"Kalian jangan memfitnah. Aku tidak bersekongkol dengannya!" ucap Nicolas marah, tak terima dikatai bersekongkol dengan Clarissa untuk menjatuhkan Carmen. "Kami tidak bersekongkol. Tapi apa yang kukatakan tadi itu fakta. Aku dan Nicolas bercerai karna Nicolas masih memikirkan Carmen." Clarissa memutar bola mata jengah, bersedekap angkuh, "tapi sekarang, aku sudah move on. Kalau kamu mau Nicolas, ambil saja. Kalian memang cocok," lanjutnya, berkata remeh pada Carmen. "Idih!" Carmen menatap julid ke arah Clarissa, "siapa juga yang mau sama mantan suami kamu?! Aku punya suami, dan aku cocoknya yah dengan suamiku. Buktinya kami jodoh." "Iya, Kak Nicolas mah terlalu murah untuk Carmen," timpal teman-teman Carmen. "Diam kalian semua!" Nicolas membentak marah. "Diam katanya. Ahahaha …." Alih-alih diam, Carmen dan yang lainnya malah tertawa kencang. "Dasar kekanak-kanakan!" komentar Clarissa dan taman temannya. "Aih, dasar nenek-nenek." Carmen membalas. "Carmen, tobatlah! Cla
"Hehehe …." Carmen mengambil posisi duduk–di atas perut suaminya. Dia kemudian memegang perut, menatap sejenak ke arah perut lalu kembali menatap Raymond, "aku sangat lapar. Aku ingin sup yang seperti waktu itu, Mas Kaizer.""Humm." Raymond berdehem, memberi isyarat supaya Carmen bangkit dari atas tubuhnya. Raymond turun dari ranjang lalu keluar dari kamar, di mana Carmen mengikutinya. Saat di dapur dan saat Raymon sedang memasak, Carmen memperhatikan kegiatan suaminya. Carmen tak hanya diam, dia mengikuti langkah suaminya. Jika Raymond pergi ke lemari pendingin untuk mengambil sebuah bahan, maka Carmen akan ikut ke sana. Jika suaminya melangkah ke arah wastafel untuk mencuci bahan, Carmen juga ikut ke sana. Begitu hingga seterusnya. Raymond menatap ke arah Carmen yang saat ini berdiri di sebelahnya–Carmen tengah menatap sup yang sedang dimasak."Ke meja makan dan duduk diam di sana," titah Raymond, membuat Carmen segera beranjak dari sana. Sebetulnya Carmen masih ingin di sana kar
"Ouh, si anak sampah tengah menikmati sepotong kue, dan dia merasa jika dia adalah pemeran utama di pesta ini," ucap seseorang dengan nada sarkas, membuat Carmen yang sedang asyik menikmati kue langsung mendongak pada sosok tersebut. Mata Carmen melebar persekian detik, cukup kaget melihat orang yang berbicara tadi. Namun, Carmen langsung mengatur ekspresi. Dia berusaha tetap tenang dan santai meskipun hatinya tiba-tiba terasa sakit saat melihat orang-orang ini. Mereka adalah paman, bibi, dan kakak sepupunya. Dulu, orang-orang ini menyayangi dan melindungi Carmen. Akan tetapi setelah perempuan di sebelah kakak sepupunya muncul, mereka berubah membenci Carmen. Parahnya, sesuatu yang seharunya menjadi milik Carmen, mereka berikan pada Clarissa dan ibunya.Selain rasa sakit, ada dendam serta kemarahan yang menyelingkup di hati Carmen. Raut wajah yang selalu ceria seketika berubah dingin, tatapan mata yang selalu memancar bahagia langsung berganti dengan sorot penuh kebencian. Dendam m
