya?” tanya Maria penasaran.Kaivan menatap Maria yang selalu saja b
Waktu berjalan dengan begitu cepat. Perjuangan yang biasa dilakukan sendiri, sekarang banyak yang menemani.Selama kehamilannya, Eve benar-benar merasakan banyak perhatian banyak orang di sekitarnya, membuatnya bisa menikmati kehamilan dengan perasaan tenang dan bahagia.Pagi itu. Eve berjalan ke ruang ganti untuk menghampiri Kaivan. Usia kandungannya sudah sembilan bulan. Perutnya sudah besar dan Eve mulai kesusahan melakukan aktivitasnya.“Biar aku bantu pakaikan dasi,” ucap Eve saat menghampiri Kaivan.Kaivan menoleh. Dia melihat istrinya itu berjalan mendekat.“Kalau lelah duduklah saja, Eve.”Eve hanya tersenyum. Dia meraih dasi Kaivan dan kukuh ingin mengikat dasi.“Duduk terus juga capek,” balas Eve.Dia mengikat dasi dengan seksama.Kaivan memperhatikan Eve yang sedang mengikat. Semakin besar kandungan Eve, istrinya itu terlihat semakin cantik.“Sudah,” ucap Eve.“Terima kasih,” balas Kaivan diakhiri sebuah kecupan di kening.Perhatian Kaivan ke perut Eve. Dia mengusap lembut p
“Apa Dokter tidak salah memeriksa?”“Sudah dipastikan lagi?”Eve merasa kepalanya sangat berat. Samar-samar dia mendengar suara Kaivan dan Maria. Dia pun berusaha untuk membuka mata sampai akhirnya melihat dua orang itu berdiri di dekatnya dengan ekspresi wajah panik.“Sayang.” Eve memanggil dengan suara lirih.Kaivan menoleh ketika mendengar suara Eve. Dia segera menghampiri istrinya itu.“Bagaimana perasaanmu? Mana yang sakit?” tanya Kaivan sambil menggenggam telapak tangan Eve.Maria juga ikut mendekat ke ranjang karena sangat mencemaskan Eve.“Aku di mana?” tanya Eve dengan suara berat.“Di rumah sakit, tadi aku dihubungi kalau kamu pingsan, jadi aku membawamu ke sini,” jawab Kaivan.Eve mengangguk pelan. Dia memang masih merasa sakit kepala.Kaivan dan Maria menunggu dengan sabar sampai Eve sepenuhnya sadar. “Aku tidak tahu kenapa bisa pingsan, maaf sudah membuat kalian cemas,” ucap Eve lirih.“Untuk apa minta maaf. Kami malah cemas kalau terjadi sesuatu padamu, tapi untungnya ti
Setelah berjuang sendiri, sekarang ada tangan yang bisa Eve genggam erat. Dia bagai Cinderella yang akhirnya menemukan sang pangeran, diratukan dan dicintai begitu dalam oleh pria yang bahkan sekalipun tak pernah ada di dalam mimpinya.Pernikahan Eve dan Kaivan sudah satu tahun berjalan. Pagi itu Eve membantu pelayan di dapur menyiapkan sarapan, sudah menjadi kebiasaan meski para pelayan dulu sering melarang.“Ini sudah semuanya, ditata di meja, ya.” Eve memberi instruksi setelah selesai memasak.“Baik, Bu.”Eve meninggalkan dapur. Dia pergi memanggil Maria sebelum membangunkan Kai dan Kaivan.“Ibu sudah bangun?” Eve masuk kamar untuk mengecek Maria.“Sudah, Eve.” Suara Maria terdengar dari kamar mandi.“Sarapannya sudah siap, aku mau bangunin Kai dan Kaivan dulu,” ucap Eve.Setelah mendengar balasan Maria dari dalam kamar mandi. Eve segera keluar dari kamar sang mertua, lantas pergi ke lantai atas. Semalam Kai merengek ingin tidur bersama mereka, sehingga pagi ini putra mereka yang s
Kaivan baru saja keluar dari kamar mandi. Dia melihat Eve yang berbaring memunggunginya. Apa Eve sudah tidur?Kaivan naik ke ranjang. Dia bergeser mendekat ke arah Eve berbaring, lantas menyentuh lengan wanita itu.“Eve, kamu sudah tidur?” tanya Kaivan. Dia bahkan sengaja meletakkan dagu di lengan Eve.Eve sebenarnya sangat panik dan gugup. Dia berpikir untuk tidur lebih dulu sebelum Kaivan selesai mandi, tapi kenyataannya dia hanya bisa memejamkan mata dan tidak bisa jatuh ke alam mimpi, membuatnya sekarang malah semakin cemas.Ini memang bukan malam pertama baginya, tapi lamanya waktu tidak pernah berhubungan seperti itu, tentu membuat Eve merasa ini seperti yang pertama baginya..“Kamu lelah, hm?” tanya Kaivan. Dia tahu Eve belum tidur karena kelopak mata Eve tampak bergerak.Kaivan terus meletakkan dagu di lengan Eve, dia menatap gemas pada Eve yang berpura-pura tidur. Sampai akhirnya dia melihat Eve membuka mata.“Apa kamu lapar?” tanya Eve seraya menatap pada Kaivan.Kaivan meng
