Setelah menghadapi kejadian menegangkan semalam, Ivy tetap kembali menjalani kehidupannya seperti hari-hari lalu. Meskipun kini ia harus lebih waspada seperti yang disarankan oleh Dave semalam.
Setiap paginya ia akan datang mengunjungi sang nenek yang tengah dalam perawatan rumah sakit karena komplikasi yang dideritanya. Tepat hari ini adalah waktu yang disepakati Ivy dan pihak administrasi untuk melunasi biaya rumah sakit.
"Permisi, saya ingin membayar biaya administrasi nenek saya. Atas nama Dwiyati."
"Baik Nona, mohon ditunggu sebentar ya. Kami akan melakukan pengecekkan terlebih dahulu."
"Baik." Ivy segera duduk di bangku terdekat. Di tangannya kini sudah ada sebuah amplop berisikan uang yang sebagian besarnya tampak lusuh. Ia berusaha merapikannya agar tidak terlalu buruk ketika dipakai untuk membayar nanti.
Tak menunggu lama, nama neneknya pun dipanggil. Petugas segera memberikan lembar kertas berisikan rincian rawat inap serta obat sang nenek. Ivy memperhatikan rincian di dalam kertas sembari mendengar penjelasan dari petugas. "Untuk pembayarannya cash atau debit?" Di akhir penjelasannya petugas langsung bertanya.
Ivy terdiam sejenak, ia hanya membawa uang cash 80% dari tagihan. "Emm, sus apa boleh saya bayar 80% cash, 20% nya lagi dengan kartu?"
"Tentu boleh, bisa saya terima cash nya?"
"Iya, ini. Terima kasih Sus." Kata Ivy sembari memberikan amplop berisikan uang yang ia bawa tadi.
Rasa gelisah sedikit menyelimuti Ivy. Ia tidak menyangka jika biayanya akan melebihi pendapatannya selama dua bulan bekerja. Bahkan sisanya ia harus memakai sedikit dari tabungannya. Dalam hati ia terus berdoa pada Tuhan agar segala urusannya dipermudah.
"Nona, pembayarannya sudah selesai. Terima kasih."
"Terima kasih kembali, Sus."
Setelah selesai melakukan pembayaran, Ivy segera berjalan menemui neneknya di kamar rawat inap yang digabungkan dengan pasien-pasien lain. Ia datang dengan senyuman seperti biasanya. Tetap berusaha agar sang nenek tidak mengetahui masalah yang ada di dalam pikirannya saat ini.
.
Ivy kembali bekerja usai menjenguk dan merawat sebentar sang nenek di rumah sakit. Setiap harinya Ivy bekerja selama 12 jam di toko yang dibangun Bu Lia di tengah desa. Ibu nya yang sudah tiada, ayahnya yang kabur dan hanya menyisakan neneknya yang sudah sering sakit di tambah kondisi ekonomi yang kurang baik. Kehidupannya yang tidak beruntung, memaksa dirinya menghentikan pendidikan dan harus mencari uang untuk menghidupi dirinya dan juga sang nenek.
“Terima kasih, hati-hati di jalan.” kata Ivy pada pelanggannya yang sudah selesai berbelanja.
Pribadi Ivy yang ramah dan lembut, membuat Bu Lia si pemilik toko mau menerima Ivy bekerja di tempatnya. Ivy juga sangat mudah mempelajari sesuatu, sehingga sangat mudah mengajarkan berbagai jenis pekerjaan dari 0 meskipun tingkat pendidikannya yang tidak tinggi.
“Ada tambahan lain, Pak?” tanya Ivy pada pelanggan yang memberikan sekaleng minuman alkohol di meja kasir.
“Tidak.”
“Baik, totalnya xxx ya.” Setelah Ivy menyebutkan jumlah belanjaan pria tersebut, ia menunggu uang pembayarannya diserahkan. Namun sepertinya pria itu hanya diam tak bergeming.
