Damian menatap Grisel yang duduk berhadapan dengannya. Dia menengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan, jam makan siang sudah terlewat, kenapa Grisel masih bisa menemuinya.“Kenapa wajahmu babak belur?” tanya Grisel saat melihat ada memar di dagu dan pipi Damian.Damian menyentuh dagu lantas menggerakkan rahangnya. Alih-alih menjawab pertanyaan Grisel, Damian malah membahas hal lain.“Apa sebenarnya yang kamu inginkan lagi?” tanya Damian sambil menatap datar pada Grisel.Grisel menyesap latte yang dipesannya, lalu menatap Damian yang memasang wajah serius.“Aku ingin membicarakan tawaran waktu itu. Tawaran itu masih berlaku,” ujar Grisel.Damian langsung tersenyum miring seperti mengejek.“Kenapa kamu tersenyum begitu? Apa ada yang salah? Bukankah kalau berhasil kamu bisa mendapatkan Eve tanpa gangguan Kaivan?” Grisel mencoba memprovokasi.Damian menghela napas kasar. Dia mencondongkan tubuh ke arah meja, lalu meletakkan kedua tangan di atas meja.“Menjadi teman dari musuh mus
Maria sedang menikmati teh di teras rumah saat sore hari. Dia melihat mobil Kaivan baru saja berhenti di depan garasi. Wanita itu langsung menegakkan badan untuk melihat Kaivan.“Kamu sudah pulang.” Maria menyambut antusias.Namun, senyum wanita itu memudar ketika melihat ujung bibir putranya terluka.“Kenapa bibirmu?” tanya Maria.Kaivan menghentikan langkah, dia menyentuh ujung bibirnya. Kaivan tidak mungkin jujur soal perkelahiannya dengan Damian karen dia tahu jika sang ibu mengenal Damian sebagai sosok yang baik dan penurut.“Tadi ada masalah sedikit di kantor dan tidak sengaja ada insiden,” jawab Kaivan.“Bagaimana bisa? Lagian kenapa kamu bisa terluka?” Maria tetap mencecar.“Aku baik-baik saja,” ujar Kaivan tidak mau bercerita.Maria menyipitkan mata, tapi tidak bisa memaksa jika Kaivan tidak mau bercerita.“Oh ya, kapan ibu bisa bertemu Kai? Ibu tidak sabar, ingin melihat seperti apa wajah cucu ibu,” ucap Maria.Kaivan sudah berjanji akan mempertemukan Maria dengan Kai, sehin
“Mami, kenapa Paman Kaivan tidak ke cini lagi? Mami marahin Paman, ya? Makanya nggak jenguk Kai.” Kai bicara sambil menatap sang mami yang sedang membuatkannya susu.Eve berhenti mengaduk susu ketika mendengar pertanyaan Kai. Sudah tiga hari Kaivan tidak datang mengunjungi Kai atau sekadar menghubungi. Mungkinkah terjadi sesuatu pada Kaivan? Apalagi terakhir kali melihat, Kaivan berkelahi dengan Damian. Mungkinkah Kaivan sakit setelahnya?Eve mencoba menepis pemikiran itu. Lagi pula bisa saja Kaivan sibuk? Untuk apa dia cemas juga?“Mungkin Paman Kaivan sibuk,” jawab Eve sambil kembali mengaduk susu. Setelahnya Eve memberikan susu itu pada Kai.“Kai mau telepon Paman. Kai ‘kan kangen. Paman janji mau jenguk Kai, kok malah nggak pernah datang?” Kai terlihat sedih.Eve menoleh pada ponsel yang tergeletak di meja. Haruskah dia menghubungi Kaivan? Jika dia menghubungi, apa pria itu akan besar kepala? Eve punya banyak pertimbangan.“Mami.” Kai menatap Eve dengan bola mata berkaca-kaca.“Ka