Namun, sebelum tangannya menyentuh kulit wajah Carmen, tiba-tiba sebuah tinju keras dan kuat-- lebih dulu menyapa pipinya. Bug' "Argkk." Armen berteriak kesakitan, tubuhnya terpental ke arah putranya. Akan tetapi, Arjuna tidak bisa menopang tubuhnya dan ayahnya hingga ayahnya serta ia sendiri berakhir terjatuh kasar ke lantai. "Jangan mencoba-coba menyentuh istriku dengan tangan kotor, Tua Bangka sialan!" geram Raymond, melayangkan tatapan membunuh ke arah Armen yang masih berbaring di lantai. Armen melebarkan mata, begitu terkejut ketika melihat Raymond berdiri tepat di depannya. Rasa takut dan panik perlahan menyelimuti dirinya, suara Raymond menusuk dan aura pria ini sangat menyeramkan. Dia dan putranya mencoba berdiri, akan tetapi Raymond menendang pundaknya sehingga dia dan putranya kembali tersungkur kasar. "Sebelum kau berdiri, berlutut dan meminta maaf pada istriku," dingin Raymond, berkata dengan geraman halus, penuh aura mengancam sehingga membuat Armen semakin takut p
"Bagaimana dengan putraku tadi? Apa bertemu dengannya adalah sebuah keberuntungan juga?" tanya Lennon dengan nada datar. Armen menatap panik pada Lennon, dia mulai gugup karena pertanyaan tersebut. Entah apa maksud Lennon menyinggung Raymond serta masalah tadi. "Ah, Tuan Lennon, tentu kami merasa senang bertemu dengan Tuan Raymond," ucap Clarissa–angkat bicara, "akan tetapi ada sedikit kesalah pahaman sehingga hal tak mengenakkan terjadi, Tuan. Kami menyesali hal tersebut dan kami berharap Tuan Raymond dapat memaafkan kesalahan kami." "Humm." Lennon berdehem singkat. "Oh iya, Tuan. Keluargaku ingin mengundang anda makan malam bersama. Kami … ingin membicarakan hal penting pada anda, Tuan." Clarissa yang merasa didengarkan oleh Lennon, segera to the point, "keluarga kami akan merasa jauh lebih beruntung apabila anda bersedia datang." "Yah, kebetulan aku juga ingin berkunjung ke keluarga Wijaya. Kebetulan menantuku–Carmen bagian dari kalian, jadi … baiklah," jawab Lennon den
Akan tetapi, untuk makan hari ini dan esok, anak itu harus bekerja sangat keras. "Oleh sebab itu, Nona sangat senang bertemu dengan anda, Tuan. Nona kekurangan kasih sayang seorang ayah dan dia bisa merasakannya lagi setelah bertemu dengan anda." "Dia anak yang baik, Vior. Putraku sangat beruntung mendapatkannya." "Benar, Tuan." Selama obrolan itu, Selin hanya diam di sebelah Lennon. Carmen pernah menceritakan bagian hidupnya yang menyedihkan namun dia tetap sedih saat mendengar cerita yang sama dari Vior. Entahlah, akan tetapi Selin merasa hidup Carmen jauh lebih berat. Sebab-- Selin sendiri hanya anak angkat yang mengharapkan cinta dari orangtua angkatnya. Sedangkan Carmen, dia anak kandung yang kehilangan seluruh cinta keluarganya–kalah oleh seorang anak tiri yang licik. Namun, Selin sedikitnya bersyukur. Sekarang hidupnya jauh lebih baik, bahkan dia merasa cukup senang karena tadi-- Lennon memperkenalkannya sebagai istri. Ini pertama kalinya Lennon membawanya ke sebu
"Awas saja jika kau bergerak!" peringat Raymond pada istrinya–Carmen menganggukkan kepala, memperlihatkan cengiran lebar pada sang suami. Sedangkan Raymond, dia mulai memasak makan malam untuk istrinya. Dia memulai dengan mengambil bahan. Saat dia menoleh ke arah Carmen untuk memastikan keadaan perempuan itu, entah kenapa Raymond merasa posisi Carmen sedikit lebih dekat. Namun, sepertinya Raymond salah sebab istrinya terlihat sangat anteng di tempatnya–tengah memperhatikan kalung di lehernya. Raymond menghela napas pelan, memilih melanjutkan aktivitas. Dia mencuci bahan, setelahnya lagi-lagi menoleh pada istrinya untuk memeriksa. Kembali lagi dia merasa jika Carmen bergeser, duduk semakin dekat ke tempatnya. Namun, Raymond memilih mengabaikan. Dia lanjut memasak. Hingga tiba-tiba saja saat dia ingin mengambil wadah berisi potongan tomat, sebuah tangan lebih dulu meraihnya. "Ini, Mas Kaizer," ucap Carmen, menyerahkan potongan tomat pada suaminya. Tak lupa dia memperlihatkan ceng
