Alhamdulilah. Anwar dapat hidayah. Semangat, Anwar!
Kiano tertunduk. Dia tidak berani menengadah dan beradu pandang dengan Patrick yang sedang mengomel. Beberapa foto telah dikirimkan seseorang ke ponsel sang paman, dan hal itu menyebabkan Kiano dipanggil untuk dimarahi. Pria tua bercambang tipis benar-benar kesal pada Kiano. Sebab Patrick khawatir jika foto-foto itu juga akan disebar ke rekan bisnis, yang bisa mengakibatkan usahanya terganggu.Irena, istri Patrick, mencoba menenangkan suaminya. Perempuan blasteran Indonesia dan Filipina tersebut, merasa prihatin pada Kiano yang terlihat lesu. "Pa, sudah," bujuk Irena sembari mengusap punggung suaminya. "Kiano sudah mengakui kesalahannya. Dan dia tengah berusaha melepaskan diri dari kelompok penjahat itu," sambungnya. "Pantas saja, Mas Farabi bilang kalau dia sulit diatur. Buat masalah terus!" desis Patrick sambil memelototi keponakannya. "Apa isi otakmu, Kian? Bisa sampai liar begitu. Paman nggak paham!" geramnya. "Papa, jangan marah-marah terus. Nanti tensinya naik." "Papa sudah
Hari berganti hari. Semenjak Hisyam mengungkapkan keinginannya untuk menikah, Utari makin sering memikirkan hal itu. Gadis berhidung bangir menyayangi Hisyam. Namun, untuk menikah dengan pria itu, sama sekali belum terlintas di benak Utari. Nona muda Dewawarman berulang kali terngiang ucapan Hisyam. Utari jadi sering melamun dan menyendiri. Hingga membuat rekan-rekannya bingung.Hisyam yang tengah keliling unit kerja seputar Inggrisq, mendengar hal itu dari Gwenyth. Hisyam tahu jika Utari masih meragukannya. Namun, pria tersebut tidak akan mendesak Utari dan membiarkan perempuan berambut panjang itu memutuskan yang terbaik buat mereka. Jumat malam, Hisyam tiba di mess bersama Beni dan Bintang. Ketiganya tidak ikut berbincang di ruang tengah bersama rekan-rekannya, melainkan langsung memasuki kamar masing-masing. Hisyam bergegas semedi di kamar mandi. Mata yang memberat dan tubuh yang lelah membuatnya mempercepat proses pembersihan diri. Belasan menit berlalu, Hisyam keluar dari t
Waktu terus berjalan. Pagi menjelang siang itu, kelompok pimpinan Zulfi tiba di bandara London. Lazuardi, Syafid dan Kurniawan yang menjemput kelompok itu menggunakan tiga mobil MPV. Namun, karena ternyata barang bawaan sangat banyak, Lazuardi menyewa satu mobil lainnya untuk mengangkut semua barang. Keempat mobil melaju keluar area bandara. Lazuardi yang menjadi sopir mobil pertama, mendengarkan penuturan Ilyas yang berada di samping kiri. Sekali-sekali, Zulfi, Qadry dan Aditya menimpali dari kursi tengah. Begitu pula dengan Puspa, Dita dan Erni yang berada di kursi belakang. "Kamu bisa berbagi kamar dengan Kak Dita dan Kak Erni, Puspa. Biar Kimora dan Gwenyth tidur di kamar Utari," terang Lazuardi menjawab pertanyaan gadis tersebut. "Kimora lagi off?" tanya Zulfi. "Ya. Nona Shaylin sedang ke rumah Grandpa-nya di Manchester," terang Lazuardi. "Fatma ikut ke sana. Pulangnya, dia off lima hari, dan Kimora yang gantiin," lanjutnya. "Apa masih ada pencegatan ke mereka?" "Enggak a
