Yono, jangan cari Wirya ngamuk ^^
Jalinan waktu terus bergulir. Minggu terlewati dengan kecepatan maksimal. Jumat siang itu, seusai salat di masjid terdekat, Hisyam dan teman-temannya kembali ke kantor. Mereka keluar dari lift di lantai tiga, kemudian berbelok ke kiri. Hisyam mengerutkan dahi melihat antrean panjang di lorong depan kantor PBK. Dia bergegas melintas di pinggir kiri dan memasuki ruangan besar yang juga ramai orang. Leon dan Juan yang menjadi petugas penerimaan calon pengawal, tampak kewalahan mengecek body setiap peserta yang mendaftar. Utari, Dreena dan Vanessa yang turut membantu di bagian pendaftaran, bekerjasama mendata puluhan peserta. "Yang mana yang belum di-cek?" tanya Hisyam seusai mendekati Utari. "Dari nomor 15 dan seterusnya," jawab Utari sembari menengadah. "Oke, biar aku yang cek 4 orang. Sisanya, serahkan ke Syafid, Kurniawan dan Fattah." "Abang nggak makan dulu?" "Nanti aja. Aku punya roti, bisa buat ganjal perut sampai ini selesai." Hisyam mengalihkan pandangan pada keempat pria
Kiano tertunduk. Dia tidak berani menengadah dan beradu pandang dengan Patrick yang sedang mengomel. Beberapa foto telah dikirimkan seseorang ke ponsel sang paman, dan hal itu menyebabkan Kiano dipanggil untuk dimarahi. Pria tua bercambang tipis benar-benar kesal pada Kiano. Sebab Patrick khawatir jika foto-foto itu juga akan disebar ke rekan bisnis, yang bisa mengakibatkan usahanya terganggu.Irena, istri Patrick, mencoba menenangkan suaminya. Perempuan blasteran Indonesia dan Filipina tersebut, merasa prihatin pada Kiano yang terlihat lesu. "Pa, sudah," bujuk Irena sembari mengusap punggung suaminya. "Kiano sudah mengakui kesalahannya. Dan dia tengah berusaha melepaskan diri dari kelompok penjahat itu," sambungnya. "Pantas saja, Mas Farabi bilang kalau dia sulit diatur. Buat masalah terus!" desis Patrick sambil memelototi keponakannya. "Apa isi otakmu, Kian? Bisa sampai liar begitu. Paman nggak paham!" geramnya. "Papa, jangan marah-marah terus. Nanti tensinya naik." "Papa sudah
Hari berganti hari. Semenjak Hisyam mengungkapkan keinginannya untuk menikah, Utari makin sering memikirkan hal itu. Gadis berhidung bangir menyayangi Hisyam. Namun, untuk menikah dengan pria itu, sama sekali belum terlintas di benak Utari. Nona muda Dewawarman berulang kali terngiang ucapan Hisyam. Utari jadi sering melamun dan menyendiri. Hingga membuat rekan-rekannya bingung.Hisyam yang tengah keliling unit kerja seputar Inggrisq, mendengar hal itu dari Gwenyth. Hisyam tahu jika Utari masih meragukannya. Namun, pria tersebut tidak akan mendesak Utari dan membiarkan perempuan berambut panjang itu memutuskan yang terbaik buat mereka. Jumat malam, Hisyam tiba di mess bersama Beni dan Bintang. Ketiganya tidak ikut berbincang di ruang tengah bersama rekan-rekannya, melainkan langsung memasuki kamar masing-masing. Hisyam bergegas semedi di kamar mandi. Mata yang memberat dan tubuh yang lelah membuatnya mempercepat proses pembersihan diri. Belasan menit berlalu, Hisyam keluar dari t
Waktu terus berjalan. Pagi menjelang siang itu, kelompok pimpinan Zulfi tiba di bandara London. Lazuardi, Syafid dan Kurniawan yang menjemput kelompok itu menggunakan tiga mobil MPV. Namun, karena ternyata barang bawaan sangat banyak, Lazuardi menyewa satu mobil lainnya untuk mengangkut semua barang. Keempat mobil melaju keluar area bandara. Lazuardi yang menjadi sopir mobil pertama, mendengarkan penuturan Ilyas yang berada di samping kiri. Sekali-sekali, Zulfi, Qadry dan Aditya menimpali dari kursi tengah. Begitu pula dengan Puspa, Dita dan Erni yang berada di kursi belakang. "Kamu bisa berbagi kamar dengan Kak Dita dan Kak Erni, Puspa. Biar Kimora dan Gwenyth tidur di kamar Utari," terang Lazuardi menjawab pertanyaan gadis tersebut. "Kimora lagi off?" tanya Zulfi. "Ya. Nona Shaylin sedang ke rumah Grandpa-nya di Manchester," terang Lazuardi. "Fatma ikut ke sana. Pulangnya, dia off lima hari, dan Kimora yang gantiin," lanjutnya. "Apa masih ada pencegatan ke mereka?" "Enggak a
