Kaivan pergi ke perusahaan. Ekspresi wajahnya begitu dingin, bahkan para staff yang menyapanya merasa merinding karena sikap Kaivan tak seperti biasanya, lebih menakutkan dari sebelumnya.“Apa ada masalah, Pak?” tanya Hendry yang berjalan di belakang Kaivan dan merasa aneh dengan sikap atasannya itu.Kaivan tidak menjawab pertanyaan Hendry. Dia terus mengayunkan kaki masuk lift.Hendry memilih diam. Dia memperhatikan tombol yang ditekan Kaivan. Hendry merasa sedikit aneh, kenapa Kaivan tidak menuju lantainya bekerja, tapi malah ke lantai lain?Lift terbuka di lantai tempat Grisel bekerja. Tentu saja hal itu membuat Hendry bertanya-tanya dengan apa yang terjadi.Saat sampai di lantai divisi itu, ternyata Grisel belum ada di ruang kerjanya.“Di mana Bu Grisel?” tanya Kaivan pada staff yang berdiri saat melihat kedatangannya.“Beliau belum datang, Pak,” jawab staff.Kaivan menyipitkan mata. Dia memandang semua staff yang menunduk, lalu melihat jam dinding menunjukkan pukul setengah delapa
Grisel sangat panik dan bingung, tapi dia juga tidak bisa menghindari hal ini. Grisel turun dari mobil lalu berjalan masuk lobi untuk segera naik ke lantai tempat ruangan Kaivan berada.Namun, sebelum dirinya masuk lift, Grisel lebih dulu mendapat pesan dari kepala HRD.[Datanglah ke ruang HRD untuk pemberitahuan perubahan pekerjaan.]Grisel mengerutkan dahi. Apa maksudnya perubahan pekerjaan? Dia menggigit bibir bawah, bingung harus bagaimana lalu akhirnya memilih pergi ke ruang HRD lebih dulu, sebelum pergi ke ruangan Kaivan.Grisel masuk ke ruang HRD dan langsung menemui kepala HRD.“Ada apa saya diminta ke sini?” tanya Grisel.“Saya baru saja mendapat perintah untuk melakukan mutasi pekerjaan. Kamu akan dipindah ke anak cabang Bramanty Group yang ada di luar kota. Surat pemindahannya belum turun, tapi saya diminta menyampaikan ini lebih dulu, agar kamu bisa mempersiapkan diri dan menyelesaikan pekerjaan yang tertunda,” ujar kepala HRD.Grisel membulatkan bola mata lebar.“Tidak mun
“Mami, kapan Paman Kaivan ke cini?” tanya Kai sambil menusuk-nusuk makan siangnya menggunakan garpu.Eve menghela napas kasar, lalu menatap pada Kai.“Paman Kaivan masih kerja, Kai jangan berharap dia datang, ya? Nanti dia tidak fokus bekerja,” kata Eve mencoba bersikap tenang meski ada rasa mengganjal saat Kai membahas soal Kaivan.Kai memasang wajah cemberut. Dia makan dengan malas bahkan sudah hampir setengah jam tapi makanan di piring hanya terjamah sedikit.“Kai makan yang benar agar cepat habis dan Kai lekas sembuh,” ujar Eve sambil mempertahankan senyumnya.“Iya.” Kai menanggapi malas.Saat Kai kembali makan, terdengar suara bel dari pintu depan. Eve dan Kai menoleh bersamaan.“Itu pacti Paman Kaivan!” Kai langsung turun dari kursi lalu berlari menuju pintu.Eve sangat terkejut dengan yang dilakukan Kai. Dia mengejar Kai yang sudah mencapai pintu.Kai langsung membuka pintu, tapi senyumnya memudar ketika melihat siapa yang berdiri di depan pintu.“Halo, Kai.” Damian berdiri di