"Umm … kenapa perempuan suka berbelanja?" tanya Carmen pada Raymond. "Karena dia punya uang?" jawab Raymond tak yakin. "Salah." Carmen menyalahkan dengan antusias. Seperti sebelumnya, dia suka saat Raymond tidak bisa menjawab. "Jadi, apa jawabannya?" Raymond menaikkan sebelah alis, wajahnya masih datar karena tak ingin memperlihatkan antusiasnya pada sang istri. "Perempuan suka berbelanja karna … kalau yang suka Mas Kaizer itu aku," jawab Carmen, setelah itu langsung merapatkan bibir agar tak tersenyum lalu menutup wajah dengan tangan. Astaga! Carmen sangat malu dan lagi-lagi dia salah tingkah meski dia yang menggombal. "Cih." Raymond langsung berdecih pelan, berakhir terkekeh geli karena merasa lucu pada jawaban istrinya. Raymond mengulurkan tangan, mengacak rambut di pucuk kepala Carmen. "Besok pagi, aku akan menagih lagi, Wifey," ucap Raymond, mencium kening istrinya setelah itu beranjak dari sana dengan perasaan senang. Raymond kembali ke kamar dengan bibir yang terus
Hal tersebut membuat mata Selin membelalak lebar. Jantungnya berpacu kencang dan punggungnya panas dingin. Ke-kenapa pria tua ini perhatian? Astaga, Selin tidak bisa! 'Dia memijat kepalaku?' batin Selin, meneguk saliva secara kasar sambil melirik tangan Lennon yang sedang memijat keningnya. "A-aku sudah merasa jauh lebih baik, Tuan. An-anda tidak perlu memijat kepalaku," ucap Selin gugup, mencoba bangkit tetapi Lennon menahan pundaknya."Akhir-akhir ini kita banyak masalah. Mungkin itu mempengaruhi kesehatanmu," ucap Lennon, masih memijat pelan kening istrinya. Selin hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Pada akhirnya dia membiarkan Lennon memijat kepalanya. 'Tuan Lennon semakin baik padaku. Lama-lama aku merasa tak enak. Aku-- canggung sekali.' batin Selin, mencoba memejamkan mata, mulai menikmati pijatan suaminya di kepalanya. ***"Mas Kaizer sangat hebat," puji Carmen, bertepuk tangan sambil menatap suaminya dengan kagum. "Tadi itu, aku sangat terpesona pada Mas Kaizer."
"Sekarang kau tinggal di sini. Jangan menyusahkan putraku dengan meminta tinggal bersamanya," peringat Lennon pada Talita. Kebetulan hanya Lennon dan Talita yang berada di tempat ini, Carmen sedang memasak bersama Raymond. Sedangkan Selin, tengah mengambil kacamata untuk Lennon. Talita menatap takut bercampur gugup pada ayahnya. Dia sangat ingin tinggal dengan kakaknya karena Raymond baik. Ayahnya-- Talita sangat takut pada ayahnya. "Ta-pi Tata ingin tinggal bersama Kakak Lemon," cicit Talita pelan, meremas dress berwarna pink yang dia kenakan sambil menundukkan kepala. "Kakakmu sudah memiliki istri, dan Kakak Ura sedang hamil. Dia butuh perhatian lebih dari Kakak Lemon. Jika kau di sana, perhatian Kakak Lemon akan terbagi padamu. Kasihan Kakak Ura kalau begitu," ucap Lennon, berbicara datar dan tegas akan tetapi menirukan nama panggilan Talita pada kakak laki-lakinya dan kakak iparnya. "Ck, lama sekali perempuan itu. Hanya mengambil kacamata ke kamar, tapi kenapa kenapa lamanya s