Sepanjang malam itu, Jauhari menjadi bulan-bulanan ledekan teman-temannya. Gwenyth yang menempeli Jauhari ke mana-mana, tidak peduli disoraki yang lainnya. Dante menggeleng pelan menyaksikan tingkah kerabat jauhnya tersebut. Namun, kala Gwenyth memaksa mengajak Jauhari jalan-jalan, Dante mengambil tindakan tegas pada gadis itu. "Ari baru sampai. Kepalanya juga masih pusing. Jangan dipaksa keluar!" desis Dante dalam bahasa Mandarin. Gwenyth meringis. "Maaf," cicitnya. Meskipun tidak terlalu dekat, tetapi dia segan pada cucu tertua keluarga Bun atau Adhitama tersebut. "Ari ke sini buat kerja, Gwen. Bukan holiday." "Ya, Ko." "Kamu nanti ikut kami ke Swedia dan Swiss." "Kenapa?" "Ada tawaran proyek ke Adhitama dan klan lainnya. Kamu sama Yusuf dan Riaz yang pegang." "Bukan Bang Hisyam?" Dante menggeleng. "Dia sudah kebanyakan tugas. Rangga dan yang lainnya juga." "Bang Yusuf boleh ditukar sama kekasihku?" "No way!" "Ayolah, Ko!" Gwenyth menggamit lengan kanan Dante dengan man
Suasana di sekitar kelab malam Black Friar terlihat ramai. Para pengunjung masuk dan keluar dengan berbagai tampilan. Deretan mobil mewah datang silih berganti. Menandakan tempat itu populer di kelas atas.Hisyam, Zulfi dan Lazuardi yang sudah berada di seberang kelab semenjak belasan menit lalu, tetap bersabar menunggu pergerakan dari Tommy. Sekali-sekali Hisyam mengecek arloji di pergelangan tangan kanan. Kemudian dia kembali memandang sekeliling. Menjelang jam setengah sebelas, ketiga orang yang ditunggu akhirnya keluar. Tommy melirik mobil seniornya sambil jalan cepat menuju mobil Kiano. Ketiganya memasuki kendaraan, kemudian Dandi melajukan mobil SUV abu-abu metalik menjauhi area kelab. Dua menit berikutnya, seunit SUV hitam melaju mengekori mobil Kiano. "Tetap di sini," tutur Zulfi. "Ya," jawab Hisyam. "Arah jam 3, ada mobil yang bergerak," sela Lazuardi. "Ikuti, Syam," pinta Zulfi. Hisyam mengangguk mengiakan. Dia menghitung dalam hati sembari mengawasi sedan hitam panj
Sabtu siang, sekelompok orang turun dari dua mobil MPV hitam. Mereka memindai sekitar, lalu mengikuti langkah Hisyam menuju bangunan besar berciri khas pedesaan, di pinggir Kota London.Seorang pria tua bertopi dan berkacamata, menyambut Hisyam dengan jabatan tangan tegas. Keduanya berbincang sesaat, sebelum Hisyam memperkenalkan Tio, Zulfi dan Ilyas sebagai bos dari kantor pusat. Sang pria tua mengajak semua orang mengelilingi bangunan. Sekali-sekali dia akan menjawab pertanyaan yang diajukan ketiga bos dengan lugas. "Ini barak pertama. Ada enam kamar dan bisa diisi maksimal 5 orang," terang pengelola tempat yang sering digunakan pendidikan dan pelatihan oleh perusahaan rekanan PBK. "Barak kedua di seberang. Jumlah kamar dan fasilitasnya sama," ungkap pria tua bertopi. "Untuk ladies, bisa mengunakan dua kamar di bagian belakang. Mereka punya akses sendiri dan tidak terganggu peserta pria," lanjutnya. "Bisa kami lihat ke sana?" tanya Zulfi. "Yes." Sang pengelola mengarahkan tang
Sabtu malam, Hisyam mengajak semua orang mengunjungi salah satu opera house di pusat Kota London. Mereka hendak menonton pertunjukan tari kontemporer yang dipimpin oleh seorang penari terkenal. Rombongan puluhan orang tersebut seketika menjadi pusat perhatian, karena mereka kompak mengenakan baju putih di balik jaket jin biru, yang senada dengan celana masing-masing. Utari menggandeng Hisyam di sebelah kanan, sedangkan Atalaric digandengnya di samping kiri. Hal serupa juga dilakukan Gwenyth yang mengaitkan lengannya pada Jauhari dan Dante. Setelah menempati kursi di deretan tengah, mereka memerhatikan sekeliling sembari memotret tempat itu. Tidak berselang lama, terdengar suara MC yang meminta penonton untuk tenang, karena pertunjukan akan segera dimulai. Lampu-lampu dipadamkan, dan semua lampu sorot mengarah ke panggung. Satu per satu penari muncul untuk membentuk formasi. Kemudian musik mengalun dan menjadi pembuka acara. Semua orang menonton tanpa mengeluarkan suara. Mereka te
