Menahan bibir yang gemetaran dan dada bergejolak saat mendengar nama ‘Renata Hartadi’, aku mengatur irama nafas agar bisa meredam emosi.
Sengaja kuteguk secangkir moccachino dengan mengulur waktu, sambil memikirkan jawaban yang tepat. Sementara Lexa pura-pura sibuk dengan ponselnya. Ia yang tahu permasalahanku, terkesan tak mau menanggapi keheranan rekannya yang lain tentang nama itu.
“Apa dia ada hubungan saudara dengan suamimu, Nona Bos?” Kay mendahuluiku dengan pertanyaan menohoknya.
“Kulihat beberapa hari lalu dia datang ke kantor, aku melihatnya bersimpuh di kakimu sebelum kau ajak masuk ke dalam,” Maura mencoba mengingat lagi kejadian tempo hari. Beruntung, hanya Lexa dan Rey yang melihatku saat menendang Renata.
“Apa maksud kedatangannya ke kantor kita?” Irene semakin serius ingin tahu.
Haruskah kujawab keingintahuan mereka, atau pura-pura tak mendengar saja? Kebetulan aku sedang me
Rey mengangguk. “Ayo, Nona. Anda aman bersama saya,” ucapnya.“Kau tak perlu bersikap terlalu formal padaku.”Dari pertama bertemu, ia terkesan kaku. Ya, aku memang bosnya tapi kurasa tak perlu sekaku ini.“Baik, Nona,” responnya sambil membungkuk.“No, Rey! Itu masih kaku!”Dia malah terkekeh, lucu juga melihatnya seperti itu. “Oke,” jawabnya seraya mengacungkan ibu jarinya.“Good! Ayo kita berangkat, tapi kamu janji ya, harus membawaku kembali ke sini. Aku tak mau pulang ke rumah dan tinggal seatap dengan Mas Kun!”*Aku meminta Rey untuk mengambil jalan ke arah Barat, penasaran dengan Lux Fashion Store yang tadi meneleponku. Entahlah, rasanya ada yang janggal hingga aku ingin melihat tempatnya secara langsung.“Kok aku baru tahu ada toko itu di sana ya, apa kau juga sama, Rey?” tanyaku.“Tokonya sudah buka seja
Aku merasa jijik pada Mas Kun, terlebih saat ingat apa yang telah dilakukannya dengan Renata. Perbuatan biadab yang memaksa seorang wanita mengaborsi kandungannya! Jujur, dalam hal ini aku merasa kasihan pada Renata. Namun, itulah karma yang harus ditermanya karena telah menghancurkan rumahtanggaku.“Ayolah, Nita. Tak ada lagi nama itu dalam pernikahan kita, dia telah tiada,” bujuk Mas Kun.Tak sedikit pun kulihat kesedihan di wajahnya. Bisa-bisanya dia bersikap demikian, begitu tenang setelah membunuh selingkuhannya? Seandainya bukan dia yang membunuh, setidaknya ada perasaan duka saat mengetahui orang yang dicintainya tewas mengenaskan. Namun, tak kulihat ada rasa kehilangan di wajah Mas Kun. Ia hanya telihat lelah dan kurang tidur.Suster membuka pintu ruangan, ia selesai memberikan obat dan memeriksa Bobbi. Kuabaikan dulu Mas Kun selagi ngobrol dengan suster.“Anak Anda sudah bisa pulang besok pagi, panasnya sudah reda,&r
Saat kupejamkan mata karena terlalu takut, tiba-tiba saja tubuhku ada dalam rangkulan Rey. Dia menyelamatkanku dari ancaman Mas Kun. Kemudian, dengan cepat Rey membawaku pergi dari rumah sakit.Kini aku berada di dalam mobil. Tas dan semua barangku sudah ada di sini. Entah kapan Rey memindahkannya.“Rey, kenapa kau membawaku ke sini?” tanyaku saat Rey menyalakan mesin mobil.“Aku sedang menyelamatkanmu, Nona,” jawabnya.“Ta-tapi aku belum sempat melihat Bobbi dan berpamitan padanya. Bagaimana nanti jika dia mencariku ketika bangun dari tidurnya? Aku merasa sedih karena harus meninggalkan Bobbi dengan cara seperti ini.”“Tuan Kun tidak akan mencelakai anaknya, tapi ia bisa saja mencelakaimu, Nona. Itulah mengapa kau harus menyelamatkan diri, dan tak perlu mengkhawatirkan Bobbi,” jawab Rey bersamaan dengan mobil yang mulai melaju kencang.Aku dapat melihat Mas Kun melalui kaca spion, ia ber