Lennon mengangkat pandangan, menatap putranya dengan tatapan kagum bercampur tak percaya. Yah, pria yang sering diteriaki iblis tak berhati itu adalah putranya. Dia orang yang sama dengan anak kecil yang melihat ayahnya membunuh ibunya yang sedang hamil besar. Dia anak yang tumbuh dengan kasih sayang yang sangat kurang, dan mental yang terluka. Namun, kenapa dalam hal ini, putranya terlihat seperti seseorang yang tumbuh tanpa luka?! Lennon tahu Raymond sangat ingin punya adik, dan dulu-- dia sangat menunggu kelahiran adiknya. Lennon juga tahu Raymond melindungi Talita karena gadis kecil itu adiknya. Hanya saja, Lennon tetap tak percaya bahwa putranya bisa melakukan hal ini; membuat adiknya percaya pada hari baik, menjaganya, dan menjamin kehidupan bagi adiknya. Lennon tak menyangka kalau Raymond sangat tulus pada Talita. Ketulusan anak itu sampai di titik-- membuat Talita lebih memilih kakaknya dibandingkan ibu ataupun ayahnya. "Kemari," panggil Raymond pelan pada Talita. Anak
"Kak Lemon," jawab Talita dengan nada takut bercampur gugup. Jawabannya tersebut membuat orang-orang menatap terkejut pada Talita, merasa aneh ataupun heran. Sebab, kenapa Talita malah memilih Raymond? Bukankah seharunya Talita memilih salah satu dari orang tuanya? Bukan Raymond. "Sayang, Tuan Raymond bukan pilihan," ucap Laudia lembut pada cucunya. Hanya pura-pura karena dia juga tak menyukai Talita, anak ini akan menjadi beban di keluarga Klopper. Yah, kecuali Siran menikah dengan Lennon, mungkin anak ini akan menjadi cucu kesayangannya. Talita melepas pelukan Siran dari tubuh kecilnya. Dia berdiri ditengah dengan tubuh kecil yang ketakutan. Talita menatap satu per satu orang-orang di sana, memperhatikan wajah mereka yang terlihat menakutkan bagi Talita. Meski masih kecil, tapi Talita tahu mereka semua tak menginginkan Talita. Tapi …-Talita menatap ke arah Raymond yang menampilkan air muka datar. Kemudian dia menatap ayah dan berakhir pada mamanya. "Talita tidak menyayangi Mam
"Tetapi Ayah tidak mau menikah dengan Mama, jadi kamu harus memilih salah satunya," ujar Siran lagi dengan nada sendu supaya mendapat simpati dari yang lainnya. Dia sengaja mengatakan hal itu, agar Talita memaksa Lennon untuk menikahinya. Secara ragu, Talita menatap ke arah Lennon, akan tetapi anak itu langsung menunduk takut karena melihat wajah marah ayahnya. Dia tidak berani! "Jadi Talita ingin bersama Ayah atau Mama?" tanya Siran kembali dengan nada rendah, sengaja membelai rambut Talita agar dia terlihat lembut dan menyayangi anak itu. "Bukankah dulu Kak Lennon tidak ingin Talita? Jadi biarkan saja Talita ikut dengan Siran. Toh, status Talita juga bukan anak sah keluarga Abraham," ucap Rihana dengan nada tegas, memberi tanggapan pada Lennon. Memang benar, Rihana ingin Lennon menikahi Siran, karena dengan begitu nama baik Lennon perlahan akan pudar. Selain itu, dia ingin balas dendam pada Selin. Sebab jika Lennon menikah dengan Siran, maka posisi Selin akan semakin rendah. Itu
"Aku hanya ingin anakku kembali padaku. Aku yang membesarkan Talita dengan segenap jiwa. Sedangkan kalian semua, dulu kalian ingin melenyapkannya kan?" ucap Siran dengan sedih, duduk di lantai sebagai hukuman dari ayahnya. Sebelumnya, dia mendapat tamparan di wajahnya dari Lennon. Itu sangat sakit! Untungnya ayahnya memohon supaya Lennon berhenti menamparnya. Mantan suami dan mertuanya juga datang ke sini. Mereka ingin mengetahui apa sebenarnya terjadi, dan seperti apa selanjutnya. Selain itu, mereka datang untuk menuntut Raymond pada Lennon karena Raymond menendang perut Harlen. Perut Harlen lebam dan sakit, dan itu perbuatan kejam Raymond. "Itu karena kami tidak tahu kalau anak yang kau kandung, itu anak Kak Lennon," ucap Rihana dengan nada lembut, tetapi terkesan menyindir–seperti menggiring orang-orang supaya berpikir kalau Lennon adalah pria bejad. Padahal semua sudah tahu jika Lennon adalah korban kelicikan Siran. Lennon dijebak oleh wanita menjijikan ini! "Apa mak