Raut wajah Damian terlihat tak senang saat mendengar Kai sangat berharap bertemu Kaivan. Apalagi Kai langsung berlari ke pintu untuk melihat siapa yang datang.‘Apa benar yang datang Kaivan?’ batin Damian.“Paman Kaivan!”Damian mendengar suara teriakan Kai yang begitu lantang. Ternyata benar Kaivan datang, untuk apa Kaivan menemui Eve dan Kai?Di depan, Eve terkejut melihat Kaivan datang apalagi sekarang ada Damian di dalam.“Kamu sudah makan?” tanya Kaivan pada Kai. Dia memperlihatkan bawaan yang dibawa.“Tadi Mami cudah nyuruh Kai makan, tapi Kai nggak mau makan karena nggak ada Paman Kaivan,” jawab Kai berceloteh.Kaivan tersenyum lalu memandang pada Eve yang berdiri di belakang Kai.“Kalau begitu, makan bersama paman, ya.” Kaivan kembali memandang pada Kai lalu siap mengajak masuk.“Cama Paman Damian juga, ya.” Kaivan menghentikan langkah. Dia menatap Kai lalu pada Eve secara bergantian.“Damian?”Eve melipat bibir sambil memalingkan muka.Saat masuk, ekspresi wajah Kaivan beruba
Eve hendak membereskan meja setelah Kaivan dan Damian pergi. Namun, saat pergi ke meja makan, dia melihat ponsel tertinggal di sana. Eve mengambil ponsel itu untuk melihat milik siapa, saat menyalakan layar depan, Eve terkejut dengan foto yang terpajang di depan.Eve segera berjalan ke depan untuk mengejar dan mengembalikan ponsel itu, tapi alangkah terkejutnya dia saat melihat apa yang terjadi di depan pintu.“Apa yang kalian lakukan?” tanya Eve dengan ekspresi wajah syok.Bagaimana tidak? Damian dan Kaivan malah sedang berkelahi. Bahkan kini Kaivan duduk di atas perut Damian dengan satu tangan mengepal siap memukul wajah Damian.Kaivan dan Damian menatap ke arah Eve. Mereka melihat Eve yang tampak kesal. Kaivan yang siap menghantam wajah Damian, seketika berhenti karena mendengar suara Eve.Kaivan melepas cengkraman dari kerah kemeja Damian sambil sedikit mendorong sampai punggung Damian membentur lantai, lalu berdiri dari atas tubuh sepupunya itu kemudian mengusap ujung bibir yang
Damian menatap Grisel yang duduk berhadapan dengannya. Dia menengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan, jam makan siang sudah terlewat, kenapa Grisel masih bisa menemuinya.“Kenapa wajahmu babak belur?” tanya Grisel saat melihat ada memar di dagu dan pipi Damian.Damian menyentuh dagu lantas menggerakkan rahangnya. Alih-alih menjawab pertanyaan Grisel, Damian malah membahas hal lain.“Apa sebenarnya yang kamu inginkan lagi?” tanya Damian sambil menatap datar pada Grisel.Grisel menyesap latte yang dipesannya, lalu menatap Damian yang memasang wajah serius.“Aku ingin membicarakan tawaran waktu itu. Tawaran itu masih berlaku,” ujar Grisel.Damian langsung tersenyum miring seperti mengejek.“Kenapa kamu tersenyum begitu? Apa ada yang salah? Bukankah kalau berhasil kamu bisa mendapatkan Eve tanpa gangguan Kaivan?” Grisel mencoba memprovokasi.Damian menghela napas kasar. Dia mencondongkan tubuh ke arah meja, lalu meletakkan kedua tangan di atas meja.“Menjadi teman dari musuh mus
Maria sedang menikmati teh di teras rumah saat sore hari. Dia melihat mobil Kaivan baru saja berhenti di depan garasi. Wanita itu langsung menegakkan badan untuk melihat Kaivan.“Kamu sudah pulang.” Maria menyambut antusias.Namun, senyum wanita itu memudar ketika melihat ujung bibir putranya terluka.“Kenapa bibirmu?” tanya Maria.Kaivan menghentikan langkah, dia menyentuh ujung bibirnya. Kaivan tidak mungkin jujur soal perkelahiannya dengan Damian karen dia tahu jika sang ibu mengenal Damian sebagai sosok yang baik dan penurut.“Tadi ada masalah sedikit di kantor dan tidak sengaja ada insiden,” jawab Kaivan.“Bagaimana bisa? Lagian kenapa kamu bisa terluka?” Maria tetap mencecar.“Aku baik-baik saja,” ujar Kaivan tidak mau bercerita.Maria menyipitkan mata, tapi tidak bisa memaksa jika Kaivan tidak mau bercerita.“Oh ya, kapan ibu bisa bertemu Kai? Ibu tidak sabar, ingin melihat seperti apa wajah cucu ibu,” ucap Maria.Kaivan sudah berjanji akan mempertemukan Maria dengan Kai, sehin