“Maaf Tuan, ini belanjaannya. Boleh saya terima pembayarannya?” Ivy kembali memastikan. Ia mencoba memberanikan diri melihat wajah pria yang lebih tinggi darinya. Tatapan pria itu tampak sangat menakutkan.
Tak lama pria itu membuka suara. “Kau yang bernama Ivy?”
“I-iya Tuan, ada yang bisa saya bantu?” Rasa takut tentu sedikit menyelimuti perasaan Ivy. Pasalnya nada suara pria itu terdengar begitu datar dan tegas. Ia takut kalau pria itu adalah orang jahat yang berhubungan dengan Melviano dan juga rekan-rekannya semalam.
Tanpa menjawab pertanyaan Ivy, pria itu langsung mengambil belanjaannya dan mengeluarkan uang selembar dengan jumlah besar lalu pergi dari sana. “Tunggu Tuan, kembaliannya!” Seru Ivy memanggil kembali pria itu yang sudah keluar dari Toko.
Dengan cepat Ivy mengambil kembalian dengan jumlah yang sesuai dan keluar dari meja kasir. Ia coba mengejar orang tadi. Namun saat ia sudah berada di luar, sudah tidak ada siapapun disana. Pria tadi seakan menghilang, bahkan Ivy mencoba melihat-lihat jalan lain tidak ada siapapun disana.
‘Kenapa pria tadi bisa mengetahui namaku?’ Batin Ivy.
.
Di lain tempat, di sebuah ruangan gelap dengan barang-barang yang berantakan dan berdebu. Terdapat beberapa pria berpakaian hitam putih dan pria lainnya yang tengah diikat di sebuah kursi dalam keadaan lemas. Di wajahnya terdapat aliran darah yang berasal dari luka di bibir dan pelipisnya, di bagian tubuh lainnya terdapat memar yang sudah menghitam.
“Katakan siapa yang memerintahkanmu?” Salah satu dari pria berpakaian hitam putih melontarkan pada pria yang diikat di hadapannya.
Selang beberapa menit tak ada jawaban dari pertanyaan tersebut. Hal ini membuat geram pria lainnya yang langsung memberikan pukulan keras di bagian kepala dengan sebilah kayu. “Katakan atau kau akan kehilangan semua kuku jarimu.”
Pria itu pun akhirnya membuka suara dan menjawab dengan tegas. “Aku tidak akan menghianati Master ku Dave. Jangan harap!”
Dave tersenyum menyeringai dan menadahkan tangan ke belakang. Seakan tau apa yang diinginkan Dave, rekannya memberikan sebuah tang yang sudah agak berkarat di tangannya. Dave segera mengencangkan sarung tangannya. "Ku tanya sekali lagi. Siapa yang memerintahkanmu?" Dave kembali bertanya tentu dengan posisi yang sudah bersiap di dekat tangan pria itu.
Lagi-lagi pria itu tidak menjawab. Geram karena diabaikan lagi, ia mencabut satu kuku pria itu tanpa ragu namun hanya suara erangan yang keluar dari mulut pria itu. Tampaknya ia menggigit bibir bawahnya begitu kuat sehingga mengalirkan darah segar dari sela-sela gigitannya. “Heh hebat juga kau bisa menahan rasa sakitnya.” Ucap Dave dengan perasaan yang semakin bersemangat.
“AAA HENTIKAN!! SIALAANN” si korban akhirnya berteriak di sertai umpatan ketika merasakan rasa sakit yang luar biasa ketika kukunya dicabut secara paksa.
“Jika kau buka mulut dan menyebutkan siapa yang memerintahkanmu, tentu saja aku akan berhenti, Tuan Sam” kata Dave menghentikan gerakannya sejenak.
Pria itu dengan mata yang berkaca-kaca menahan rasa sakit dari perbuatan Dave. Namun ia masih menatap Dave nyalang. Jawaban Sam tidak sesuai dengan yang Dave inginkan. Tentu saja Dave tak terus melanjutkan aksinya, hingga Orang-orang yang berada di dalam sana hanya diam menyaksikan, bahkan ada tersenyum kecil seakan terhibur dengan apa yang terjadi di hadapannya.