Carmen langsung melebarkan senyuman pada Raymond, melambaikan tangan pada suaminya tersebut. Namun, dia tetap berdiri di kaku di tempatnya. Faktanya, bukan hanya chef lain yang takut Raymond di sini. Carmen juga sangat takut karena dia yang akan menjadi bulan-bulanan suaminya di sini. Melihat Vincen tak jauh darinya, Carmen mendekati pria itu lalu berbisik padanya. "Kepala Chef yang memanggilnya ke sini yah?" bisik Carmen pelan. "Menjauh, Carmen. Saya dalam masalah besar," balas Vincen, sudah berkeringat dingin sambil menatap panik pada Raymond. Tiba-tiba Carmen mendekatinya dan Raymond yang ada di depan sana langsung melayangkan tatapan membunuh padanya. "Makanya jawab, Kepala Chef." Carmen berbisik lagi. Vincen menganggukkan kepala. "Saya takut Tuan Harlen melukaimu, Carmen. Oleh sebab itu saya menghubungi Tuan Raymond.""Hehehe … terimakasih, Kepala Chef. Kamu membuat kita semua dalam bahaya," cengenges Carmen, menatap tertekan pada Vincen. Astaga! Kenapa atasannya ini harus
"Hah?" Carmen melongo kaget mendengar penuturan Harlen. Menurut Carmen, pria ini sangat tidak sopan dan keterlaluan karena membahas hal seperti itu pada Carmen. Pertama, mereka tak sedekat itu dan yang kedua, apa hak nya membongkar masalah 'itu seseorang? 'Kupikir Abraham paling tak sopan itu Mas Kaizer, ternyata masih ada Fir'aun satu ini.' batin Carmen, menatap malu bercampur meringis mendengar ucapan Harlen barusan. Namun, Carmen mencoba tenang dan tak terpancing kemarahan. "Yah, suamimu seorang hyper. Dan suatu saat, setelah kau tidak bisa memuaskannya lagi, kau akan dicampakkan. Lebih baik sekarang minta cerai lah padanya, Carmen, sebelum kau dicampakkan," lanjut Harlen, menyunggingkan smirk tipis karena merasa Carmen terhasut oleh ucapannya. Lihatlah! Raut muka Carmen seperti menahan jijik. Tentu saja! Perempuan baik-baik seperti Carmen akan sangat menghindari pria hyper. Karena itu dianggap tidak benar. "Sok tahu! Orang Mas Kaizer tank kok," ucap Carmen tiba-tiba. R
"Pipiku sudah tidak apa-apa, Mas," ucap Carmen, di mana saat ini dia dan suaminya telah di rumah mereka. Raymond tengah mengompres pipinya, padahal sebelumnya pria ini juga sudah mengobatinya. "Syuttt." Raymond memberi isyarat supaya Carmen diam, "pipimu merah karena wanita gila itu. Apa masih sakit, Sweetheart?" tanya Raymond kemudian, menyentuh pipi istrinya dengan lembut pada pelan. Dia sangat berhati-hati karena takut menyakiti istrinya. Carmen menggelengkan kepala. "Ini tidak sakit, Mas. Percaya deh padaku," ucapnya pelan, berusaha meyakinkan suaminya yang terlihat masih sangat khawatir. "Seharusnya aku tidak membawamu ke sana." Raymond menarik Carmen dalam pelukannya, mendekap istrinya secara hangat, "maaf," lanjutnya. "Ti-tidak perlu meminta maaf, Mas Kaizer," cicit Carmen, merasa tak enak pada Raymond. Suaminya tidak salah sama sekali dan Carmen juga tak punya pikiran untuk menyalahkan Raymond. Malah, dia sangat senang! Karena ketika dia mendapat masalah di keluarga