Semoga suka dengan 3 bab hari ini, MyRe. Maaf telat up date yah ... Dukung terus novel kita dengan cara vote gems, Haiden, dan komentar imut. Sehat selalu untuk kalian dan semangat!! IG:@deasta18
"Aku akan menghabisi mu sekarang juga!" Carmen terus menjambak rambut Raymond, melupakan kemarahan yang menyelimuti dirinya. "Tu-Tuan," ucap Diego, panik dan cemas melihat kondisi sang tuan–dia melihatnya dari kaca depan mobil. "Abaikan dan anggap kau tidak melihat apa-apa," jawab Raymond, berkata tenang meskipun rambutnya ditarik kuat oleh sang istri. Ini lebih baik daripada Carmen melarikan diri ataupun mendiaminya. "Aku-- aku minta ceraiiii!" pekik Carmen kencang, menarik rambut Raymond sekuat mungkin dan setelah itu memukul pundak pria itu dengan membabi buta. "Tidak akan!" jawab Raymond tegas. Carmen melepaskan tangannya dari rambut Raymond, menggeser tempat duduk dan meringsut di pintu. Dia menangis pilu, menatap ke arah jalanan karena tak ingin melihat wajah Raymond yang menyebalkan. Raymond sangat jahat! Dia membuat Carmen kalah dalam kompetisi memasak. Padahal ini kesempatan terakhir yang Carmen miliki supaya bisa bebas dari Raymond orang-orang jahat di negara i
"Kau ingin balas dendam pada keluargamu bukan?" ucap Raymond tiba-tiba–berhasil membuat Carmen seketika berhenti memberontak. "Aku bisa membantumu, Sweetheart." "Aku tidak butuh bantuan penjahat," jawab Carmen ketus, "aku benci Mas Kaizer!" "Aku juga sangat mencintaimu." Raymond mengecup pucuk kepala Carmen, "lagi-lagi kau mengutarakan cinta padaku. Ah, bagaimana jika kita melakukan perayaan kecil, Sweetheart? Mau bercinta denganku?" Carmen seketika langsung menunjukkan muka syok bercampur julid–tak habis pikir dengan cara kerja otak Raymond. Sangat gila dan mesum! Carmen memilih diam, tak menanggapi kegilaan suaminya. Namun, mengingat sesuatu, Carmen kembali bersuara. "Sebenarnya aku memanfaatkan Mas Kaizer. Aku hanya ingin uang dan harta mas Kaizer, dan aku ingin menjadikan Mas tameng supaya bisa balas dendam pada Tiara dan Clarissa," ucap Carmen dengan nada serius, sengaja mengatakan hal tersebut untuk membuat Raymond marah padanya. Carmen mendongak untuk memperhatikan ek
"Aku yang membawa Siran, Raymond. Kami pergi karena ayahmu mengancam akan membunuh Talita." Bukan Siran yang menjawab, tetapi Zack yang juga ikut turun dari mobil. Zack memang tahu kalau Talita adalah anak Lennon. Dia kembaran Siran, dan Siran tak pernah berbohong padanya. Sedangkan Raymond, dia tahu banyak tentang Raymond karena dia pernah menjadi tangan kanan Raymond. "Serahkan Talita pada kami, dia lebih berhak bersama ibu kandungnya daripada kau, Raymond," ucap Zack kembali. Raymond berdecis sinis, melayangkan tatapan membunuh pada Zack. "Lebih berhak? Cih, aku bisa menjebloskan Siran ke penjara karena menyiksa anaknya sendiri!" "Kau tidak bisa melakukan itu, Raymond. A-atau kami akan menyebarkan pada semua orang siapa sebenarnya Talita. Citra keluargamu bisa hancur!" Zack mengancam balik. "Aku tidak peduli!" dingin Raymond. Namun, sejujurnya dia khawatir karena … ayahnya! Di sisi lain, Diego menjauh karena kepala maid menghubunginya. Setelah itu, Diego mendekati R