Selang beberapa menit, terdengar suara langkah sepatu diiringi pintu yang mulai terbuka. Cahaya bulan pun mulai menyinari kegiatan yang dilakukan Dave pada Sam. Seakan tau siapa yang datang, Dave langsung tersenyum lebar dan bangkit dari posisinya. Tang yang ia pegang diberikan lagi pada salah satu pria di belakangnya.
“Kenapa kau kesini? Sudah kukatakan untuk istirahat saja.” Kata Dave terdengar sedikit kesal lalu berjalan mendekati pria yang baru saja datang.
“Diamlah! Jangan memerintahku. Dia sudah beritahu siapa dalangnya?”
Dave hanya menghela nafas mendengar itu, lalu menjawab pertanyaan yang diajukan. “Dia masih tutup mulut, Tuan Melv.”
Tubuh besarnya dibalut kaos tipis sedikit memperlihatkan beberapa perban bekas luka yang ia dapatkan kemarin. Pandangannya menelusuri keseluruhan tubuh Sam yang saat ini dalam keadaan memprihatinkan. “Lakukan cara lain!” seru Melviano dengan tegas.
Dari belakang muncul satu pria lagi yang sedari tadi mengikuti Melviano. Ia adalah sahabat dekat yang diposisikan sebagai penggali informasi setiap orang yang diinginkan oleh Melviano. Kini ia mulai membuka lembaran kertas berisi beberapa informasi yang ia dapatkan, diantaranya terdapat beberapa lembar foto juga.
“Kau pasti mengenal mereka bukan?” Tanyanya kemudian menunjukkan sebuah foto di depan Sam. Di foto tersebut memperlihatkan satu wanita dewasa dan dua anak kecil yang sedang tertawa bersama pria yang sangat mirip dengan Sam.
Bagi Sama orang-orang yang ada di foto itu sangatlah berharga. Selama beberapa saat ia memejamkan matanya seakan memikirkan jalan terbaik. “Baiklah.. akan aku katakan siapa master ku. Tapi kalian berjanji tidak akan menyakiti keluargaku?”
“Tentu saja."
Dengan terpaksa Sam mengungkapkan semuanya, mulai dari pertemuannya dengan 'master' yang ia maksud hingga fee yang ia terima ketika ia berhasil membunuh Melviano. Awalnya ia hanya karyawan biasa yang tak sengaja terlilit hutang karena bermain judi online. Bayaran yang menggiurkan memaksanya melakukan hal itu, meskipun ia tak tau background sebenarnya dari Melviano.
"Aku sudah mengatakan semuanya, tolong lepaskan aku. Kumohon, putriku masih kecil.. hutangku sangat banyak, aku tak ingin membebani mereka.. kumohonn.."
Dave tampak menarik nafasnya sebelum mengambil keputusan. Lalu ia mendekati Melviano yang masih memperhatikan penjelasan dari Sam tadi. "Bagaimana menurutmu Melv? Lepaskan atau mati?"
To Be Continue..