“Kai mau jalan-jalan ke mana?” tanya Kaivan sambil menggandeng Kai berjalan keluar dari lift.“Kai tidak tahu,” jawab bocah kecil itu sambil mengedikkan bahu.Eve berjalan di belakang Kaivan dan Kai. Dia mengamati Kaivan yang selalu tersenyum pada Kai.Dulu saat bekerja bersama pria ini, Eve jarang melihat Kaivan tersenyum karena pria itu sangat dingin. Namun, sekarang dia hampir melihatnya tiap menit karena adanya Kai.“Kamu mau jalan-jalan ke mana, Eve?”Tiba-tiba saja Kaivan bertanya pada Eve, membuat wanita itu terkejut dibuatnya sampai menghentikan langkah.Kaivan dan Kai menatap Eve yang baru tersadar dari lamunan.“Anda yang mengajak, jadi Anda saja yang menentukan,” balas Eve tetap bicara formal pada Kaivan.Kaivan mengangguk.Di depan lobi. Mobil Kaivan sudah siap di sana. Dia memang menyuruh sopir untuk mengantar mobil ke sana agar bisa digunakan mengajak Kai jalan-jalan.“Kuncinya, Pak.” Sopir memberikan kunci mobil itu saat Kaivan menghampiri.Kaivan menerima kunci mobil i
“Kamu dulu, apa yang mau kamu katakan,” ucap Kaivan.Eve melipat bibir, lalu memberanikan diri bertanya, “Aku dengar, Grisel dikeluarkan dari perusahaan. Apa itu ada hubungannya dengan masalah Kai?”Kaivan tersenyum tipis, lalu membalas, “Dia memang layak mendapatkannya.”Eve terkejut. Dia tahu Kaivan tidak suka mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaan, apa itu artinya sikap Kaivan yang sekarang memang karena masalah pribadi.“Bukankah tidak baik jika Anda menyangkutpautkan masalah pribadi dengan pekerjaan?” tanya Eve. Dia tidak mau jika sampai Kaivan dianggap atasan yang arogan.“Bukan hanya masalah Kai saja,” balas Kaivan lalu menenggak air miliknya lalu kembali bicara, “dia berani menipu atasannya, lalu juga bersikap tak layak pada staffnya. Bukankah wajar jika aku membuat keputusan tegas?”Kaivan menatap Eve. Sorot mata pria itu sangat berbeda dari biasanya.Eve hanya mengangguk-angguk sambil menghindari tatapan mata pria itu.“Apa yang mau Anda katakan?” tanya Eve karena tadi
“Kai cangat cenang,” celoteh Kai saat sedang mengganti baju bersama Eve.Eve hanya tersenyum menanggapi ucapan putranya itu.“Mami, kalau papinya Kai itu Paman Kaivan, pacti menyenangkan, kan? Coalnya papi Kai juga tidak pernah pulang, tidak pernah ngajak main, tidak pernah telepon Kai. Jadinya Kai ‘kan cedih.”Eve terdiam mendengar ucapan Kai. Dia menatap Kai sambil mencoba tersenyum. Mungkin dia salah karena selama ini berbohong, tapi dia juga tidak punya pilihan.“Kai bobok dulu, ya. Sudah waktunya tidur siang,” ucap Eve tak menanggapi perkatana putranya.Kai naik ke ranjang. Eve duduk di tepian untuk menemani sebentar.“Mami, apa cebenarnya Kai tidak punya papi?” tanya Kai lagi.Eve terkejut tapi berusaha tenang.“Siapa yang bilang tidak punya?” tanya Eve dengan lembut. Dia tersenyum agar Kai tidak sedih.“Paman Damian bilang, kalau Kai curuh milih Paman Damian atau Paman Kaivan buat jadi papi, Kai milih mana? Kan Kai punya papi, kenapa haruc milih?” Eve benar-benar gelagapan dan
Eve pergi ke lantai bawah untuk membuang sampah. Saat dia baru saja meletakkan sampah di bak yang tersedia. Eve bertemu dengan Grisel yang sudah menatapnya.“Jadi benar, kamu memang sedang tarik-ulur untuk mendapatkan perhatian dua pria sekaligus.” Grisel bicara sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada.Eve tersenyum miring. Dia tidak mengerti, kenapa Grisel masih saja terus berusaha mengganggunya. Dia selalu bersikap tenang agar tidak ada masalah, tapi Grisel selalu saja membawa masalah baginya.“Ya, lebih baik tarik-ulur, daripada langsung menarik sesuatu yang bukan haknya. Contohlah mengaku ditiduri padahal tidak,” balas Eve dengan santai.“Kamu ….” Grisel geram sampai menunjuk wajah Eve.“Sudah kubilang, kali ini aku tidak akan diam menghadapimu, apalagi kamu sudah berani melukai putraku!” hardik Eve dengan mata menatap tajam pada Grisel.“Jadi, kamu mengakui kalau menggunakan anakmu itu untuk mencapai titik tertinggi. Ya, katakan saja biar bisa mendapat perhatian Kaivan dan