“Kenapa, Nona?”Rey yang sedari tadi memperhatikanku, bertanya saat aku terkejut membaca e-mail ancaman dari Lux Fashion Store. Aku yakin, Willy lah yang mengirim e-mail itu. Sosok yang sama sekali belum pernah kutemui.“Rey, kau pernah bertemu dengan Willy?” Tanyaku pada Rey.Rey menggeleng. “Belum, Nona.”“Kau tahu orangnya?”Rey menggeleng lagi. Sementara Lexa yang sudah selesai menelepon Irene, bertanya padaku tentang Willy. Rupanya dia pun baru mendengar nama itu.“Dia adiknya Renata yang meneruskan bisnis Lux Fashion Store di seberang Hotel Crown. Apa lo juga baru tahu kalau toko itu ada di sana?” jawabku pada Lexa.“Kalau toko itu gue udah tahu dari sebulan yang lalu. Tapi gue gak tahu kalau ujung-ujungnya ada kaitan sama Renata. Kenapa emangnya?” Lexa menghampiriku. Aku memperlihatkan e-mail ancaman itu pada Lexa.Sementara Lexa membaca e-mail
Tidak! Tak mungkin jika Rina adalah Willy yang menerorku. Akumengenalnya sebagai anak tunggal, tak memiliki saudara. Sementara Willy, ia mengaku sebagai adik kandung Renata.“Sebentar lagi SwimSwim dan LaBella akan pailit, tidak ada toko yang mau menampung kedua produk itu. Hanya Madame yang masih memungkinkan, dia butuh banyak barang untuk dijual agar bisa memulihkan bisnisnya. Kalau tak percaya, lihat saja nanti. Biasanya Madame hanya akan menerima lima perusahaan terbaik, tapi kali ini ia pasti akan menerima lebih dari itu,” bisik Rina dengan senyuman yang menyerupai seringai penuh dendam.Sambil mendengarkan, mataku masih tertuju pada nama yang tertera di ID Card-nya, namun aku berusaha menyembunyikan rasa kaget dan takut. Terlebih, saat kudengar dua anak perusahaan Mas Kun sebentar lagi akan bangkrut menyusul Travelova dan Cookie. Ah, kenapa kau semakin payah mengurus bisnismu, Mas? Apakah karena terlalu sibuk dengan selingkuhanmu?Aku ter
Seketika Lexa terdiam mendengar jawabanku. Dia mengeluarkan ponsel dari saku blazer dan memperlihatkan sebuah artikel berita online.“Ke-kenapa jam tangan gue bisa ada di situ?” Aku mundur dua langkah, mulutku terkunci tak bisa berkata apa-apa lagi saat artikel itu memberitakan polisi menemukan barang bukti tersangka pembunuh Renata. Di sana dijelaskan lengkap dengan sebuah foto, jam tanganku ditemukan di kamar 305! Polisi telah menyimpannya sebagai barang bukti. Sebentar lagi akan dilakukan penyelidikan lebih lanjut, karena tewasnya Renata dicurigai sebagai kasus pembunuhan, bukan bunuh diri.“Itu adalah jam tangan yang gue kasih ke lo sebagai hadiah pernikahan. Gak ada lagi di dunia ini yang punya jam tangan sama seperti itu,” ucap Lexa.Aku kembali teringat ke hari di mana Lexa memberikan jam tangan itu untukku. Dengan sukacita ia mengucapkan selamat atas pernikahanku, seraya memberi jam tangan yang didesainnya