------------------------------------------------------------
Di luar sangat menyeramkan, tapi aku sangat penasaran dengan pria tadi. Mengapa ia bisa mengetahui namaku? Padahal aku yakin kalau aku tidak mengenal siapa dia dan di baju yang kupakai pun tidak ada name tag ataupun tanda pengenal apapun. Ku harap dia bukan lah orang jahat. '- Setelah ini jangan pernah buka pintu untuk siapapun, jika kau tak kenal suaranya.' Mengingat peringatan dari pria asing yang ku obati kemarin, aku menjadi sedikit takut. Sebab dilihat dari penampilan serta luka yang di dapat Melviano bukan hanya aksi kekerasan atau pemukulan biasa. "Ivy! Apa yang kau lakukan disana?!" Dari pintu toko yang kini berjarak beberapa meter dengan posisiku saat ini, Bu Lia memanggil dengan suara tinggi. Teringat jika saat ini aku masih di jam kerja, bodoh sekali bagaimana bisa aku meninggalkan toko begitu saja. Aku langsung bergegas menghampirinya. "Maaf Bu karena tiba-tiba meninggalkan toko. Saya tidak akan mengulanginya lagi." "Iya iya. Masuk! Jangan sampai aku melihatmu tiba-tib
Prang. Suara pecahan kaca terdengar jelas memenuhi ruangan. Pelaku yang tak sengaja menjatuhkan gelas tersebut tampak panik menatap serpihan kaca yang berserakan di lantai.“IVY SUARA APA ITU?” Pertanyaan datang dari ruangan lain membuatnya ketakutan. Gadis yang dipanggil Ivy itu segera menaruh barang bawaan yang tadi ingin ia rapikan. Dengan tangan kosong ia mengumpulkan semua serpihan itu. "Ya ampun Ivy! itu gelas kesayangan saya, kenapa bisa jatuh?!" Ivy bangkit dari lantai ketika Boss nya berada di hadapannya. "Maaf Bu, maaf.. Ivy gak sengaja senggol gelasnya tadi. Maafkan kelalaian saya Bu," kata Ivy sesekali membungkukkan tubuhnya. "Maaf, maaf! Kamu ini masih mending ya saya terima kerja disini! Jangan seenaknya kamu!" seru Bu Lia lagi. Mendengar Bu Lia berkata seperti itu, Ivy semakin merasa tidak enak. "Maaf Bu, saya akan ganti gelas nya dengan gaji saya nanti." "Ah sudahlah! Kamu pulang saja!" "Bu, saya mohon Bu jangan pecat saya. Saya butuh pekerjaan ini," kata Ivy be
Mendengar ketukan itu, Ivy segera mendekati pintu dengan langkah cepat. Berusaha untuk tidak gegabah, Ivy perlahan membuka tirai yang menutupi jendelanya sedikit. Di pandangannya, samar-samar ia melihat beberapa pria berpakaian hitam. ‘apakah mereka orang-orang yang membuat Melviano terluka?’ batin Ivy. Jantung Ivy berdegup kencang, ia ragu ingin membukanya atau tidak. Namun suara ketukan itu makin cepat. Ia takut para tetangga terganggu dengan kedatangan orang-orang ini. “M-maaf ada yang bisa saya bantu?” tanya Ivy sedikit gemetar. Pikirannya sedikit kalut karena ia harus mencari cara agar orang-orang itu tidak mengetahui keberadaan Melviano di rumahnya. Salah satu dari mereka mulai berbicara dengan nada tegas. “kami ingin menjemput pria yang kau bawa kesini.” Kembali mengingat kejadian sebelumnya, Ivy sangat yakin tidak ada yang melihatnya membawa Melviano. Kondisi jalan desa yang sepi ditambah gelap dan hujan deras. “Pria? pria mana ya? Saya tidak membawa siapapun tadi, mun