Kaivan langsung memandang pada Eve ketika mendengar aduan dari Kai.“Memangnya kenapa tidak mau ke Playgroup? Bukankah di sana bagus, Kai bisa bermain sambil belajar?” tanya Kaivan.“Tidak mau. Kai tidak mau belajar di cana. Kai tidak cuka anak-anak lain, nanti nakal.” Kai memeluk leher Kaivan erat. Bagaimanapun caranya dia tidak akan mau dibawa ke playgroup.“Kai tidak boleh begitu.” Eve kesal karena Kai kukuh tetap tidak mau ke playgroup.Kaivan menatap pada Eve sambil mengedip satu kali, memberikan isyarat agar dirinya yang membujuk.Eve terkejut, tapi akhirnya membiarkan saja dan dia mau melihat, sampai mana Kaivan bisa membujuk Kai.Kaivan menurunkan Kai. Dia berjongkok sambil menatap putranya itu.“Kai harus mulai belajar di Playgroup, belajar berteman dan belajar yang lainnya,” ujar Kaivan membujuk.“Nggak mau! Kai nggak mau.” Kai melipat kedua tangan di depan dada.“Kalau Kai mau ke playgroup, paman yang akan antar dan jemput. Bagaimana?” tanya Kaivan kembali membujuk.Eve ter
Waktu berjalan dengan begitu cepat. Perjuangan yang biasa dilakukan sendiri, sekarang banyak yang menemani.Selama kehamilannya, Eve benar-benar merasakan banyak perhatian banyak orang di sekitarnya, membuatnya bisa menikmati kehamilan dengan perasaan tenang dan bahagia.Pagi itu. Eve berjalan ke ruang ganti untuk menghampiri Kaivan. Usia kandungannya sudah sembilan bulan. Perutnya sudah besar dan Eve mulai kesusahan melakukan aktivitasnya.“Biar aku bantu pakaikan dasi,” ucap Eve saat menghampiri Kaivan.Kaivan menoleh. Dia melihat istrinya itu berjalan mendekat.“Kalau lelah duduklah saja, Eve.”Eve hanya tersenyum. Dia meraih dasi Kaivan dan kukuh ingin mengikat dasi.“Duduk terus juga capek,” balas Eve.Dia mengikat dasi dengan seksama.Kaivan memperhatikan Eve yang sedang mengikat. Semakin besar kandungan Eve, istrinya itu terlihat semakin cantik.“Sudah,” ucap Eve.“Terima kasih,” balas Kaivan diakhiri sebuah kecupan di kening.Perhatian Kaivan ke perut Eve. Dia mengusap lembut p
“Apa Dokter tidak salah memeriksa?”“Sudah dipastikan lagi?”Eve merasa kepalanya sangat berat. Samar-samar dia mendengar suara Kaivan dan Maria. Dia pun berusaha untuk membuka mata sampai akhirnya melihat dua orang itu berdiri di dekatnya dengan ekspresi wajah panik.“Sayang.” Eve memanggil dengan suara lirih.Kaivan menoleh ketika mendengar suara Eve. Dia segera menghampiri istrinya itu.“Bagaimana perasaanmu? Mana yang sakit?” tanya Kaivan sambil menggenggam telapak tangan Eve.Maria juga ikut mendekat ke ranjang karena sangat mencemaskan Eve.“Aku di mana?” tanya Eve dengan suara berat.“Di rumah sakit, tadi aku dihubungi kalau kamu pingsan, jadi aku membawamu ke sini,” jawab Kaivan.Eve mengangguk pelan. Dia memang masih merasa sakit kepala.Kaivan dan Maria menunggu dengan sabar sampai Eve sepenuhnya sadar. “Aku tidak tahu kenapa bisa pingsan, maaf sudah membuat kalian cemas,” ucap Eve lirih.“Untuk apa minta maaf. Kami malah cemas kalau terjadi sesuatu padamu, tapi untungnya ti