Senin pagi, kelompok pimpinan Beni berangkat menuju tempat diklat dengan menumpang pada beberapa mobil MPV dan SUV. Utari dan yang lainnya menaiki dua mobil yang tersisa. Kemudian mereka pergi ke tempat tujuan masing-masing. Utari, Gwenyth, Agus dan Deri berangkat ke kantor. Sementara Lazuardi dan Rangga menemani Dante, Atalaric dan Hadrian mendatangi beberapa rekanan bisnis PG. Tio ikut dalam rombongan Beni, karena dia hendak memimpin upacara pembukaan diklat. Setelahnya, Tio akan kembali ke rumah dinas untuk beristirahat. Esok hari Tio akan bertolak ke Swedia bersama Dante, Hadrian, Atalaric, Gwenyth, Rangga dan Lazuardi, serta keempat ajudan muda. Matahari pagi bergerak cepat mengitari bumi. Siang nan cerah menjadi saksi kedatangan puluhan peserta diklat, yang diantarkan Juan, Carlos dan Leon dari kantor PBK, dengan menggunakan bus sewaan. Beni, Kurniawan, Syafid, Bimo, Izhar, Bintang, dan Ghozali, bergegas membagikan seragam diklat pada seluruh peserta. Kemudian mereka dimin
114 Puluhan orang keluar dari belasan unit mobil berbagai tipe. Mereka mengepung rumah besar tiga lantai di kawasan elite Kota Paris. Kepala polisi melangkah cepat ke teras rumah itu. Dia memencet bel dan menunggu dibukakan. Detik berganti. Namun, pintu tetap tertutup. Kepala polisi tetap tenang dan menekan bel lagi. Dia memerhatikan sekeliling sambil berbicara pada wakilnya dengan suara pelan. Sekian menit berlalu, sang kepala polisi akhirnya menelepon seseorang. Tidak berselang lama, pintu belakang dan samping rumah itu dibongkar paksa. Belasan orang menerobos masuk. Mereka langsung ditembaki orang-orang dari lantai dua yang bersembunyi di sekitar tangga. Tim polisi membalas tembakan sembari bergerak maju. Mereka jalan cepat sesuai strategi yang telah dibuat sejak beberapa jam lalu. Selama hampir setengah jam baku tembak itu berlangsung. Banyak korban dari kedua belah pihak yang terluka. Selebihnya terpaksa melanjutkan perkelahian dengan tangan kosong. Tiga unit mobil MPV ber
113 Hisyam mengaduh ketika tendangan Othello menghantam telinga kanannya. Hisyam menggeleng cepat untuk menghilangkan pusing, lalu dia memandangi Othello yang sedang tersenyum miring. "Cuma segitu saja kemampuanmu?" ledek Hisyam sambil memutar-mutar lehetnya supaya rasa tidak nyaman bisa segera hilang. "Itu baru separuh," jawab Othello. "Keluarkan semuanya." "Dengan senang hati." Othello maju dan meninju berulang kali. Hisyam menangkis sambil mendur beberapa langkah. Dia mencari titik kelemahan lawannya, lalu Hisyam menyusun rencana dengan cepat. Hisyam melompat dan menginjak paha kiri Lazuardi yang berada di sebelah kanannya, kemudian Hisyam menarik leher Othello dan mengepitnya dengan kedua kaki. Othello tidak sempat menjerit ketika tubuhnya terbanting keras ke tanah. Dia hendak berbalik, tetapi lengan kiri Hisyam telanjur mengepit lehernya dan memelintir dengan cepat. Edgar yang melihat rekannya rubuh, bergegas menyerang Hisyam dengan dua tendangan keras hingga pria itu ter