“Mami, kenapa Paman Kaivan tidak ke cini lagi? Mami marahin Paman, ya? Makanya nggak jenguk Kai.” Kai bicara sambil menatap sang mami yang sedang membuatkannya susu.Eve berhenti mengaduk susu ketika mendengar pertanyaan Kai. Sudah tiga hari Kaivan tidak datang mengunjungi Kai atau sekadar menghubungi. Mungkinkah terjadi sesuatu pada Kaivan? Apalagi terakhir kali melihat, Kaivan berkelahi dengan Damian. Mungkinkah Kaivan sakit setelahnya?Eve mencoba menepis pemikiran itu. Lagi pula bisa saja Kaivan sibuk? Untuk apa dia cemas juga?“Mungkin Paman Kaivan sibuk,” jawab Eve sambil kembali mengaduk susu. Setelahnya Eve memberikan susu itu pada Kai.“Kai mau telepon Paman. Kai ‘kan kangen. Paman janji mau jenguk Kai, kok malah nggak pernah datang?” Kai terlihat sedih.Eve menoleh pada ponsel yang tergeletak di meja. Haruskah dia menghubungi Kaivan? Jika dia menghubungi, apa pria itu akan besar kepala? Eve punya banyak pertimbangan.“Mami.” Kai menatap Eve dengan bola mata berkaca-kaca.“Ka
“Kai cangat cenang,” celoteh Kai saat sedang mengganti baju bersama Eve.Eve hanya tersenyum menanggapi ucapan putranya itu.“Mami, kalau papinya Kai itu Paman Kaivan, pacti menyenangkan, kan? Coalnya papi Kai juga tidak pernah pulang, tidak pernah ngajak main, tidak pernah telepon Kai. Jadinya Kai ‘kan cedih.”Eve terdiam mendengar ucapan Kai. Dia menatap Kai sambil mencoba tersenyum. Mungkin dia salah karena selama ini berbohong, tapi dia juga tidak punya pilihan.“Kai bobok dulu, ya. Sudah waktunya tidur siang,” ucap Eve tak menanggapi perkatana putranya.Kai naik ke ranjang. Eve duduk di tepian untuk menemani sebentar.“Mami, apa cebenarnya Kai tidak punya papi?” tanya Kai lagi.Eve terkejut tapi berusaha tenang.“Siapa yang bilang tidak punya?” tanya Eve dengan lembut. Dia tersenyum agar Kai tidak sedih.“Paman Damian bilang, kalau Kai curuh milih Paman Damian atau Paman Kaivan buat jadi papi, Kai milih mana? Kan Kai punya papi, kenapa haruc milih?” Eve benar-benar gelagapan dan
“Kamu dulu, apa yang mau kamu katakan,” ucap Kaivan.Eve melipat bibir, lalu memberanikan diri bertanya, “Aku dengar, Grisel dikeluarkan dari perusahaan. Apa itu ada hubungannya dengan masalah Kai?”Kaivan tersenyum tipis, lalu membalas, “Dia memang layak mendapatkannya.”Eve terkejut. Dia tahu Kaivan tidak suka mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaan, apa itu artinya sikap Kaivan yang sekarang memang karena masalah pribadi.“Bukankah tidak baik jika Anda menyangkutpautkan masalah pribadi dengan pekerjaan?” tanya Eve. Dia tidak mau jika sampai Kaivan dianggap atasan yang arogan.“Bukan hanya masalah Kai saja,” balas Kaivan lalu menenggak air miliknya lalu kembali bicara, “dia berani menipu atasannya, lalu juga bersikap tak layak pada staffnya. Bukankah wajar jika aku membuat keputusan tegas?”Kaivan menatap Eve. Sorot mata pria itu sangat berbeda dari biasanya.Eve hanya mengangguk-angguk sambil menghindari tatapan mata pria itu.“Apa yang mau Anda katakan?” tanya Eve karena tadi