Setelah berjuang sendiri, sekarang ada tangan yang bisa Eve genggam erat. Dia bagai Cinderella yang akhirnya menemukan sang pangeran, diratukan dan dicintai begitu dalam oleh pria yang bahkan sekalipun tak pernah ada di dalam mimpinya.Pernikahan Eve dan Kaivan sudah satu tahun berjalan. Pagi itu Eve membantu pelayan di dapur menyiapkan sarapan, sudah menjadi kebiasaan meski para pelayan dulu sering melarang.“Ini sudah semuanya, ditata di meja, ya.” Eve memberi instruksi setelah selesai memasak.“Baik, Bu.”Eve meninggalkan dapur. Dia pergi memanggil Maria sebelum membangunkan Kai dan Kaivan.“Ibu sudah bangun?” Eve masuk kamar untuk mengecek Maria.“Sudah, Eve.” Suara Maria terdengar dari kamar mandi.“Sarapannya sudah siap, aku mau bangunin Kai dan Kaivan dulu,” ucap Eve.Setelah mendengar balasan Maria dari dalam kamar mandi. Eve segera keluar dari kamar sang mertua, lantas pergi ke lantai atas. Semalam Kai merengek ingin tidur bersama mereka, sehingga pagi ini putra mereka yang s
Kaivan baru saja keluar dari kamar mandi. Dia melihat Eve yang berbaring memunggunginya. Apa Eve sudah tidur?Kaivan naik ke ranjang. Dia bergeser mendekat ke arah Eve berbaring, lantas menyentuh lengan wanita itu.“Eve, kamu sudah tidur?” tanya Kaivan. Dia bahkan sengaja meletakkan dagu di lengan Eve.Eve sebenarnya sangat panik dan gugup. Dia berpikir untuk tidur lebih dulu sebelum Kaivan selesai mandi, tapi kenyataannya dia hanya bisa memejamkan mata dan tidak bisa jatuh ke alam mimpi, membuatnya sekarang malah semakin cemas.Ini memang bukan malam pertama baginya, tapi lamanya waktu tidak pernah berhubungan seperti itu, tentu membuat Eve merasa ini seperti yang pertama baginya..“Kamu lelah, hm?” tanya Kaivan. Dia tahu Eve belum tidur karena kelopak mata Eve tampak bergerak.Kaivan terus meletakkan dagu di lengan Eve, dia menatap gemas pada Eve yang berpura-pura tidur. Sampai akhirnya dia melihat Eve membuka mata.“Apa kamu lapar?” tanya Eve seraya menatap pada Kaivan.Kaivan meng
“Kai mau pulang cama Mami dan Papi.”Kai bersidekap dada. Dia tidak mau beranjak dari kursinya saat Maria mengajak pulang.Maria, Bram, dan Alana saling tatap, bagaimana caranya membujuk Kai agar Kaivan dan Eve bisa menikmati malam pengantin.“Atau Kai mau tidur di rumah Paman?” tanya Bram membujuk.“Ih … Kai maunya cama Mami dan Papi.” Kai turun dari kursi. Dia berlari menghampiri Kaivan dan Eve yang sedang bicara dengan Dania.“Mami, Papi. Kai mau ikut kalian, tapi Nenek cama Paman malah mau ngajak pulang!” teriak Kai begitu keras.Kaivan dan Eve menoleh bersamaan, mereka terkejut melihat Kai berteriak-teriak seperti itu.“Kenapa, hm?” tanya Eve sedikit membungkuk agar bisa menatap sang putra.“Itu, macak Kai curuh pulang cama Nenek, Kai ‘kan maunya cama Mami dan Papi.” Kai mengadu sambil menunjuk ke Maria dan Bram yang sedang berjalan menghampiri.Kaivan menoleh ke Maria, tentu dia paham dengan niatan Maria mengajak Kai pulang.“Kai, nanti Mami dan Papi akan pulang, tapi setelah me
Pernikahan Kaivan dan Eve berjalan dengan sangat lancar. Mereka sudah sah menjadi suami istri, kini tradisi melempar bunga pun akan dilakukan.Beberapa karyawan lajang yang diundang ke pesta itu sudah bersiap di depan altar, begitu juga dengan Dania yang ikut bergabung untuk mendapatkan buket bunga milik Eve. Siapa tahu selanjutnya dia yang akan menikah.Eve tersenyum penuh kebahagiaan melihat orang-orang antusias ingin merebut buket bunganya. Dia melihat Dania yang memberi kode agar dilempar ke arah Dania, membuat Eve semakin menahan senyum.Eve memunggungi para wanita yang siap menerima buket miliknya. Master Ceremony mulai berhitung, lalu di hitungan ketiga, Eve melempar buket bunga miliknya.Buket itu terlempar cukup kuat. Dania begitu antusias ingin menangkap, tapi banyaknya wanita di sana, membuat buket itu terpental beberapa kali hingga akhirnya jatuh ke tangan seseorang.Semua wanita kini menatap pada orang yang memegang buket itu.“Brian.” Eve terkejut tapi juga merasa lucu ka