112 Hugo meninju Felipe tepat di rahangnya. Lelaki tua bergoyang sesaat, sebelum dia menegakkan badan kembali. Felipe melirik kedua pistolnya yang tergeletak di tanah, dia hendak mengambil benda-benda itu, tetapi satu pengait besi muncul dari samping kanan dan berhasil menarik kedua senapan laras pendek. Felipe sontak menoleh dan kaget melihat dua perempuan yang rambutnya dicepol tinggi-tinggi, melesat untuk menarik kedua pistol. Felipe hendak menarik Gwenyth, tetapi gadis itu langsung berbalik dan melakukan tendangan putar. Felipe mengaduh saat badannya ambruk ke tanah. Dia hendak bangkit, tetapi Gwenyth telah menibannya dan memutar leher Felipe hingga berbunyi nyaring. "Uww! Pasti sakit," tukas Hugo sambil meringis. "Lempar dia ke sana, Bang." Gwenyth menunjuk ke kiri. "Aku mau naik ke situ," lanjutnya yang menunjuk dekat kantor pengelola. "Hati-hati." "Okay." Hugo mengamati saat kedua gadis berlari kencang. Dia kembali meringis ketika Gwenyth dan Puspa berduet untuk menjatu
111Hampir 200 orang berkumpul di depan sebuah rumah besar, di pinggir Kota San Sebastian. Mereka tengah mempersiapkan diri, sebelum memasuki puluhan mobil van dan MPV beragam warna. Mobil-mobil itu melaju melintasi jalan lengang. Salju tebal yang turun sejak semalam, menjadikan banyak tempat tertimbun. Hanya mobil-mobil dengan alat pemecah salju yang berani melintas. Selebihnya memilih tetap di tempat. Kota San Sebastian yang terkenal sebagai tempat wisata, terletak di utara Basque, tepatnya di tenggara Teluk Biscay. Kota tersebut dikelilingi oleh daerah perbukitan dan memiliki tiga pantai yang terkenal. Yakni Concha, Ondaretta dan Zurriola. Konvoi puluhan mobil menuju Igeldo, salah satu distrik yang menghadap Gunung Ulia. Mereka telah mendapatkan informasi akurat tentang keberadaan kelompok Hugo, yang tengah meninjau lokasi proyek. Laurencius yang berada di mobil pertama, berusaha tetap tenang. Meskipun adrenalinnya mengalir deras, tetapi dia harus mengendalikan diri. Sudah sang
110Jalinan waktu terus bergulir. Pagi waktu setempat, Hisyam dan kelompoknya telah berada di bandara Kota Paris. Mereka dijemput Torin, ketua regu pengawal Perancis, dan asistennya, menggunakan dua mobil MPV. Kedua sopir mengantarkan kelompok pimpinan Yoga ke vila yang disewa Carlos, yang berada di sisi selatan Kota Paris. Sesampainya di tempat tujuan, semua penumpang turun. Mereka disambut Mardi dan Jaka di teras rumah besar dua lantai bercat hijau muda. Kemudian mereka diajak memasuki ruangan luas dan bertemu dengan banyak orang lainnya. Hisyam terperangah menyaksikan rekan-rekannya semasa perang klan Bun versus Han, telah berada di tempat itu. Hisyam melompat dan memeluk Loko, yang spontan mendekapnya erat. "Abang, aku kangen!" seru Hisyam, seusai mengurai dekapan. "Aku juga kangen, Mantan musuh," seloroh Loko. "Oh, nggak kangen ke aku?" sela Michael yang berada di samping kanan Loko. "Tentu saja aku kangen. Terutama karena sudah lama kita nggak sparing," balas Hisyam sembar
109Rinai hujan yang membasahi bumi malam itu, menyebabkan orang-orang memutuskan untuk tetap di rumah ataupun tempat tertutup lainnya. Utari menguap untuk kesekian kalinya. Dia mengerjap-ngerjapkan mata yang kian memberat, sebelum menyandar ke lengan kiri suaminya. "Kalau sudah ngantuk, tidur," ujar Hisyam tanpa mengalihkan pandangan dari televisi yang sedang menayangkan film laga dari Jepang. "Lampunya matiin. Aku nggak bisa tidur kalau terang gini," pinta Utari. Hisyam menggeser badan ke kanan untuk menyalakan lampu tidur. Kemudian dia beringsut ke tepi kasur, dan berdiri. Hisyam jalan ke dekat pintu untuk memadamkan lampu utama. "Aku mau bikin teh. Kamu, mau, nggak?" tanya Hisyam. "Enggak," tolak Utari sambil merebahkan badannya. Sekian menit berlalu, Hisyam kembali memasuki kamar sambil membawa gelas tinggi. Dia meletakkan benda itu ke meja rias, lalu beranjak memasuki toilet. Kala Hisyam keluar, dia terkejut karena mendengar bunyi ponselnya. Pria berkaus hitam menyambar
