“Ahhh …”Eve mengerang ketika merasakan deru napas seorang pria menggelitik area lehernya.‘Apa yang—?’ batin Eve seiring mengendalikan dirinya untuk sadar dan mencari tahu identitas sosok yang kini menindih tubuhnya. Namun, gelapnya kamar dan efek alkohol membuat pandangannya kabur.“Ngh … Ah!”Lenguhan keras terlontar dari bibir Eve, merasakan sesuatu yang keras mulai mendorong dan memaksa masuk dari bawah. “J-jangan …,” rintih Eve, tahu bahwa hal yang terjadi ini salah.Pria itu sempat menghentikan gerakannya sebentar. Namun, desakan gairah yang tak tertahankan menuntutnya untuk kembali bergerak.Eve mencoba mendorong bahu pria itu. Akan tetapi, karena perasaan tidak nyaman dari bawahnya, ia justru mencengkram, dan membuat pria yang ada di atas tubuhnya semakin memberikan sentuhan yang membuat Eve menggeliat, sensasi hangat dan geli mengalir ke seluruh tubuh Eve, pria itu mengunci kedua tangannya di atas kepala, membuatnya tak berdaya di bawahnya.“Aku tidak bisa menahannya lagi.”
Eve tergagap, berusaha mencari alasan yang masuk akal. “Aku … hanya jalan-jalan cari udara segar,” jawabnya setenang mungkin, meskipun terlihat dari wajahnya yang sudah pucat.Grisel tampak tak terlalu yakin, namun mengabaikan. “Baiklah, tapi sebaiknya kamu cepat bersiap. Outbound akan mulai sebentar lagi.” katanya sebelum berlalu.Setelah Grisel pergi, Eve kembali ke kamarnya, duduk di tepi ranjang dengan pikiran kacau. Malam itu menjadi mimpi buruk untuknya, berada di antara kecemasan dan ketakutan, Eve hanya bisa meratap dalam hati, berharap bahwa kejadian semalam tak akan pernah terungkap.**Sementara itu, Kaivan terbangun dengan rasa pusing yang hebat. Ia melihat pakaiannya sudah berserakan di lantai, kening pria itu berkerut.“Apa yang terjadi?” Suara dalamnya terdengar bergumam.Beranjak dari tempat tidur dan berusaha mengenakan pakaiannya, Kaivan tiba-tiba saja menginjak sesuatu. “Bros … siapa ini?” ucap Kaivan usai memungut benda berkilau tersebut.Seketika, ingatan samar me
Grisel terkejut, karena baru pertama kalinya ia mendengar Kaivan sedikit membentak.“O-oh, ya … kamar 204, Pak—” Grisel sampai tergagap karena panik.Setelah itu Kaivan pergi meninggalkan Grisel dan menuju ke dalam Vila lagi.Kondisi Vila sangat sepi, karena para pegawai ikut acara outbound pagi ini. Hingga Kaivan melihat siluet seorang wanita yang tengah berjalan ke arah pantry.Eve menggigit bibir bawahnya, berusaha meredam ketegangan yang menjalar di seluruh tubuhnya. Ia hanya ingin menghilang. Kenangan akan tadi malam membuatnya merasa seolah dikelilingi oleh bayang-bayang kelam. Setiap kali ia memikirkan Kaivan, rasa hancur menggerogoti hatinya. “Bagaimana jika dia tahu?” pikirnya, wajahnya semakin pucat.Di saat bersamaan, Eve yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri pun menabrak tubuh seseorang.“M-maaf, aku—” Perkataannya terpotong ketika kepalanya menengadah ke atas, melihat siapa pria yang baru saja ia tabrak. “P-pak Kaivan … maaf …” Eve memundurkan tubuhnya seraya menund