"Raymond, setelah kamu sadar, berjanjilah untuk menikahiku …. Hanya aku yang mencintaimu," ucap Siran kembali, sengaja untuk memanas-manasi Carmen. Carmen semakin membeku di tempat saat mendengar perkataan Siran tersebut. Hatinya terasa sakit dan hancur, Raymond rela kecelakaan hanya demi melindungi Siran dan Talita. Itu sudah membuktikan siapa sebenarnya yang diinginkan oleh Raymond. Mungkin sebenarnya Raymond masih mencintai Siran, akan tetapi karena Siran telah dilecehkan oleh ayahnya, Raymond tidak bisa menikahinya sehingga menjadikan Carmen sebagai pelampiasan. Semuanya semakin terasa jelas, mengingat jika Raymond dan ayahnya bertengkar. Mungkin penyebabnya adalah Siran. Dengan pundak melorot dan wajah lesu, Carmen beranjak dari sana. Teresia hanya mengikuti, tak bisa mengatakan apa-apa karena-- dia ikut sakit hati melihat Siran memeluk Raymond. Carmen adalah sahabatnya, hal seperti ini pasti sangat menyakiti Carmen. Saat akan masuk ke lift, Carmen bertemu dengan rombongan Le
Raymond membuka mata, segera mengambil posisi duduk karena langsung mengingat jika istrinya berniat kabur. "Ah, kau akhirnya bangun," ucap seseorang dengan nada rendah dan pelan. Raymond menoleh ke arah sumber suara, langsung berdecak ketika melihat siapa yang ada di ruangannya. Ayahnya! Hell! Raymond baru ingin jika dia kecelakaan–itu karena terlalu memikirkan istrinya yang dikabarkan kabur dari rumah. "Kau mau kemana, Ray?" Lennon langsung mendekat ke arah putrinya kemudian menahan Raymond yang berniat mencabut jarum infus dari tangan. Dia menekan pundak Raymond supaya tidak bangkit dari tempat tidur. "Ck, aku harus mencari Ura. Dia ingin kabur," ucap Raymond dengan nada kesal, akan tetapi terkesan lemas karena dia baru terbangun. Raymond sama sekali tak peduli pada kepalanya yang sakit, yang ada dipikirannya hanya Carmen. Perempuan itu tidak boleh kabur, Carmen harus selalu berada di sisinya. "Chestnut baru pergi dari sini." Raymond langsung mendongak pada ayahnya, c
"Baiklah." Lennon menganggukkan kepala pelan, "intinya kau tidak perlu khawatir mengenai nama baik Ayah. Perempuan itu lah yang menjebak Ayah, dan Ayah punya bukti kebusukan perempuan itu." Awalnya Raymond ingin membantah. Bukan ingin memihak pada Siran, akan tetapi ayahnya memang brengsek. Ayahnya tukang selingkuh dan seorang lady killer. Dia pria bejad! Namun, setelah ayahnya menjelaskan, Raymond akhirnya percaya pada ayahnya. Karena apa yang Lennon katakan, sangat masuk diakal. Berawal dari Siran tahu jika Harlen berkemungkinan tidak akan menjadi pewaris utama Abraham karena Harlen tak memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin. Selain itu, Harlen berselingkuh dengan sekretarisnya, sehingga sekalipun Harlen menjadi pewaris, Harlen bisa saja mencampakkan Siran. Akhirnya Siran berencana untuk menjebak Raymond. Namun, karena saat itu Raymond masih lumpuh, Siran enggan tidur dengan pria lumpuh lalu berakhir menjadi istrinya. Akhirnya dia memutuskan menjebak Lennon. Jika d
"Tadi itu siapa, Kal?" tanya Teresia, di mana saat ini dia dan Carmen sedang menikmati jajanan pinggir jalan–mereka duduk di tempat yang disediakan oleh pedagang. Angin malam berhembus, menambah rasa dingin yang menyapa kulit keduanya. Akan tetapi, itu membuat mereka semakin semangat mengunyah makanan. Rasa dingin membuat tubuh membakar lebih banyak energi untuk menghasilkan panas. Sehingga perut mudah lapar. "Itu Ayah mertuaku," jawab Carmen singkat, tersenyum di akhir kalimat. "Kalian terlihat akrab yah," ujar Teresia, mendapat anggukkan kepala dari Carmen. "Oh iya, kamu nggak apa-apa kan? Kamu …-" Teresia berhenti makan, memperhatikan ekspresi Carmen dengan teliti. Wajah Carmen memang terlihat ceria, akan tetapi tatapan perempuan ini sendu dan sayu–menandakan jika Carmen sedang menyembunyikan kesedihannya. Teresia yakin sekali Carmen sakit hati, akan tetapi dia memilih menyembunyikannya karena tak ingin sedihnya mempengaruhi orang di sekitarnya. Carmen menoleh ke arah Tere