Benar juga yang dikatakan Mama. Tak dapat kupungkiri bahwa aku masih membutuhkan Mas Kun, terutama untuk kasus ini. Setidaknya, sampai aku berhasil lolos dari penyelidikan polisi.“Bagaimana, Nita? Apa kamu mengerti, sekarang?” tanya Mama, ketika melihatku tengah menimbang-nimbang.Namun hati ini masih merasa kesal padanya. Ia tak mau mengungkap kedekatannya dengan Renata, hatiku masih penasaran. Kutinggalkan saja Mama di ruangan, menuju ruangan Irene.Hari ini pengumuman lolos seleksi, Madame telah mengirimiku e-mail dini hari tadi. Aku belum membacanya, dan menyerahkan tugas itu pada Irene. Semua karyawan yang kutemui, menatap ketika aku berjalan di sepanjang koridor kantor. Sebagian ada yang mundur ketika aku melewati mereka, sebagian lagi malah berbisik-bisik. Gosip memang cepat menyebar. Pasti mereka sudah tahu berita jam tanganku ditemukan di lokasi tewasnya Renata.“Gak usah berlebihan, gue bukan pembunuh!” tegasku pada Iren
Dalam hitungan detik, mereka memborgol tanganku. Rey mengikuti kemana polisi membawaku pergi, ia tampak mengkhawatirkanku.*Ruangan ini sempit dan gelap, aku dibiarkan duduk seorang diri dengan segelas kopi di atas meja. Entah mengapa, lama sekali menunggu mereka datang. Aku ingin segera diinterogasi, tak tahan terlalu lama di ruangan pengap ini.Teringat nasihat Rey sore tadi, saat kami berhadapan dengan jarak yang sangat dekat— sebelum dia menunjukkan letak salad buah dari Mama Mira.“Berita sudah tersebar kemana-mana, mungkin sekarang polisi tengah datang kemari untuk menangkapmu,” ucapnya seraya menggenggam kedua tanganku. Jujur, aku terbawa perasaan saat Rey melakukannya.“A—apa yang harus kulakukan jika mereka datang?” tanyaku, gugup akibat tingkah Rey yang tak biasa.“Atur napas, dan tetap tenang. Ketika tim penyidik mengiterogasimu, mereka biasanya punya banyak pertanyaan menjebak, yang akan
Ia benar-benar murka ketika menemukan alat kontrasepsi milik Rey dan langsung membuangnya ke wajahku.“Berani-beraninya kau mencoreng wajahku! Jadi selama ini kau selalu membagi tubuhmu dengannya, hah?! Kau telah menjatuhkan harga diriku!” hardik Mas Kun sambil menendang dadaku.Dia memperlakukanku sama seperti aku memperlakukan Renata dahulu. Dari mulai membuatku jatuh tersungkur hingga menendang dadaku. Semua itu pernah kulakukan pada wanita binal itu. Hatiku panas, menganggap perlakuan Mas Kun padaku sebagai bentuk membalaskan dendam Renata. Aku bangkit dan dengan berani menghadapinya, kulupakan sejenak rasa sakit di kening dan dadaku.“Coba lihat dirimu sebelum meenilaiku. Pantaskah kau marah setelah mendapatkan pembalasan atas perselingkuhanmu dengan Renata?” Aku menantangnya. “Kau telah berselingkuh dengannya dan mencoreng wajahku di hadapan teman-teman sosialitaku. Mereka tahu kelakuan bejatmu! Tidakkah kau memi