Eve bergegas kembali ke kamarnya, menutup pintu dengan gemetar. Begitu berada di dalam, dia langsung menuju laci meja, membuka lemari, dan memeriksa setiap sudut kecil tempat di mana brosnya ia simpan. Pencariannya semakin intens seiring dengan detak jantung yang tak terkendali, tapi hasilnya tetap sama, bros itu tidak ada. Hanya ada satu kemungkinan yang memenuhi pikirannya, dan pikiran itu membuat dadanya semakin sesak, bros yang saat ini berada di tangan Kaivan adalah miliknya.Ketakutan memenuhi hatinya. “Bagaimana bisa sampai di sana?” pikirnya, berusaha mengingat setiap detail malam sebelumnya, meskipun semuanya terasa samar dan buram. Dengan cepat, Eve mengunci pintu kamarnya, berusaha mengumpulkan pikirannya yang berantakan.Di sisi lain, Kaivan tengah memeriksa sesuatu, menatap layar CCTV yang menampilkan rekaman malam sebelumnya. Bersama petugas, dia memutar ulang rekaman dari semua kamera di lorong dan koridor vila, berharap menemukan petunjuk tentang siapa yang masuk ke kam
Setibanya di depan asrama, Grisel mematikan mesin mobil dan menoleh kepada Eve dengan senyum tipis yang tampak seperti seringai terselubung. “Eve, kau benar-benar masih tinggal di sini, ya?” Grisel melirik ke arah bangunan asrama dengan tatapan yang mencerminkan penilaian terselubung. “Padahal kalau tinggal bersama kakakmu, hidupmu pasti lebih nyaman. Apa kau tidak merasa … kesepian?”Eve menghela napas pelan, menahan desakan untuk membalas komentar Grisel yang seakan mencampuri pilihannya. Baginya, asrama ini adalah tempat di mana ia merasa lebih bebas, jauh dari pandangan tajam dan kontrol keluarga. Di sini, ia bisa hidup tanpa dihakimi, meski sederhana. “Aku lebih nyaman di sini,” jawabnya singkat, tanpa menunjukkan emosi yang berlebihan.Grisel menatapnya, seolah mencari celah di balik jawaban singkat itu. “Yah, setiap orang punya pilihan hidup, kurasa,” katanya sambil tersenyum sok mengerti. “Tapi, kau tahu kan, kalau kau butuh teman untuk berbicara atau ... ya, semacamnya, aku se
“Ini peringatan terakhirku,” kata Kaivan dengan nada rendah namun penuh ketegasan. “Jangan datang lagi menemui Ibuku. Urusan kita hanya antara kau dan aku, jangan melibatkan dia.”Setelah kejadian di kamar rumah sakit ibunya, Kaivan beranjak ke halaman rumah sakit, di mana Damian, pria yang sejak lama mengusik ketenangannya telah menunggu dengan sikap santai dan senyum angkuh. Kaivan berdiri tegap di depannya, ekspresinya datar namun penuh kewaspadaan.Damian hanya mengangkat alis, ekspresinya penuh ejekan. “Ah, Kaivan, selalu melindungi, ya? Tapi ingat,” katanya sambil menepuk pundak Kaivan dengan gerakan yang terlalu akrab untuk seseorang yang penuh niat licik, “berhati-hatilah dengan orang di sekitarmu. Kau tak pernah tahu siapa yang benar-benar berada di pihakmu.” Tatapan matanya penuh makna, seolah ada ancaman tersembunyi di balik setiap katanya.Dia tahu Damian bukan orang yang bisa dipercaya, dan kehadirannya di sini tentu bukan tanpa maksud. Selalu ada sesuatu yang terselubung,
Eve menelan ludah susah payah. “Si-siang, Pak.” Eve mencoba menyapa.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Kaivan lalu melirik ke dalam. Ini aneh, kenapa Eve ada di kamar ibunya? Bukankah Maria tidak mengenal Eve? “Sa-saya ….” Eve ingin menjawab, tapi terdengar suara Maria dari dalam.“Kai, dia membantu ibu tadi.” Suara Maria membuat Kaivan kembali menatap pada Eve.Eve lega Maria menjelaskan, setidaknya dia tidak perlu berkata-kata karena bibirnya terasa bergetar.“Sa-saya permisi, Pak,” kata Eve tergagap lalu mencoba melewati Kaivan berdiri. Tubuhnya mendadak lemas, jangan sampai dia pingsan di hadapan atasannya itu.Kaivan melihat wajah Eve yang masih pucat seperti saat outbound, sehingga dia menghadang langkah Eve lagi."Kenapa kamu ada di rumah sakit?” tanya Kaivan.Eve gelagapan, tapi dia berusaha tenang.“Itu … saya baru periksa karena demam. Mungkin karena kelelahan,” jawab Eve tanpa berani menatap pada Kaivan. Dia meremas jemari untuk menutupi kegugupannya.Kaivan diam mena