“Kai mau jalan-jalan ke mana?” tanya Kaivan sambil menggandeng Kai berjalan keluar dari lift.“Kai tidak tahu,” jawab bocah kecil itu sambil mengedikkan bahu.Eve berjalan di belakang Kaivan dan Kai. Dia mengamati Kaivan yang selalu tersenyum pada Kai.Dulu saat bekerja bersama pria ini, Eve jarang melihat Kaivan tersenyum karena pria itu sangat dingin. Namun, sekarang dia hampir melihatnya tiap menit karena adanya Kai.“Kamu mau jalan-jalan ke mana, Eve?”Tiba-tiba saja Kaivan bertanya pada Eve, membuat wanita itu terkejut dibuatnya sampai menghentikan langkah.Kaivan dan Kai menatap Eve yang baru tersadar dari lamunan.“Anda yang mengajak, jadi Anda saja yang menentukan,” balas Eve tetap bicara formal pada Kaivan.Kaivan mengangguk.Di depan lobi. Mobil Kaivan sudah siap di sana. Dia memang menyuruh sopir untuk mengantar mobil ke sana agar bisa digunakan mengajak Kai jalan-jalan.“Kuncinya, Pak.” Sopir memberikan kunci mobil itu saat Kaivan menghampiri.Kaivan menerima kunci mobil i
“Mami, kenapa Paman Kaivan tidak ke cini lagi? Mami marahin Paman, ya? Makanya nggak jenguk Kai.” Kai bicara sambil menatap sang mami yang sedang membuatkannya susu.Eve berhenti mengaduk susu ketika mendengar pertanyaan Kai. Sudah tiga hari Kaivan tidak datang mengunjungi Kai atau sekadar menghubungi. Mungkinkah terjadi sesuatu pada Kaivan? Apalagi terakhir kali melihat, Kaivan berkelahi dengan Damian. Mungkinkah Kaivan sakit setelahnya?Eve mencoba menepis pemikiran itu. Lagi pula bisa saja Kaivan sibuk? Untuk apa dia cemas juga?“Mungkin Paman Kaivan sibuk,” jawab Eve sambil kembali mengaduk susu. Setelahnya Eve memberikan susu itu pada Kai.“Kai mau telepon Paman. Kai ‘kan kangen. Paman janji mau jenguk Kai, kok malah nggak pernah datang?” Kai terlihat sedih.Eve menoleh pada ponsel yang tergeletak di meja. Haruskah dia menghubungi Kaivan? Jika dia menghubungi, apa pria itu akan besar kepala? Eve punya banyak pertimbangan.“Mami.” Kai menatap Eve dengan bola mata berkaca-kaca.“Ka
Maria sedang menikmati teh di teras rumah saat sore hari. Dia melihat mobil Kaivan baru saja berhenti di depan garasi. Wanita itu langsung menegakkan badan untuk melihat Kaivan.“Kamu sudah pulang.” Maria menyambut antusias.Namun, senyum wanita itu memudar ketika melihat ujung bibir putranya terluka.“Kenapa bibirmu?” tanya Maria.Kaivan menghentikan langkah, dia menyentuh ujung bibirnya. Kaivan tidak mungkin jujur soal perkelahiannya dengan Damian karen dia tahu jika sang ibu mengenal Damian sebagai sosok yang baik dan penurut.“Tadi ada masalah sedikit di kantor dan tidak sengaja ada insiden,” jawab Kaivan.“Bagaimana bisa? Lagian kenapa kamu bisa terluka?” Maria tetap mencecar.“Aku baik-baik saja,” ujar Kaivan tidak mau bercerita.Maria menyipitkan mata, tapi tidak bisa memaksa jika Kaivan tidak mau bercerita.“Oh ya, kapan ibu bisa bertemu Kai? Ibu tidak sabar, ingin melihat seperti apa wajah cucu ibu,” ucap Maria.Kaivan sudah berjanji akan mempertemukan Maria dengan Kai, sehin
Damian menatap Grisel yang duduk berhadapan dengannya. Dia menengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan, jam makan siang sudah terlewat, kenapa Grisel masih bisa menemuinya.“Kenapa wajahmu babak belur?” tanya Grisel saat melihat ada memar di dagu dan pipi Damian.Damian menyentuh dagu lantas menggerakkan rahangnya. Alih-alih menjawab pertanyaan Grisel, Damian malah membahas hal lain.“Apa sebenarnya yang kamu inginkan lagi?” tanya Damian sambil menatap datar pada Grisel.Grisel menyesap latte yang dipesannya, lalu menatap Damian yang memasang wajah serius.“Aku ingin membicarakan tawaran waktu itu. Tawaran itu masih berlaku,” ujar Grisel.Damian langsung tersenyum miring seperti mengejek.“Kenapa kamu tersenyum begitu? Apa ada yang salah? Bukankah kalau berhasil kamu bisa mendapatkan Eve tanpa gangguan Kaivan?” Grisel mencoba memprovokasi.Damian menghela napas kasar. Dia mencondongkan tubuh ke arah meja, lalu meletakkan kedua tangan di atas meja.“Menjadi teman dari musuh mus