Rey melayangkan tinju di udara, mungkin kesal karena aku tak tahu password itu. Dia mengusap-usap dagu dengan jari tangan dan menggigit bibirnya, seperti sedang berpikir keras.Tak sengaja pandangannya beredar ke seluruh dinding dan menemukan foto-foto yang dikirim Mas Kun terpajang rapi. Ia menunjukkan ekspresi cemburu dengan menatapku dalam-dalam. Rey telah berubah jadi kekasihku lagi."Aku tak suka kau memajang foto-foto ini!" katanya, ketus.Rey melepas foto itu satu per satu. Sementara aku tak ingat kapan pernah memajang foto itu di sini.Sejenak Rey berhenti, seperti teringat hal penting. "Apa ada sesuatu yang sangat erat dengan suamimu?" tanya Rey. "Misal tanggal lahir, artis favorit, nama anak, nama istri—"Aku langsung menjentikkan jari, seketika mendapat ilham tentang kemungkinan kata sandi yang dipakai Mas Kun. "Ya, Rey! Aku ada ide. Kita coba dengan nama Renata!" kataku, memotong omongan Rey. "N
Kurebahkan diri di sofa, kekhawatiran akan gagalnya rencana ini membuat pikiranku semrawut.Teleponku berdering lagi, Madame menghubungiku untuk kedua kali. Firasatku mengatakan hal buruk.“Sebuah mobil hitam mengejar mobilku. Dia sangat cepat!” ucapnya di ujung telepon dengan penuh ketakutan.“Siapa? Kau bisa lihat plat nomornya? Katakan padaku, akan ku-cek!”“Sulit, aku bahkan tidak fokus melihat jalan. Lengah sedikit saja, dia bisa menangkapku! Jika selamat, mungkin aku akan datang terlambat. Jika tidak, maka aku tak akan datang padamu sama sekali,” katanya.“Kau tidak sedang bercanda, kan? Atau jangan-jangan kau sengaja mengecohku agar bisa lari dan memberitahu Willy bahwa aku memegang chip-nya?!” Kecurigaan itu tiba-tiba muncul.Terdengar suara mesin mobil yang semakin kencang, Madame sepertinya benar-benar sedang berada dalam kesulitan. Apakah kecurigaanku salah, ataukah dia m
Ketika memasuki kamar pribadi Mas Kun, kulihat deretan foto Renata berjajar di setiap meja dan di sekeliling dinding—membentuk sebuah garis lurus yang mengelilingi kamar. Betapa terkejut dan geramnya diriku mengetahui Mas Kun masih menyimpan foto-foto Renata!“I told you. Aku belum sempat bereskan kamar ini, jadi kau pasti akan terkejut!” katanya seraya menurunkanku dari pangkuannya.Dengan memakai lingerie yang didesain mirip daster—jadi tak terlalu seksi—aku berjalan menyusuri setiap bagian kamarnya. Ini bukan saatnya menghiraukan rasa sakit hati atau pun rasa cemburuku, walau sebenarnya dadaku terasa sangat panas. Ingin rasanya kuhunjamkan pisau ke dada Mas Kun karena ia berani memajang foto wanita lain di rumah ini! Tapi, aku harus bisa menahan diri karena tujuanku adalah untuk mengambil dokumen perusahaan-perusahaannya.“Banyak sekali fotonya, Mas,” ucapku seraya berpura-pura melihat foto Renata satu per satu yang t
“Gue kangen dengan masa-masa bekerja sebagai SPG toko parfum. Dan Rey memiliki parfum yang dulu dijual di sana. Gue minta parfum itu darinya,” jawabku seraya menunjukkan parfum The Blue Lover pada Lexa.“Lo pake parfum cowok?” Lexa mengernyitkan dahi keheranan.“Apa salahnya?” tanyaku, langsung berlalu meninggalkannya di belakang.Lexa mengejarku, ia terus memanggil namun kuabaikan, merasa risih dengan pertanyaan-pertanyaannya. Perhatiannya kadang berlebihan, dia tipe yang overprotektif. Aku tak suka.Aku sedang memilih sayuran ketika Lexa menarik tanganku. “Apa?” tanyaku.“Tadi lo kemana di jam istirahat? Lo gak sama Rey, kan?”“Please, berhenti mengurusi hidup gue, Lex,” jawabku.“Nita … kenapa lo jadi berubah?”“Bukan gue yang berubah. Lo yang overprotektif!” jawabku.“Nita! Lo bener-bener berubah.