108Jalinan waktu terus bergulir. Deretan acara pernikahan sudah tuntas dilaksanakan di dua kota. Hisyam dan Utari telah kembali ke Jakarta. Mereka menetap di rumah baru bersama kedua Adik Hisyam. Pagi itu, Chalid menjemput Utari dan mengantarkannya ke kantor Dewawarman Grup. Sementara Hisyam melajukan kendaraan menuju kediaman Sultan. Jalan raya yang padat merayap menyebabkan Hisyam menggerutu. Dia sangat berharap kondisi lalu lintas di Ibu Kota bisa lebih tertata, seperti halnya di London. Sesampainya di tempat tujuan, ternyata sudah banyak orang berkumpul. Hisyam keluar dari mobil MPV mewah yang harganya sama dengan mobil Andri dan Haryono. Kemudian dia mendatangi orang-orang di gazebo dan teras, lalu menyalami semuanya dengan takzim. Tidak berselang lama, Yusuf dan teman-temannya datang. Sebab tidak mendapatkan tempat parkir, kedua sopir memarkirkan kendaraan mereka di pekarangan rumah Marley, yang berada di seberang. Alvaro mengajak semua orang untuk berpindah ke belakang. Hi
107 Ratusan orang memenuhi taman resor BPAGK di Bogor, yang telah diubah menjadi tempat pesta kebun nan mewah. Puluhan meja bernuansa putih, ungu muda dan fuchsia, mendominasi area kiri hingga tengah. Sementara bagian kanan sengaja dikosongkan untuk tempat pertunjukan. Pelaminan bersemu putih dan ungu, menambah keindahan tempat perhelatan akbar tersebut. Aroma bunga tercium di seputar area, terutama karena setiap sudutnya dipenuhi bunga beraneka warna, yang kian menambah kecantikan dekorasi hasil tim Mutiara.Pasangan pengantin baru menikmati hidangan di meja terdekat dengan pelaminan. Bersama hadirin, mereka menonton tiga video pre wedding yang telah disatukan. Hisyam mengusap tangan kiri Utari yang spontan menoleh. Keduanya sama-sama mengulum senyuman, karena mengingat saat pengambilan video, jauh sebelum mereka benar-benar menikah. "Kamu tahu? Waktu itu aku deg-degan banget. Terutama waktu kita adegan pelukan dari belakang," ujar Hisyam. "Aku ngerasa jantung Abang berdetak ken
106 "Syam, kamu apain Tari?" tanya Wirya sembari mengamati perempuan bergaun merah muda, yang sedang berbincang dengan istrinya. "Enggak diapa-apain, Bang," sahut Hisyam. "Jalannya aneh gitu." Hisyam meringis. "Mata Abang jeli banget." "Aku lebih pengalaman, jadi rada paham." Wirya melirik juniornya, lalu dia bertanya, "Berapa kali?" Hisyam tidak langsung menjawab, melainkan hanya tersenyum sembari menggaruk-garuk kepalanya. "Jawab!" desis Wirya sambil berpura-pura hendak mencekik pria yang lebih muda. "Dua," balas Hisyam dengan suara pelan. Wirya mengangkat alisnya, kemudian dia merangkul pundak sang junior. "Good. Aku dulu juga gitu." "Langsung dua set?" "Enggak. Malam dan pagi. Kamu?" "Siang dan sore. Entar malam sekali lagi." Keduanya saling melirik, sebelum terbahak bersama. Orang-orang di sekitar memandangi kedua pria yang sama-sama mengenakan kemeja biru tua, dengan tatapan penuh tanya. "Mereka ngakak begitu, aku jadi curiga," tutur Delany sambil memandangi suamin