Eve berada di salah satu kamar yang terdapat di hotel tempat pesta pernikahan diadakan. Dia datang lebih awal karena harus dirias oleh MUA yang sudah ditunjuk oleh Kaivan.Alana menemani Eve di kamar. Dia terus memperhatikan Eve yang sedang dirias sampai akhirnya siap.“Kamu sangat cantik,” puji Alana seraya menghampiri Eve yang baru saja selesai dirias.Eve menatap Alana dari pantulan cermin. Dia tersenyum malu karena mendapat pujian dari kakak iparnya itu.Alana menatap cukup lama pada Eve, lalu mengeluarkan sesuatu dari tas kecil yang dibawanya.Eve memperhatikan. Tidak tahu apa yang akan diberikan oleh kakak iparnya itu.“Kakakmu dan aku sepakat memberikan ini sebagai hadiah pernikahanmu, memang tidak mewah dan mahal, tapi kami berharap ini cukup berkesan untukmu,” ujar Alana memberikan kalung dengan liontin berinisial E.Eve sangat terkejut. Dia sampai menggeleng kepala pelan karena tak bisa menerima hadiah itu. Dia tahu kondisi ekonomi kakak dan kakak iparnya sedang susah, tapi
Hari pernikahan Eve dan Kaivan tiba. Malam sebelum acara pernikahan, Eve berada di kamar sedang istirahat setelah makan malam.“Eve, boleh aku masuk?” tanya Alana setelah sebelumnya mengetuk pintu.“Masuklah, Kak.”Alana membuka pintu kamar Eve. Dia melihat adik iparnya itu sedang duduk memegang ponsel.“Ada apa, Kak?” tanya Eve sambil menggeser posisi duduknya di ranjang untuk memberi tempat agar Alana bisa duduk.Alana duduk di dekat Eve. Dia menatap pada adik iparnya itu.“Besok kamu akan menikah. Aku dan kakakmu selama ini menyadari, belum pernah memberikan yang terbaik, terutama aku yang sering sekali bersikap tak baik karena rasa iri padamu. Tapi, semua sudah berlalu. Aku tidak bisa memberi apa pun selain mendoakan yang terbaik untuk kebahagiaanmu,” ucap Alana sambil menggenggam erat telapak tangan Eve.Bola mata Eve berkaca-kaca. Dia mengulum bibir untuk menahan tangisnya.“Tidak memberi apa-apa bagaimana, Kak? Aku bisa kuliah dan tumbuh juga karena usaha kalian. Ya, meski Kak
Siang itu Eve pergi ke perusahaan Kaivan. Dia mengantar makanan karena Kaivan berkata jika sangat sibuk.“Kamu masih sibuk?” tanya Eve saat masuk ruangan Kaivan.Kaivan menatap pada Eve. Melihat calon istrinya itu datang, Kaivan langsung menutup tirai dinding kaca agar para staff tak melihat apa yang dilakukannya.“Kenapa tirainya ditutup?” tanya Eve keheranan.Kaivan mendekat pada Eve, lalu mengecup pipi wanita itu.“Biar mereka tidak melihat ini,” jawab Kaivan.Eve terkejut sampai memukul lengan Kaivan karena gemas.Eve mengajak Kaivan duduk. Dia membuka pembungkus makanan agar Kaivan bisa segera menyantap makan siang.“Aku sebenarnya masih harus memilah berkas, sepertinya tidak bisa makan siang dulu,” kata Kaivan.Eve menatap pada Kaivan, lalu membalas, “Kamu tetap harus makan meski sedang sibuk. Kamu memilah berkas, biar aku yang menyuapi.”Senyum mengembang di wajah Kaivan saat mendengar ide Eve. Dia mengajak Eve ke meja kerja, memosisikan kursi lain di samping kursi kerjanya agar