“Pa-pak Kaivan.”Eve sangat panik saat melihat Kaivan di sana, menolong dirinya.“Kamu mau pulang?” tanya Kaivan dengan nada suara datar.Eve mengangguk-angguk.Tiba-tiba Kaivan memegang pergelangan tangan Eve, membuat Eve sangat terkejut.“Ada apa, Pak? Kenapa Anda menarik saya?” tanya Eve benar-benar panik. Tiada hari tanpa kepanikan saat bertemu apalagi berinteraksi dengan Kaivan.Kaivan tak banyak bicara, dia mengajak Eve menuju mobilnya untuk mengantar pulang sesuai permintaan Maria.Eve sendiri sampai menelan ludah susah payah, bingung dan panik kenapa Kaivan mengajaknya tanpa kata.“Masuk!” perintah Kaivan lalu berjalan memutar menuju pintu kemudi.Eve membeku di tempatnya, panik dan bingung yang dirasakan.Kaivan melihat Eve yang masih diam, lalu kembali memberi perintah, “Masuk, aku antar pulang!”Eve mengangguk tapi dengan ekspresi terkejut. Dia bergeser ke pintu belakang mobil, berniat duduk di belakang saja selagi Kaivan menyetir.Namun, dia juga merasa jika tak sopan, baga
“Kai cangat cenang,” celoteh Kai saat sedang mengganti baju bersama Eve.Eve hanya tersenyum menanggapi ucapan putranya itu.“Mami, kalau papinya Kai itu Paman Kaivan, pacti menyenangkan, kan? Coalnya papi Kai juga tidak pernah pulang, tidak pernah ngajak main, tidak pernah telepon Kai. Jadinya Kai ‘kan cedih.”Eve terdiam mendengar ucapan Kai. Dia menatap Kai sambil mencoba tersenyum. Mungkin dia salah karena selama ini berbohong, tapi dia juga tidak punya pilihan.“Kai bobok dulu, ya. Sudah waktunya tidur siang,” ucap Eve tak menanggapi perkatana putranya.Kai naik ke ranjang. Eve duduk di tepian untuk menemani sebentar.“Mami, apa cebenarnya Kai tidak punya papi?” tanya Kai lagi.Eve terkejut tapi berusaha tenang.“Siapa yang bilang tidak punya?” tanya Eve dengan lembut. Dia tersenyum agar Kai tidak sedih.“Paman Damian bilang, kalau Kai curuh milih Paman Damian atau Paman Kaivan buat jadi papi, Kai milih mana? Kan Kai punya papi, kenapa haruc milih?” Eve benar-benar gelagapan dan
“Kamu dulu, apa yang mau kamu katakan,” ucap Kaivan.Eve melipat bibir, lalu memberanikan diri bertanya, “Aku dengar, Grisel dikeluarkan dari perusahaan. Apa itu ada hubungannya dengan masalah Kai?”Kaivan tersenyum tipis, lalu membalas, “Dia memang layak mendapatkannya.”Eve terkejut. Dia tahu Kaivan tidak suka mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaan, apa itu artinya sikap Kaivan yang sekarang memang karena masalah pribadi.“Bukankah tidak baik jika Anda menyangkutpautkan masalah pribadi dengan pekerjaan?” tanya Eve. Dia tidak mau jika sampai Kaivan dianggap atasan yang arogan.“Bukan hanya masalah Kai saja,” balas Kaivan lalu menenggak air miliknya lalu kembali bicara, “dia berani menipu atasannya, lalu juga bersikap tak layak pada staffnya. Bukankah wajar jika aku membuat keputusan tegas?”Kaivan menatap Eve. Sorot mata pria itu sangat berbeda dari biasanya.Eve hanya mengangguk-angguk sambil menghindari tatapan mata pria itu.“Apa yang mau Anda katakan?” tanya Eve karena tadi