Sepanjang malam itu, Jauhari menjadi bulan-bulanan ledekan teman-temannya. Gwenyth yang menempeli Jauhari ke mana-mana, tidak peduli disoraki yang lainnya. Dante menggeleng pelan menyaksikan tingkah kerabat jauhnya tersebut. Namun, kala Gwenyth memaksa mengajak Jauhari jalan-jalan, Dante mengambil tindakan tegas pada gadis itu. "Ari baru sampai. Kepalanya juga masih pusing. Jangan dipaksa keluar!" desis Dante dalam bahasa Mandarin. Gwenyth meringis. "Maaf," cicitnya. Meskipun tidak terlalu dekat, tetapi dia segan pada cucu tertua keluarga Bun atau Adhitama tersebut. "Ari ke sini buat kerja, Gwen. Bukan holiday." "Ya, Ko." "Kamu nanti ikut kami ke Swedia dan Swiss." "Kenapa?" "Ada tawaran proyek ke Adhitama dan klan lainnya. Kamu sama Yusuf dan Riaz yang pegang." "Bukan Bang Hisyam?" Dante menggeleng. "Dia sudah kebanyakan tugas. Rangga dan yang lainnya juga." "Bang Yusuf boleh ditukar sama kekasihku?" "No way!" "Ayolah, Ko!" Gwenyth menggamit lengan kanan Dante dengan man
Suasana di sekitar kelab malam Black Friar terlihat ramai. Para pengunjung masuk dan keluar dengan berbagai tampilan. Deretan mobil mewah datang silih berganti. Menandakan tempat itu populer di kelas atas.Hisyam, Zulfi dan Lazuardi yang sudah berada di seberang kelab semenjak belasan menit lalu, tetap bersabar menunggu pergerakan dari Tommy. Sekali-sekali Hisyam mengecek arloji di pergelangan tangan kanan. Kemudian dia kembali memandang sekeliling. Menjelang jam setengah sebelas, ketiga orang yang ditunggu akhirnya keluar. Tommy melirik mobil seniornya sambil jalan cepat menuju mobil Kiano. Ketiganya memasuki kendaraan, kemudian Dandi melajukan mobil SUV abu-abu metalik menjauhi area kelab. Dua menit berikutnya, seunit SUV hitam melaju mengekori mobil Kiano. "Tetap di sini," tutur Zulfi. "Ya," jawab Hisyam. "Arah jam 3, ada mobil yang bergerak," sela Lazuardi. "Ikuti, Syam," pinta Zulfi. Hisyam mengangguk mengiakan. Dia menghitung dalam hati sembari mengawasi sedan hitam panj
Sabtu siang, sekelompok orang turun dari dua mobil MPV hitam. Mereka memindai sekitar, lalu mengikuti langkah Hisyam menuju bangunan besar berciri khas pedesaan, di pinggir Kota London.Seorang pria tua bertopi dan berkacamata, menyambut Hisyam dengan jabatan tangan tegas. Keduanya berbincang sesaat, sebelum Hisyam memperkenalkan Tio, Zulfi dan Ilyas sebagai bos dari kantor pusat. Sang pria tua mengajak semua orang mengelilingi bangunan. Sekali-sekali dia akan menjawab pertanyaan yang diajukan ketiga bos dengan lugas. "Ini barak pertama. Ada enam kamar dan bisa diisi maksimal 5 orang," terang pengelola tempat yang sering digunakan pendidikan dan pelatihan oleh perusahaan rekanan PBK. "Barak kedua di seberang. Jumlah kamar dan fasilitasnya sama," ungkap pria tua bertopi. "Untuk ladies, bisa mengunakan dua kamar di bagian belakang. Mereka punya akses sendiri dan tidak terganggu peserta pria," lanjutnya. "Bisa kami lihat ke sana?" tanya Zulfi. "Yes." Sang pengelola mengarahkan tang
Sabtu malam, Hisyam mengajak semua orang mengunjungi salah satu opera house di pusat Kota London. Mereka hendak menonton pertunjukan tari kontemporer yang dipimpin oleh seorang penari terkenal. Rombongan puluhan orang tersebut seketika menjadi pusat perhatian, karena mereka kompak mengenakan baju putih di balik jaket jin biru, yang senada dengan celana masing-masing. Utari menggandeng Hisyam di sebelah kanan, sedangkan Atalaric digandengnya di samping kiri. Hal serupa juga dilakukan Gwenyth yang mengaitkan lengannya pada Jauhari dan Dante. Setelah menempati kursi di deretan tengah, mereka memerhatikan sekeliling sembari memotret tempat itu. Tidak berselang lama, terdengar suara MC yang meminta penonton untuk tenang, karena pertunjukan akan segera dimulai. Lampu-lampu dipadamkan, dan semua lampu sorot mengarah ke panggung. Satu per satu penari muncul untuk membentuk formasi. Kemudian musik mengalun dan menjadi pembuka acara. Semua orang menonton tanpa mengeluarkan suara. Mereka te