“Do you really feel good?” Rey memastikan perasaanku. “I mean, semoga kau tak merasa buruk setelah kita melakukannya barusan.”Aku termenung beberapa saat. Jujur, rasa bersalah itu pasti ada. Apalagi, baru kali ini aku melakukannya dengan pria lain.“Aku melihatmu tidak baik-baik saja. Oke, kita tak akan melakukannya lagi sampai kau benar-benar siap,” lanjut Rey.Dia bersandar ke sandaran ranjang, memperlihatkan dada bidang dan perut six pack-nya. Kami masih sembunyi di balik selimut, dan aku menjatuhkan kepalaku di dada Rey yang begitu menggoda. Saat itu juga tangan kekarnya meraih tubuhku, membenamkannya ke dalam pelukan hangat yang menenangkan.“Kenapa aku harus ragu dan merasa tidak baik, bukankah Mas Kun pun melakukan hal yang sama dengan Renata, dengan leluasa dan tanpa banyak berpikir macam-macam?” tanyaku.Rey mengecup keningku, “baguslah kalau begitu. Kau jangan khawatir, ak
Wanita paruh baya itu melangkah masuk dengan anggun, sama sekali tak menampakkan rasa bersalahnya setelah menghianatiku. Longdress yang ia kenakan menyapu lantai saat berjalan. Perpaduan menawan antara desain kekinian dan kain kualitas super premium. Madame memakai longdress keluaran perusahaanku.Kuabaikan kedatangan Madame dengan menyibukkan diri memeriksa report kerja dari Maura. Ia melaporkan keuntungan perusahaan dalam seminggu ini hampir mencapai dua milyar, dan itu adalah laba bersih perusahaan! Angka yang fantastis.“Selamat pagi, Nona.” Madame menyapa dengan muka semanis madu. “Hariku sangat indah berkat longdress produksi perusahaanmu.”Aku melihat pada jam tangan hadiah dari Mas Kun semalam. “Jam setengah sebelas. Ini sih bukan pagi lagi,” jawabku ketus.Madame tak kehilangan cara untuk menarik perhatianku. Ia menyodorkan selembar cek kepadaku. “Aku mencairkan laba penjualanmu di butikku. Sudah ku
*Belum larut malam, aku mempercepat laju mobil agar bisa menepati janjiku pada Bobbi untuk bermain dengannya. Sejak kembali bekerja, aku memang kehilangan banyak waktu bersamanya.Aku mengambil jalan pintas agar cepat sampai ke rumah. Bagasi mobil penuh dengan mainan Bobbi yang kubeli tadi sepulang dinner dengan Mama. Dia akan suka jika kubelikan mainan robot Superhero.Hingga tiba di rumah, keadaan sudah sangat gelap, semua lampu dimatikan. Kemana orang-orang? Baru jam sembilan, tak mungkin mereka sudah tidur.Sebuah pemindai wajah merekam gambarku, tak lama kemudian pintu rumah terbuka seiring dengan menyalanya lampu. Aku cukup terkejut melihat pemandangan di depanku. Mas Kun dan Bobbi menyambut dengan topi pesta terpasang di kepala, mereka juga memakai setelan jas.“What happened? Pesta apa ini?” tanyaku.Mas Kun memelukku. Ada Bobbi di sini, tak mungkin aku menghindar dari pelukan Mas Kun. “Aku bisa mengadakan pe
“Gue sama Rey masih ada urusan,” jawabku setelah menemukan ide untuk menjawab. Tak mungkin aku terang-terangan pada Lexa perihal hubungan gelapku dengan Rey, bisa-bisa dia hilang respon terhadapku.“Lantas, urusan seperti apa?” Lexa masih saja bertanya.Aku mengambil dokumen pernikahan dalam map merah, kemudian memperlihatkannya pada Lexa. “Rey datang untuk memberikan ini. Gue minta dia untuk mendapatkan dokumen ini, bagaimana pun caranya. Dan urusan kami bukan sampai di sini saja, gue masih membutuhkan Rey, dia bisa membantu banyak hal,” jawabku.Lexa mengambil map dariku kemudian membuka dokumen itu lembar demi lembar. Ia menatapku lagi. “Lo kekeh pengen menggugat cerai Kun?” tanyanya.Aku mengangguk. “Gue akan ambil semua hartanya dan pergi dari hidupnya,” jawabku.Mata Lexa membelalak, ia menatapku seakan aku ini orang jahat. “Kenapa lo lakuin itu semua?” Pertanyaan i