"Carmen!" teriak Gerry marah, nadanya menggelegar dan penuh kemarahan. Dia sangat geram karena Carmen sulit ditangkap, perempuan itu lincah dan gesit. Carmen tak menoleh, dia juga tak menyahut pada Gerry yang meneriaki namanya. Carmen hanya fokus berlari. Dia tidak boleh tertangkap oleh Gerry, pria itu bukan hanya akan menikahinya tetapi juga akan membawa Carmen kembali ke kota itu. "Kal, kenapa kamu bisa berurusan dengan Tuan Gerry?" tanya Tersia, berlari sekuat tenaga bersama Carmen. "Aku dijual Tiara ke dia," jawab Caen cepat, menarik Teresia untuk berlari ke arah sebuah gang. Jalan itu lebih dekat ke arah rumahnya. Carmen hapal sebuah jalan menuju rumah suaminya–Raymond. Dia berniat membawa Teresia untuk bersembunyi di rumah itu karena ada banyak pengawal di sana! Yah, pengawal Raymond pasti akan melindunginya dan Teresia di sana. Namun, untuk menuju rumah itu, mereka harus melewati jalan yang sepi karena lokasi rumah Raymond memang jauh dari keramaian. Sebelumnya mer
"Jamal," gumam pria itu pelan, menatap dingin dan kesal pada Carmen. Itu membuat Carmen mengerutkan kening karena bingung. Dia tak melakukan apa-apa, tapi pria ini menunjukkan wajah kesal padanya. Aneh! "Hai, Pak Harlen. Selamat pagi menjelang siang, Pak," sapa Carmen ramah, meskipun Harlen terlihat menunjukan ekspresi bad mood padanya. Harlen keluar dari lift kemudian berhenti di depan Carmen. Sejujurnya Carmen perempuan yang cantik dan menarik. Hanya saja tingkahnya luar biasa menguji kesabaran! Sampai sekarang dia masih bertanya-tanya, kenapa Raymond mempertahankan perempuan abnormal ini sebagai istrinya? Padahal Raymond terkenal mudah marah. "Untuk apa kau datang ke sini?" tanya Harlen dengan nada ketus. "Loh." Carmen mengerjap beberapa kali, menatap cengang pada Harlen, "ini kan perusahaan suamiku. Terserah aku dong mau datang ke sini untuk apa. Seharusnya aku yang bertanya, Pak Harlen ke sini buat a
***"Bagaimana? Trik Tanteku berhasil di kamu nggak?" tanya Teresia, di mana saat ini Carmen sudah di hotel. Dia kembali bekerja seperti biasa. Meskipun tadi malam Raymond sempat baik saat menyentuhnya, akan tetapi paginya pria itu langsung berubah dingin padanya. Sejujurnya Carmen sangat galau, dia bimbang antara ingin melanjutkan misinya untuk mendamaikan suaminya dan ayah mertuanya, atau dia berhenti. Raymond memperingatinya secara keras. 'Aku tidak ingin hubungan kita retak.' Itu perkataan Raymond yang berhasil membuat Carmen cemas. Kalimat itu bahkan menghantuinya hingga ke alam mimpi– di mana dalam mimpinya dia tetap nekat membantu Lennon untuk berdamai dengan Raymond, akan tetapi pada akhirnya Carmen gagal, berakhir Raymond menceraikannya lalu mengusirnya saat tengah malam yang dingin. Itu mimpi yang sangat buruk, Carmen sangat takut jika itu menjadi kenyataan. "Heh!" Teresia menepuk pund
"Aku ingin Mas dan Ayah berdamai," lanjutnya dengan nada pelan dan hati-hati, supaya suaminya tak tersinggung ataupun terpancing kemarahan. Raymond melayangkan tatapan yang