“Kai mau jalan-jalan ke mana?” tanya Kaivan sambil menggandeng Kai berjalan keluar dari lift.“Kai tidak tahu,” jawab bocah kecil itu sambil mengedikkan bahu.Eve berjalan di belakang Kaivan dan Kai. Dia mengamati Kaivan yang selalu tersenyum pada Kai.Dulu saat bekerja bersama pria ini, Eve jarang melihat Kaivan tersenyum karena pria itu sangat dingin. Namun, sekarang dia hampir melihatnya tiap menit karena adanya Kai.“Kamu mau jalan-jalan ke mana, Eve?”Tiba-tiba saja Kaivan bertanya pada Eve, membuat wanita itu terkejut dibuatnya sampai menghentikan langkah.Kaivan dan Kai menatap Eve yang baru tersadar dari lamunan.“Anda yang mengajak, jadi Anda saja yang menentukan,” balas Eve tetap bicara formal pada Kaivan.Kaivan mengangguk.Di depan lobi. Mobil Kaivan sudah siap di sana. Dia memang menyuruh sopir untuk mengantar mobil ke sana agar bisa digunakan mengajak Kai jalan-jalan.“Kuncinya, Pak.” Sopir memberikan kunci mobil itu saat Kaivan menghampiri.Kaivan menerima kunci mobil i
“Mami, kenapa Paman Kaivan tidak ke cini lagi? Mami marahin Paman, ya? Makanya nggak jenguk Kai.” Kai bicara sambil menatap sang mami yang sedang membuatkannya susu.Eve berhenti mengaduk susu ketika mendengar pertanyaan Kai. Sudah tiga hari Kaivan tidak datang mengunjungi Kai atau sekadar menghubungi. Mungkinkah terjadi sesuatu pada Kaivan? Apalagi terakhir kali melihat, Kaivan berkelahi dengan Damian. Mungkinkah Kaivan sakit setelahnya?Eve mencoba menepis pemikiran itu. Lagi pula bisa saja Kaivan sibuk? Untuk apa dia cemas juga?“Mungkin Paman Kaivan sibuk,” jawab Eve sambil kembali mengaduk susu. Setelahnya Eve memberikan susu itu pada Kai.“Kai mau telepon Paman. Kai ‘kan kangen. Paman janji mau jenguk Kai, kok malah nggak pernah datang?” Kai terlihat sedih.Eve menoleh pada ponsel yang tergeletak di meja. Haruskah dia menghubungi Kaivan? Jika dia menghubungi, apa pria itu akan besar kepala? Eve punya banyak pertimbangan.“Mami.” Kai menatap Eve dengan bola mata berkaca-kaca.“Ka
Maria sedang menikmati teh di teras rumah saat sore hari. Dia melihat mobil Kaivan baru saja berhenti di depan garasi. Wanita itu langsung menegakkan badan untuk melihat Kaivan.“Kamu sudah pulang.” Maria menyambut antusias.Namun, senyum wanita itu memudar ketika melihat ujung bibir putranya terluka.“Kenapa bibirmu?” tanya Maria.Kaivan menghentikan langkah, dia menyentuh ujung bibirnya. Kaivan tidak mungkin jujur soal perkelahiannya dengan Damian karen dia tahu jika sang ibu mengenal Damian sebagai sosok yang baik dan penurut.“Tadi ada masalah sedikit di kantor dan tidak sengaja ada insiden,” jawab Kaivan.“Bagaimana bisa? Lagian kenapa kamu bisa terluka?” Maria tetap mencecar.“Aku baik-baik saja,” ujar Kaivan tidak mau bercerita.Maria menyipitkan mata, tapi tidak bisa memaksa jika Kaivan tidak mau bercerita.“Oh ya, kapan ibu bisa bertemu Kai? Ibu tidak sabar, ingin melihat seperti apa wajah cucu ibu,” ucap Maria.Kaivan sudah berjanji akan mempertemukan Maria dengan Kai, sehin
Damian menatap Grisel yang duduk berhadapan dengannya. Dia menengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan, jam makan siang sudah terlewat, kenapa Grisel masih bisa menemuinya.“Kenapa wajahmu babak belur?” tanya Grisel saat melihat ada memar di dagu dan pipi Damian.Damian menyentuh dagu lantas menggerakkan rahangnya. Alih-alih menjawab pertanyaan Grisel, Damian malah membahas hal lain.“Apa sebenarnya yang kamu inginkan lagi?” tanya Damian sambil menatap datar pada Grisel.Grisel menyesap latte yang dipesannya, lalu menatap Damian yang memasang wajah serius.“Aku ingin membicarakan tawaran waktu itu. Tawaran itu masih berlaku,” ujar Grisel.Damian langsung tersenyum miring seperti mengejek.“Kenapa kamu tersenyum begitu? Apa ada yang salah? Bukankah kalau berhasil kamu bisa mendapatkan Eve tanpa gangguan Kaivan?” Grisel mencoba memprovokasi.Damian menghela napas kasar. Dia mencondongkan tubuh ke arah meja, lalu meletakkan kedua tangan di atas meja.“Menjadi teman dari musuh mus