Di luar sangat menyeramkan, tapi aku sangat penasaran dengan pria tadi. Mengapa ia bisa mengetahui namaku? Padahal aku yakin kalau aku tidak mengenal siapa dia dan di baju yang kupakai pun tidak ada name tag ataupun tanda pengenal apapun. Ku harap dia bukan lah orang jahat. '- Setelah ini jangan pernah buka pintu untuk siapapun, jika kau tak kenal suaranya.' Mengingat peringatan dari pria asing yang ku obati kemarin, aku menjadi sedikit takut. Sebab dilihat dari penampilan serta luka yang di dapat Melviano bukan hanya aksi kekerasan atau pemukulan biasa. "Ivy! Apa yang kau lakukan disana?!" Dari pintu toko yang kini berjarak beberapa meter dengan posisiku saat ini, Bu Lia memanggil dengan suara tinggi. Teringat jika saat ini aku masih di jam kerja, bodoh sekali bagaimana bisa aku meninggalkan toko begitu saja. Aku langsung bergegas menghampirinya. "Maaf Bu karena tiba-tiba meninggalkan toko. Saya tidak akan mengulanginya lagi." "Iya iya. Masuk! Jangan sampai aku melihatmu tiba-tib
Setelah menghadapi kejadian menegangkan semalam, Ivy tetap kembali menjalani kehidupannya seperti hari-hari lalu. Meskipun kini ia harus lebih waspada seperti yang disarankan oleh Dave semalam. Setiap paginya ia akan datang mengunjungi sang nenek yang tengah dalam perawatan rumah sakit karena komplikasi yang dideritanya. Tepat hari ini adalah waktu yang disepakati Ivy dan pihak administrasi untuk melunasi biaya rumah sakit. "Permisi, saya ingin membayar biaya administrasi nenek saya. Atas nama Dwiyati.""Baik Nona, mohon ditunggu sebentar ya. Kami akan melakukan pengecekkan terlebih dahulu.""Baik." Ivy segera duduk di bangku terdekat. Di tangannya kini sudah ada sebuah amplop berisikan uang yang sebagian besarnya tampak lusuh. Ia berusaha merapikannya agar tidak terlalu buruk ketika dipakai untuk membayar nanti. Tak menunggu lama, nama neneknya pun dipanggil. Petugas segera memberikan lembar kertas berisikan rincian rawat inap serta obat sang nenek. Ivy memperhatikan rincian di da
Mendengar ketukan itu, Ivy segera mendekati pintu dengan langkah cepat. Berusaha untuk tidak gegabah, Ivy perlahan membuka tirai yang menutupi jendelanya sedikit. Di pandangannya, samar-samar ia melihat beberapa pria berpakaian hitam. ‘apakah mereka orang-orang yang membuat Melviano terluka?’ batin Ivy. Jantung Ivy berdegup kencang, ia ragu ingin membukanya atau tidak. Namun suara ketukan itu makin cepat. Ia takut para tetangga terganggu dengan kedatangan orang-orang ini. “M-maaf ada yang bisa saya bantu?” tanya Ivy sedikit gemetar. Pikirannya sedikit kalut karena ia harus mencari cara agar orang-orang itu tidak mengetahui keberadaan Melviano di rumahnya. Salah satu dari mereka mulai berbicara dengan nada tegas. “kami ingin menjemput pria yang kau bawa kesini.” Kembali mengingat kejadian sebelumnya, Ivy sangat yakin tidak ada yang melihatnya membawa Melviano. Kondisi jalan desa yang sepi ditambah gelap dan hujan deras. “Pria? pria mana ya? Saya tidak membawa siapapun tadi, mun
Prang. Suara pecahan kaca terdengar jelas memenuhi ruangan. Pelaku yang tak sengaja menjatuhkan gelas tersebut tampak panik menatap serpihan kaca yang berserakan di lantai.“IVY SUARA APA ITU?” Pertanyaan datang dari ruangan lain membuatnya ketakutan. Gadis yang dipanggil Ivy itu segera menaruh barang bawaan yang tadi ingin ia rapikan. Dengan tangan kosong ia mengumpulkan semua serpihan itu. "Ya ampun Ivy! itu gelas kesayangan saya, kenapa bisa jatuh?!" Ivy bangkit dari lantai ketika Boss nya berada di hadapannya. "Maaf Bu, maaf.. Ivy gak sengaja senggol gelasnya tadi. Maafkan kelalaian saya Bu," kata Ivy sesekali membungkukkan tubuhnya. "Maaf, maaf! Kamu ini masih mending ya saya terima kerja disini! Jangan seenaknya kamu!" seru Bu Lia lagi. Mendengar Bu Lia berkata seperti itu, Ivy semakin merasa tidak enak. "Maaf Bu, saya akan ganti gelas nya dengan gaji saya nanti." "Ah sudahlah! Kamu pulang saja!" "Bu, saya mohon Bu jangan pecat saya. Saya butuh pekerjaan ini," kata Ivy be