menghunus tajam pada Carmen. "Berdamai dengan orang yang telah melenyapkan Ibu dan adikku yang bahkan belum lahir?" dinginnya, sudah mengatupkan rahang dan memancarkan kemarahan dari sorot matanya. "Mas Kaizer salah paham. Ayah memang membunuhnya, tetapi Ayah melakukan itu untuk melindungi Mas …-" "Diam!" Sentak Raymond tiba-tiba, membuat Carmen terdiam seketika. Carmen terlonjak kaget, memejamkan mata rapat ketika Raymond membentaknya. Jantungnya berdebar kencang, kembali dia merasakan takut. Namun kali ini takut yang berbeda! "Jangan ikut campur pada urusanku dan dia!" geram Raymond, bangkit dari ranjang kemudian berniat pergi–tanpa mengenakan baju, topless pada bagian atas. Persetan! Ini rumahnya dan para pria biasa bertelanjang dada. Raymond sadar saat ini dia sedang berbalut emosi–marah dan tak ter
Sialnya! Lingerie yang Raymond angkat, itu lingerie paling ekstrim dan seksi abis. Bukan hanya malu, Carmen rasanya ingin tiada saat itu juga. Wajah Raymond yang awalnya terpasang dingin dan tak bersahabat, seketika full senyum setelah melihat isi paper bag tersebut. Dia menoleh ke arah Carmen, di mana perempuan itu segera masuk dalam selimut–membalut tubuh mungilnya dengan selimut lalu berbaring membelakangi Raymond. 'Apa kubilang?! I-ini bukan ide yang bagus!' batin Carmen, sudah ketakutan bahkan sebelum Raymond melakukan apa-apa padanya. Yang paling Carmen takuti adalah perasaan malu! Dia tak bisa membayangkan dirinya saat mengenakan lingerie seksi tersebut di hadapan suaminya. "Cih." Tiba-tiba saja terdengar menyeru geli, lalu disusul tawa yang merdu dan menyenangkan hati. Sebelumnya tawa itu sangat lembut dan menembus kalbu. Namun, entah kenapa Carmen merinding dan semakin ketakutan mendengar tawa suaminya tersebut. Alarm bahaya dalam kepala sudah berbunyi! "Kau me
"Selamat? Kau selamat dari apa, Ura?" Deg'Jantung Carmen terasa akan copot saat mendengar suara bariton milik suaminya dari belakang tubuhnya. Punggung Carmen seketika terasa panas, tubuhnya kaku dan mematung.'Tolong selamatkan aku, Tuhan. Nya-nyawaku dalam bahaya,' batin Carmen, langsung merapalkan doa supaya diberikan keselamatan oleh sang pencipta. Setelah itu, Carmen menoleh secara perjalan ke arah belakang. Tubuhnya bergerak, berputar posisi menghadap pria yang menjulang tinggi–di mana pria itu sekarang ada di hadapannya. "Ti-tidak ada," jawab Carmen gugup dan cepat, menyembunyikan paper bag ke belakang tubuhnya. Dia takut Raymond melihat paper bag tersebut lalu bertanya apa isi dari paper bag nya. "Kau dari mana?" Raymond menatap sejenak ke arah paper bag yang Carmen sembunyikan di belakang tubuhnya. Perlahan dia mendekat pada istrinya, membuat perempuan itu bergerak mundur. Dug'Carmen terus mundur karena Raymond melangkah mendekatinya. Akan tetapi, punggung Carmen telah
"Hais!" Carmen menggaruk kening yang tak gatal. Saat ini dia sedang di luar rumah, di sebuah cafe–reflek menjadi ninja demi kabur dari rumah, efek ketahuan mengintip Raymond. Tak ada yang bisa menghentikannya. Para maid dan bodyguard tak bisa menangkapnya. Carmen lega setelah berhasil kabur dari rumah itu, akan tetapi dia kembali gugup ketika mengingat dia akan balik lagi ke rumah suaminya. Dia pasti akan berhadapan dengan Raymond, lalu pria itu-- pasti menghukumnya. "Oke, kesampingkan hukuman. Mari pikirin cara supaya Mas Kaizer bisa berdamai dengan Ayah," gumam Carmen pelan, mencocol kentang goreng yang ia pesan ke es krim. "Ayah, Paman Vior dan Pak Diego sangat percaya padaku. Tapi aku sedikit ragu. Mas Kaizer pasti sangat sensitif jika membahas masa lalunya. Terlebih Ibunya." "Apa aku sogok dia dengan Chestnut saja yah?" Carmen berpikir keras, berusaha mencari cara agar bisa mengajak Raymond berbicara untuk membahas perihal ibu pria itu, tanpa menyinggung suaminya. "Ck, man