“Kai mau pulang cama Mami dan Papi.”Kai bersidekap dada. Dia tidak mau beranjak dari kursinya saat Maria mengajak pulang.Maria, Bram, dan Alana saling tatap, bagaimana caranya membujuk Kai agar Kaivan dan Eve bisa menikmati malam pengantin.“Atau Kai mau tidur di rumah Paman?” tanya Bram membujuk.“Ih … Kai maunya cama Mami dan Papi.” Kai turun dari kursi. Dia berlari menghampiri Kaivan dan Eve yang sedang bicara dengan Dania.“Mami, Papi. Kai mau ikut kalian, tapi Nenek cama Paman malah mau ngajak pulang!” teriak Kai begitu keras.Kaivan dan Eve menoleh bersamaan, mereka terkejut melihat Kai berteriak-teriak seperti itu.“Kenapa, hm?” tanya Eve sedikit membungkuk agar bisa menatap sang putra.“Itu, macak Kai curuh pulang cama Nenek, Kai ‘kan maunya cama Mami dan Papi.” Kai mengadu sambil menunjuk ke Maria dan Bram yang sedang berjalan menghampiri.Kaivan menoleh ke Maria, tentu dia paham dengan niatan Maria mengajak Kai pulang.“Kai, nanti Mami dan Papi akan pulang, tapi setelah me
Pernikahan Kaivan dan Eve berjalan dengan sangat lancar. Mereka sudah sah menjadi suami istri, kini tradisi melempar bunga pun akan dilakukan.Beberapa karyawan lajang yang diundang ke pesta itu sudah bersiap di depan altar, begitu juga dengan Dania yang ikut bergabung untuk mendapatkan buket bunga milik Eve. Siapa tahu selanjutnya dia yang akan menikah.Eve tersenyum penuh kebahagiaan melihat orang-orang antusias ingin merebut buket bunganya. Dia melihat Dania yang memberi kode agar dilempar ke arah Dania, membuat Eve semakin menahan senyum.Eve memunggungi para wanita yang siap menerima buket miliknya. Master Ceremony mulai berhitung, lalu di hitungan ketiga, Eve melempar buket bunga miliknya.Buket itu terlempar cukup kuat. Dania begitu antusias ingin menangkap, tapi banyaknya wanita di sana, membuat buket itu terpental beberapa kali hingga akhirnya jatuh ke tangan seseorang.Semua wanita kini menatap pada orang yang memegang buket itu.“Brian.” Eve terkejut tapi juga merasa lucu ka
Eve berada di salah satu kamar yang terdapat di hotel tempat pesta pernikahan diadakan. Dia datang lebih awal karena harus dirias oleh MUA yang sudah ditunjuk oleh Kaivan.Alana menemani Eve di kamar. Dia terus memperhatikan Eve yang sedang dirias sampai akhirnya siap.“Kamu sangat cantik,” puji Alana seraya menghampiri Eve yang baru saja selesai dirias.Eve menatap Alana dari pantulan cermin. Dia tersenyum malu karena mendapat pujian dari kakak iparnya itu.Alana menatap cukup lama pada Eve, lalu mengeluarkan sesuatu dari tas kecil yang dibawanya.Eve memperhatikan. Tidak tahu apa yang akan diberikan oleh kakak iparnya itu.“Kakakmu dan aku sepakat memberikan ini sebagai hadiah pernikahanmu, memang tidak mewah dan mahal, tapi kami berharap ini cukup berkesan untukmu,” ujar Alana memberikan kalung dengan liontin berinisial E.Eve sangat terkejut. Dia sampai menggeleng kepala pelan karena tak bisa menerima hadiah itu. Dia tahu kondisi ekonomi kakak dan kakak iparnya sedang susah, tapi
Hari pernikahan Eve dan Kaivan tiba. Malam sebelum acara pernikahan, Eve berada di kamar sedang istirahat setelah makan malam.“Eve, boleh aku masuk?” tanya Alana setelah sebelumnya mengetuk pintu.“Masuklah, Kak.”Alana membuka pintu kamar Eve. Dia melihat adik iparnya itu sedang duduk memegang ponsel.“Ada apa, Kak?” tanya Eve sambil menggeser posisi duduknya di ranjang untuk memberi tempat agar Alana bisa duduk.Alana duduk di dekat Eve. Dia menatap pada adik iparnya itu.“Besok kamu akan menikah. Aku dan kakakmu selama ini menyadari, belum pernah memberikan yang terbaik, terutama aku yang sering sekali bersikap tak baik karena rasa iri padamu. Tapi, semua sudah berlalu. Aku tidak bisa memberi apa pun selain mendoakan yang terbaik untuk kebahagiaanmu,” ucap Alana sambil menggenggam erat telapak tangan Eve.Bola mata Eve berkaca-kaca. Dia mengulum bibir untuk menahan tangisnya.“Tidak memberi apa-apa bagaimana, Kak? Aku bisa kuliah dan tumbuh juga karena usaha kalian. Ya, meski Kak
Siang itu Eve pergi ke perusahaan Kaivan. Dia mengantar makanan karena Kaivan berkata jika sangat sibuk.“Kamu masih sibuk?” tanya Eve saat masuk ruangan Kaivan.Kaivan menatap pada Eve. Melihat calon istrinya itu datang, Kaivan langsung menutup tirai dinding kaca agar para staff tak melihat apa yang dilakukannya.“Kenapa tirainya ditutup?” tanya Eve keheranan.Kaivan mendekat pada Eve, lalu mengecup pipi wanita itu.“Biar mereka tidak melihat ini,” jawab Kaivan.Eve terkejut sampai memukul lengan Kaivan karena gemas.Eve mengajak Kaivan duduk. Dia membuka pembungkus makanan agar Kaivan bisa segera menyantap makan siang.“Aku sebenarnya masih harus memilah berkas, sepertinya tidak bisa makan siang dulu,” kata Kaivan.Eve menatap pada Kaivan, lalu membalas, “Kamu tetap harus makan meski sedang sibuk. Kamu memilah berkas, biar aku yang menyuapi.”Senyum mengembang di wajah Kaivan saat mendengar ide Eve. Dia mengajak Eve ke meja kerja, memosisikan kursi lain di samping kursi kerjanya agar