Eve hendak membereskan meja setelah Kaivan dan Damian pergi. Namun, saat pergi ke meja makan, dia melihat ponsel tertinggal di sana. Eve mengambil ponsel itu untuk melihat milik siapa, saat menyalakan layar depan, Eve terkejut dengan foto yang terpajang di depan.Eve segera berjalan ke depan untuk mengejar dan mengembalikan ponsel itu, tapi alangkah terkejutnya dia saat melihat apa yang terjadi di depan pintu.“Apa yang kalian lakukan?” tanya Eve dengan ekspresi wajah syok.Bagaimana tidak? Damian dan Kaivan malah sedang berkelahi. Bahkan kini Kaivan duduk di atas perut Damian dengan satu tangan mengepal siap memukul wajah Damian.Kaivan dan Damian menatap ke arah Eve. Mereka melihat Eve yang tampak kesal. Kaivan yang siap menghantam wajah Damian, seketika berhenti karena mendengar suara Eve.Kaivan melepas cengkraman dari kerah kemeja Damian sambil sedikit mendorong sampai punggung Damian membentur lantai, lalu berdiri dari atas tubuh sepupunya itu kemudian mengusap ujung bibir yang
Raut wajah Damian terlihat tak senang saat mendengar Kai sangat berharap bertemu Kaivan. Apalagi Kai langsung berlari ke pintu untuk melihat siapa yang datang.‘Apa benar yang datang Kaivan?’ batin Damian.“Paman Kaivan!”Damian mendengar suara teriakan Kai yang begitu lantang. Ternyata benar Kaivan datang, untuk apa Kaivan menemui Eve dan Kai?Di depan, Eve terkejut melihat Kaivan datang apalagi sekarang ada Damian di dalam.“Kamu sudah makan?” tanya Kaivan pada Kai. Dia memperlihatkan bawaan yang dibawa.“Tadi Mami cudah nyuruh Kai makan, tapi Kai nggak mau makan karena nggak ada Paman Kaivan,” jawab Kai berceloteh.Kaivan tersenyum lalu memandang pada Eve yang berdiri di belakang Kai.“Kalau begitu, makan bersama paman, ya.” Kaivan kembali memandang pada Kai lalu siap mengajak masuk.“Cama Paman Damian juga, ya.” Kaivan menghentikan langkah. Dia menatap Kai lalu pada Eve secara bergantian.“Damian?”Eve melipat bibir sambil memalingkan muka.Saat masuk, ekspresi wajah Kaivan beruba
“Mami, kapan Paman Kaivan ke cini?” tanya Kai sambil menusuk-nusuk makan siangnya menggunakan garpu.Eve menghela napas kasar, lalu menatap pada Kai.“Paman Kaivan masih kerja, Kai jangan berharap dia datang, ya? Nanti dia tidak fokus bekerja,” kata Eve mencoba bersikap tenang meski ada rasa mengganjal saat Kai membahas soal Kaivan.Kai memasang wajah cemberut. Dia makan dengan malas bahkan sudah hampir setengah jam tapi makanan di piring hanya terjamah sedikit.“Kai makan yang benar agar cepat habis dan Kai lekas sembuh,” ujar Eve sambil mempertahankan senyumnya.“Iya.” Kai menanggapi malas.Saat Kai kembali makan, terdengar suara bel dari pintu depan. Eve dan Kai menoleh bersamaan.“Itu pacti Paman Kaivan!” Kai langsung turun dari kursi lalu berlari menuju pintu.Eve sangat terkejut dengan yang dilakukan Kai. Dia mengejar Kai yang sudah mencapai pintu.Kai langsung membuka pintu, tapi senyumnya memudar ketika melihat siapa yang berdiri di depan pintu.“Halo, Kai.” Damian berdiri di