"Untuk apa dia datang kemari?" ucap Raymond dengan nada datar, melirik tak berselera ada chestnut ditangan istrinya. "Ayah datang untuk melihat tembok di belakang. Catnya luntur," jawab Carmen asalan, mendapat tatapan datar dari Raymond. Tiba-tiba saja pria itu merampas paper bag di tangan Carmen lalu menyerahkannya pada seorang maid. "Bawa ini pergi. Tak ada yang membutuhkannya," ucap Raymond dengan nada dingin, setelah itu menarik Carmen secepatnya dari saja. Carmen menatap paper bag berisi chestnut tersebut. Awalnya dia senang karena tanpa memberitahu Raymond, suaminya tahu sendiri jika itu pemberian ayahnya. Namun, perasaan senang itu berganti menjadi kesedihan ketika Raymond menyerahkan chestnut tersebut pada maid. Itu makanan kesukaan Raymond saat kecil, akan tetapi karena yang memberinya adalah ayahnya, Raymond menolaknya. Apakah hati suaminya tak tersentuh karena ayahnya masih mengingat makanan kesukaannya?! "Aku ingin tidur. Jangan kemana-mana dan tetap di si
Setelah usianya 16 tahun, Ayah mencoba mendekatinya tetapi Raymond langsung menunjukkan kebencian pada Ayah. Ayah ingin mengatakan yang sejujurnya padanya, tetapi Ayah takut melukai perasaannya. Anak itu pasti kesakitan jika tahu ibunya tak mencintainya. Raymond pasti terluka kalau sampai tahu ibunya berniat membunuhnya demi anak orang lain. Ayah tidak ingin melukai perasaannya, dan sampai sekarang Ayah tak pernah mengatakan hal yang sebenarnya terjadi. Biarlah dia membenci Ayah, asal dia tidak terluka ketika tahu ibunya membencinya." Carmen mengerjap-erjap, berupaya mencegah air matanya tak jatuh, akan tetapi dia tidak bisa. Bulir kristal mengalir dari pelupuk, membasahi pipi perempuan cantik itu. Cerita Lennon benar-benar membuat hatinya sakit hingga ke bagian terdalam. Cinta Lennon begitu besar untuk putranya. Dia rela dibenci oleh putranya sendiri, melakukan apapun untuk menjaga Raymond, dan mencurahkan seluruh cintanya pada putranya. Carmen tersenyum getir lalu menunduk
"Irene perempuan yang baik, dan kami saling mencintai. Raymond Kaizer Abraham adalah bentuk cinta terindah kami," Lennon mulai menceritakan masa lalunya pada Carmen. Keduanya saat ini ada di halaman samping rumah, hanya berdua supaya memberikan Lennon ruang agar bisa mengungkapkan masa lalu beratnya pada menantunya. Dia sejujurnya tak ingin memberitahu Carmen, dia juga tak ingin memberatkan Carmen dengan menceritakan kehidupannya yang pahit. Namun, sedikit keegoisan muncul dalam hati Lennon–dia sudah sangat merindukan putranya, dan dia berharap Carmen dapat membantunya setelah menceritakan ini. "Kehidupan kami bahagia. Irene dikenal dengan perempuan lemah lembut dan anggun. Raymond sangat menyayangi ibunya, dan selalu bangga ketika menceritakan tentang ibunya pada siapapun. Saat Raymond berusia lima tahun, Irene izin bekerja pada Ayah. Dia ingin kembali menggeluti dunia fashion–desainer. Ayah setuju karena tak ingin menghambat impiannya. Toh, Raymond juga sudah cukup besar. Na