Eve hendak membereskan meja setelah Kaivan dan Damian pergi. Namun, saat pergi ke meja makan, dia melihat ponsel tertinggal di sana. Eve mengambil ponsel itu untuk melihat milik siapa, saat menyalakan layar depan, Eve terkejut dengan foto yang terpajang di depan.Eve segera berjalan ke depan untuk mengejar dan mengembalikan ponsel itu, tapi alangkah terkejutnya dia saat melihat apa yang terjadi di depan pintu.“Apa yang kalian lakukan?” tanya Eve dengan ekspresi wajah syok.Bagaimana tidak? Damian dan Kaivan malah sedang berkelahi. Bahkan kini Kaivan duduk di atas perut Damian dengan satu tangan mengepal siap memukul wajah Damian.Kaivan dan Damian menatap ke arah Eve. Mereka melihat Eve yang tampak kesal. Kaivan yang siap menghantam wajah Damian, seketika berhenti karena mendengar suara Eve.Kaivan melepas cengkraman dari kerah kemeja Damian sambil sedikit mendorong sampai punggung Damian membentur lantai, lalu berdiri dari atas tubuh sepupunya itu kemudian mengusap ujung bibir yang
Raut wajah Damian terlihat tak senang saat mendengar Kai sangat berharap bertemu Kaivan. Apalagi Kai langsung berlari ke pintu untuk melihat siapa yang datang.‘Apa benar yang datang Kaivan?’ batin Damian.“Paman Kaivan!”Damian mendengar suara teriakan Kai yang begitu lantang. Ternyata benar Kaivan datang, untuk apa Kaivan menemui Eve dan Kai?Di depan, Eve terkejut melihat Kaivan datang apalagi sekarang ada Damian di dalam.“Kamu sudah makan?” tanya Kaivan pada Kai. Dia memperlihatkan bawaan yang dibawa.“Tadi Mami cudah nyuruh Kai makan, tapi Kai nggak mau makan karena nggak ada Paman Kaivan,” jawab Kai berceloteh.Kaivan tersenyum lalu memandang pada Eve yang berdiri di belakang Kai.“Kalau begitu, makan bersama paman, ya.” Kaivan kembali memandang pada Kai lalu siap mengajak masuk.“Cama Paman Damian juga, ya.” Kaivan menghentikan langkah. Dia menatap Kai lalu pada Eve secara bergantian.“Damian?”Eve melipat bibir sambil memalingkan muka.Saat masuk, ekspresi wajah Kaivan beruba
“Mami, kapan Paman Kaivan ke cini?” tanya Kai sambil menusuk-nusuk makan siangnya menggunakan garpu.Eve menghela napas kasar, lalu menatap pada Kai.“Paman Kaivan masih kerja, Kai jangan berharap dia datang, ya? Nanti dia tidak fokus bekerja,” kata Eve mencoba bersikap tenang meski ada rasa mengganjal saat Kai membahas soal Kaivan.Kai memasang wajah cemberut. Dia makan dengan malas bahkan sudah hampir setengah jam tapi makanan di piring hanya terjamah sedikit.“Kai makan yang benar agar cepat habis dan Kai lekas sembuh,” ujar Eve sambil mempertahankan senyumnya.“Iya.” Kai menanggapi malas.Saat Kai kembali makan, terdengar suara bel dari pintu depan. Eve dan Kai menoleh bersamaan.“Itu pacti Paman Kaivan!” Kai langsung turun dari kursi lalu berlari menuju pintu.Eve sangat terkejut dengan yang dilakukan Kai. Dia mengejar Kai yang sudah mencapai pintu.Kai langsung membuka pintu, tapi senyumnya memudar ketika melihat siapa yang berdiri di depan pintu.“Halo, Kai.” Damian berdiri di